• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANPA JUDUL Oleh: Yustina Neni. Saat ini saya bekerja pada 2 lembaga seni yaitu: 1. Kedai Kebun Forum 2. Yayasan Biennale Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANPA JUDUL Oleh: Yustina Neni. Saat ini saya bekerja pada 2 lembaga seni yaitu: 1. Kedai Kebun Forum 2. Yayasan Biennale Yogyakarta"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TANPA JUDUL Oleh: Yustina Neni

Disiapkan untuk:

Seminar Nasional “Tata Kelola Kebudayaan sebagai Bentuk Strategi Kebudayaan?”

Tanggal dan tempat: 9 Oktober 2014 di Sekolah Pascasarjana UGM

Saat ini saya bekerja pada 2 lembaga seni yaitu: 1. Kedai Kebun Forum

2. Yayasan Biennale Yogyakarta

Lembaga yang pertama adalah milik sendiri yang saya bangun bersama suami saya pada tahun 1997. Misi Kedai Kebun Forum (KKF) yang menjadi pijakan kegiatannya adalah:

- Menciptakan ruang pergaulan yang kritis terhadap fenomena sosial melalui aktivitas kesenian.

- Mendukung seniman yang cerdas, suka bermain, tidak peduli pada kategorisasi seni mutu & tidak mutu untuk mempresentasikan karyanya.

- Memprovokasi kelompok-kelompok seni yang mempunyai komitmen yang sama dengan Kedai Kebun Forum (KKF) untuk bersama-sama merekayasa terbentuknya cuaca seni yang segar, hidup, & konstruktif.

- Memberikan alternative tontonan kepada masyarakat.

- Memberikan inspirasi kepada komunitas seni yang ada untuk mencari pendapatan alternative agar dapat menghidupi dirinya sendiri, dan kemudian mampu mendukung komunitas seni lainnya dan mendorong terbentuknya pola manajemen seni yang „orisinil‟ dan efisien.

Kegiatan seni dan budaya di KKF dibiayai oleh restorannya yang sudah terkenal baik di tingkat nasional maupun internasional. Jadi di KKF ada 2 jenis kegiatan, (1) restoran yang berorientasi bisnis dan harus memperoleh selisih dan (2) kegiatan seni dan budaya yang berorientasi sosial.

Manajemen:

Manajemen KKF dikelola secara independen oleh seniman. Dalam upaya menjalankan bisnis maupun aktivitasnya, KKF konsisten menerapkan pola manajemen yang efektif, efisien, dan kontekstual dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya (kelebihan maupun kekurangan) di ruang hidupnya. Konsekuensinya, manajemen KKF bergerak dinamis, penuh rekayasa, dan tidak stabil.

Strategi kebertahanan:

KKF hadir sebagai alternatif pilihan ketika peran negara untuk memberikan pelayanan kepada publik melalui ruang-ruang (kesenian) tidak berfungsi. Kenyataan itu, niscaya memberikan imbuhan identitas kepada KKF sebagai ruang publik. Konsekuensinya, sikap sosial yang muncul ini harus diimbangi dengan langkah strategis untuk bertahan hidup sekaligus mendorong terbentuknya kesadaran publik (kesenian) akan haknya pada ruang-ruang (kesenian) milik negara tersebut. Langkah itu adalah:

1. Menerapkan subsidi silang.

2. Menyediakan diri sebagai supporting system bagi bagi lembaga lain atau seniman miskin yang punya ide menarik untuk tidak ragu mewujudkan gagasannya.

(2)

3. Mengembangkan semangat berbisnis.

Lembaga yang kedua adalah lembaga publik berbadan hukum Yayasan yang berdiri pada 23 Agustus 2010. Misi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang menjadi pijakan kegiatannya adalah:

1. Menyelenggarakan pendidikan dan apresiasi di bidang seni dan budaya.

2. Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis.

3. Mengadvokasi instrumen legal aktivitas seni rupa agar kompatibel dengan industri kreatif yang sangat dinamis.

4. Mengidentifikasi dan menfasilitasi jejaring stake holder seni rupa guna penguatan kualitas pencapai estetika dan aktivitas bisnis.

5. Melakukan pemberdayaan SDM dan pemantapan insfrastruktur seni rupa agar kompatibel dengan kebutuhan global.

6. Membangun sistem informasi yang terpadu mengenai seluruh agenda seni rupa di Yogyakarta.

Pembiayaan kegiatan YBY berasal dari Pemerintah RI baik dari daerah maupun dari pusat, sponsor perusahaan, dan sumbangan perseorangan. YBY adalah lembaga yang berorientasi tidak mencari keuntungan.

Manajemen:

Seperti terbaca pada namanya, YBY memang berkaitan dengan even senirupa berkala dua tahunan di Yogyakarta yaitu Biennale Jogja. Sejak 23 Agustus 2010 YBY adalah lembaga resmi penyelenggara Biennale Jogja (BJ) sebuah program Pemda DIY yang sudah berlangsung sejak tahun 1988. Terjadinya even biennale senirupa di Jogja ini sebenarnya adalah karena inisiatif seniman-seniman pada waktu itu. Kemudian untuk alasan keberlanjutan, Biennale Jogja menjadi even Pemda DIY di bawah UPTD Taman Budaya Yogyakarta. Pertanyaannya, mengapa BJ setelah sekian lama berlangsung rutin diminta kembali pengelolaannya oleh para seniman? Jawabannya karena dinamika yang berlangsung di masyarakat senirupa tidak dipahami oleh Pemda DIY. Prinsip penyelenggaraan program pemerintah adalah yang penting dana terserap. Birokrasi yang rumit dan kaku mengakibatkan para pegawainya memilih cara yang gampang dalam menyelenggarakan program-programnya. Karena tidak memikirkan kualitas, proses persiapan even tidak dianggap sebagai bagian yang penting. Dalam kasus BJ dana program yang tidak pernah naik juga membuat gemas para pelaku kegiatan senirupa. Para pelaku kegiatan senirupa Jogja memandang even yang berlangsung rutin belaka tidak cukup menunjukkan perkembangan yang sebenarnya. Karena memandang penting kualitas para pelaku bekerja sangat keras membentuk panitia dalam waktu singkat, mencari sponsor dalam waktu pendek, menyeleksi peserta pameran, dll, semua personel bersiasat agar BJ berlangsung sukses. Pegawai yang malas berpikir itu tidak bisa menilai berapa sumbangan seniman pada tiap-tiap pelaksanaan BJ. Disamping itu karena sifat kepanitiaan yang selalu sementara maka dokumentasi BJ telah tercerai-berai dan hubungan dengan para stakeholder menjadi hanya bersifat personal. Dengan pengalaman yang melelahkan itu dan menilai potensi yang ada di Jogja sudah saatnya BJ dikelola sebuah lembaga khusus dengan visi yang sejalan dengan visi DIY yaitu: ”Terwujudnya penguatan kualitas infrastruktur seni rupa sebagai bagian

(3)

pembangunan Yogyakarta untuk menjadikan pusat pendidikan, budaya, dan daerah tujuan wisata terkemuka”.

Visi YBY adalah arah dan tujuan bagi para pengurus lembaga ini dalam menjalankan misi-misinya. YBY harus berani menghadapi masa ke depan dengan bekerja bersama Pemerintah yang bekerja dengan visinya, Pemerintah yang bertanggungjawab terhadap program-programnya dan Pemerintah yang memfasilitasi inisiatif warga negara yang dinamis dan kreatif. Proses mengambil kembali inisiatif pengelolaan BJ dengan membentuk lembaga pengelola BJ dilaksanakan secara intensif melalui pertemuan-pertemuan dengan Gubernur, Sekretaris Daerah, DPPKA (Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset), Kepala Dinas Kebudayaan, dan DPRD. Pertemuan-pertemuan itu difasilitasi oleh Taman Budaya Yogyakarta yang pada waktu itu dikepalai oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang seniman, penuh inisiatif dan terbuka. Pernyataan paling mengejutkan adalah dari DPPKA :”Tidak pernah ada usulan penambahan anggaran untuk BJ”. Spektrum pernyataan ini sangat luas dan menunjukan ketimpangan pengetahuan di bidang menejemen antara pejabat negara di tingkat atas dan yang di bawahnya. Biaya pelaksanaan BJ sebelum tahun 2011 telah mencapai sekitar Rp. 900.000.000,- (sembilan ratus juta rupiah) dan dukungan dana Pemda paling tinggi sebelum tahun 2011 adalah Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah). Dari nominal tersebut berarti masyarakat telah menyubsidi program Pemerintah minimal sebesar Rp. 800.000.000,- . Masyarakat Jogja menyubsidi Pemda DIY yang memiliki visi “Menjadikan Yogyakarta sebagai pusat pendidikan, budaya, dan daerah tujuan wisata terkemuka”. Selisih nominal yang luar biasa itu tidak pernah tersampaikan ke DPPKA dan Gubernur karena yang dilaporkan oleh Taman Budaya adalah budget sebesar Rp. 100.000.000,- dengan isian program sekenanya dan penilaian kuantitatif “telah terlaksana 100%”. Keinginan berdialog dari Panitia sudah pupus sebelum berkembang karena mereka sudah kelelahan. Kenyataan-kenyataan di seputar pelaksanaan BJ yang disampaikan oleh Tim Formatur Lembaga Biennale Jogja kepada Pemerintah dan Parlemen sangat didengar hingga akhirnya Gubernur DIY mengusulkan agar lembaga itu segera dibentuk saja dan disarankan berbadan hukum Yayasan.

Yogyakarta yang Terkemuka

Sejarah berdirinya YBY di atas bisa dikatakan sebagai kegiatan manajerial pertama untuk membangun pondasi baru BJ sebagai sarana aktualisasi bersama yang dihasilkan atas kesadaran dan inisiatif bersama antara warga dan Pemerintah. Kegiatan menejerial kedua setelah YBY berdiri sah secara hukum adalah menurunkan misi-misi ke dalam program-program dengan panduan visi. YBY memetakan masalah bahwa peta seni global saat ini seolah-olah inklusif dan egaliter, padahal hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. Dalam situasi peta itu YBY menetapkan posisi BJ sebagai Biennale Equator sejak tahun 2011. Indonesia pernah mengukir sejarah sebagai provokator di tingkat global pada tahun 1955 dengan inisiatif Konferensi Asia Afrika I di Bandung. YBY menilai Yogyakarta memiliki modal yang lebih dari cukup untuk melakukan intervensi pemikiran kebudayaan di tingkat global lebih dari inisiatif pameran senirupa yang sudah menjadi nafas sehari-hari para seniman dan telah dilakukan dengan sangat baik oleh para seniman di Yogyakarta. YBY menjadikan BJ yang bekerja di seputar Equator sebagai suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang

(4)

pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia.

Apakah kita bisa melakukannya kembali (seperti inisiatif KAA) dengan percaya diri mengetengahkan pemikiran-pemikiran dan pengalaman-pengalaman kita bersama-sama dengan penghuni Khatulistiwa lainnya ke masyarakat global? Bagaimana kita bersama-sama warga penghuni Khatulistiwa lainnya akan menyumbangkan pemikiran-pemikiran kepada masyarakat global? YBY merancang jangka waktu untuk menyelesaikan semua itu dalam waktu 10 tahun, dimulai pada 2011 sampai dengan 2021. Putaran Khatulistiwa akan ditutup dengan Konferensi Khatulistiwa pada tahun 2022.

Komitmen Pemda DIY menyertai usaha itu dengan memberi ruang usaha/kantor di Taman Budaya Yogyakarta dan dukungan dana sebesar Rp. 350.000.000,- ( berasal dari Bantuan Sosial Gubernur sebesar Rp. 300.000.000,- dan berasal dari dana program Dinas Kebudayaan Rp. 50.000.000,-). Dana sebesar Rp. 350.000.000,- turun di awal sebagai modal pelaksanaan BJXI 2011 putaran ke 1 Biennale Jogja seri Khatulistiwa yang mempertemukan Indonesia dan India. Dana sokongan dari Pemda DIY yang turun di awal ini juga sebuah prestasi hasil rembug bersama karena sebelumnya Panitia harus memberi dana talangan dulu. Total biaya penyelenggaraan BJ seri Equator 1 adalah sebesar Rp. 1.600.213.503,-. Dukungan Pemda DIY kepada BJ terus meningkat, pada pelaksanaan BJ seri Equator 2 menjadi sebesar Rp. 590.000.000,- (berasal dari Hibah Gubernur sebesar Rp. 375.000.000,- dan APBD sebesar Rp. 215.000.000,-). Pada tahun 2014 ini YBY mengelola dana APBD sebesar Rp. 1.986.907.500,- yang difasilitasi oleh Taman Budaya Yogyakarta.

Strategi Kebertahanan YBY - Menyintai Indonesia dengan Repot

YBY karena mengelola program Pemerintah dengan dana publik (APBD) maka strategi kebertahanan yang dijalankan adalah strategi kebudayaan itu sendiri. Bisa dikatakan pola relasi antara YBY dengan Pemda DIY adalah strategi Pemda DIY agar beban untuk mencapai cita-cita „Yogyakarta yang Terkemuka‟ menjadi lebih ringan dari satu sisi yang sangat khusus yaitu seni rupa. Dengan „melepas‟ satu program yaitu Biennale Jogja, Pemda DIY memperoleh beberapa anakan program karena YBY mengembangkan kebutuhanannya sesuai dengan misi-misinya. Apa saja program utama YBY:

1. Biennale Jogja

2. Simposium Khatulistiwa 3. Akademi Kurator

1. Biennale Jogja mempunyai 7 program yaitu: (1) Riset dan Residensi Seniman, (2) Pameran Utama, (3) Parallel Even, (4) Festival Equator, (5) Seminar, Wicara Seniman, Workshop (6) Penghargaan Biennale Jogja, (7) Program Magang dan Kesukarelawanan.

2. Simposium Khatulistiwa: Pola kerja Biennale Jogja seri Equator yang memilih bekerja dengan sedikit Negara dan akan selalu bermitra dengan negara-negara baru pada lintasan khatulistiwa, mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut:

No KELEBIHAN KEKURANGAN

1 Dialog kebudayaan yang terjadi menjadi lebih intim,

Dilpomasi dengan Negara lain yang sama-sama berada di sekitar Equator tetapi tidak

(5)

kesalingterhubungan antar Negara yang terlibat menjadi produktif

dipilih oleh Biennale Jogja, menjadi tidak terhubung

2 Format Biennale Jogja yang kecil dan sederhana menjadi alternative atas format biennale lainnya yang cenderung selalu besar dan menggurita

Secara publikasi kurang bergema

3 Secara organisasi lebih mudah dikelola Kurang menantang 4 Terjadinya pertukaran kebudayaan

dikeduabelah pihak lebih tinggi Kurang kebudayaan lain di luar Negara mitra membuka kesempatan untuk 5 Lebih murah, efisien, dan efektif Bisa dianggap kurang percaya diri

6 Biennale Jogja Equator bergerak terus dan mencari mitra Negara baru untuk setiap pelaksanaan

Kurang memberi perhatian kepada mitra sebelumnya

Untuk menjalin kembali hubungan dan kemitraan antara pelaku-pelaku seni dan kebudayaan yang pernah dijalin pada pelaksanaan Biennale Jogja, maka Simposium Khatulistiwa disiapkan untuk:

1. Memberi jawaban atas kekurangan Pola Kerja Biennale Jogja seri Equator yang tersebut dalam bagan di atas. Simposium Khatulistiwa sekaligus menguatkan gagasan-gagasan pemikiran-pemikiran yang muncul dalam even Biennale Jogja. 2. Keterbatasan yang dimiliki oleh even Biennale Jogja dalam merangkum

pemikiran-pemikiran terbaru dari pemikir di kawasan ini diupayakan menjadi lebih sempurna dan lengkap dengan diadakannya symposium. Keduanya, antara BJ dan symposium adalah program penting yang saling mendukung dan menyempurnakan satu sama lain.

3. Pertemuan pemikir-pemikir muda di bidang kebudayaan dan seni di tingkat internasional di Yogyakarta ini akan semakin menunjukkan Yogyakarta sebagai wilayah kebudayaan dengan produktifitas tertinggi dalam bidang seni rupa di Asia Tenggara.

4. Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seluruh Khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang Khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa.

3. Akademi Kurator: akan menerbitkan kurator-kurator baru untuk memenuhi kebutuhan Biennale Jogja sendiri dan kebutuhan lembaga seni dan kebudayaan lainnya (misal: galeri dan museum)

Dalam konteks BJ kita bisa melihat negara yang bekerja, negara yang berperan aktif, dan bertanggungjawab. Apakah YBY melihatnya sebagai cukup dan telah puas? Jawabannya adalah tidak cukup dan belum puas. Peran dan tanggungjawab negara tidak hanya pada kontribusi dalam bentuk dana tetapi juga kebijakan yang visioner. Pengembangan sektor

(6)

kesenian dan kebudayaan tidak hanya tanggungjawab negara saja tetapi juga masyarakat secara umum sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Kemampuan itu bisa berupa dana (kecil atau besar), bentuk lain selain dana, tenaga, tulisan, dll, atau yang paling sederhana dengan menjadi penonton. Dana publik dari sektor swasta yang belum dikelola dengan baik adalah CSR (Corporate Social Responsibility). Aplikasi dana CSR sejauh ini masih digunakan sebagai alat promosi perusahaan-perusahaan bersangkutan. Aplikasi dana CSR untuk pengembangan sektor kebudayaan memerlukan intervensi Pemerintah dalam bentuk kebijakan yang tidak sekedar himbauan.

RUU Kebudayaan dirancang berdasarkan pengertian Kebudayaan yang sesat dan lancung

Bulan lalu, sekelompok relawan yang prihatin dengan sikap negara yang abai pada sektor kebudayaan berkumpul untuk membuat usulan program bagi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Relawan yang menamakan diri Tetangga Jokowi-JK melakukan 3 kali Kelompok Diskusi Terarah (KDT) atau dalam bahasa Inggris disebut Focus Group Discussion (FGD) menghasilkan dokumen usulan program berjudul “Arah Kebijakan Seni dan Budaya: Usulan Program untuk Pemerintahan Jokowi-JK”. Dokumen itu diawali dengan daftar „penyakit‟ dalam tata kelola seni dan budaya:

Indonesia mengidap banyak sekali masalah dalam tata kelola seni dan budaya. Hubungan negara dan warganya dalam perkembangan dan pengembangan seni-budaya Indonesia selama ini berlangsung dengan ruwet, kacau, dan serba salah urus. Hal itu dikarenakan pengelolaan dan kebijakan seni dan budaya selama ini berdasar pada pemahaman sesat dan lancung mengenai kebudayaan. Seni dan budaya selama ini dianggap sebagai benda mati atau kata benda, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang dinamis.

Cara berpikir yang keliru tersebut kemudian melahirkan sejumlah persoalan tata kelola seni-budaya seperti berikut ini:

Ketidakjelasan wewenang antar kementerian/lembaga;

Birokrasi yang tidak efektif, akuntabel dan tranparan, serta tidak memiliki disiplin pelayanan;

Dominasi dan hegemoni negara dalam pengelolaan kebudayaan/ lemahnya masyarakat sipil dalam pengelolaan kebudayaan;

Dominannya ekonomi rente dalam birokrasi; Dominasi modal dalam penguasaan ruang publik;

Lemahnya perlindungan negara terhadap masyarakat adat sebagai pelahir seni-budaya;

Lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan berekspresi dan berkarya;

Masih kuatnya kultur kolonial dalam memandang seni dan budaya;

(7)

Tetangga Jokowi-JK dalam dokumen usulan program itu melanjutkan: KONSEPSI SENI DAN BUDAYA

YANG LEBIH PROGRESIF

Pemahaman atas seni dan budaya harus diubah kepada konsepsi seni dan budaya yang lebih progresif, yakni, seni budaya tidak boleh lagi dilihat sebagai benda mati, melainkan merupakan serangkaian kegiatan/aktivitas individual maupun kolektif, baik yang bersifat simbolik, fisik, dan sosial. Seni budaya merupakan bentuk interaksi antara komunitas-komunitas berbeda yang berkedudukan setara. Proses ini harus merupakan sesuatu yang berkelanjutan untuk mencapai sebuah kondisi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang terus berkembang. Dalam hal ini, peran negara melindungi, mendorong, dan mengusahakan proses tersebut berlangsung dalam dan menuju kesetaraan.

Peran-peran Warga dalam memprovokasi Pemerintah (daerahnya masing-masing) Saya teringat nasihat seorang auditor dari sebuah Kantor Akuntan Publik yang sedang mengaudit keuangan lembaga tempat saya bekerja beberapa tahun yang lalu. Waktu itu adalah kali pertama lembaga kami diaudit dan saya sangat merasa putus asa karena ketidakmampuan saya memahami proses itu. Dia berkata, “Jangan putus asa, lembaga ini sederhana, uangnya sedikit, kesalahannya terletak di mana akan mudah ditelusuri dan dipelajari. Saya kan dipanggil untuk membantu menghitung. Lagipula lembaga ini penghasilan mandirinya hanya berasal dari fotocopy. Bayangkan Indonesia, negara itukan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga tapi ukurannya raksasa. Penghasilannya berasal dari macam-macam usaha, jualan minyak, pajak, batubara, emas, pangan, dll. Anggotanya ratusan juta, semua diberi nomer. Karena usahanya macam-macam dan semua itu adalah milik anggota maka anggotanya berhak menentukan hasil usaha itu akan digunakan untuk apa dan berhak memilih orang yang dianggap bisa mengelola hasil usaha secara baik. Jadi anggota berhak tanya hasil jualan itu digunakan untuk apa saja. Jadi anggota meminta haknya kepada pengelola itu sah.”

Dari cerita itu pilihannya ada 2 jika ingin kebudayaan kita maju dan berkembang: 1) Resisten seperti KKF dan tinggal nunggu matinya

2) Berani mengambil inisiatif memprovokasi negara seperti sekelompok seniman yang membuahkan hasil seperti YBY

Pastinya yang harus dipercaya adalah bahwa Republik Indonesia itu kaya raya. Yogyakarta, 7 November 2014

Yustina Neni

Pemilik dan Direktur Kedai Kebun Forum Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Lebih jauh Ines memaparkan bahwa konsep yang paling penting dari vaksinasi adalah adanya memori, dimana sistem imun kita bisa mengingat kalau kita pernah terpapar terhadap

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: “Apakah Komposisi Pendapatan Asli Daerah dan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengisolasi dan menseleksi ganggang mikro yang potensial sebagai penghasil bahan bakar nabati, menguji pertumbuhan ganggang mikro

Setelah dilakukan penelitian berupa analisis penggunaan diksi dan gaya bahasa terhadap kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono diambil sebanyak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas ekstrak etanol daun pletekan terhadap kadar SGOT dan SGPT, gambaran histologi hepar tikus putih jantan galur

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari status gizi anak prasekolah pada keluarga berpendapatan rendah dengan ibu pekerja. Penelitian ini dilakukan di

Dan semakin menunjukkan bahwa dalam hal penangguhan upah, DiJjen Binawas KetenagakeJjaan lebih memihak kepada pengusaha, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya

Baja amutit ukuran penampang 17 mm x 17 mm dengan panjang ± 120 mm dibentuk menggunakan mesin potong, mesin milling dan mesin surface grinding menjadi menjadi balok