• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

i

KARYA AGNES JESSICA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Benedikta Haryanti NIM: 094114023

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Perbedaan tidak akan menjadi perbedaan jika kamu tak menyadarinya.

Tetapi perbedaan niscaya ada. Tanpa kesadaran tentangnya, perbedaan itu akan menguburmu segera!

Sadarilah tempatmu berdiri! Sadarilah dirimu!

~ Pepatah Yunani Kuno ~

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis in tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Maret 2013 Penulis

(6)

vi

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Benedikta Haryanti NIM : 094114023

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Prasangka Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Novel Sang Maharani Karya Agnes Jessica”.

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 26 Maret 2013

Yang menyatakan,

(7)

vii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya skripsi berjudul “Prasangka Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Novel Sang Maharani Karya Agnes Jessica”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih gelar sarjana Sastra Indonesia.

Skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, di antaranya:

1. S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku pembimbing I yang telah mendampingi, mengarahkan, dan memberikan kritik serta masukan untuk skripsi penulis. 2. Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II dan dosen

Pembimbing Akademik penulis yang telah mendampingi, mengarahkan, dan memberikan kritik serta masukan untuk skripsi penulis.

3. Dosen-dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma: Drs. Hery Antono, M.Hum., Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Dr. Yapi Taum, M.Hum., Drs. FX. Santosa, M.Hum, serta dosen-dosen mata kuliah tertentu.

4. Paulus Yoyo Suhawaya dan Clara Karniah, orangtua penulis, serta Fransiskus Sudaryana dan Vincentius Sumaryana, kakak dan adik penulis yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi penulis,

5. Sony Christian Sudarsono yang telah membantu, membimbing, dan mendampingi penulis baik secara personal maupun emosional dalam menyelesaikan skripsi penulis.

6. Staf karyawan Sekretariat Fakultas Sastra yang selama ini mengurus keperluan akademik penulis.

7. Pengelola dan segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang membantu penulis menyediakan buku-buku yang dibutuhkan untuk penelitian ini.

(8)

viii

9. Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan serta motivasi kepada penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini tidak sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan, saran, dan kritik yang membangun dari para pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 26 Maret 2013

(9)

ix

Haryanti, Benedikta. 2013. “Prasangka Gender dan Emansipasi Perempuan dalam Novel Sang Maharani Karya Agnes Jessica”. Skripsi S1. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica. Prasangka gender merupakan anggapan yang salah kaprah tentang gender dan jenis kelamin. Emansipasi perempuan merupakan gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumya. Skripsi ini bertujuan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica, mendeskripsikan tokoh profeminis dan tokoh kontrafeminis dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica, dan mendeskripsikan prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica.

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisis pada perempuan yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Data dikumpulkan menggunakan metode studi pustaka dengan teknik catat. Analisis data menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan metode analisis isi. Metode formal digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan dalam novel Sang Maharani, sedangkan metode analisis isi digunakan untuk menganalisis prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani. Hasil analisis data disajikan dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini meliputi tokoh dan penokohan, tokoh profeminis dan kontrafeminis, serta prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani. Tokoh protaganis dalam novel ini adalah Rani dan Arik; tokoh antagonis adalah Sari, Tiar, Janoear, dan Lastri; tokoh tritagonis adalah Hartono. Tokoh utama adalah Rani; tokoh sentralnya meliputi Rani, Arik, Sari, Tiar, Janoear, dan Lastri; tokoh pembantunya adalah Hartono. Tokoh profeminis dalam novel Sang Maharani adalah Rani dan Arik. Sementara itu, tokoh kontrafeminisnya adalah Sari, Tiar, Lastri, dan Janoear.

Prasangka gender yang terdapat dalam novel Sang Maharani antara lain (a) perempuan memiliki sifat tidak mudah marah dan bersikap sabar, (b) harga perempuan hanya terletak pada kecantikannya, (c) perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi karena tugas utama perempuan adalah melayani suami dan bekerja layaknya ibu rumah tangga, (d) perempuan selalu dianggap satu tingkat lebih rendah dari laki-laki, dan (e) stereotip ibu tiri yang jahat dikukuhkan oleh tokoh Sari.

(10)

x

Haryanti, Benedikta. 2013. “Bias Gender and Women’s Emancipation in Sang Maharani by Agnes Jessica”. Undergraduate Thesis. Study Program of

Indonesian Literary, Indonesia Literature Course, Sanata Dharma University.

This thesis discusses bias gender and women‟s emancipation in Sang Maharani novel by Agnes Jessica. Bias gender is a wrong judgment about gender and sex. Woman‟s emancipation is a movement that demands the equality between man and woman in policy, economy, social, cultural, and the other area. The study in the thesis aims to describe character and characterization in Sang Maharani novel, describe pro feminism and contra feminism character in the novel, and describe the bias gender and woman‟s emancipation in this novel.

The approach in this thesis is critical of feminism literature. It is a literature study that gives a focus in an analyzing to woman that wants a justice between man and woman in the literature. The data are collect using literature study methods with writing technique. Analyzing data uses two methods, formal methods and analyzing content methods. The formal method is used to analyze the character and characterization in the Sang Maharani novel, and analyzing content methods is used to analyze bias gender and woman‟s emancipation in Sang Maharani novel. The result of analyzing data is served with descriptive qualitative methods.

The results of this thesis are the character and characterization, pro and contra feminism character, and bias gender and woman emancipation in Sang Maharani novel. The protagonist characters in the novel are Rani and Arik; the antagonist characters are Sari, Tiar, Janoear, and Lastri; the tritagonist character is Hartono. The prime character is Rani; the central characters are Rani, Arik, Tiar, Janoear, and Lastri; the complement character is Hartono. The pro-feminism characters are Rani and Arik. The contra-feminism characters are Sari, Tiar, Lastri, and Janoear.

The bias gender in Sang Maharani novel are (a) woman is patient and may not be angry, (b) the value of the woman is in the her beauty, (c) women do not need to get high education because their main task is serving their husband and work like housewife, (d) women are always reputed one step under the men, and (e) stereotype of bad stepmother is firmed by character of Sari.

(11)

xi

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 6

1.5Tinjauan Pustaka ... 6

1.6Landasan Teori ... 8

1.6.1 Tokoh dan Penokohan ... 8

1.6.2 Kritik Sastra Feminis ... 11

1.6.3 Tokoh Profeminis dan Tokoh Kontrafeminis serta Prasangka Gender dan Emansipasi Perempuan ... 13

1.7Metode dan Teknik Penelitian ... 14

1.7.1 Pendekatan ... 14

1.7.2 Metode Pengumpulan Data ... 15

1.7.3 Metode Analisis Data ... 16

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 16

1.8Sumber Data ... 17

1.9Sistematika Penyajian... 17

BAB II TOKOH PROFEMINIS DAN TOKOH KONTRAFEMINIS ... 19

2.1Pengantar ... 19

2.2Sinopsis ... 19

2.3Tokoh dan Penokohan ... 23

2.3.1 Tokoh Profeminis ... 23

2.3.1.1 Maharani ... 23

2.3.1.2 Arik ... 33

2.3.2 Tokoh Kontrafeminis ... 37

2.3.2.1 Ratna Sari ... 37

2.3.2.2 Moetiara ... 41

2.3.2.3 Janoear ... 46

2.3.2.4 Lastri ... 48

(12)

xii

2.3.3.3 Ayu ... 54

2.3.4 Klasifikasi Tokoh ... 55

2.3.5 Penokohan ... 56

2.3.6 Rangkuman ... 58

BAB III PRASANGKA GENDER DAN EMANSIPASI PEREMPUAN ... 60

3.1Pengantar ... 60

3.2Prasangka Gender ... 60

3.2.1 Perempuan Memiliki Sifat Tidak Mudah Marah dan Bersikap Sabar ... 61

3.2.2 Harga Perempuan Hanya Terletak pada Kecantikannya ... 64

3.2.3 Perempuan Tidak Pantas Bersekolah Tinggi-Tinggi ... 65

3.2.4 Perempuan Selalu Dianggap Satu Tingkat Lebih Rendah dari Laki-Laki ... 66

3.2.5 Stereotip Ibu Tiri yang Jahat Dikukuhkan oleh Tokoh Sari ... 72

3.3Emansipasi Perempuan ... 74

3.3.1 Perempuan Berani Bangkit dari Keterpurukan ... 74

3.3.2 Perempuan Terjun di Bidang Publik ... 78

3.3.3 Pemaknaan Ulang terhadap Virginitas ... 80

3.4 Rangkuman ... 81

BAB IV PENUTUP ... 83

4.1 Kesimpulan ... 83

4.2 Saran ... 88

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Seringkali, banyak orang yang belum dapat membedakan antara seks (jenis kelamin) dan gender. Hal tersebut menciptakan masalah bagi kaum perempuan. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan konsep gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.

Seks (jenis kelamin) merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, yaitu apa yang sesungguhnya gender—karena pada dasarnya konstruksi sosial—justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan.

(14)

merupakan sistem dan struktur ketika baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 2003: 1—12).

Mewujudkan kesetaraan sistem antara laki-laki dan perempuan merupakan cita-cita kemanusiaan yang mendesak. Hal ini dikarenakan peran perempuan yang dianggap jauh tertinggal dari laki-laki. Laki-laki, dalam sistem kekeluargaan patriarki selalu menjadi harapan untuk melanjutkan keturunan. Namun, jika pasangan suami istri tidak memiliki keturunan atau malah melahirkan anak perempuan, dikatakan bahwa hal itu akibat dari kaum perempuan.

Dalam feminisme, hal-hal yang diperjuangkan adalah persamaan derajat dengan laki-laki dan kebebasan untuk menentukan pilihan yang sesuai bagi dirinya. Selama ini, perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua (the second sex), perempuan dipaksa tunduk dan mengikuti laki-laki.

Tak hanya itu saja, keindahan perempuan juga dijadikan objek komersialisasi seksual misalnya melalui iklan-iklan yang menghadirkan perempuan sebagai objek eksploitasi untuk memuaskan mata laki-laki seperti pada iklan-iklan sampo, sabun, alat-alat rumah tangga, bahkan mobil. Selain itu, dalam dunia perfilman pun perempuan dijadikan objek untuk menarik penonton dengan mempertontonkan kemolekan dan seksualitas dari perempuan.

(15)

tokoh utama. Tak jarang tokoh laki-laki mencintai tokoh perempuan karena cantik, menarik, dan menggairahkan tanpa melihat sisi lainnya.

Feminisme adalah kesadaran akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat (Sofia, 2009: 13). Ketidakadilan gender tersebut terdapat dalam karya sastra, seperti novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Belenggu karya Armijn Pane, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan sebagainya. Tak hanya novel-novel klasik

di atas saja, novel populer Sang Maharani karya Agnes Jessica pun mengangkat masalah feminisme.

Novel Sang Maharani karya Agnes Jessica merupakan novel populer yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh Gramedia Pustaka Utama. Novel ini mengisahkan seorang gadis bernama Maharani (Rani), putri seorang jenderal di zaman penjajahan Belanda. Ia memiliki segalanya, mulai dari harta, kecantikan, kecerdasan, hingga kehormatan. Setelah kepergian ibunya, sang ayah menikah lagi dengan seorang janda, namun lagi-lagi Rani harus rela kehilangan ayah yang dicintainya. Keadaan itu diperparah dengan kalahnya Belanda oleh Jepang. Hal itulah yang membuat kehidupan Rani berbalik 180 derajat.

(16)

seorang manusia utuh telah mati karena merasa dirinya bukan lagi manusia yang berharga.

Rani pun bertemu dengan Arik, adik angkatnya yang sudah lama terpisah; adik angkat yang dicintainya dan mencintainya. Hal inilah yang menjadi kebahagiaan bagi Rani setelah kehidupannya luluh-lantak. Cinta yang dirasakannya kepada Arik berbeda dengan cinta yang diberikan ketika mereka masih anak-anak. Lika-liku kehidupan Rani untuk meraih kebahagiaanya pun tidak mudah. Setiap tokoh-tokoh dan peristiwa yang dimunculkan dalam novel ini pun saling berkaitan satu dengan yang lain.

Novel Sang Maharani karya Agnes Jessica dapat dilihat dari sudut pandang feminisme karena secara eksplisit tergambar adanya ketidakadilan gender yang menimpa tokoh utama perempuan, yaitu tokoh Rani. Ketidakadilan itu muncul karena adanya tokoh-tokoh yang tidak mendukung paham feminisme yang tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga, tetapi di lingkungan masyarakat pun terjadi, seperti tokoh ibu tiri Rani.

Di samping itu, terdapat pula tokoh yang mendukung paham feminisme, seperti tokoh Rani dan Arik. Oleh karena itu, novel ini layak untuk diteliti secara lebih mendalam.

(17)

penelitian ini adalah tokoh dan penokohan. Dari analisis tokoh dan penokohan tersebut dapat dilihat tokoh-tokoh yang mendukung paham feminisme dan yang tidak mendukung paham feminisme. Setelah menganalisis tokoh yang mendukung paham feminisme dan tokoh yang tidak mendukung paham feminisme, permasalahan ketiga yang dibahas adalah menemukan prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica.

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tokoh dan penokohan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica?

2. Bagaimanakah konstruksi tokoh profeminis dan kontrafeminis dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica?

3. Bagaimanakah prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica.

(18)

3. Mendeskripsikan prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani karya Agnes Jessica. Hasil penelitian tersebut, diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan sastra Indonesia terutama dalam kajian feminisme dalam sastra. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pembaca memahami novel Sang Maharani karya Agnes Jesicca secara lebih mendalam. Dengan demikian, diharapkan pengetahuan pembaca mengenai feminisme dapat bertambah sehingga pembaca dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

1.5Tinjauan Pustaka

Topik tentang feminisme dalam dunia sastra pernah dibahas oleh Sugihastuti (2002), Sofia (2009), dan Wiyatmi (2012).

Sugihastuti dalam bukunya yang berjudul Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya (2002: vii) menyatakan bahwa feminisme itu memperjuangkan dua

(19)

di banyak bidang, yang mendapat perhatian hanyalah masyarakat laki-laki. Perempuan dipaksa tunduk, mengikuti mereka.

Sementara itu, menurut Sofia dalam bukunya berjudul Aplikasi Kritik Sastra Feminis (2009: 13) memaparkan bahwa feminisme berarti kesadaran akan

adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Kesadaran itu harus diwujudkan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.

Dengan kajian yang sama, Wiyatmi dalam bukunya berjudul Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia (2012: xv), menyatakan

bahwa feminisme adalah aliran pemikiran dan gerakan sosial yang menginginkan adanya penghargaan terhadap kaum feminin (perempuan) dan kesetaraan gender.

Novel Sang Maharani karya Agnes Jessica pun ketika diterbitkan oleh Penerbit Grasindo pada tahun 2004 pernah dibahas dalam skripsi Eko Harjono (2006) berjudul Tragedi Kehidupan Maharani sebagai Jugun Ianfu dalam Novel Maharani Karya Agnes Jessica: Tinjauan Sosiologi Sastra. Dalam skripsi ini,

peneliti mengkaji bentuk-bentuk tragedi yang dialami tokoh Rani sebagai jugun ianfu dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

(20)

prasangka gender dan emansipasi perempuan yang terkandung di dalam novel tersebut.

1.6Landasan Teori

Dalam landasan teori ini dipaparkan tokoh dan penokohan dalam karya sastra, kritik sastra feminis, dan prasangka gender serta emansipasi perempuan dalam karya sastra.

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, meliputi siapa tokoh cerita, pelukisan tokoh, dan karakterisasi (Nurgiyantoro, 2007: 164—165).

Berdasarkan peran, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Protagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang berprakarsa dan berperan sebagai penggerak alur. Biasanya hanya ada satu atau dua tokoh protagonis yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat dalam lakuan. Tokoh protagonis adalah tokoh yang pertama yang menghadapi masalah dan terbelit kesulitan. Tokoh protagonis sangat berkaitan erat dengan tokoh cerita. Tidak ada “ia” maka tidak ada

cerita. Pengarang “menaruh hati” dan pembaca “bersimpati”

(21)

b. Antagonis

Tokoh antagonis berfungsi sebagai penghalang dan masalah bagi tokoh protagonis. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis baik fisik maupun batin. Biasanya seorang tokoh antagonis dan beberapa orang tokoh ikut berperan sebagai penghalang/masalah bagi tokoh protagonis. Penyebab terjadinya konflik dalam cerita adalah tokoh antagonis, kekuatan antagonis, (tidak harus orang/tokoh, bisa juga suasana, bencana yang direspons oleh tokoh protagonis) atau keduanya.

c. Tritagonis

Tokoh tritagonis adalah tokoh yang berpihak pada protagonis atau antagonis atau berfungsi menjadi penengah antara kedua tokoh tersebut (Nurgiyantoro 2007:178—181).

Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Tokoh sentral

Tokoh sentral adalah tokoh yang paling berperan menentukan seluruh alur cerita. Biasanya tokoh protagonis dan antagonis adalah tokoh setral.

b. Tokoh utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam cerita. Tokoh ini paling banyak muncul dan paling banyak dibicarakan. Biasanya tokoh ini merupakan tokoh protagonis.

(22)

Tokoh pembantu adalah tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam seluruh jalinan cerita. Kehadiran mereka dimunculkan menurut kebutuhan cerita (Nurgiyantoro, 2007: 176— 178).

Ada dua jenis teknik pelukisan tokoh, yaitu: a. Teknik ekspositori

Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Pengarang tidak hanya memperkenalkan latar suasana dalam rangka “menyituasikan” pembaca, melainkan juga data-data dalam kedirian

tokoh cerita (Nurgiyantoro, 2007: 195). b. Teknik dramatik

(23)

kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2007: 198).

1.6.2 Kritik Sastra Feminis

Menurut Ratna (2004: 184), secara etimologis feminisme berasal dari kata femme (woman) yang berarti „perempuan (tunggal) yang berjuang untuk

memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial‟. Tujuan dari feminisme adalah keseimbangan dan interelasi gender.

Menurut Humm (dalam Wiyatmi, 2012: 10) feminisme adalah menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan dengan tujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan.

Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan itu, maka muncullah istilah gerakan persamaan hak. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (Djajanegara, 2000: 4).

(24)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme dalam karya sastra merupakan upaya untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam bentuk karya sastra yang bertujuan untuk menyetarakan hak-hak kaum perempuan dan laki-laki (interelasi gender) sehingga tercipta sebuah dunia bagi perempuan.

Menurut Yoder (dalam Sugihastuti, 2002: 5), kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.

Adapun penerapan kritik sastra feminis menurut Djajanegara (2000: 51— 54), mencakup dua langkah. Pertama, mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya dengan mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Dari situ, dapat diketahui perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan oleh pengarang. Kedua, meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang diamati.

(25)

anggota keluarga, dan anggota masyarakat; tanggapan dan perlakuan dunia di sekitar tokoh perempuan terhadap tokoh perempuan; serta korelasinya dengan ide-ide yang dikemukakan oleh feminisme. Hal tersebut dapat terlihat dengan cara menemukan tokoh profeminis dan kontrafeminis yang menggambarkan prasangka gender dan emansipasi perempuan.

1.6.3 Tokoh Profeminis dan Kontrafeminis serta Prasangka Gender dan Emansipasi Perempuan

Menurut Sugihastuti (2002: 239), tokoh profeminis adalah tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan sedangkan tokoh kontrafeminis adalah tokoh yang menentang emansipasi perempuan.

Prasangka gender adalah anggapan yang salah kaprah tentang gender dan jenis kelamin. Gender merupakan penyifatan laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosio-kultural. Namun karena adanya anggapan yang salah kaprah, gender sering dianggap sebagai kodrat Tuhan yang tidak dapat berubah.

Bentuk-bentuk prasangka gender dalam novel Sang Mahrani dapat tergambar dari percakapan Sari, ibu tiri Rani yang mengatakan:

“Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi?” (hlm. 59).

“Rani sudah harus dipingit seperti gadis-gadis remaja umumnya sebelum ia dinikahkan...” (hlm. 62).

(26)

pada umumya (Sugihastuti 2002: 33). Salah satu bentuk emansipasi yang dilakukan oleh tokoh Rani yaitu adanya keinginan yang kuat dalam dirinya untuk terus melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi meskipun hal itu ditentang oleh Sari karena baginya perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi (hlm.58).

1.7Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui empat tahap, yakni (i) pendekatan, (ii) pengumpulan data, (iii) analisis data, dan (iv) penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisis pada perempuan (Sugihastuti, 2002: 67). Namun, menurut Wiyatmi (2012: 28), kritik sastra feminis bukan hanya kritik sastra yang berdasarkan feminisme (perempuan) saja tetapi menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya.

(27)

mengamati sikap pengarang yang sedang dikaji. Dalam penelitian ini, penarapan kritik sastra feminis dibatasi sampai langkah kedua.

Pendekatan kritik sastra feminis dalam novel Sang Maharani ini diawali dengan analisis struktur novel untuk mempermudah analisis feminis. Unsur novel yang dikaji adalah tokoh dan penokohan karena unsur tokoh dan penokohan sudah cukup mewakili keseluruhan struktur untuk menemukan prasangka gender dan emansipasi perempuan.

Setelah itu, unsur novel yang sudah dianalisis dihubungkan dengan teori-teori yang ada dalam kritik sastra feminis, seperti yang telah dijelaskan di atas. Mengkaji dari sudut pandang feminis berarti membaca dengan kesadaran membongkar prasangka gender dan menemukan emansipasi perempuan dalam novel tersebut sehingga pokok-pokok feminisme dapat dilihat.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah novel Sang Maharani karya Agnes Jessica. Data diperoleh dari sumber tertulis yaitu novel. Novel Sang Maharani karya Agnes Jessica diterbitkan pada tahun 2009 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.

(28)

sastra (Meleong, 1989: 167—176). Dalam tahap ini, peneliti akan mencatat kalimat atau paragraf yang menunjukkan prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani.

1.7.3 Metode Analisis Data

Berikutnya adalah menganalisis data. Metode yang digunakan dalam tahap ini adalah metode formal dan metode analisis isi. Tugas utama metode formal adalah menganalisis unsur-unsur, sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2004: 51). Metode ini digunakan untuk menganalisis struktur novel Sang Maharani.

Metode analisis isi adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra. Tujuan analisis isi ini adalah membuat inferensi. Inferensi diperoleh melalui identifikasi dan penafsiran. Inferensi juga berdasarkan konteks yang melingkupi karya sastra (Endraswara, 2011: 161). Metode ini digunakan untuk menganalisis prasangka gender dan emansipasi perempuan dalam novel Sang Maharani.

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

(29)

karena itu, hasil analisis dalam penelitian ini berupa penafsiran terhadap novel Sang Maharani. Penyajian hasil analisis data ini berupa pemaknaan karya sastra

yang disajikan secara deskriptif. Pada tahap ini, peneliti akan menyajikan hasil penelitian mengenai tokoh dan penokohan, prasangka gender, dan emansipasi perempuan dalam bentuk deskripsi (Ratna 2004: 16).

1.8Sumber Data

Judul : Sang Maharani

Pengarang : Agnes Jessica

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2009

Tebal Buku : 314 halaman

Catatan : Novel ini pernah diterbitkan dengan judul Maharani oleh Penerbit Grasindo tahun 2004. Namun, tidak ada perubahan dari segi isi sehingga terbitan terbarulah yang dipilih menjadi sumber data.

1.9 Sistematika Penyajian

(30)
(31)

19 BAB II

TOKOH PROFEMINIS DAN TOKOH KONTRAFEMINIS

2.1 Pengantar

Sebelum novel Sang Maharani dikaji dengan kritik sastra feminis, langkah pertama yang dilakukan adalah mengkaji struktur novel tersebut. Struktur novel sendiri menjadi yang utama karena kajian struktural merupakan dasar dari penelitian yang menjadi pijakan awal sebelum meneliti ke hal yang lebih jauh dan mendalam.

Unsur yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tokoh dan penokohan. Dari analisis tokoh dan penokohan tersebut dapat dilihat tokoh-tokoh yang mendukung dan menentang paham feminisme atau tokoh profeminis dan tokoh kontrafeminis. Untuk mempermudah memahami tokoh dan penokohan, terlebih dahulu akan dipaparkan sinopsis novel Sang Maharani sebagai gambaran cerita novel ini.

2.2Sinopsis

(32)

Hidup Rani sangat sempurna saat itu, ia termasuk anak yang cantik, ramah, dan pintar. Tidak ada yang tidak adil baginya, semuanya adil. Suatu ketika Ayu, sang ibu meninggal akibat kanker rahim. Hal itu jelas membuat Rani sedih dan tertekan. Sepeninggal ibunya, Rani dan Arik bersekolah di sekolah menengah Belanda di Bandung dan tinggal di asrama kemudian tanpa sepengetahuan Rani, ayahnya ternyata telah menikah lagi dengan seorang janda asli Batavia bernama Sari yang membawa anaknya bernama Moetiara (Tiar).

Perlakuan ibu tirinya pun sangat tidak baik terhadap Rani. Tak berapa lama kemudian ayah Rani meninggal ketika Rani dan Arik tengah berada di asrama dan tak ada keluarganya yang memberi tahu perihal kematian ayahnya. Dari saat itulah kehidupan Rani berubah 180 derajat. Arik pun telah dikembalikan oleh Sari, ibu tiri Rani kepada ibu kandungnya di Yogyakarata. Ibu tirinya telah membuat Rani merasa kesepian saat itu.

Rani kemudian dijadikan pelayan oleh Sari di rumahnya sendiri, bukan itu saja ibu tirinya pun menyerahkan Rani kepada pemerintah Jepang yang kemudian ditahan di sebuah kamp dengan puluhan tahanan lainnya. Di kamp tersebut Rani bertemu dengan Nyonya Sophia dan ia menceritakan bahwa ayah Rani meninggal karena dibunuh oleh istrinya, Sari. Kabar itu membuat Rani shock dan sedih.

(33)

Kejadian itu pun meninggalkan trauma yang mendalam bagi Rani terhadap laki-laki.

Setelah Indonesia merdeka, Rani terbebas dari tempat pelacuran yang membuatnya trauma. Kemudian ia berusaha untuk hidup sendiri dan bertekad mencari Arik, adiknya, dan membalaskan dendam kematian ayahnya pada Sari, ibu tirinya dan anaknya, Tiar. Arik pun kembali ke Jakarta untuk mencari Rani, ia pun bekerja di sebuah kantor surat kabar. Setelah kehidupannya membaik Rani menemukan ibu tirinya atas bantuan tetangga barunya bernama Hartono. Tak berapa lama Sari ditangkap polisi dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun atas tuduhan pembunuhan.

Sejak Sari dipenjara, hidup Rani semakin membaik, bahkan atas usul Hartono, ia membuka sebuah toko roti karena Rani sangat ahli dalam membuat roti. Ketika hendak menempati sebuah rumah baru untuk dijadikan tokonya, Rani bertemu dengan Janoear. Janoear adalah seorang peranakan Cina-pribumi. Rani dan Janoear dulu pernah bertemu di pesta Nyonya Sophia. Dulu sebelum Jepang menguasai Indonesia, Janoear sering bermain ke rumah Rani. Namun Tiar selalu cemburu ketika melihat mereka bersama.

(34)

satu sama lain. Arik pun semakin tak mempedulikan tunangannya, Nancy. Tanpa disadari mereka pun jatuh cinta, tetapi Rani tak mau hal itu terjadi karena mereka adalah saudara.

Nancy pun merasa kedekatan Arik dan Rani sudah bukan seperti adik dan kakak lagi. Nancy akhirnya memperingatkan Rani agar tak terlalu dekat dengan Arik. Melihat Rani diperlakukan tidak baik, Janoear segera membela Rani dengan mengatakan bahwa mereka akan segera bertunangan. Arik yang mengetahui hal ini pun terkejut. Dengan terpaksa, Rani pun menerima putusan Janoear agar tak ada salah paham lagi. Keputusan ini pun diketahui Tiar dan ia berencana untuk balas dendam pada Rani. Di pesta pertunangan Rani, Tiar membeberkan masa lalu Rani ketika menjadi seorang pelacur bagi tentara Jepang. Ternyata Lastri adalah teman dekat Sari dan Tiar ketika berada di desa. Hal ini membuat Rani shock dan pingsan.

Janoear tidak terima bahwa Rani telah dijamah banyak pria, maka ia pun memperkosa Rani dalam suatu ruangan yang gelap. Rani tak dapat mengenali orang yang memperkosanya. Rani pun hamil. Arik yang mengetahui hal itu bersedia bertanggung jawab atas perbuatan Janoear.

(35)

2.3Tokoh dan Penokohan 2.3.1 Tokoh Profeminis

Tokoh-tokoh profeminis dalam Novel Sang Maharani adalah sebagai berikut.

2.3.1.1 Maharani

Maharani adalah tokoh yang paling banyak dibicarakan dalam novel ini. Rani merupakan seorang Eurasian (Indo-Eropa). Secara fisik, ia berwajah cantik, berkulit putih, berhidung mancung, bermata besar, memiliki rambut ikal berwarna coklat, dan memiliki bentuk tubuh yang indah.

Ia termasuk kelompok Eurasian (Indo-Eropa), yang mempunyai hak sama dengan orang Belanda. Ia tidak pernah merasakan penderitaan dan ketidakadilan. Semua adil baginya. Dari ibunya yang keturunan Jawa priyayi, ia mewarisi tingkah laku yang lemah-lembut dan perasa. Dari ayahnya yang asli Belanda, ia mewarisi ketegaran dan otak yang cerdas. Dari keduanya, ia mewarisi kecantikan alami yang dimiliki oleh sebagian besar anak indo campuran. Kulitnya putih, hidung mancung, mata besar, dan rambut ikal berwarna kecoklatan. Secara fisik semuanya sangat proporsional, ia betul-betul seperti boneka porselen Belanda yang diletakkan Ayu, ibunya, di atas bufet di ruang tamu (hlm. 9—10).

Lalu dimulailah babak penyisihan yang kedua. Gadis yang lebih cantik dipisahkan dari yang lainnya. Yang dijadikan kriteria pemilihan pada babak kedua ini adalah bentuk tubuh sang gadis… Rani melihat pemerkosaan sudah terjadi di sini. Pemerkosaan terhadap hak-hak pribadi mereka. (hlm. 96).

Perwira Jepang itu menatapnya dengan pandangan kagum, terutama pada belahan dadanya yang rendah. Sebenarnya tidak terlalu rendah, tapi melihat pandangan itu Rani merasa belahannya terlalu rendah, seolah dadanya tidak ada penutupnya (hlm. 106).

(36)

Secara psikis, Rani adalah orang yang lemah-lembut, perasa, tegar, dan memiliki otak yang cerdas seperti yang telah diwariskan oleh kedua orang tuanya. Selain itu, Rani selalu bersikap tulus menyayangi saudara tirinya, Moetiara, meskipun Rani dibenci olehnya. Hal itu tergambar pada kutipan berikut.

Kini Rani baru sadar bahwa Moetiara ternyata membencinya. Ia tidak tahu apa sebabnya, padahal ia tidak pernah membenci gadis itu. Ia tidak tahu bahwa kalau seseorang sudah membenci orang lain, uluran tangan kebaikan pun tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik, bahkan mungkin yang terjadi malah sebaliknya (hlm. 53).

Rani juga termasuk siswa yang pandai di sekolahnya. Tak jarang, Arik dibantu oleh Rani jika ada pelajaran yang tidak dipahaminya. Hal itu terlihat pada kutipan berikut.

Rani termasuk siswa yang pandai. Karena ia menyayangi Arik, maka jika ia melihat Arik tidak menguasai pelajaran, ia akan membantunya agar tidak minder bergaul dengan murid yang lain yang kebanyakan nonpribumi. Arik cerdas, tapi ia kurang tekun belajar. Sekarang Rani merasa bertambah tanggung jawabnya, karena kini Moetiara disekolahkan di tempat yang sama. Rani tidak tahu harus berbuat apa terhadapnya, karena gadis itu hanya lulus sekolah dasar di desa, yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan sekolah Belanda. Walaupun mereka seumur, Tiar masuk kelas yang lebih rendah. Satu hal yang membedakan Tiar dari Arik adalah walaupun mereka sama-sama pribumi, Tiar sombong dan tidak mau diajari. Ia tidak menganggap Rani kakaknya. Semua teman tidak ada yang menyukainya, bukan semata-mata karena ia pribumi, tapi karena kepribadiannya yang tidak menyenangkan (hlm. 46).

Selain itu, Rani sebagai seorang perempuan, memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, keinginan Rani itu ditentang keras oleh ibu tirinya, Sari. Bagi Sari, perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi.

(37)

melanjutkan sekolah di sini saja,” kata Rani. Ia merasakan pegangan tangan Arik bertambah keras di tangannya. Oh... bagus ya? Sekarang kalian sudah berani menuntutku. Itulah yang kutakuti. Kalian baru lulus HBS saja sudah berani bertanya ini-itu. Jangan-jangan kalian juga bertanya dari mana kudapatkan baju ini? Lihat, baju ini adalah baju lamaku. Kutisik kembali karena kita harus berhemat!”

...Aku sudah memutuskan tidak akan mengirim kalian ke sekolah mana pun. Alasannya, kalian sudah sekolah terlalu tinggi. Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Lihat Moetiara, ia hanya mengikuti kursus-kursus saja. Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat... (hlm. 58—59).

Ketika Rani ditangkap oleh tentara Jepang dan dimasukkan ke sebuah kamp tahanan bersama ratusan orang lainnya, ia mengetahui dari Nyonya Sophia bahwa ayahnya meninggal karena dibunuh oleh Sari, ibu tirinya. Sebagai seorang anak, Rani merasa terpukul dan tertekan ketika mengetahui hal tersebut. Ditambah lagi dengan keadaan Rani yang sudah tidak seperti dulu di mana ia hidup di dalam sebuah kamp dan harus berbagi segalanya dengan orang lain. Berikut kutipannya.

Nyonya Sophia mendekatkan dirinya pada Rani, dan berbisik. “Apakah kau membenci ibu tirimu?” Rani ingin menjawab tidak, demi kesopanan. Akan tetapi demi kejujuran akhirnya ia mengangguk. Wanita tua itu mencibir, dan berkata lagi, “Tentu saja kau membencinya. Siapa yang tidak membenci pembunuh orang tua kita sendiri? Kau tidak bisa berbuat apa-apa, karena masih sangat muda, tapi...”

“Apa kata Nyonya?” tanya Rani terkejut. Paras wanita itu berubah. “Kau tidak tahu? Oh, maaf... aku berbicara seenaknya, kepala tua ini kian hari kian pikun. Ah... aku harus mengangkat panci ini, lain kali saja kita mengobrol lagi, ya?”

(38)

Dalam menjalani kehidupannya yang carut-marut setelah mengetahui perihal ayahnya, Rani mulai menyadari akan besarnya kuasa Tuhan atas manusia. Ketakwaan Rani ini tergambar dari kutipan berikut.

Kematian tidak pandang bulu. Ada beberapa orang yang terlihat kurang sehat dan lemah, namun tak disangka mereka bisa bertahan sampai mereka dibebaskan kelak. Ada orang yang kelihatan tegar dan sehat, namun tiba-tiba penyakit datang menimpa dan beberapa hari kemudian orang itu meninggal. Rani benar-benar merasakan kekuasaan Tuhan di tempat ini. Tuhan berkuasa memberi, Ia juga berkuasa mengambil. Ada beberapa hal yang membuat ia percaya bahwa Tuhan itu ada, ada juga hal-hal lain yang membuat ia percaya bahwa Tuhan kadang memberikan hal buruk bagi manusia sebagai cobaan (hlm. 88—89).

Psikis Rani pun mulai terguncang ketika keadaan memaksanya untuk menjadi seorang jugun ianfu atau pelacur bagi para tentara Jepang yang saat itu berkuasa. Keadaan tersebut membuat harga diri Rani sebagai perempuan tidak berarti lagi. Ia pun tak mau tereksploitasi. Namun, di sisi lain ia juga tidak bisa memberontak secara frontal karena keadaan yang cukup mencekam (diancam tentara Jepang). Akhirnya, ia memutar otak agar sebisa mungkin tetap “aman”

meskipun harus menjadi jugun ianfu.

Bentuk pemberontakan yang dilakukan Rani adalah dengan mengulur-ulur waktu saat melayani orang sehingga ia tidak harus melayani banyak orang setiap malamnya. Cara yang dilakukan Rani adalah dengan mengajak bermain catur dan minum anggur.

(39)

keinginannya, dan kalau itu terjadi tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut. Entah mengapa, triknya ini justru menjadi daya tarik dirinya. Ia mendapat julukan perempuan nomor satu di Wisma Bintang Cahaya yang suka bermain catur. Para tamu banyak yang meminta dilayani olehnya, dan untuk mendapat giliran mereka harus mengisi daftar tunggu terlebih dahulu. (hlm. 116).

Rani mengalami trauma yang cukup membuatnya nyaris putus asa. Rani mulai sering bermimpi buruk yang membuatnya takut untuk tidur. Bukan hanya itu saja, Rani bahkan menjadi takut terhadap laki-laki. Berikut kutipannya.

Setelah ia bebas, keadaan bertambah buruk baginya. Ia merasa dirinya tak berharga, dan kali ini tidak ada lagi kawan senasi. Ia sudah tak bertemu lagi dengan para tahanan kamp yang lain. Ia juga tak mau bertemu mereka. Tiba-tiba saja ia sering dilanda rasa trauma ketika melihat seorang pria berjalan, membayangkan bahwa pria itu akan tahu ia bekas pelacur dan ikut memerkosanya. Ia merasa pesimis dengan masa depannya. Apakah akan ada seorang pria yang menginginkannya? Bila ya, bagaimana bila pria itu tahu ia bekas jugun ianfu? Lalu bagaimana dengan dirinya sendiri, bisakah ia melayani suaminya kelak tanpa merasa jijik terhadap hubungan seksual? Rani kemudian memutuskan, ia tidak bermimpi akan mempunyai sebuah keluarga kelak. Lebih baik ia berpikir bagaimana caranya bisa melewati hari-hari ini dengan baik dan terbebas dari semuanya. Memang kadang-kadang mimpi buruk yang dialaminya membuat ia seperti ingin mati saja (hlm. 153—154).

Keterpurukan Rani tidak membuatnya terlarut dalam kesedihan. Ia mencoba bangkit dari ketraumaannya terhadap laki-laki. Dia meyakini dirinya bahwa dia harus tetap menjalani kehidupannya. Rani pun memperlihatkan kemampuannya sebagai seorang perempuan. Ia menunjukkan bahwa ia mampu untuk bangkit meskipun ia telah kehilangan sisi “kewanitaannya” pasca menjadi

jugun ianfu. Kebangkitan Rani dapat dilihat dari berbagai segi, di antaranya segi

(40)

Ia mencoba berdiri dengan seluruh kekuatannya, dan matanya memancarkan tekad. Aku tidak bisa begini, aku harus bangkit! Selama Arik masih hidup, ia pasti bisa ditemukan. Bila ibu tirinya melihat keadaannya sekarang, ia pasti tertawa gembira. Aku harus hidup! Terus hidup untuk dua tujuan, pertama mencari Arik, kedua membalas dendam pada ibu tirinya yang telah membuatnya begini (hlm. 157).

Rani menyisir rambutnya yang panjang, dan menjalinnya membentuk konde yang rapi di atas tengkuk. Ia memakai gaunnya yang paling baik dan memakai bedak. Ia lalu pergi ke pasar dan membeli beberapa perabot untuk mengisi rumahnya. Di sepanjang jalan ia berkenalan dengan penduduk sekitar situ. Ia membeli beberapa gaun dan perlengkapan wanita. Uangnya banyak, tapi baru kali ini ia merasa bersyukur karenanya. Ia akan mendandani rumahnya agar menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati.

Ketika selesai berbelanja, Rani melihat salon dan tertarik untuk mampir. Rambutnya telah mencapai bokong panjangnya. Bila digerai sungguh tak pantas dilihat. Ia memutuskan untuk masuk dan menggunting rambutnya sampai setengah lengan atasnya. Oleh pemilik salon rambutnya dicuci sampai tiga kali, dan air pencucinya berwarna kehitaman.Rupanya karena sudah lama tidak dikeramas, rambutnya sangat kotor. Setelah dipotong rambutnya diberi minyak hingga harum, lalu dikeringkan. Ia merasa dirinya tampil berbeda dan lebih percaya diri. Ia sadar, kini ia bukan lagi Maharani Van Houten, putri sang Jenderal. Ia adalah Rani, gadis pribumi keturunan Belanda, yang memutuskan untuk tinggal di Indonesia sampai masa tua dan akhir hidupnya. (hlm. 157—158).

Selanjutnya, kebangkitan Rani juga dapat dilihat dari segi sosialnya. Rani membuktikannya dengan mencari kebenaran dan menuntut keadilan atas kematian ayahnya. Ia berusaha mencari saksi-saksi atas tindakan Sari melalui para pelayan yang dahulu pernah bekerja di rumah Rani. Rani berjuang keras untuk menemukan mereka bahkan ia mencari hingga ke pelosok demi menemukan saksi. Akhirnya, ia pun berhasil mengumpulkan saksi-saksi dan melaporkannya kepada pihak kepolisian kemudian Sari pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

(41)

sia-sia. Pada saat Ujang dibawa menemui Rani, Ujang menceritakan hal yang sama persis seperti yang diceritakan Nyonya Sophia padanya, yaitu bahwa Sari meracuni rolade daging yang dimasaknya untuk jenderal... (hlm. 173).

Ujang berpikir keras, lalu ia menjawab, “sebenarnya banyak yang tahu, Neng, tapi para pembantu lalu dipecat Ibu Sari, jadi saya tidak tahu di mana mereka berada sekarang.”

“Siapa saja? Sebutkan namanya, saya akan mencoba mencarinya.” Ujang lalu menyebutkan beberapa nama, ternyata salah satunya dikenal Hasan. “Atik? Itu mah istrinya Pak Bajuri. Ia tinggal di Mester. Biar saya samperin,” kata Hasan. Rani tertawa gembira. “Baiklah, saya senang sekali atas bantuan Pak Hasan dan Pak Ujang. Ketahuilah, saya akan menjebloskan ibu tiri saya ke penjara.”

“Bagus, Neng. Saya setuju. Ibu tiri Neng memang kejam. Ia patut mendapatkan ganjarannya,” kata Ujang. (hlm. 174).

Tak hanya itu saja, Rani pun menunjukkan kemampuannya dalam membuat roti. Hal itu sering ia lakukan ketika berada di Wisma Bintang Cahaya tempat ia dijadikan jugun ianfu. Karena kemampuannya dalam membuat roti, Rani memulainya dengan membuat roti bagi para tetangganya.

Pertama-tama ia membuat roti bagi para tetangganya. Ia membuat sweet roll berisi cokelat, kacang, dan keju. Ia juga membuat brownis yang penuh dengan lemak dan cokelat, donat bertabur cokelat dan kacang, kue cinnamon yang bertabur gula halus dan kue kering berisi selai nanas. Mereka memuji rasanya dan menyukainya. Bahkan Hartono. “Hebat! Ini buatanmu sendiri?” tanyanya. Rani mengangguk dengan bangga. “Kau benar-benar berbakat. Ini suatu keahlian yang langka! Apakah kau berniat melakukan sesuatu dengan bakatmu ini?”

“Ya, aku akan membuka kios roti, kecil-kecilan dulu. Nanti kalau banyak yang suka aku akan membuat toko roti yang besar.”

(42)

Namun, cobaan untuk Rani belum berhenti sampai di situ. Di tengah ketraumaannya terhadap laki-laki, justru ia diperkosa oleh seseorang yang tidak dapat dikenali wajahnya hingga menyebabkan hamil. Ketika Rani tersadar dari pingsannya, ia pun berspekulasi tentang siapa yang telah memperkosanya dan saat itu Ariklah yang berada di sampingnya.

Ketika ia terbangun, Rani menyadari tubuhnya tidak telanjang. Ia sudah berpakaian, tapi pakaian itu melekat di tubuhnya karena keringat. Lampu kamarnya menyala. Bagian bawah tubuhnya terasa sakit. Jadi, ia tidak bermimpi! Seseorang telah memperkosanya! Belum sempat ia berteriak, seseorang masuk. “Arik!” serunya kaget. Arik tersenyum.

“Kau sudah bangun? Kenapa tidak pulang? Kenapa menginap di sini?” Rani bersingut menjauh. Apakah... Arik yang memperkosanya? (hlm. 281—282).

Suatu ketika, Rani pun mengetahui orang yang telah memperkosanya. Tiar, dialah yang telah memberi tahu kepada Rani tentang sosok si pemerkosa yang ternyata adalah Janoear, mantan calon tunangannya. Mengetahui itu, Rani pun kaget dan mencoba bunuh diri karena merasa malu dengan keadaannya yang seperti ini. Akibatnya, Rani pun mengalami amnesia.

“Masih mungkir? Jelas-jelas Janoear mengaku pernah tidur denganmu. Ia mengatakan itu padaku pada saat mabuk. Ia bilang ia tidur denganmu pada malam pertunangan kalian dan masih mencintaimu! Kau masih mau mungkir lagi? Dasar pelacur!” (hlm. 304).

Ya Tuhan, mengapa Kau berikan cobaan di luar kemampuanku?

(43)

Arik tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa. Wajar kalau setelah kecelakaan kau mengalami amnesia dan tidak bisa mengingat apa-apa.” (hlm. 309).

Di akhir cerita, Rani memperoleh kebahagiaannya meskipun dalam kondisi amnesia. Hanya Ariklah yang diingatnya. Rani menikah dengan Arik, putri kecil mereka lahir dan diberi nama Adinda. Rani, Arik, dan Adinda pun pindah ke Amerika untuk memulai hidup yang baru.

“Jangan dengarkan. Tidak ada orang yang lebih mengenalmu selain aku, Rani.” Arik bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada Maharani. “Ayo, kita harus segera berangkat. Pesawat kita akan berangkat tiga jam lagi. Lebih awal tiba di bandara lebih baik.” (hlm. 310).

Dari penggambaran karakter di atas, tokoh Rani dapat dikategorikan sebagai tokoh profeminis karena sikapnya yang membela kaum perempuan. Sikap profeminis Rani pertama, ia berani menyuarakan keinginannya pada Sari untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi karena sebagai seorang perempuan ia ingin mendapatkan kesempatan untuk berkembang seperti laki-laki. Perempuan tidak hanya ditugaskan untuk bekerja di dapur saja, tetapi mempunyai kesempatan pula untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi.

Namun, keinginan Rani ini ditentang oleh Sari karena adanya perbedaan pandangan di antara keduanya. Bagi Sari, perempuan tidak ada gunanya jika bersekolah tinggi karena pada akhirnya perempuan hanya akan bekerja di dapur dan mengurus rumah tangga.

(44)

tidak tereksploitasi. Pemberontakan Rani pun tak dilakukannya dengan frontal mengingat keadaan yang mencekam saat itu. Cara yang ditempuh Rani adalah dengan mengulur-ulur waktu saat melayani tamu-tamunya. Rani mengajak mereka bermain catur atau meminum anggur bersama sehingga setiap harinya Rani tak perlu melayani banyak pria. Hal yang dilakukan Rani pun cukup berhasil sehingga Rani memiliki daya tarik tersendiri.

Ketiga, keprofeminisan Rani terlihat dari kebangkitannya sebagai seorang perempuan pasca menjadi jugun ianfu. Rani menunjukkan kemampuannya untuk bangkit dari masa lalu yang kelam meskipun ia telah kehilangan sisi kewanitaannya. Kebangkitan Rani ini dapat dilihat dari berbagai segi, yakni segi fisik dan segi sosial.

Dari segi fisik, Rani mencoba menata kembali dirinya yang sudah lama tak diurus. Rani tak mau berlarut-larut dalam ketraumaannya terhadap laki-laki yang membuatnya takut untuk bersosialisasi. Namun, ia berusaha menghilangkan rasa takutnya dengan membenahi dirinya dan mencoba bersosialisasi dengan orang lain.

(45)

Tak berhenti di situ saja, Rani pun menguji kemampuannya dalam membuat roti yang ternyata disukai banyak orang. Akhirnya Rani pun mampu mendirikan sebuah toko roti.

2.3.1.2 Arik

Arik memiliki fisik seperti anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun meskipun saat itu ia berusia dua belas tahun. Berikut kutipannya.

Sebaliknya, walaupun sudah berusia dua belas tahun, Arik masih seperti anak laki-laki berusia sepuluh tahun, karena tubuhnya kecil dan kurus (hlm. 12).

Namun, tujuh tahun kemudian Arik ternyata memiliki tubuh yang tinggi besar dan gagah. Berikut kutipannya.

Acara pertunangan pun dimulai. Maharani memandang Arik lekat-lekat, sedikitpun ia tidak melepaskan pandangannya dari pria itu. Tak disangka dalam waktu tujuh tahun adiknya telah berubah menjadi seorang pria yang tampan, berkepribadian kuat dan intelek. Tidak tampak lagi sifat kekanak-kanakan dan keras kepala yang dulu dimilikinya. Arik sudah matang sekarang. Rani ingat, dulu Arik lebih pendek darinya. Terakhir kali mereka berpisah, tingginya dan tinggi Arik hampir sama. Kini tubuh Arik tinggi besar, paling tidak mencapai satu koma sembilan meter, dua puluh sentimeter lebih tinggi darinya. Adiknya pun tampak dewasa, kumisnya yang dulu halus sekarang sudah melebat dan dibentuk rapi. Rambutnya diberi minyak dan dibelah tengah, model baru yang sedang digemari. Ia mengenakan jas resmi berwarna hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Sungguh gagah (hlm. 207).

Secara psikis, Arik sangat menyanyangi kakaknya, Rani. Ia juga memiliki sikap keras kepala. Hal itu nampak pada kutipan berikut.

(46)

dengan sedih. Alangkah baiknya jika Rani memarahinya seperti Arik. Ia akan bisa membalas dengan lantang dan tidak merasa bersalah seperti ini. Dari awal pertemuan mereka, ia sudah mengagumi gadis itu. Ia merasa aneh, kenapa hatinya resah seolah telah melakukan kesalahan yang amat besar? (hlm. 31).

Arik merengut dan berdiri dengan marah. “Hatimu terlalu lunak. Kau jangan membiarkan ibu tirimu mengambil segala yang kau miliki dan memberikannya pada Tiar. Janoear jatuh hati padamu, bukan pada gadis lain. Ia sudah menunggu seharian. Kalau kau tidak mau keluar, biar aku saja yang menemui dia. Ada pesan yang ingin kau sampaikan? (hlm. 36).

Di samping sikap keras kepala Arik, tersimpan kuat dukungan kepada Rani untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi meskipun tak mendapat izin dari Sari.

“Kau ini apa-apaan? Kita pasti akan selalu bersama, tidak mungkin terpisah. Kau dan aku kan tinggal dalam satu rumah? Sudah, jangan bicara macam-macam. Sekarang lebih baik kau pikirkan bagaimana caranya menghadapi Ibu untuk memprotes tindakannya melarang kita sekolah ke luar negeri. Kita juga harus protes tentang rencana pesta ulang tahunnya, tiada guna dan membuang-buang waktu saja.” (hlm. 57).

Seiring waktu, Arik mulai mencintai Rani dengan tulus. Cinta yang diberikan Arik murni cinta pria kepada wanita. Ketulusan Arik dalam mencintai Rani tergambar dari sikapnya yang mau mengakui anak yang dikandung oleh Rani. Berikut kutipannya.

Ia lalu bertekad, siapa pun yang memerkosa Rani... anak siapa pun dalam rahim Rani, ia akan menganggap anak itu anak kandungnya sendiri. Ini adalah penebus rasa bersalahnya... karena telah melanggar janjinya bahwa ia tidak akan meninggalkan Rani selamanya, dan karena ia telah melanggar janji tersebut, gadis itu telah sangat menderita (hlm. 297).

(47)

dapat menemani Rani bermain. Arik sebenarnya masih saudara jauh dari keluarga Ayu. Berikut kutipannya:

Karena ketidakmampuan ibunya untuk melahirkan lagi yang diketahui dari dokter yang menangani persalinan Maharani, ibunya kemudian mengangkat seorang anak laki-laki pribumi bernama Arik, untuk menemani Maharani bermain. Sebenarnya bukan anak sembarangan karena Arik masih terhitung keluarganya juga (hlm. 10).

Ketika Arik pindah ke Jakarta, ia bekerja bersama dengan teman lamanya di sebuah harian berita menjadi cleaning service. Setelah enam bulan berlalu ia diangkat menjadi pegawai magang dan pegawai tetap di tempat itu. Berikut kutipannya:

Arik lalu menceritakan kisah perjalanan hidupnya, yang dimulai ketika ia dikirim pulang ke Yogyakarta. Ia juga bercerita tentang pengalaman hidupnya sekembalinya ke Jakarta dua tahun lalu. Perjalanan kariernya yang dirintisnya dari bawah, yang merupakan titik awal keberhasilannya. Ia mengawali kariernya bekerjanya di harian Berita Djakarta sebagai pelayan. Enam bulan pertama dijalaninya dengan belajar tentang seluk-beluk pembuatan koran. Setelah enam bulan berlalu, ia diangkat menjadi pegawai magang di tempat itu. Suatu prestasi yang cukup mengagumkan untuk seorang pemuda lulusan sekolah menengah dan tanpa keahlian khusus seperti dia.

Ia bekerja keras untuk koran tersebut melebihi yang lain-lainnya. Hal itu wajar, karena ia bukan lulusan bidang jurnalistik. Ia benar-benar menunjukkan prestasinya. Berkat beberapa berita menarik yang diliputnya, koran itu mencapai jumlah oplah lima kali lipat pada tahun berikutnya. Atasan Arik memujinya dan menaikkan gajinya serta menjadikannya pegawai tetap (hlm. 210—211).

Namun, di tempat Arik bekerja ia dikenal dengan nama Ardjuna Kusumonegoro bukan Arik. Hal itu diungkapkan oleh salah satu pegawai Arik, Hartono. Berikut kutipannya:

(48)

“Aku tidak pernah tahu atasanku bernama Arik. Aku mengenalnya sebagai Bapak Ardjuna Kusumonegoro. Tidak pernah ada yang memanggilnya Arik.”

Maharani bingung. Mungkinkah nama asli Arik yang diberikan keluarga kandungnya adalah Ardjuna Kusumonegoro? Bagaimanapun juga, ia senang bisa bertemu kembali dengan Arik (hlm. 208—209).

Pada akhirnya, Arik menikah dengan Rani dan memulai babak baru dalam kehidupannya. Anak yang dikandung Rani pun telah lahir dan diberi nama Adinda. Mereka pun memutuskan untuk pindah ke Amerika.

Arik menyela, “Tidak, Dokter. Saya akan memulai hidup baru kami di Amerika. Saya sudah ada tempat tinggal di sana. Lagi pula, rumah kami di sini sudah saya jual. Saya tidak akan kembali ke Jakarta.” (hlm. 311).

Berdasarkan penggambaran tokoh Arik di atas, terdapat sikap profeminis untuk membela perempuan. Tindakan profeminis Arik muncul ketika ia menyetujui dan mendukung usaha Rani memperoleh haknya untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Arik mendukung tindakan Rani meskipun pada zaman itu perempuan memang tidak perlu bersekolah tinggi.

(49)

2.3.2 Tokoh Kontrafeminis

Tokoh-tokoh kontrafeminis dalam novel Sang Maharani adalah sebagai berikut.

2.3.2.1 Ratna Sari

Secara fisik ia cantik seperti yang dikatakan oleh Lastri dalam kutipan berikut.

“Ratna Sari! Ah, masih cantik saja. Lihat aku, sudah karatan begini,” kata Lastri, begitu melihat Sari. Sari tersenyum dengan wajah berseri-seri. “Ah, Kak Lastri bisa saja. Kata siapa aku masih cantik?” Lastri memicingkan mata dan melihat dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. “Dalam pandanganku nilaimu masih sembilan puluh.”

“Kenapa tidak seratus?”

“Seratus untuk anakmu.” (hlm. 167—168).

Secara psikis, Sari merupakan seorang yang tidak disukai banyak orang karena sikapnya yang buruk dan kata-katanya tidak bagus. Ia juga seorang yang munafik dan pendendam. Hal itu tampak dari kutipan berikut.

Ibu tirinya tidak terpelajar dan berperangai buruk. Kata-katanya tidak pernah halus, hanya di depan ayahnyalah sikapnya berubah baik. Sedapat mungkin Rani selalu mendapatinya. Kalau tidak, ia khawatir akan bersikap tidak hormat (hlm. 12).

“Apa? Kurang ajar! Kata-kataku benar, kan? Kau sudah menuntut bagian warisan, padahal aku masih hidup.” Ia bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Arik, lalu mendorong kepala pemuda itu dengan telunjuknya. Walaupun sudah remaja, tubuh Arik yang kurus menjadi limbung ke belakang (hlm. 59).

Serta-merta Sari bangkit dari kursinya. “Apa? Dasar dokter tolol! Kau tak pernah bicara masalah rumah sakit? Apa kau mau menjebloskanku ke penjara? Siapa yang membayarmu kali ini? Apa Maharani busuk itu? (hlm. 191).

(50)

sengaja berkunjung maupun teman ibu tirinya, melihatnya sebagai gadis malang yang kini turun derajat menjadi seorang pelayan. Rani tak pernah mengeluh karena ia tahu hal itu lebih banyak mengundang iba dan simpati padanya dibanding pada ibu tirinya. Tentu saja tak terlalu banyak membantu karena tidak ada perubahan nasib yang dialaminya (hlm. 65— 66).

Sari pun termasuk orang yang senang berfoya-foya dengan harta dari peninggalan Jenderal Van Houten dan suka berbohong terhadap harta benda yang dimilikinya meskipun itu bukanlah barang asli. Berikut kutipannya.

“Lihat saja, baru minggu lalu ia menyelenggarakan pesta dansa yang diadakan untuk pertama kalinya di rumah kita sejak ibu meninggal. Apakah kau sudah mendengar kabar? Dua minggu lagi adalah hari ulang tahunnya dan ia ingin mengadakan pesta lagi. Rani! Rani! Kau harus melakukan sesuatu! Jangan membiarkan ibu tirimu begini terus! Dia akan menghabiskan harta Ayah!” (hlm. 55—56).

Lastri bangkit dan memandang sekeliling ruangan. Ia senang melihat rumah yang ditata indah. Kalau diingat, kehidupannya dulu juga mewah seperti ini, sayang masih bersikap kurang ramah padanya.

“Rumahmu besar. Barang-barang pajangannya juga bagus-bagus.”

“Itu kami beli di berbagai tempat di luar negeri. Ada yang di Belanda, Eropa, Cina, dan Jepang,” kata Sari menyombong. Ia menyebutkan semua nama negara yang diketahuinya, padahal hal itu dusta belaka.

“Oh ya?” Ujar Lastri sambil mengangkat sebuah pot kecil dan melihat bagian bawah pot itu. “Buatan Semarang?” katanya, membuat Sari agak malu sedikit (hlm. 168—169).

Sari tidak menyetujui Rani bersekolah tinggi karena baginya perempuan seusia Rani seharusnya sudah dipingit dan dinikahkan, tidak ada gunanya jika perempuan bersekolah tinggi.

Aku sudah memutuskan tidak akan mengirim kalian ke sekolah mana pun. Alasannya, kalian sudah sekolah terlalu tinggi. Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Lihat Moetiara, ia hanya mengikuti kursus-kursus saja. Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat... (hlm. 58—59).

(51)

kau...sebagai seorang pemuda remaja seharusnya kau mulai belajar bekerja atau magang di toko-toko untuk keperluan masa depanmu.” (hlm. 62).

Selain itu, Sari termasuk orang yang kejam karena pertama, ia menyerahkan Rani dengan paksa kepada pemerintah Jepang yang kemudian menjadikan Rani sebagai jugun ianfu. Kedua, ia terbukti telah membunuh suaminya, Jenderal Van Houten dengan cara meracuni makanan yang dimakan Van Houten. Ia tega membunuh suaminya hanya karena ingin menguasai hartanya. Berikut kutipannya.

Sari duduk di tempat Moetiara biasa duduk, lalu berpikir sejenak dan dengan hati-hati kemudian berkata,”Jepang telah menguasai Batavia. Sekarang aku akan menyerahkan kedudukan sebagai putri dan pewaris harta ayahmu kembali padamu,” katanya datar.

Rani berpikir cepat. Ia merasa sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung saat ini. “Tidak. Biarkan saya kembali berada di dalam dapur. Ibu harus menyelamatkan saya. Mereka pasti akan menangkap saya karena saya orang Belanda, Bu!”

Ia ingin melepaskan baju Moetiara, tapi Sari menampar pipinya sekuat tenaga hingga ia tersungkur di lantai. “Anak-anak bodoh! Lakukan saja apa yang kukatakan atau aku akan membunuhmu!” desisnya. Rani memegang pipinya yang terasa pedas.

“Jangan katakan bahwa aku ibu tirimu. Aku dan Moetiara di sini adalah pelayan dan kau adalah pemilik satu-satunya rumah ini, mengerti?! Kalau kau berkata sepatah kata pun tentang aku dan Moetiara aku akan membunuhmu!” (hlm. 73—74).

Sidang selesai. Hakim memutuskan Sari bersalah dan dihukum sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan (hlm. 192).

(52)

Ia ingin melepaskan baju Moetiara, tapi Sari menampar pipinya sekuat tenaga hingga ia tersungkur di lantai. “Anak-anak bodoh! Lakukan saja apa yang kukatakan atau aku akan membunuhmu!” desisnya. Rani memegang pipinya yang terasa pedas (hlm.73).

Secara sosiologis, Sari merupakan seorang janda beranak satu asli Batavia tepatnya berasal dari Desa Condet. Anaknya bernama Moetiara. Kemudian ia menikah dengan Jenderal Van Houten.

Pada saat Arik dan Rani masuk HBS, ayah Rani menikah untuk kedua kalinya dengan seorang janda beranak satu, penduduk asli Batavia (hlm. 11).

Sari pernah menjadi anak buah Lastri, seorang mucikari setelah suami pertamanya meninggal dan Tiar masih berusia sepuluh tahun. Berikut kutipannya.

Dengan berbantalkan kedua tangannya, Tiar menatap langit-langit. Ia menghela napas panjang. Ia sedang memikirkan sesuatu. Hari ini ia bertemu dengan kawan lama ibunya, Bibi Lastri. Wanita itu bekas mucikari di Desa Condet. Ia mengenalnya karena... ia sangat malu mengakui hal ini... ibunya sempat menjadi anak buah Lastri ketika suami pertamanya dan Tiar masih berumur sekitar sepuluh tahun waktu itu (hlm. 162).

Di akhir cerita, Sari pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah membunuh Jenderal Van Houten. Setelah ia dipenjara, Sari mulai terlihat seperti orang gila bahkan ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.

“Ibu Anda sudah seperti ini sejak divonis hakim. Ia tidak mau makan, tidak mau bergaul dengan yang lain dan hidup dalam dunianya sendiri. Kami terpaksa harus menyuapinya setiap hari. Kelihatannya jiwanya terganggu, kata dokter yang memeriksanya kalau bulan depan masih seperti ini, ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.”(hlm. 249).

(53)

menentang emansipasi perempuan. Tindakan Sari yang menunjukkan kekontrafeminisan terlihat dari sikapnya yang menentang Rani untuk melanjutkan pendidikannya. Bahkan Sari beranggapan bahwa perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi. Sari pun berpandangan, perempuan seumuran Rani pada zaman itu seharusnya sudah dipingit dan dinikahkan. Hal itu sangat bertentangan dengan Rani yang justru ingin melanjutkan pendidikannya.

Selain itu, Sari termasuk kontrafeminis karena sebagai seorang ibu— meskipun ibu tiri—Sari tidak bersikap layaknya seorang ibu pada umumnya yang menjaga dan merawat anaknya. Sari memperlakukan Rani dengan tidak baik bahkan Sari tega membunuh suaminya dan menyerahkan Rani secara paksa kepada tentara Jepang yang selanjutnya membawa Rani pada dunia jugun ianfu.

2.3.2.2 Moetiara

Secara fisik, Moetiara (Tiar) memiliki keadaan fisik sebagaimana anak-anak pribumi lainnya. Ia memiliki kulit yang hitam namun berwajah manis. Beberapa tahun kemudian, Tiar semakin terlihat cantik dan intelek karena melakukan perawatan-perawatan mahal. Hal itu terdapat pada kutipan berikut.

Dilihatnya Moetiara, gadis berkulit hitam dengan paras manis, berdiri di depan pintu (hlm. 13).

(54)

Secara psikis, Tiar tidak pernah bersikap baik dengan siapa pun sehingga banyak teman-temannya yang tidak menyukai Tiar bahkan ia sempat dituduh mencuri dompet salah satu teman sekelasnya saat berada di sekolah. Ia pun selalu beranggapan negatif terhadap Rani dan Arik.

...Satu hal yang membedakan Tiar dari Arik adalah bahwa walaupun mereka sama-sama pribumi, Tiar sombong dan tidak mau diajari. Ia tidak menganggap Rani kakaknya. Semua teman tidak ada yang menyukainya, bukan semata-mata karena ia pribumi tapi karena kepribadiannya yang tidak menyenangkan (hlm. 46).

“Ya. Benar. Mengapa pencuri bisa masuk ke sekolah ini?” Manghadapi seruan-seruan dan pandangan melecehkan dari teman-temannya, Moetiara duduk di lantar memeluk kedua lututnya sambil menangis. Namun, kead

Gambar

tabel berikut.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kesimpilan dan keterbatasan penelitian yang diuraikan, maka saran yang diberikan bagi pihak bank (1) Kepada Bank BNI Syariah disarankan untuk meningkatkan

Skala yang digunakan pada variabel ini adalah skala Likert dengan nilai 1 menunjukan manajer/pemilik perusahaan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan pernyataan pada kuisioner

Alasan peneliti memilih corporate advertising “I #LoveLife Karena Aku Perempuan Indonesia” oleh PT Astra Aviva Life Indonesia dikarenakan adanya kecenderungan bias gender

Proses pasteurisasi dilakukan menggunakan tangki masak kecap pada suhu 105–110 ° C selama 5 menit pemasakan dengan suhu yang lebih tinggi dari tangki masak gula dilakukan

[r]

i English Department Student Association State University of Yogyakarta. 08th - 11th of August,

Setelah melakukan penelitian pada perancangan sistem informasi akademik pada SMK Bina Pendidikan 2 Bogor, maka dihasilkan sebuah web yang merupakan bentuk dari

Adapun penegasan istilah secara operasional, penelitian yang berjudul “Upaya Guru Aqidah Akhlak dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas IV di MI Plus Darul Huda di