• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEDIAAN ANAESTETIKUM BUPIVACAINE SEBAGAI ALTERNATIF ANAESTESI PADA IKAN PATIN SISCA VALINATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEDIAAN ANAESTETIKUM BUPIVACAINE SEBAGAI ALTERNATIF ANAESTESI PADA IKAN PATIN SISCA VALINATA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

IKAN PATIN

SISCA VALINATA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan Sediaan Anaestetikum Bupivacaine sebagai Alternatif Anaestesi pada Ikan Patin adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 4 November 2010

Sisca Valinata

(3)

ABSTRACT

SISCA VALINATA. Bupivacaine as Alternative Anaesteticum in Catfish. Supervised by NASTITI KUSUMORINI and ANDRIYANTO.

The aim of this study was to observe potency of bupivacaine as an alternative anaestheticum in catfish (Pangasius pangasius). The fish that used in this study was 600 heads of catfish which had 1.5 inch body length. The fishes were divided into 6 groups which were P0 (not soaked in the bupivacaine, as control), P1 (soaked bupivacaine’s dose 10 ppm), P2 (soaked bupivacaine’s dose 20 ppm), P3 (soaked bupivacaine’s dose 30 ppm), P4 (soaked bupivacaine’s dose 40 ppm), and P5 (soaked bupivacaine’s dose 50 ppm). Parameter that used were onset, duration, and mortality rate. The result showed that group P2 (dose 20 ppm) was effective dose as anaestheticum in catfish, P2 had fast onset that was10.75 minute and had long duration 34.25 minute and death 5%.

(4)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(5)

SEDIAAN ANAESTETIKUM BUPIVACAINE

SEBAGAI ALTERNATIF ANAESTESI PADA

IKAN PATIN

SISCA VALINATA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(6)

Judul Skripsi : Sediaan Anaestetikum Bupivacaine Sebagai Alternatif Anaestesi pada Ikan Patin

Nama : Sisca Valinata

NIM : B04060471

Disetujui

Dr. Nastiti Kusumorini drh. Andriyanto

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul Sediaan Anaestetikum Bupivacaine Sebagai Alternatif Anaestesi pada Ikan Patin berhasil diselesaikan. Lewat prakata ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing skripsi pertama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

2. Drh. Andriyanto, M.Si selaku pembimbing skripsi kedua yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

3. Dr. Drh. H. Akhmad Arif Amin dan Bapak Bayu Febran, S.Si,Apt, M.Si selaku penguji pada ujian akhir sarjana yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan karya tulis ini.

4. Buyah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan doa, semangat, dan dukungan baik moril maupun materil serta kasih sayang yang melimpah untuk penulis.

5. Adik-adikku Melinda Parisa, Shinta Seleste, Ahmad Kurnia Saputra yang juga telah memberikan semangat, dukungan, dan kebahagian sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

6. Rekan-rekan satu penelitian Rizki, Laras, Kurnia, dan Mbak Rina yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian sekaligus teman di saat-saat susah maupun senang. Terima kasih untuk bentuan dan kebersamaannya.

7. Pak De Sri dan Mas Min selaku pegawai di farm Rumah Ikan, yang telah membantu selama penelitian.

8. Sahabat-sahabatku yang senantiasa membantu memberikan semangat, dukungan, Dina, Sekar, Zuhra, Winda, Vivid, Nirna, Rini, Gita, Yanti. Terima Kasih atas kebersamaan selama ini dalam suka dan duka.

(8)

9. Teman-teman Aesculapius 43. Terima kasih atas kebersamaan yang sudah dijalani selama 3 tahun ini, semoga hubungan pertemanan yang telah terjalin tidak akan terputus.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, November 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 8 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Akhmad Jaelani dan Ibu Umi Kalsum.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD Negeri 2 Sukarame, Bandar Lampung. Kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bandar Lampung. Selanjutnya penulis melanjutkan studinya di SMU Negeri 2, Bandar Lampung pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memilih untuk melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun kedua.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, penulis mengikuti berbagai organisasi internal kampus seperti Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas, penulis menjabat sebagai bendahara II pada tahun 2007-2008 dan Divisi Pendidikan pada tahun 2008-2009. BEM Harmoni pada tahun 2007-2008 penulis sebagai anggota Departemen Olah Raga dan Seni. Selain itu penulis pernah menjadi panitia di berbagai acara internal kampus. Penulis juga mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat tentang Terapi Berkuda Bagi Penyandang Autism pada tahun 2008-2009.

(10)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat penelitian ... 2 Hipotesis penelitian ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Ikan Patin ... 4 Pengangkutan ikan ... 6 Stres ... 8 Anaestesi ... 10 Bupivacaine ... 12

MATERI DAN METODE ... 14

Waktu dan Tempat ... 14

Alat dan Bahan ... 14

Perhitungan Dosis ... 14

Tahapan Persiapan ... 14

Rancangan Percobaan ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 15

Pengambilan Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Onset Bupivacaine ... 17

Durasi Bupivacaine ... 19

Persentase Kematian Ikan Patin ... 22

Pembahasan Umum ... 24

SIMPULAN DAN SARAN ... 27

Simpulan ... 27

Saran ... 27

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Persentase kematian (mortality rate) ikan sebelum transportasi, saat

transportasi, dan setelah transportasi ... 10

2 Tahapan anaestesia pada ikan ... 11

3 Rataan onset anaestesi menggunakan bupivacaine pada ikan patin ... 17

4 Hasil rataan durasi anaestesi menggunakan bupivacaine pada ikan patin .... 20

5 Persentase kematian ikan patin akibat anaestesi menggunakan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ikan patin ... 4

2 Ikan patin yang teranaestesi ... 18

3 Kurva standart onset anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine ... 19

4 Kurva standart durasi anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine ... 21

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil pengolahan data onset menggunakan ANOVA ... 31

2 Hasil pengolahan data durasi menggunakan ANOVA ... 32

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tingkat konsumsi protein hewani Negara Indonesia masih rendah. Menurut Westra (2009), rata-rata orang Indonesia mengonsumsi pangan asal hewan baru mencapai 81,9 gr/hari dari standar yaitu 150 gr/hari. Protein hewani tidak hanya dapat dipenuhi dari daging, susu, dan telur, tetapi juga dapat dipenuhi dari konsumsi ikan. Menurut Muhdi (2008), sebanyak 60% kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dipenuhi dari konsumsi ikan. Hal tersebut dikarenakan harga ikan yang terjangkau oleh masyarakat sehingga ikan dijadikan alternatif makanan untuk mencukupi kebutuhan protein hewani. Salah satu ikan air tawar konsumsi yang banyak dibudidayakan adalah ikan patin (Khairuman & Khairul 2008).

Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan ikan air tawar konsumsi yang diunggulkan karena memiliki rasa yang gurih dan lezat, tidak mempunyai banyak duri, dan berdaging putih yang dipercaya memiliki kandungan lemak yang rendah serta glikogen tinggi. Kandungan kalori ikan patin 120 kalori setiap 3,5 ons sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga kesehatan (Hernowo 2001). Menurut Khairuman dan Khairul (2008), ikan patin mengandung protein yang tinggi yaitu sebanyak 68,6% dan kadar sodium yang rendah sehingga ikan patin sangat cocok untuk orang yang sedang melakukan diet garam. Selain itu, daging ikan patin mudah dicerna oleh saluran pencernaan, tinggi kandungan kalsium, zat besi, dan mineral. United States Department of Agriculture (USDA) menempatkan ikan patin sebagai pilihan bagi orang yang menginginkan hidup sehat. Ikan patin merupakan ikan yang digemari oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dari jumlah permintaan ikan patin yang setiap tahun semakin meningkat dengan target budidaya patin pada tahun 2009 adalah 75.000 ton dan pada tahun 2010 ditingkatkan menjadi 77.000 ton (Muhdi 2008).

Pembudidayaan patin terdiri dari tiga subsistem yaitu pembenihan, pendedaran, dan pembesaran. Pembenihan merupakan kunci keberhasilan kegiatan pendedaran dan pembesaran. Pendedaran dan pembesaran memerlukan benih yang berasal dari pusat pembenihan (Khairuman & Khairul 2008). Pusat

(15)

pembenihan biasanya memiliki lokasi yang jauh dari pusat pendedaran dan pembesaran. Transportasi perlu dilakukan untuk memindahkan benih ikan dari pusat pembenihan ke tempat pendedaran dan pembesaran. Menurut Daelami (2001), transportasi dapat mengakibatkan stres pada ikan. Stres dapat menyebabkan meningkatnya mortalitas pada ikan terutama benih ikan. Menurut Ploeg (2005), mortalitas ikan selama pengangkutan mencapai 25-30%.

Pengurangan tingkat stres dapat dilakukan dengan memberikan anaestetikum (EFSA 2004). Salah satu jenis anaestetikum yang biasa digunakan adalah MS222 (tricaine). MS222 memiliki kelemahan yaitu menyebabkan toksik pada manusia berupa iritasi mata dan kulit (Ross et al. 2008), selain itu harga MS222 cukup mahal. Alternatif anaestetikum diperlukan untuk menggantikan MS222. Bupivacaine merupakan anaestesi lokal yang biasa digunakan pada mamalia dan memiliki mekanisme kerja menghalangi konduksi impuls saraf. Bupivacaine memiliki sifat hidrofilik dan memiliki perlekatan dengan protein yang tinggi yaitu sekitar 96% (Bricker 2004) sehingga sediaan bupivacaine dapat digunakan sebagai alternatif anaestesi pada ikan. Penelitian terhadap potensi bupivacaine sebagai anaestetikum pada ikan saat ini belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai potensi bupivacaine sebagai sediaan anaestetikum pada ikan patin.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi bupivacaine sebagai anaestetikum pada ikan patin dengan cara melihat onset, durasi, dan tingkat kematian pada ikan patin yang diberi sediaan bupivacaine. Selain itu, penelitian ini juga untuk mencari dosis efektif bupivacaine untuk ikan patin.

1.3. Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah mendapatkan informasi penggunaan bupivacaine sebagai anaestesi pada ikan. Informasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar penggunaan bupivacaine sebagai anaestetikum pada ikan patin.

(16)

1.4. Hipotesis Penelitian

H0 : Bupivacaine efektif digunakan sebagai anaestetikum pada ikan patin. H1 : Bupivacaine tidak efektif digunakan sebagai anaestetikum pada ikan patin.

(17)

2 d b B k a t j d s i O 2 S d s i 2.1. Ikan P Ikan dengan warn berwarna ke Bentuk kepa kepala. Pada alat pencari terdapat sirip jari lunakny dada terdapa sebagai patil itu, di sirip p Ikan Ostariophys 2001). Bagi Secara umum dan patin si sungai besar ikan patin ya atin patin meru na dominan ebiruan. Ika alanya relati a sudut mul i pakan dan p dengan seb a berjumlah at 12-13 jar l. Sirip dubu perut terdapa patin (Gam i, subordo S i masyaraka m saat ini ter am. Patin lo r di Sumater ang diperken

II. TINJA

upakan ikan putih berkila an patin tid if kecil, mu lutnya terdap n alat perab buah jari-jar 6-7 buah. B ri-jari lunak urnya panjan at 6 jari-jari mbar 1) ber Siluroidea, fa at Indonesia rdapat dua je okal adalah ra dan Kalim nalkan dari T Gambar 1 Ika

AUAN PU

n yang me auan seperti dak memilik ulutnya terle

pat dua pasa ba saat bere ri keras yang Bentuk sirip e dan satu bu ng terdiri da lunak (Khair rada pada fi famili Panga a, ikan pati enis patin ya patin asli In mantan. Sem Thailand (Kh an patin (www

USTAKA

emiliki bentu perak dan d ki sisik seh etak pada se ang kumis y enang. Pada g dapat berub ekornya sim uah jari-jari ari 30-33 jari ruman & Kh ilum Choda asidae, genus n termasuk ang ada dipa ndonesia yan mentara patin hairuman & .iptek.net.id). uk tubuh m di bagian pun hingga tubuh ebelah bawa yang berfung a bagian pun bah menjadi metris bercaga i keras yang i-jari lunak. hairul 2008) ata, kelas Pi s Pangasius k ke dalam asaran, yaitu ng berasal d n siam merup Khairul 200 memanjang nggungnya hnya licin. h di ujung gsi sebagai nggungnya i patil. Jari-ak. Di sirip g berfungsi Sementara . isces, ordo (Hernowo ikan lele. patin lokal dari sungai-pakan jenis 08).

(18)

Daerah penyebaran ikan patin yaitu di Negara India, Myanmar, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia ikan patin berkembang di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Ikan patin dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama catfish, di Pulau Jawa masyarakat menyebutnya ikan jambal. Sementara itu, di Sumatera dan Kalimantan ikan patin dikenal dengan nama ikan juara.

Sebagai ikan konsumsi, ikan patin memiliki beberapa keistimewaan antara lain rasanya yang khas, rendah kalori serta struktur dagingnya yang kenyal tetapi empuk. Orang Amerika mengistilahkan rasanya dengan sweet whitefish. Kandungan kalori ikan patin adalah 120 kalori setiap 3,5 ons sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga kesehatan. Daging ikan patin rendah sodium sehingga sangat cocok untuk orang yang melakukan diet garam. Selain itu, dagingnya mudah dicerna oleh saluran pencernaan, tinggi kandungan kalsium, zat besi, dan mineral. United States Department of Agriculture (USDA) menempatkan ikan patin sebagai pilihan bagi yang menginginkan hidup sehat (Hernowo 2001). Ikan patin mengandung protein tinggi yaitu sebanyak 68,6%. Selain kandungan protein, ikan patin juga mengandung lemak 5,8%, abu 3,5%, dan air 53,9%. Berat ikan setelah disiangi sebesar 79,9% dari berat awalnya. Berat fillet atau daging tanpa tulang yang diperoleh mencapai 61,7% (Khairuman & Khairul 2008).

Ikan patin mulai matang kelamin pada umur 2-3 tahun. Di Indonesia, ikan patin baru memijah pada musim penghujan. Jumlah telur yang dihasilkan berbeda-beda, tergantung pada kondisi dan ukuran induk. Induk yang memilki berat 5 sampai dengan 6 kg dapat menghasilkan telur sekitar 1,5 juta butir. Di alam, ikan patin bersifat karnivora tetapi di tempat budidaya bersifat omnivora (Hernowo 2001).

Ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagai mana umumnya catfish lainnya. Selain itu, ikan patin juga suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai sebagai habitat hidupnya (Susanto 2004). Panjang maksimum yang dapat dicapai ikan ini adalah 120 cm. Ikan patin hidup di air tawar (sungai) dan air payau. Ikan patin mencapi tingkat dewasa pada ukuran sekitar 60 cm. Ikan ini termasuk dalam jenis bottom feeder yang makannya terdiri atas sisa-sisa organisme, moluska, serangga air, dan udang. Menurut Verhoef (2000), di dalam habitat alaminya keluarga Pangasidae dapat tumbuh lebih dari

(19)

satu meter, tetapi mereka tidak mencapai ukuran ini dalam akuarium karena terbatas oleh ruang. Pangasidae merupakan ikan yang aktif, mereka berenang sepanjang hari. Zona atau daerah berenang mereka adalah bagian tengah dan bawah. Rata-rata suhu air yang nyaman untuk keluarga Pangasidae adalah 22-27°C. Sementara itu, komposisi air tidak terlalu penting bagi ikan patin.

Ikan patin mampu beradaptasi terhadap kisaran pH 5-9. Jadi ikan patin mampu bertahan dalam keadaan air yang agak asam sampai basa. Kandungan oksigen (O2) terlarut yang dibutuhkan bagi kehidupan patin adalah 3-6 ppm.

Kadar karbondioksida (CO2) yang bisa ditoleransi oleh ikan patin adalah 9-20

ppm (Khairuman & Khairul 2008).

2.2. Pengangkutan Ikan

Transportasi ikan dalam keadaan hidup merupakan salah satu mata rantai di dalam usaha budidaya ikan, hal tersebut dikarenakan banyak petani yang tidak memproduksi benih ikan sendiri melainkan membelinya. Harga jual ikan selain ditentukan dari ukuran juga ditentukan dari kesegaran ikan. Benih ikan yang lemah akan rendah harga jualnya, sedangkan benih yang mati tidak akan laku sama sekali. Oleh sebab itu, kegagalan dalam trasportasi ikan akan mengakibatkan kerugian. Tujuan dari transportasi ikan hidup adalah mempertahankan ikan agar tetap hidup selama pengangkutan sampai ke tempat tujuan (Afrianto & Evi 1988).

Transportasi ikan hidup dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem transportasi terbuka biasanya digunakan untuk pengangkutan jarak dekat, sedangkan sistem transportasi tertutup digunakan untuk pengankutan ikan jarak jauh dan dalam waktu yang lama (Sendjaja & Riski 2002). Pengangkutan dengan sistem terbuka memungkinkan ikan tetap berkontak langsung dengan air sebagai media pengangkut dan udara luar. Alat yang biasa digunakan dalam pengangkutan sistem terbuka antara lain ember, baskom, drum plastik, dan keramba. Jumlah ikan yang diangkut dengan sistem ini biasanya sedikit dengan jarak tempuh dekat dan dalam waktu yang relatif singkat.

Pengangkutan dengan sistem tertutup tidak memungkinkan ikan pada media pengangkut berkontak dengan udara luar. Hal tersebut mengakibatkan kadar oksigen yang berada pada wadah atau tempat ikan tidak mungkin

(20)

bertambah, sehingga oksigen perlu dipompakan ke dalam wadah pengangkut. Air yang digunakan dalam pengangkutan dengan sisten tertutup harus bersih, jernih, dan bebas dari zat beracun. Salah satu contoh trasportasi dengan sistem tertutup yaitu menggunakan kantong plastik. Kantong plastik yang digunakan terdiri atas beberapa ukuran, tergantung kebutuhan. Setiap kantong plastik biasanya berisi air dan oksigen dengan perbandingan 1:3. Selain diisi air, ditambahkan buffer yang dilarutkan secara sempurna. Kemudian ikan dimasukkan ke dalam kantung plastik dengan hati-hati. Setelah itu kantung plastik diikat dengan karet dan disimpan di tempat yang aman, teduh, serta bebas dari kemungkinan tertusuk benda tajam (Daelami 2001). Selama pengangkutan, suhu air dijaga serendah mungkin yaitu berkisar antara 15-20°C, agar ikan-ikan tersebut tidak stres (Sitanggang & Sarwono 2002).

Sistem transportasi tertutup mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat dilakukan pergantian air pada saat transportasi berlangsung. Air yang digunakan untuk transportasi harus berkualitas baik karena tidak memungkinkan untuk dilakukan penggantian air. Kantung plastik dapat diletkakkan berdiri atau ditidurkan. Apabila kantung plastik diletakkan dengan posisi tidur maka permukaan air dan oksigen semakin luas, tetapi ikan mengalami guncangan yang semakin besar (Sendjaja & Riski 2002).

Pengangkutan ikan hidup juga bertujuan untuk pembesaran lebih lanjut atau untuk jangka panjang sehingga keharusan ikan hidup merupakan syarat utama dalam pengangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengangkutan antara lain lama pengangkutan, suhu, oksigen, jumlah dan ukuran ikan, dan eksresi yang merupakan sisa dari metabolisme tubuh ikan.

Suhu air dapat mempengaruhi aktivitas di dalam tubuh ikan dan daya kelarutan oksigen. Jika suhu meningkat, aktivitas di dalam tubuh ikan juga meningkat tetapi daya kelarutan oksigen berkurang. Kondisi suhu yang cukup baik untuk pengangkutan ikan hidup yaitu antara 15-20°C. Jadi pengangkutan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca sejuk, yaitu pada pagi hari atau sore menjelang malam. Selain itu, keadaan suhu saat diperjalanan harus dipertahankan agar tetap konstan.

(21)

Jumlah oksigen yang dibutuhkan tergantung pada jenis ikan, ukuran, jumlah, dan lama pengangkutan. Daya tahan hidup ikan berbeda-beda, benih biasanya memiliki daya tahan yang lebih rentan, terutama pada kondisi kekurangan oksigen.

Eksresi berupa kotoran ikan yang dikeluarkan dari sisa metabolisme dapat menjadi racun bagi ikan dan dapat menurunkan kualitas air sebagai media pengangkut. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara ikan dipuasakan terlebih dahulu dalam air mengalir selama 1 sampai dengan 2 hari (Daelami 2001).

Perlakuan benih setelah sampai ditempat tujuan juga harus menjadi perhatian khusus. Benih tidak boleh langsung dimasukkan ke dalam kolam, melainkan harus diadaptasikan terlebih dahulu. Proses penyesuaian (aklimatisasi) pada benih ditujukkan untuk menyesuaikan suhu air (Sendjaja & Riski 2002).

Keberhasilan transportasi benih ikan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi fisik maupun kimia air, terutama mengenai oksigen terlarut, NH3,

CO2, pH, dan suhu air. Kepadatan ikan saat pengangkutan sangat mempengaruhi

kelangsungan hidup ikan saat pengangkutan. Hal tersebut dikarenakan semakin padat ikan yang diangkut, maka akan semakin ketat pula persaingan penggunaan ruang dan oksigen terlarut. Peningkatan konsumsi oksigen akan terjadi apabila suhu naik, jadi sebaiknya kepadatan ikan dikurangi apabila suhu diperkirakan akan naik 10°C. Dalam proses pengangkutan, air yang digunakan adalah air yang telah diaerasi selama 24 jam yang bertujan untuk membuang gas-gas yang berbahaya di dalam air seperti CO2 dan menambah kandungan O2 dalam air

(Susanto 2004).

2.3. Stres

Stres adalah suatu keadaan dimana hewan tidak mampu mengatur kondisi fisiologis yang normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Stres didefinisikan sebagai pengaruh segala bentuk perubahan atau tantangan lingkungan yang mendorong homeostasis melebihi batas kemampuan normal segala tingkatan organisasi bilogis, baik pada tingkatan spesies, populasi, ataupun ekosistem (Irianto 2005).

(22)

Pemicu yang menyebabkan timbulnya keadaan stres disebut sebagai stresor atau faktor stres. Stresor dibagi atas, stresor kimiawi, fisik, biologis, prosedural. Stresor kimiawi antara lain berupa, kualitas air buruk seperti oksigen terlarut rendah dan pH tidak sesuai, polusi, komposisi pakan, senyawa nitrogen, dan sisa dari metabolisme berupa akumulasi amonia, serta nitrit. Stresor fisik berupa suhu yang mencekam (lebih tinggi atau lebih rendah dari normal), cahaya berlebih atau kurang, suara, dan gas-gas terlarut. Stresor biologis yaitu, densitas populasi terlalu tinggi, kehadiran mikroba, dan parasit. Sementara itu, stresor prosedural terdiri atas penanganan, pengiriman atau transportasi, dan penaganan penyakit (Irianto 2005).

Respons ikan terhadap stres mirip dengan respons pada vertebrata tingkat tinggi, secara umum dibagi dalam tiga tahapan (Irianto 2005), yaitu:

1. Respons primer berupa keadaan gelisah dan terjadi perubahan hormonal, antara lain berupa peningkatan kortikosteroid dan katekholamin serta perubahan aktivitas neurotransmitter.

2. Respons sekunder antara lain berupa perubahan metabolik, seluler, gangguan osmoregulasi, perubahan gambaran darah dan fungsi imun. 3. Respons tersier berlangsung pada individu dan populasi, disebut juga

sebagai tahap parah. Pada tahap ini individu ikan meningkat metabolismenya, menurun resistensinya terhadap penyakit, tingkat kesuburan rendah, daya tetas telur rendah dan perubahan tingkah laku. Adapun pada tingkat populasi terjadi penurunan diversitas spesies.

Stres fisik yang diakibatkan penanganan saat pemindahan ikan, perawatan, atau pemanenan dapat menyebabkan hilangnya mukus atau lendir. Hal tersebut mengakibatkan perlindungan kimiawi yang biasanya dilakukan oleh mukus menjadi hilang atau berkurang, fungsi osmoregulasi menurun, serta menurunkan lubrikasi tubuh sehingga menyebabkan energi yang diperlukan ikan untuk berenang menjadi lebih besar serta meningkatkan frekuensi infeksi oleh patogen atau infestasi oleh parasit akibat hilangnya sebagian dari perlindungan tubuh.

Mukus pada tubuh ikan merupakan komponen yang sangat penting pada kulit ikan. Ketika ikan dipindahkan seperti saat transportasi menyebabkan stres meningkat yang dapat berakibat kehilangan mukus. Fungsi mukus tersebut adalah

(23)

sebagai fungisidal, bakterisidal, dan untuk mempertahankan kulit dari infeksi (Kayne & Jepson 2004).

Pencegahan terhadap stres dapat dilakukan melalui menejemen yang baik, yaitu meliputi penjagaan kualitas air yang baik, nutrisi yang baik serta sanitasi. Kualitas air yang baik meliputi tindakan pencegahan akumulasi sisa-sisa bahan organik dan limbah yang mengandung nitrogen, menjaga pH dan suhu pada kisaran yang dibutuhkan oleh ikan, dan menjaga oksigen terlarut pada konsentrasi sekurangnya 5 mg/l. Kualitas air yang buruk merupakan stresor utama bagi budidaya perikanan (Irianto 2005). Apabila stres ini dibiarkan terus-menerus akan mengakibatkan kematian. Berikut tabel persentase kematian yang terjadi sebelum, saat dan setelah transportasi menurut Ploeg (2005).

Tabel 1 Persentase kematian (mortality rate) ikan sebelum transportasi, saat transportasi, dan setelah transportasi

Keterangan Mortality (Tingkat kematian)

Sebelum transportasi Selama transportasi Saat di pengumpul Saat di pedagang eceran

30-40% 25-30% 25-30% 25-30% Sumber : Ploeg (2005).

Bebarapa penyebab kematian pada transportasi ikan yaitu antara lain berkurangnya ketersedian oksigen dalam air, meningkatnya akumulasi CO2 dan

amonia, temperatur lingkungan yang berubah-ubah, hiperaktivitas dan stres, ketidakseimbangan ion-osmotik, luka fisik akibat penanganan sebelum dan saat transportasi, serta penyakit pada ikan (Purwaningsih 1998).

2.4. Anaestesi

Anaestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu anaesthesia yang berarti hilangnya rasa. Anaestesi bekerja menghilangkan sementara rasa sakit selama prosedur terapi (George & Omokhua 2010). Secara garis besar karakteristik yang perlu diperhatikan dalam penggunaan anaestesi pada ikan adalah dosis optimum dan dosis letal, waktu induksi (onset) dan waktu recovery (durasi). Selain itu juga perlu diperhatikan dampak terhadap fisiologi ikan. Onset adalah periode waktu antara akhir pemberian anaestesi sampai terlihat gejala tidak adanya respons (Volpato et al. 2005). Pada penelitian ini onset ditandai oleh kehilangan

(24)

keseimbangan, tonus otot, respons, rasa sakit, dan kehilangan kesadaran. Sedangkan durasi adalah waktu selama ikan teranaestesi sampai ikan kembali ke stadium normal (Coyle 2004). Banyak anaestesi yang digunakan pada ikan mirip dengan yang digunakan pada mamalia. Walaupun terkadang anaestesi yang digunakan secara lokal pada mamalia digunakan untuk anaestesi general pada ikan. Jenis-jenis penggunaan anaestesi pada ikan adalah untuk penelitian, menejemen, dan kesehatan ikan. Menurut Bowser (2001) perhitungan konsentrasi anaestetikum pada ikan menggunakan ppm (parts per million) yang setara dengan milligram per liter air (mg/l) atau gram per meter kubik air (g/m3). Selanjutnya, tahapan anaestesi pada ikan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Tahapan anaestesia pada ikan

Tahapan Keterangan Tahapan 1 Sedasi ringan Sedasi dalam Tahapan 2 Anaestesi ringan Anaestesi dalam Tahapan 3 (Anaestesi operasi) Tahapan 4 (Paralisis Medula)

Masih memberikan respons, tetapi pergerakan dan pergerakan pernapasan telah berkurang.

Sama seperti sedasi ringan, analgesia, hanya dapat merasakan rangsangan yang besar.

Kehilangan sebagian keseimbangan, analgesi yang baik. Kehilangan total tonus otot, keseimbangan, pergerakan pernapasan hampir tidak ada.

Sama seperti tahapan 2, kehilangan reaksi walaupun diberi rangsangan yang besar.

Pernapasan berhenti, jantung berhenti, mati, overdosis.

Sumber : Ross et al. (2008).

Obat-obatan yang umum digunakan untuk pengangkutan ikan adalah obat bius atau obat penenang (transquilizer). Penggunaan obat dimaksudkan untuk menenangkan ikan sehingga laju metabolisme ikan menjadi lambat, akibatnya konsumsi oksigen menurun dan produksi gas buang seperti CO2 dan NH3 juga

berkurang (Lesmana & Iwan 2001).

Teknik yang secara luas digunakan untuk anaestesi pada ikan adalah dengan cara dipping. Ikan yang akan dianaestesi direndam ke dalam larutan yang telah berisi anaestetikum. Saat ikan bernapas maka ingsang akan terbuka, molekul obat anaestetikum akan berdifusi secara cepat ke dalam pembuluh darah yang

(25)

berada dibalik ingsang. Selanjutnya, obat tersebut akan mengalir melalui pembuluh darah arterial efferent yang akan memuju CNS (Central Nervous

System ) (Ross et al. 2008).

2.5. Bupivacaine

Bupivacaine atau dikenal juga dengan sebutan marcaine. Bupivacaine merupakan senyawa yang sangat stabil. Bupivacaine memiliki kemampuan kira-kira empat kali lebih kuat dari lignocaine. Larutan bupivacaine sebesar 0,5% setara dengan 2% larutan lignocaine dalam hal menganaestesi. (Hall dan Clark 1983). Dosis lignocaine yang biasa digunakan untuk anaestetikum pada ikan adalah 100 ppm (Ross et al. 2008). Bupivacaine mempunyai jangka waktu analgesia minimal dua kali lebih panjang dari lignocaine. Hanya sedikit laporan tentang penggunaan anaestesi bupivacaine di bidang kedokteran hewan, biasanya digunakan dalam situasi di mana diperlukan analgesia berkepanjangan (misalnya untuk menghilangkan nyeri akut pada kuda yang terkena laminitis) (Hall dan Clark 1983).

Bupivacaine secara kimiawi dan farmakologi termasuk anaestesi lokal

aminoacyl. Bupivacaine homolog dengan mepivacaine dan secara kimia mirip

dengan lidocaine. Ketiga anaestetikum tersebut mengandung gugus amida, berbeda dengan tipe anaestesi procaine lainnya yang mengandung gugus ester. Karena adanya struktur amida, bupivacaine tidak didetoksifikasi oleh esterase melainkan melalui konjugasi asam glukoronat pada hati. Ketika digunakan, bupivacaine tidak menyebabkan kerusakan jaringan ataupun methemonglobinemia (Anonim 2006). Pada mamalia, bupivacaine memiliki onset yang cepat yaitu 2 sampai 10 menit (Anonim 1998). Bupivacaine melekat pada sodium channels, sehingga mencegah sodium atau natrium untuk masuk ke sel saraf.

Bupivacaine telah terbukti dapat menghambat kegiatan

karnitin-acylcarnitine translokase (CACT) pada jantung sehingga mitokondria terisolasi. CACT adalah karnitin portir-antiporter di membran dalam mitokondria yang

diperlukan untuk transfer asam lemak ke dalam matriks mitokondria untuk melakukan metabolisme oksidatif. Asam lemak merupakan substrat utama yang digunakan untuk metabolisme aerobik normal. Jika transfer asam lemak terganggu maka mengisyaratkan terjadi gangguan dalam metabolisme tersebut yang

(26)

disebabkan karena senyawa anestesi lokal. Ketika pemanfaatan asam lemak telah ditekan bupivacaine, maka karbohidrat dapat digunakan sebagai alternatif substrat untuk infark oksidatif dan non-metabolisme oksidatif (Edelman et al. 2007).

Penelitian mengenai bupivacaine yang digunakan untuk anaestetikum pada ikan sampai saat ini belum dilakukan. Berdasarkan sumber yang tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa bupivacaine memiliki potensi sebagai anaestetikum yang dapat digunakan pada ikan.

(27)

III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Farm Rumah Ikan Patin, kompleks Perumahan Dramaga Pratama, Ciampea, Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan ikan patin sebanyak 600 ekor dengan ukuran 1,5 inchi. Ikan yang digunakan berasal dari Farm Rumah Ikan Patin di Perumahan Dramaga Pratama, Bogor.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas gelas, akuarium, aerator, sendok, gelas ukur, spuid, saringan, baskom, stopwatch, dan ember, sedangkan bahan yang digunakan adalah bupivacaine dan air mineral.

3.3. Tahap Persiapan

Tahapan persiapan dimulai dengan aklimatisasi ikan percobaan dengan cara memasukan ikan-ikan ke dalam gelas-gelas selama 10 menit sebelum diberikan perlakuan sediaan obat. Aklimatisasi bertujuan agar ikan patin menyesuaikan terlebih dahulu dengan lingkungan yang baru sehingga meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan.

3.4. Perhitungan Dosis

Sedian bupivacaine yang beredar di pasaran memiliki konsentrasi sebesar 0,5%. Konsentrasi 0,5% berarti bahwa dalam setiap 100 ml pelarut terkandung 0,5 g bupivacaine. Gal tersebut berarti bahwa di dalam setiap ml pelarut terkandung terkandung 5 mg bupivacaine. Berikut ini adalah contoh perhitungan dosis bupivacaine:

10 ppm 10 mg/l

5 mg/ml 2 ml/l

(28)

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa untuk dosis 10 ppm dibutuhkan bupivacaine sebanyak 0,2 ml dalam 100 ml pelarut. Sedangkan untuk dosis 20 ppm, 30 ppm , 40 ppm, dan 50 ppm didapatkan hasil 0,4 ml; 0,6 ml; 0,8 ml; dan 1 ml yang masing-masing dilarutkan dalam 100 ml pelarut.

3.5. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan. Setiap perlakuan terdiri atas lima ulangan dan masing-masing ulangan berjumlah lima ekor ikan. Perlakuan pada penelitian ini diuraikan sebagai berikut: Perlakuan 0 (P0) Perlakuan 1 (P1) Perlakuan 2 (P2) Perlakuan 3 (P3) Perlakuan 4 (P4) Perlakuan 5 (P5) : : : : : :

kelompok ikan patin yang tidak direndam (dipping) bupivacaine (kontrol)

kelompok ikan patin yang direndam (dipping) bupivacaine dengan dosis 10 ppm

kelompok ikan patin yang direndam (dipping) bupivacaine dengan dosis 20 ppm

kelompok ikan patin yang direndam (dipping) bupivacaine dengan dosis 30 ppm

kelompok ikan patin yang direndam (dipping) bupivacaine dengan dosis 40 ppm

kelompok ikan patin yang direndam (dipping) bupivacaine dengan dosis 50 ppm

Replikasi dilakukan pada waktu yang berbeda sebanyak empat kali untuk memperkecil tingkat kesalahan.

3.6. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengambil ikan pada akuarium. Selanjutnya ikan ditempatkan pada gelas-gelas yang telah diisi air sebanyak 100 ml. Tiap satu gelas diisi dengan lima ekor ikan patin beukuran 1,5 inchi. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak lima kali sehingga satu perlakuan terdapat lima gelas dengan jumlah ikan sebanyak 25 ekor. Kemudian ikan didiamkan dulu selama 10 menit untuk proses aklimatisasi.

Setelah proses aklimatisasi selesai, sediaan bupivacaine dimasukkan sesuai dengan dosis perlakuan. Kemudian ikan yang telah teranaestesi dipindahkan ke

(29)

dalam gelas lain yang hanya berisi air tanpa tambahan sediaan bupivacaine untuk masa recovery.

3.7. Pengambilan Data

Pengambilan data anaestesi ikan dilakukan dengan mengamati keseimbangan, tonus otot, refleks, dan kesadaran ikan. Ciri-ciri ikan yang telah teranaestesi adalah kehilangan keseimbangan, tonus otot, refleks, rasa sakit, dan kesadaran. Keseimbangan dilihat dari kemampuan ikan berenang dengan baik. Tonus otot diamati dengan cara melihat ikan bergerak secara aktif. Refleks diamati dengan memeberikan rangsangan berupa sentuhan pada ikan. Rasa sakit diamati dengan memberikan rangsangan berupa tusukan dengan menggunakan

needle pada bagian ekor ikan. Kehilangan kesadaran pada ikan terjadi apabila

keempat parameter tersebut telah terpenuhi. Ikan yang teranaestesi kemudian dipindahkan ke gelas lain yang berisi air tanpa tambahan anaestetikum bupivacaine. Selanjutnya dilakukan pengamatan durasi bupivacaine. Durasi adalah saat ikan teranaestesi sampai dengan ikan mulai sadar kembali atau

recovery. Tanda-tanda ikan yang telah mengalami recovery adalah telah

kembalinya keseimbangan, tonus otot, refleks, dan rasa nyeri. Ikan yang telah

recovery akan kembali bergerak aktif.

Parameter yang diamati adalah onset, durasi, dan kematian. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode statistik Analysis of Varian (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan pada masing-masing perlakuan.

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Onset Bupivacaine

Onset adalah periode waktu antara akhir pemberian anaestesi sampai terlihat gejala tidak adanya respons (Volpato et al. 2005). Dosis bupivacaine yang besar memiliki rataan onset yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis yang kecil (Tabel 3).

Tabel 3 Rataan onset anaestesi menggunakan bupivacaine pada ikan patin

Bupivacaine (ppm) Rata-rata±SD (menit)

10 19,35± 8,14a

20 10,75± 2,57b

30 6,18 ± 0,66bc

40 4,84 ± 0,83cd

50 3,84 ± 0,93cd

Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa onset terpendek terdapat pada ikan patin yang direndam bupivacaine dengan dosis 50 ppm yaitu 3,84 menit. Selanjutnya secara berurutan, onset dari yang tercepat yaitu adalah ikan patin yang direndam bupivacaine dengan dosis 40 ppm dengan onset 4,84 menit, ikan patin yang direndam bupivacaine dengan dosis 30 ppm onsetnya 6,18 menit, ikan patin yang direndam bupivacaine dengan dosis 20 ppm yaitu 10,75 menit, dan terakhir dengan onset terlama yaitu ikan patin yang direndam bupivacaine dengan dosis 10 ppm yaitu 19,35 menit.

Pada perlakuan dosis 50 ppm, onset anaestesi ikan patin merupakan yang tercepat dikarenakan konsentrasi bupivacaine yang telarut di dalam air lebih banyak dibandingkan dengan dosis lainnya, sehingga bupivacaine yang diserap oleh tubuh ikan juga dalam konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan dosis lainnya. Semakin kecil dosis maka konsentrasi bupivacaine yang terlarut dalam air juga akan makin kecil, sehingga jumlah bupivacaine yang diabsorbsi oleh tubuh ikan akan semakin sedikit pula. Menurut Katzung (1998), onset akan semakin cepat jika dosis yang digunakan semakin besar hal tersebut dikarenakan molekul obat yang yang terkandung di dalam media juga semakin banyak. Ikan yang telah teranaestesi ditandai dengan kehilangan keseimbangan, tonus otot, refleks, rasa nyeri, dan di ikuti kehilangan kesadaran (Gambar 2).

(31)

m m m o 2 y o u B i e s d ( d Menu memiliki w menyebabka memiliki kis oleh Difazio 20 menit ter yang ideal d onset bupiva untuk mengh Bupi Bupivacaine ikan. Selanju efferent men segera timbu Hasi dipengaruhi (Gambar 3). dosis yang d urut Coyle e aktu mengin an stres. Ha saran antara o et al. (200 rgantung rut digunakan p acaine tergo hasilkan ons ivacaine mas e akan berdi utnya, bupiv nuju ke susu ul efek anaes l regresi lin oleh dosis Kurva pers digunakan se Gambar 2 Ik et al. (2004) nduksi anae asil pengam 3,84-19,35 0) bahwa bu te pemberia pada ikan p olong cepat set anaestesi suk ke dalam fusi ke dala vacaine yang usnan saraf p stesi. near menunj s bupivacain amaan dibaw emakin cepat an patin yang t ) salah satu estesi yang matan menun menit. Hal upivacaine m n, sehingga patin. Diband sehingga tid yang cepat. m tubuh ikan am pembuluh g masuk ters pusat (SSP). jukkan bahw ne dengan wah ini mem t onset anaes teranaestesi. syarat anaes cepat atau njukkan bah ini sesuai de memiliki ons bupivacaine dingkan den dak memerlu n melalui ins h darah yang sebut akan m Setelah sam wa sebesar persamaan mperlihatkan stesi yang di stesi yang id onsetnya c hwa onset b engan yang set yang cep e merupakan ngan anaeste ukan waktu

sang saat ika g terdapat p mengalir me mpai ke SSP 84,1% onse y= -0,369x n bahwa sem icapai. deal adalah cepat tanpa bupivacaine dinyatakan pat yaitu 5-n a5-naestesi esi lainnya yang lama an bernafas. pada insang elalui arteri maka akan et anaestesi x + 20,07 makin tinggi

(32)

Gambar 3 Kurva standart onset anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine.

Efek anaestesi tergantung pada beberapa faktor yaitu dosis, level anaestetikum yang digunakan, serta waktu lamanya terpapar. Menurut Hall dan Clark (1983), bupivacaine memiliki kemampuan empat kali lebih kuat dibandingkan lignocaine. Dosis lignocaine yang biasa digunakan untuk anaestetikum pada ikan adalah 100 ppm (Ross et al. 2008). Tabel 3 memperlihatkan pada dosis 20 ppm bupivacaine mampu menginduksi anaestesi dengan onset yang cepat yaitu 10,75 menit. Hal tersebut membuktikan bahwa dosis 20 ppm bupivacaine memiliki kemampuan menginduksi anaestesi yang sama dengan dosis 100 ppm lignocaine. Gambar 3 memperlihatkan dosis berpengaruh terhadap waktu onset. Menurut Coyle (2004), anaestesi ideal juga ditandai dengan pemberian pada dosis yang kecil sudah mampu menginduksi anaestesi. Berdasarkan hal tersebut, bupivacaine dapat dikatakan lebih ideal jika dibandingkan dengan anaestesi lainnya seperti lidocaine.

4.2. Durasi Bupivacaine

Durasi anaestesi adalah waktu atau periode antara saat setelah onset sampai keadaan ikan kembali normal (Volpato et al. 2005). Rataan durasi anaestesi menunjukkan hasil semakin lama seiring bertambahnya dosis namun durasi pada setiap perlakuan tidak memiliki perbedaan yang nyata (Tabel 4).

y = ‐0.369x + 20.07 R² = 0.841 0 5 10 15 20 25 0 10 20 30 40 50 60 on set  (menit) Dosis (ppm)

(33)

Tabel 4 Hasil rataan durasi anaestesi menggunakan bupivacaine pada ikan patin

Bupivacaine (ppm) Rata-rata±SD (Menit)

10 34,22 ± 6,42a

20 34,25 ± 10,39a

30 38,61 ± 13,0a

40 40,96 ± 5,38a

50 44,84 ± 21,38a

Huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Durasi anaetesi dihitung mulai saat ikan teranaestesi sampai ikan mengalami recovery. Tabel 4 menunjukkan bahwa durasi terpendek terjadi pada ikan patin yang direndam dengan bupivacaine 10 ppm yaitu 34,22 menit. Selanjutnya, secara berurutan durasi anaestesi dari yang terpendek yaitu ikan patin yang direndam dengan bupivacaine 20 ppm memiliki durasi 34,25 menit, ikan patin yang direndam dengan bupivacaine 30 ppm memiliki durasi 38,61 menit, ikan patin yang direndam dengan bupivacaine 40 ppm memiliki durasi 40,96 menit, dan yang memiliki durasi terlama ada pada ikan patin yang direndam dengan bupivacaine 50 ppm yaitu 44,84 menit. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa durasi anaestasi pada berbagai tingkatan dosis tidak berbeda nyata. Hal tersebut berarti bahwa pada pemberian dosis 10 ppm ataupun 50 ppm durasi anaestesi tidak jauh berbeda.

Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa efek anaestesi salah satunya tergantung pada lamanya waktu terpapar. Beberapa kasus terdapat ikan yang lebih lama onset anaestesinya sehingga menyebabkan waktu terpaparnya ikan dengan anaestetikum semakin lama sehingga jumlah bupivacaine yang terserap oleh tubuh juga makin banyak. Akibatnya, ikan tersebut dapat memiliki durasi yang lebih lama.

Menurut Ross et al. (2008) faktor yang menyebabkan kemanjuran

anaestesi pada ikan dibedakan menjadi dua kelompok faktor, yaitu faktor biologis dan faktor lingkungan. Kelompok faktor biologis terdiri atas delapan faktor yaitu, spesies, strain, ukuran atau berat badan, jenis kelamin dan kematangan secara seksual, kandungan lemak, keadaan tubuh, status penyakit, serta kondisi stres. Sementara itu faktor lingkungan terdiri dari empat faktor, yaitu temperatur, pH, salinitas, serta kandungan mineral dalam lingkungan. Penelitian ini tidak dilakukan pengamatan terhadap faktor-faktor tersebut di atas, hal tersebut

(34)

dikarenakan rancangan percobaan yang digunakan adlah rancangan acak lengkap, semua faktor di atas dianggap sama.

Waktu durasi dipengaruhi oleh perubahan aktivitas enzim pada hati, deposit lemak, serta luas permukaan tubuh (berat badan) (Ross et al. 2008). Pada ikan yang lebih banyak mengandung lemak, bupivacaine lebih banyak tertahan pada lemak. Hal tersebut menyebabkan proses eksresi bupivacaine menjadi lebih lama dan mengakibatkan durasi anaestesi lebih panjang pada ikan yang kandungan lemaknya lebih banyak.

Lamanya durasi anaestesi dipengaruhi oleh struktur anaestetikum yang akan mempengaruhi perlekatan dengan protein. Semakin banyak anaestetikum yang berikatan dengan protein maka akan semakin lama durasinya. Bupivacaine memiliki 95% perlekatan dengan protein (Edgcombe & Graham 2005). Durasi yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki waktu yang singkat. Durasi anaestesi bupivacaine dapat diperpanjang dengan memberikan epinefrin tetapi epinefrin dapat menyebabkan stres pada ikan.

Selain struktur anaestetikum, dosis dapat memengaruhi lamanya durasi. Hasil regresi linear menunjukkan bahwa sebesar 94,5% durasi anaestesi dipengaruhi oleh dosis bupivacaine dengan persamaan y= 0,279x + 30,19 (Gambar 4). Semakin besar dosis yang diberikan durasi anaestesi akan semakin lama.

Gambar 4 Kurva standart durasi anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine. y = 0.279x + 30.19 R² = 0.945 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 60 Dur asi  (menit) Dosis  (ppm)

(35)

Ross et al. (2008) mengatakan, bahwa penggunaan lignocaine ataupun

lidocain dengan cara injeksi untuk menginduksi spinal anaestesi menggunakan dosis 0,1 cm3 dan ikan akan mengalami proses recovery setelah 45 samapai 50 menit. Lignocaine dengan dosis 0,1 cm3 setara dengan 100 ppm. Penggunaan bupivacaine dengan dosis 20 sampai 20 ppm dibandingkan dengan dosis lignocaine 100 ppm memilki waktu recovery yang tidak berbeda nyata, sehingga penggunaan bupivacaine lebih efektif jika debandingkan dengan lignocaine.

Lamanya durasi anaestesi dipengaruhi oleh struktur anaestetikum yang akan mempengaruhi perlekatan dengan protein. Bupivacaine memiliki 95% perlekatan dengan protein. Sedangkan lignocaine hanya 65%. Semakin banyak anaestetikum yang berikatan dengan protein maka akan semakin lama durasinya (Edgcombe & Graham 2005). Durasi anaestesi dengan bupivacaine yang berkisar antara 34,22 menit sampai dengan 44,84 menit memungkinkan transportasi ikan yang dilakukan hanya dalam jarak dekat. Pengangkutan untuk jarak jauh sebaiknya dilakukan dengan mengurangi tingkat stres seperti pengaturan kepadatan ikan dan pengaturan suhu lingkungan. Hasil durasi anaestesi yang pendek memungkinkan penggunaan anaestesi pada ikan untuk hal lainnya seperti mengurangi stres saat handling pada proses pengambilan sampel, biopsy, dan proses pemijahan sel telur serta sperma. Menurut Hernowo (2001), ukuran indukan ikan patin sangat besar sehingga sulit untuk melakukan pemijahan. Penggunaan anaestesi bupivacaine dapat diaplikasikan dalam memudahkan penanganan induk ikan saat dipijah, sehingga indukan ikan yang dipijah tidak akan mengalami stres berlebih.

4.3. Persentase Kematian Ikan Patin Akibat Bupivacaine

Pemberian anaestesi yang berlebih mengakibatkan overdosis yang menimbulkan gangguan pada pernafasan dan jantung sehingga berakibat pada kematian. Tingkat kematian ikan patin semakin besar seiring dengan penambahan dosis (Tabel 5).

(36)

Tabel 5 Persentase kematian ikan patin akibat anaestesi menggunakan bupivacaine Bupivacaine (ppm) Rata-rata±SD (%) 10 5 ± 6a 20 5 ± 3,83a 30 7 ± 3,26ab 40 13 ± 11,01bc 50 15 ± 6,83bc

Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05).

Berdasarkan Tabel 5 persentase kematian paling tinggi yaitu pada ikan patin yang direndam dengan bupivacaine dengan dosis 50 ppm dengan persentase kematian 15%. Selanjutnya urutan kematian dari yang tertinggi yaitu ikan patin yang direndam dengan bupivacaine dengan dosis 40 ppm dengan persentase kematian 13%, ikan patin yang direndam dengan bupivacaine dengan dosis 30 ppm dengan persentase 7%, ikan patin yang direndam dengan bupivacaine dengan dosis 20 ppm dan ikan patin yang direndam dengan bupivacaine dengan dosis 10 ppm dengan persentase kematian 5%.

Tingkat kematian yang tinggi terjadi pada ikan yang diberi dosis 50 ppm dikarenakan jumlah bupivacaine yang terserap lebih besar. Semakin besar jumlah bupivacaine yang terserap, semakin besar pula kemungkinan ikan untuk terjadi kelebihan dosis dapat yang mengakibatkan terjadinya cardiotoxic. Semakin banyak jumlah bupivacaine yang terserap, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk mengeksresikannya sehingga semakin tinggi resiko ikan kelebihan dosis. Bupivacaine yang tertahan di dalam tubuh akan terdeposit di dalam lemak. Hasil regresi linear menunjukkan bahwa sebesar 89% tingkat kematian dipengaruhi oleh dosis bupivacaine dengan persamaan y= 0,28x+0,6 (Gambar 5). Semakin besar dosis bupivacaine yang diberikan, semakin tinggi tingkat kematian.

(37)

Gambar 5 Kurva standart kematian ikan patin akibat pemberian anaestetikum bupivacaine. Menurut Edelmen et al. (2007), bupivacaine bersifat cardiotoxic yang

dapat menyebabkan kardiovaskular colaps dengan cepat jika masuk ke sistem sirkulasi dalam dosis besar. Bupivacaine menghambat oksidasi asam lemak yang terdapat pada mitokondria jantung. Selain itu juga, Bupivacaine bersifat

cardiotoxic karena dapat menghambat ion natrium, kalsium, dan kalium chanel.

Hal tersebut merupakan pemicu tingginya kematian.

Anaestesi digunakan untuk mengurangi aktivitas metabolik. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya konsumsi oksigen. Ikan yang teranaestesi berlebih dapat mengakibatkan kematian. Perubahan tiba-tiba pH, alkalinitas, temperatur, dan berbagai variabel lainnya menyebabkan stres bahkan kematian (Jensen 1990).

4.4. Pembahasan Umum

Bupivacaine adalah anaestesi lokal potensial yang biasa digunakan digunakan di rumah sakit dan pusat perawatan sebagai neural blockade. Bupivacaine dapat menyebabkan colaps pada kardiovaskular ketika masuk ke sistem sirkulasi (Edelman et al. 2007). Bupivacaine bekerja pada sodium chanel. Perlekatan bupivacaine pada sosium chanel mengakibatkan terhalangnya sodium masuk ke sel saraf sehingga sensitifitas ikan akan berkurang. Hal tersebut mengakibatkan ikan tidak peka terhadap lingkungannya sehingga faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan keadaan stres tidak terlalu berpengaruh pada ikan yang telah teranaestesi oleh bupivacaine. Secara umum anaestesi yang

y = 0.28x + 0.6 R² = 0.890 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 10 20 30 40 50 60 Kematian  (%) Dosis (ppm)

(38)

dianggap baik yaitu yang dapat menginduksi anaestesi cepat dengan tingkat stres rendah, aplikasi penggunaannya mudah, waktu recovery setelah durasi anaestesi cepat, efektif pada dosis rendah, memiliki margin of safety yang luas. Bupivacaone memiliki margin of safety yang lebih luas dibandingkan dengan lidocaine (Santos & Mieczyslaw 2004). Secara umum, bupivacaine telah memenuhi syarat anaestesi yang ideal. Bupivacaine merupakan anaestesi lokal yang mengandung gugus amida. Kelebihan dari anaestesi dengan gugus amida adalah jarang menimbulkan efek alergi, sehingga lebih banyak digunakan saat ini (Edgcombe & Graham 2005).

Dosis efektif bupivacaine pada ikan patin ditentukan berdasarkan kecepatan onset, lamanya durasi anaestesi, serta tingkat kematian yang rendah. Onset bupivacaine pada ikan patin yang tercepat ialah pada pemberian bupivacaine dosis 50 ppm yaitu 3,84 menit, sedangkan yang terlama ialah pada pemberian bupivacaine dengan dosis 10 ppm yaitu 19,35 menit. Onset anaestesi pada ikan patin yang diberi bupivacaine 10 ppm berbeda nyata dengan keempat dosis lainnya. Sedangkan onset anaestesi ikan patin yang diberi bupivacaine dengan dosis 20 ppm tidak berbeda nyata dengan 30 ppm. Onset anaestesi ikan patin dengan bupivacaine 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm tidak berbeda nyata. Pengertian dari penjelasan tersebut adalah, saat pemberian bupivacaine dengan dosis 20 ppm dan 30 ppm onset yang dihasilkan tidak berbeda jauh. Hal ini menjadi salah satu dasar penentuan dosis anaestesi efektif bupivacaine pada ikan patin. Jika dilihat dari onsetnya, maka dosis yang paling efektif adalah 20 ppm. Hal tersebut dikarenakan pada dosis 20 ppm, onset yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan dosis 30 ppm. Sedangkan pada dosis 30 ppm, onset yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan dosis 40 ppm dan 50 ppm.

Durasi anaestesi ikan patin pada dosis 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm tidak berbeda nyata. Hal ini berarti saat ikan patin diberi berbagai tingkatan dosis maka durasi yang dihasilkan tidak akan jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan bahwa tiap dosis bupivacaine memiliki efektifitas yang tidak berbeda atau efektifitasnya sama berdasarkan lama durasinya.

Tingkat kematian ikan patin yang diberi dosis 50 ppm memilki tingkat kematian paling tinggi. Sedangkan tingkat kematian yang paling rendah adalah

(39)

dengan dosis 10 dan 20 ppm. Jika dilihat dari kematian maka dosis yang paling efektif adalah yang memiliki kematian paling rendah yaitu pada dosis 10 ppm dan 20 ppm. Tingkat kematian menggunakan bupivacaine berada di bawah rata-rata tingkat kematian ikan akibat transportasi yaitu antara 25-30%, sehingga penggunaan bupivacaine masih tergolong aman.

Secara keseluruhan dosis yang paling efektif ialah pada dosis pemberian 20 ppm. Dosis bupivacaine 20 ppm memiliki onset yang cukup cepat yaitu 10,75 menit. Dosis bupivacaine 20 ppm memiliki durasi 34,25 menit dan tingkat kematian yang rendah yaitu 5%. Alasan lainnya mengapa dikatakan bahwa dosis 20 ppm lebih efektif jika dibandingkan dengan dosis 30 ppm yaitu karena dengan dosis 20 ppm maka jumlah bupivacaine yang digunakan akan lebih sedikit jika dibandingkan dengan menggunakan 30 ppm.

(40)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Bupivacaine memiliki potensi anaestesi pada ikan patin. Dosis efektif bupivacaine yaitu 20 ppm dengan onset yang cepat yaitu 10,75 menit dan durasi 34,25 menit serta memiliki tingkat kematian yang rendah yaitu 5%.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian dengan sediaan anaestetikum golongan lainnya. Perlu dilakukan simulasi transportasi dan pengambilan sampel ikan patin sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dan penghitungan withdrawal time bupivacaine pada ikan.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 1998. Bupivacaine from PDR. www.childbirth.org/articles/bupiv.html. [12 Agustus 2010].

[Anonim]. 2006.Bupivacaine CL. www.drugbank.ca/drugs/DB00297 [13 Agustus 2010].

Afrianto E dan Evi L. 1988, Beberapa Metode Budidaya Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Bowser PR. 2001. Anesthetic Options for Fish. http://www.ivis.org/advances/Anesthesia_Gl [30 Sep 2009].

Bricker S. 2004. The Anaesthesia Science Viva Book. New York: Cambridge University Press.

Coyle SD, Robert MD, James HT. 2004. Anesthetics in Aquaculture. Southern Regional Aquaculture Centre No.3900.

Daelami D. 2001. Usaha Pembibitan Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Difazio CA, Andrew MW, John CR. 2000. Drugs Commonly Used for Nerve Blocking: Pharmacology of Local Anaesthetics. Di dalam Raj PP, editor.

Practical Management of Pain. USA: Mosby Inc.

Edgcombe H, Graham H. 2005. Local Anaesthetic Pharmacology. www.AnaesthesiaUK.com/WorldAnaesthesia [12 Agustus 2010].

Edelman LB, Richard R, Kemba K, Guido DG, Guy LW. 2007. Metabolic context affects hemodynamic responsse to bupivacaine in isolated rat heart. Chemico-Biological Interactions 172: 48–53.

[EFSA]. 2004. The Welfare of Animal During Transport. www.efsa.europa.eu/efsajournal/ahaw_report_animaltransportwelfare_en

1.pdf. [22 Juli 20101].

George OG, Omokhua PO. 2010. Comparative Analysis of the Effects of Topical Anaesthetic Agent on Tear Quantity and Tear Quantity. JNOA Volume 16:30-33

Hall LW, KW Clarke. 1983. Veterinary Anaesthesia. London:English Language Book Society.

Hernowo. 2001. Pembenihan Patin. Jakarta: Penebar Swadaya.

Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.

Jensen GL. 1990. Transportation of Warmwater Fish. United States Department of Agriculture Number 87.

(42)

Katzung BG. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 6. Jakarta: EGC.

Khairuman, Khairul A. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Kayne SB, Michael HJ. 2004. Veterinary Pharmacy. United Kingdom:Royal Pharmaceutical.

Lesmana DS, Iwan D. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer.

Jakarta:Penebar Swadaya.

Muhdi S. 2008. Mengenali Potensi Produk Perikanan Indonesia.

www.foodreview.biz [22 Juli 2010].

Ploeg A. 2005. Facts on Mortality with Shipment of Ornamental Fish.

www.ornamental-fish-int.org [22 Juli 2010].

Purwaningsih S. 1998. Sistem Transportasi Ikan Hidup. Buletin Teknologi Hasil

Perikanan 5(1).

Ross LG, Barbara R, Bryony R. 2008. Anaesthetic and Sedative Techniques for

Acuatic Animals. United Kingdom: Blackwell publishing.

Santos AC, Mieczyslaw F. 2004. Local Anesthetics: Foudation in Obstetrics Anesthesia. Di dalam David HC, editor. Obstetric Anesthesia. USA: Mosby Inc.

Sendjaja JT, MH. Riski. 2002. Usaha Pembenihan Gurami. Jakarta:Penebar Swadaya.

Sitanggang M, B. Sarwono. 2002. Budidaya Gurami. Jakarta:Penebar Swadaya.

Susanto H, Khairul A. 1998. Budidaya Ikan Patin. Jakarta:Penebar Swadaya.

Susanto H. 2004. Membuat Kolam Ikan. Susanto:Penebar Swadaya.

Verhoef E, Verhallen. 2000. The Complete Encyclopedia of tropical fish. United Kingdom :Grange Books PLC .

Volpato MS, Jose R, Juliana CR, Patricia CO, Glaucia MBA, Francisco CG. 2005. Anesthetic Efficacy of Bupivacaine Solutions in Inferior Alveolar Nerve Block. http://www.academicjournals.org/ijmms/PDF/pdf2009

/Apr/Choo.pdf [2 Desember 2009].

Westra P. 2009. Reformasi Industri Perunggasan Menuju Ketahanan Pangan (Protein Hewani) Bagi Masyarakat Miskin Di Jawa Timur. Analisa

(43)
(44)

Lampiran 1

Onset

ANOVA

Onset

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 917.004 5 183.401 14.660 .000 Within Groups 225.186 18 12.510 Total 1142.190 23 Onset Duncana Dosis N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 0 4 .0000 5 4 3.8675 3.8675 4 4 4.8425 4.8425 3 4 6.1800 6.1800 2 4 10.7525 1 4 19.3500 Sig. .082 .394 .084 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

(45)

Lampiran 2

Durasi

ANOVA

Durasi

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 5290.924 5 1058.185 7.870 .000 Within Groups 2420.335 18 134.463 Total 7711.259 23 Durasi Duncana Dosis N

Subset for alpha = 0.05

1 2 0 4 .0000 1 4 34.2200 2 4 34.2525 3 4 38.6100 4 4 40.9575 5 4 44.8425 Sig. 1.000 .258

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

(46)

Lampiran 3

Kematian

ANOVA

Kematian

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 622.000 5 124.400 3.255 .029 Within Groups 688.000 18 38.222 Total 1310.000 23 Kematian Duncana Dosis N

Subset for alpha = 0.05

1 2 0 4 .00 1 4 5.00 5.00 2 4 5.00 5.00 3 4 7.00 7.00 4 4 13.00 5 4 15.00 Sig. .158 .053

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Gambar

Tabel 1  Persentase kematian (mortality rate) ikan sebelum transportasi, saat  transportasi, dan setelah transportasi
Gambar 3  Kurva standart onset anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine.
Tabel 4 Hasil rataan durasi anaestesi menggunakan bupivacaine pada ikan patin  Bupivacaine (ppm)  Rata-rata±SD (Menit)
Gambar 4  Kurva standart durasi anaestesi ikan patin menggunakan bupivacaine.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah 30 responden dan mengambil 30 responden sebagai sampel uji validitas sehingga dapat diketahui bahwa r tabelnya adalah

Ketika user mengisi nama pengguna dan kata sandi dengan benar, maka sistem akan mengeluarkan pesan bahwa nama pengguna dan kata sandi anda benar dan segera masuk

Penelitian bertujuan untuk mengetahui variasi fertilitas (jumlah anak lahir hidup) suku bangsa pada masyarakat majemuk di Lampung ditinjau dari umur kawin pertama, umur

Pioner Development Foundation (1991) Kualitas silase akan dipengaruhi oleh tiga faktor dalam pembuatan silase antara lain: hijauan yang digunakan, zat aditif (aditif digunakan

Manager bertanggung jawab atas pelaksanaan pengelolaan usaha ketenagalistrikan secara efisien dan efektif yang meliputi : pendistribusian energi listrik kepada

Terdapat pengaruh positif dimensi pengembangan pengetahuan, peningkatkan keterampilan baru dan kesadaran masyarakat akan keberadaan entitas syariah terhadap kinerja maqasid untuk

3 SMKN 1 BENDO MAGETAN TEKNIK KOMPUTER DAN INFORMATIKA JALAN RAYA KECAMATAN BENDO BENDO KAB.. MAGETAN 92