• Tidak ada hasil yang ditemukan

RADIOGRAPH BASED DISCUSSION KARDIOMEGALI PADA CHF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RADIOGRAPH BASED DISCUSSION KARDIOMEGALI PADA CHF"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi

Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Oleh :

Hana Mitayani 01.211.6403

Naim Ismail Imunu 01.211.6463 Tutut Nila Munana 01.211.6545

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI RS ISLAM SULTAN AGUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

(2)

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis bagian ilmu radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama :

Hana Mitayani 01.211.6403

Naim Ismail I. 01.211.6463

Tutut Nila M. 01.211.6545

Judul : Kardiomegali Pada CHF

Bagian : Ilmu Radiologi

Fakultas : Kedokteran UNISSULA

Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad

Telah diajukan dan disahkan Semarang, Juli 2015

Pembimbing,

dr. Bambang Satoto, Sp. Rad

(3)

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4

2.1. Anatomi Jantung...4

2.1.1. Bentuk dan letak jantung...4

2.1.2. Lapisan jantung...4 2.1.3. Ruang-Ruang Jantung...6 2.1.4. Katup Jantung...7 2.1.5. Sirkulasi jantung...8 2.2. Radiologi Jantung...10 2.2.1. Jantung Normal...10 2.2.2. Pembesaran Jantung...13

2.3. Congestive heart fealure (CHF)...16

2.3.1. Definisi CHF...16 2.3.2. Etiologi CHF...16 2.3.3. Patofisiologi CHF...17 2.3.4. Klasifikasi CHF...18 2.3.5. Manifestasi Klinis CHF...19 2.3.6. Gambaran Radiologi CHF...19 2.3.7. Diagnosis Banding CHF...27 2.3.8. Penatalaksanaan CHF...38 iii

(4)

3.2. Anamnesa (Alloanamnesa)...39

3.3. Diagnosis...41

3.4. Pemeriksaan Penunjang...41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...43

4.1. Hasil...43

4.2. Pembahasan...43

BAB V KESIMPULAN...46

DAFTAR PUSTAKA...47

(5)

Konsep pelayanan kesehatan primer tidak dapat dilaksanakan dengan berhasil tanpa dukungan pelayanan-pelayanan diagnostik yang memadai termasuk fasilitas untuk radiologi diagnostik. Oleh karena itu, salah satu langkah yang dilakukan oleh WHO adalah membuat “Sistem Radiologi Dasar” untuk memberikan cakupan radiologi yang lebih memadai bagi penduduk yang sekarang kurang terlayani (Hartono, 1995).

Pada pembacaan foto rontgen dada, pendekatan secara sistematis adalah penting, berdasarkan penilaian pertama pada anatomi dan selanjutnya fisiologi. Jantung mudah dibedakan dari paru-paru karena jantung lebih mengandung darah dengan densitas air lebih besar dibanding udara. Karena darah melemahkan x-ray lebih kuat dibanding udara, jantung relatif tampak berwarna putih dan paru-paru relatif hitam.

Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskuler menyebabkan perubahan-perubahan yang beragam dan kompleks dalam gambaran foto rontgen dada, salah satunya adalah gagal jantung atau Congestive Heart Failure (CHF). Selain EKG (Ekokardiografi) yang merupakan pemeriksaan non-invasif yang

(6)

digunakan untuk diagnosis suatu gagal jantung, kita juga perlu mengetahui bagaimana cara diagnosis melalui gambaran rontgen dada (Sudoro, 2006).

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya yang bermanifestasi terhadap pembesaran jantung atau kardiomegali sebegai respon jantung terhadap mekanisme kompensatorik. Kardiomegali adalah suatu keadaan dimana terjadi pembesaran pada jantung. Beberapa penyebab kardiomegali antara lain penyakit miokardia, penyakit arteri koroner, defek jantung kongenital dengan gagal jantung ataupun beberapa keadaan lain seperti tumor jantung, anemia berat, kelainan endokrin, malnutrisi, distrofi muskular dan gagal jantung akibat penyakit paru (Ismail, 2009).

Dari 4,8 juta penduduk Amerika, sekitar 400.000 penduduk yang terdiagnosa terkena penyakit gagal jantung kongestif per tahunnya. 1,5% - 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF (Congenital Heart Disesase), terjadi 700.000 perawatan di rumah sakit per tahun. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung., merpresentasikan 5% dari semua perawatan medis dan menghabiskan lebih dari 1% dana perawatan

(7)

kesehatan nasional. Di Indonesia, sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia yaitu 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun (Gray, 2003; brashers, 2008). Gagal jantung susah dikenali secara klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda-tanda klinis pada tahap awal penyakit. Maka dari itu pemeriksaan penunjang seperti rontgen sangat membantu untuk menegakkan diagnosa. Gambaran sinar rontgen yang menyokong diagnosa dari gagal jantung ialah adanya kardiomegali yang paling sering dijumpai, penonjolan vaskular pada lobus atas, efusi pleura dan adanya kongesti vena paru (garis Kerley B) atau edema paru. Beberapa gambaran di atas itulah yang menjadi karakteristik dari gambaran rontgen toraks pasien gagal jantung (Gleadle, 2005).

Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit gagal jantung atau CHF yang bernafestasi terhadap pemebesaran jantung akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

(8)

2.1. Anatomi Jantung

2.1.1. Bentuk dan letak jantung

Jantung berbentuk seperti buah pir atau kerucut terletak seperti piramida terbalik dengan apeks (puncak) berada di bawah dan basis (alas) berada di atas. Jantung yang normal terletak di rongga dada sebelah kiri, di dalam ruang mediastinum. Apeks jantung menghadap ke kiri depan bawah. Besar jantung lebih kurang sebesar kepalan tangan pemiliknya. Pada bayi ukurannya relatif lebih besar daripada dewasa. Pada bayi, perbandingan jantung terhadap rongga dada (rasio kardiotoraks) mencapai 60%, pada anak besar sampai dewasa muda mencapai 50% (Guyton, 2008).

Gambar 2.1. Letak Jantung

2.1.2. Lapisan jantung

Lapisan otot jantung terdiri dari perikardium, epikardium, miokardium dan endokardium. Lapisan perikardium adalah lapisan paling atas dari jantung terdiri dari fibrosa dan serosa dan berfungsi sebagai pembungkus

(9)

jantung. Lapisan perikardium terdiri dari perikardium parietal (pembungkus luar jantung) dan perikardium visceral (lapisan yang langsung menempel pada jantung). Antara perikardium parietal dan visceral terdapat ruangan perikardium yang berisi cairan serosa berjumlah 15-50 ml dan berfungsi sebagai pelumas.

Lapisan epikardium merupakan lapisan paling atas dari dinding jantung. Selanjutnya adalah lapisan miokardium yang merupakan lapisan fungsional jantung yang memungkinkan jantung bekerja sebagai pompa. Miokardium mempunyai sifat istimewa yaitu bekerja secara otonom (miogenik), durasi kontraksi lebih lama dari otot rangka dan mampu berkontraksi secara ritmik.

Ketebalan lapisan miokardium pada setiap ruangan jantung berbeda-beda. Ventrikel kiri mempunyai lapisan miokardium yang paling tebal karena mempunyai beban lebih berat untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik yang mempunyai tahanan aliran darah lebih besar.

Miokardium terdiri dari dua berkas otot yaitu sinsitium atrium dan sinsitium ventrikel. Setiap serabut otot dipisahkan diskus interkalaris yang berfungsi mempercepat hantaran impuls pada setiap sel otot jantung. Antara sinsitium atrium dan sinsitium ventrikel terdapat lubang yang dinamakan anoulus fibrosus yang merupakan tempat masuknya serabut internodal dari atrium ke ventrikel. Lapisan endokardium merupakan lapisan yang membentuk bagian dalam jantung dan merupakan lapisan endotel yang sangat licin untuk membantu aliran darah (Guyton, 2008).

(10)

Gambar 2.2. Lapisan jantung

2.1.3. Ruang-Ruang Jantung

Jantung terdiri dari empat ruang, dua ruang berdinding tipis disebut atrium dan dua ruang berdinding tebal disebut ventrikel.

1. Atrium

 Atrium kanan. Berfungsi menampung darah yang rendah oksigen dari seluruh tubuh yang mengalir dari vena kava superior dan inferior serta sinus koronarius yang berasal dari jantung sendiri. Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan selanjutnya ke paru-paru.

 Atrium kiri. Berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru melalui empat buah vena pulmonalis. Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri dan dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.

2. Ventrikel

 Ventrikel kanan. Berfungsi memompakan darah dari atrium kanan ke paru-paru melalui vena pulmonalis.

 Ventrikel kiri. Berfungsi memompakan darah yang kaya oksigen dari atrium kiri ke seluruh tubuh melalui aorta (Guyton, 2008).

(11)

Gambar 2.3. Ruang-Ruang Jantung

2.1.4. Katup Jantung

Katup jatung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu katup yang menghubungkan antara atrium dengan ventrikel dinamakan katup atrioventrikuler, sedangkan katup yang menghubungkan sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal dinamakan katup semilunar.

Katup berfungsi mencegah aliran darah balik ke ruang jantung sebelumnya sesaat setelah kontraksi atau sistolik dan sesaat saat relaksasi atau diastolik. Tiap bagian daun katup jantung diikat oleh chordae tendinea sehingga pada saat kontraksi daun katup tidak terdorong masuk keruang sebelumnya yang bertekanan rendah. Chordae tendinea sendiri berikatan dengan otot yang disebut muskulus papilaris.

 Katup atrioventrikuler terletak antara atrium dan ventrikel. Katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan disebut katup trikuspidalis. Katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri disebut katup bikuspidalis atau katup mitral. Katup atrioventrikuler memungkinkan darah mengalir dari masing-masing atrium ke ventrikel pada saat diastolik dan mencegah aliran balik pada saat ventrikel berkontraksi memompa darah keluar jantung yaitu pada saat sistolik.  Katup semilunar terdiri dari katup pulmonal yaitu katup yang

(12)

semilunar yang lain adalah katup yang menghubungkan antara ventrikel kiri dengan asendence aorta yaitu katup aorta (kumar, 2007).

Gambar 2.4. Katup Jantung

2.1.5. Sirkulasi jantung

Lingkaran sirkulasi jantung dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Namun demikian terdapat juga sirkulasi koroner yang juga berperan sangat penting bagi sirkulasi jantung.

1. Sirkulasi Sistemik

 Mengalirkan darah ke berbagai organ tubuh.  Memenuhi kebutuhan organ yang berbeda.  Memerlukan tekanan permulaan yang besar.  Banyak mengalami tahanan.

 Kolom hidrostatik panjang. 2. Sirkulasi Pulmonal

 Hanya mengalirkan darah ke paru.  Hanya berfungsi untuk paru-paru.

 Mempunyai tekanan permulaan yang rendah.  Hanya sedikit mengalami tahanan.

(13)

 Kolom hidrostatiknya pendek. 3. Sirkulasi Koroner

Efisiensi jantung sebagi pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi yang cukup pada otot jantung itu sendiri. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung dan membawa oksigen untk miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil (Guyton, 2008).

(14)

2.2. Radiologi Jantung

Pemerikasaan jantung dan pembuluh darah terdiri dari 2 macam yaitu non radiologis dan radiologis. Non radiologis bisa menggunakan eletrokardiogram dan echocardiogram sedangkan secara radiologis bisa menggunakan X foto toraks tanpa media kontras, namun ada juga pemerikasaan radiologi dengan enggunakan kontras seperti angiogrrafi dan MSCT jantung. Pemeriksaan X foto toraks sering menggunakan proyeksi PA dan lateral namun bisa juga di tabahkan dengan proyeksi kanan-kiri dengan esophagus diisi barium. Hal ini dilakukan setelah pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut

 Posisi PA  Simestris  Inspirasi cukup  Bentuk dada Normal  FFD : 1,8 m – 2 m 2.2.1 Jantung Normal

Sebuah pemahaman rinci tentang struktur yang membentuk kontur normal jantung dan mediastinum (kontur cardiomediastinal) pada radiografi dada sangat penting untuk menilai kelainan yang terdeteksi pada kelainan jantung. Berikut ini tampilan gambar jantung yang normal:

a. Tampilan Frontal Tampak PA

Batas kanan jantung dari superior ke inferior

 Tonjolan I : (pelebaran sisi mediastinum); vena kava superior

 Tonjolan II : garis lurus munju arkus aorta (aorta ascenden, biasanya tak terlihat

 Tonjolan III : terkadang ada (v. Azygos)  Tonjolan IV : atrium kanan.

Batas kiri jantung dari superior ke inferior  Tonjolan I ; arkus aorta

 Tonjolan II : arteri pulmonalis (pada anak-anak kadang terasa besar)  Tonjolan III : aurikel atriu kiri (biasanya tidak menonjol)

(15)

Gambar Cardiomedistinal tampak proyeksi PA b. Tampak lateral

Batas anterior jantung dari superior ke inferior  Aorta ascending

 Ventrikel kanan outflow track  Ventrikel kanan

(16)

Batas posterior jantung dari superior ke inferior  Atrium kiri dan vena pulmonalis

 Atrium kanan

 Vena cava inferior (Collins, 2007).

Gambar Cardiomedistinal tampak proyeksi lateral (sinistra et dektra) Dalam melakukan pembacaan X foto toraks jantung dilakukan beberapa penilian antara lain yaitu:

a. Konvigurasi

Batas kanan : parasternal

Batas kiri : pertengahan klavikula (mid clavikula)

Batas atas (batas dari arkus aorta): 1-2 c di bawah manubrium sterni Batas bawah : sukar ditentukan.

b. Letak atau Situs

Kedudukan orga di dada dan dibawah diafragma. Normalnya yaitu jantung di hemitoraks kiri dan fundus gaster dan apeks jantung di abdomen sisi kiri (situs solitus)

c. Ukuran

Untuk menentukan ukuran jantung dengan menggunakan CTR (Cardo Thoracic Ratio yang telah memuni syarat untuk pemeriksaan jantung

2.2.2. Pembesaran Jantung

Dari segi radiologik, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah membesar atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar dada pada foto toraks PA (cardio-thoracis ratio). Pada gambar, diperlihatkan garis-garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2) (Rasad, 2010)..

(17)

(normal : 48-50 %)

Gambar 2.8. Pengukuran CTR Kardiomegali pada foto thoraks PA dan lateral (Collins, 2007). :

Pembesaran ruang jantung

X foto Proyeksi PA X foto proyeksi Lateral

Ventrikel Kanan Apeks ke laterokranial,

segmen pulmomnalis

menonjol

Ruang retrosternal sempit

Atrium Kanan Batas jantung kanan,

meleber ke kanan, lebih dari 1/3 hemithorax kanan

Tak memberikan gambaran khas

Ventrikel Kiri Apeks ke laterokaudal Retrocardial space distal sempit

Atrium kiri Double contour,

penonjolan aurikel atrium kiri, brongkus utama kiri

Retrocardiac space bagian atas sempit

(18)

terangkat

Gambar pembesaran atrium kanan

(19)

Gambar pembesaran atrium kiri

(20)

2.3. Congestive heart fealure (CHF) 2.3.1 Definisi CHF

Congestive heart fealure (CHF) atau Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard dalam mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan yang berlebih pada jantung, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan olaeh karena gangguan primer otot jantung, atau beban jantung yang berlebihan, atau kombinasi keduanya. Beban jantung yang berlebihan pada preload atau beban volume terjadi pada defek dengan pirau kiri ke kanan, regurgitasi katup, atau fistula arteriovena. Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau beban tekanan terjadi pada obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta, stenosis pulmonal, atau koarktasio aorta (Wilson, 2006).

2.3.2. Etiologi CHF

Dalam hubungan yang luas ada dua faktor penyebab gagal jantung: 1. Faktor mekanik (kelainan struktur jantung), yaitu :

Kondisi miokardium normal, akan tetapi gangguan dari beban kerja yang berlebihan, biasanya kelebihan beban volume (preload) atau tekanan (afterload) akibat penyakit jantung bawaan atau didapat. 2. Faktor miokardium, yaitu :

Kelainan otot jantung sendiri atau insufisiensi miokardium, misalnya: a. Radang atau intoksikasi otot jantung pada penderita demam

reumatik atau difteri.

b. Otot jantung mengalami defisiensi nutrisi, seperti pada anemia berat.

c. Perubahan-perubahan patologis dalam struktur jantung, misal kardiomiopati.

(21)

2.3.3 Patofisiologi CHF

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.

Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh regurgitasi fungsional dan katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang (Kumar, 2007).

(22)

Gambar 2.6. Mekanisme Edema Paru pada CHF

2.3.4. Klasifikasi CHF

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The

New York Heart Association (NYHA) classification for heart failure

membaginya menjadi 4 kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:

1. Kelas I : Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.

2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat. 3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya

pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat beristirahat (Wilson, 2006).

(23)

2.3.5. Manifestasi Klinis CHF

Diagnosa gagal jantung kongestif menurut Framingham dibagi menjadi 2 yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan.

Kriteria mayor :

1. Dispnea nocturnal paroksismal atau ortopnea. 2. Peningkatan tekanan vena jugularis

3. Ronkhi basah tidak nyaring 4. Kardiomegali

5. Edema paru akut 6. Irama derap S3

7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H20

8. Refluks hepatojugular. Kriteria minor :

1. Edema pergelangan kaki 2. Batuk malam hari 3. Dispneu d’effort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura

6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum 7. Takikardi (120x/menit) (Wilson, 2006).

2.3.6. Gambaran Radiologi CHF

Dua fitur utama dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif: (1) ukuran dan bentuk siluet jantung, dan (2) edema di dasar paru-paru.

(24)

Gambar 2.7. Anatomi Radiografi Jantung

Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan pembesaran pada jantung.

Dengan perkembangan dari gagal jantung kongestif, atrium kiri mengalami peningkatan tekanan yang paling pertama. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik, tekanan kapiler paru serta pembentukan edema interstitial terutama pada daerah basal paru. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler yang mengalir ke basal paru, menyebabkan pirau aliran darah ke pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas paru-sehingga menyebabkan adanya peralihan pada vena-vena pada lobus atas. Pengalihan pada lobus atas dapat didiagnosis dengan radiografi posisi erect (tegak), pembesaran pembuluh-pembuluh darah pada lobus atas sama dengan atau melebihi pembuluh-pembuluh darah pada lobus bawah yang berjarak sama dari hilum (Rasad, 2010).

Peningkatan tekanan vena pulmonalis atau hipertensi pulmonal berhubungan dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) dan dapat di klasifikasikan menjadi beberapa derajat yang sesuai dengan gambaran radiologisnya pada foto toraks. Pengklasifikasian ini merupakan urut-urutan yang terjadi pada CHF. Menurut Elliots, klasifikasi hipertensi vena pulmonalis dibagi menjadi :

(25)

1. Stage 1 :

Pada stage 1 PCWP [13-18 mm]. Terjadi redistribusi dari pembuluh darah paru. Pada foto toraks PA normal, pembuluh darah pada lobus atas lebih kecil dan sedikit dibanding pembuluh darah pada lobus bawah paru. Pembuluh darah paru yang beranastomosis memiliki kapasitas reservoir dan akan mengalir pada vaskular yang tidak menerima perfusi darah, sehingga menyebabkan terjadinya ditensi pada vaskular yang telah mendapat perfusi darah. Hal ini mengakibatkan terjadinya redistribusi pada aliran darah pulmonal. Awalnya terjadi aliran darah yang sama, kemudian terjadi redistribusi aliran darah dari lobus bawah menuju lobus atas.

Pada gambaran radiologis tampak redistribusi dari pembuluh darah paru, kardiomegali, dan broad vascular pedicle.

2. Stage 2 :

Pada stage 2, PCWP [18-25 mm]. Tahap ini ditandai oleh kebocoran cairan kedalam interlobular dan interstitial peribronkial sebagai akibat dari meningkatnya tekanan di dalam kapiler paru. Saat kebocoran cairan masuk ke dalam septum interlobular perifer, akan tampak gambaran garis Kerley B pada foto toraks. Saat kebocoran cairan masuk ke dalam interstitial peribronkovaskular, pada foto toraks akan tampak gambaran penebalan pada dinding bronkus yang disebut peribronchial cuffing dan pengaburan pembuluh darah paru (perihilar haze). Selain itu, fisura interlobaris juga akan terlihat menebal pada foto toraks.

3. Stage 3 :

Pada stage ini, PCWP [> 25 mm]. Tahap ini ditandai dengan berlanjutnya kebocoran cairan menuju interstitial, yang tidak dapat dikompensasi oleh drainase limfatik. Hal ini akan mengakibatkan kebocoran cairan menuju alveoli (edema alveolar) dan kebocoran cairan menuju cavum pleura (efusi pleura). Pada foto toraks akan tampak gambaran konsolidasi, air bronchogram, cotton woll appearance, dan efusi pleura.

4. Stage 4 :

Pada tahap ini terjadi proses hemosiderosis, osifikasi (tampak pada hipertensi pulmonum yang lama) (Lorraine, 2011).

(26)
(27)

Seiring dengan meningkatnya tekanan hidrostatik, terjadilah tanda-tanda edema interstitial yang diikuti tanda-tanda-tanda-tanda edema alveolar:

a) Pengaburan dari tepi pembuluh darah b) Perihilar kabur

Gambar 2.10. Cardiomegali dengan perihilar yang terlihat kabur

c) Peribronchial cuffing :

Gambaran seperti donat kecil. Terjadi akibat akumulasi cairan interstitial di sekeliling bronkus yang menyebabkan menebalnya dinding bronkus.

Gambar 2.11. Peribronchial cuffing tampak seperti gambaran donat kecil pada bronkus.

d) Garis Kerley A :

Berupa gambaran garis yang agak panjang (2-6 cm) yang tampak seperti garis bercabang dengan arah diagonal dari hilus menuju ke arah perifer. Munculnya garis ini disebabkan oleh distensi saluran yang beranastomosis antara pembuluh limfe paru perifer dan sentral. Garis ini jarang ditemui dibanding garis Kerley B, dan tidak akan tampak tanpa disertai adanya garis Kerley B atau garis Kerley C.

(28)

Gambar 2.12. Garis kerley A, Garis Kerley B, dan Kerley C e) Garis Kerley B :

Berupa gambaran garis pendek yang berparalel pada daerah paru perifer. Garis ini dapat terlihat ketika cairan mengisi dan mendistensi septum interlobular. Panjangnya kurang dari 1 cm dan paralel antara satu dengan lainnya pada sudut kanan bawah dari pleura. Garis ini bisa tampak pada semua daerah paru, tapi lebih sering pada paru bagian basal di sudut costofrenicus pada foto toraks PA.

(29)

Gambar 2.13. Garis kerley B tampak berupa garis putih horizontal yang pendek-pendek pada bagian basal paru

f) Garis Kerley C

Garis ini jarang terlihat dibanding garis yang lain. Bentuk garis ini pendek dan tipis dengan gambaran reticular yang merepresentasikan garis Kerley B en face. Munculnya garis ini disebabkan oleh menebalnya anastomosis pembuluh limfe atau superimpose dari beberapa garis Kerley B.

g) Efusi pleura

Efusi laminar yang berkumpul di bawah pleura viseral, yakni pada jaringan ikat longgar antara paru dan pleura.

Gambar 2.14. Efusi pleura tampak pada foto torak PA dan lateral h) Bat’s Wings

Saat tekanan hidrostatik mencapai 25 mmHg, cairan melewati alveoli dan menyebabkan edema paru. Hal ini dapat terlihat sebagai densitas alveolar multiple dari setengah bagianbawah paru. Kemungkinan lain, dapat juga terlihat densitas ruang udara bilateral yang difus dan kurang tegas/jelas atau densitas perihilar.

(30)

Gambar 2.15. Congestive Heart Failure dengan densitas ruang udara perihilar di dalam distribusi “bat wings” yang mewakili edema paru.

(31)

Gambar 2.17. Congestive Heart Failure

Radiografi dada memperlihatkan kardiomegali, pengalihan vena-vena lobus atas (tanda panah), garis septum (garis Kerley B) terlihat baik di zona bawah kanan (tanda panah terbuka), dan penebalan/cairan di fisura horizontal (mata panah). Cairan di fisura horizontal kanan kadang-kadang disebut “Phantom tumour”, itu bisa menghilang pada pemeriksaan radiologi berikutnya, bila keadaan pasien membaik.

Penyebab lain yang menyebabkan terjadinya gagal jantung juga memiliki gambaran radiologis yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti pada kelainan jantung didapat dan pada kelainan jantung bawaan (Cremers, 2010; Rasad, 2010).

2.3.7. Diagnosis Banding CHF 2.3.7.1 Kelainan Jantung Didapat

1. Stenosis mitral

Penyakit reuma atau infeksi oleh coccus, menimbulkan parut yang dapat menyempitkan katup mitral. Penyempitan yang berat dengan diameter 1 cm atau kurang, menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir dari paru melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena ini melebar karena bertambah isinya dan tampak pada foto sebagai pembuluh darah lebar dan pendek diatas hilus dengan arah ke atas.

(32)

Selain bertambahnya vena-vena ini, tekanan atrium kiri dan vena pulmonalis juga bertambah tinggi sehingga menyebabkan tekanan di dalam sirkulasi paru juga bertambah tinggi. Kedaan ini disebut hipertensi pulmonal karena bendungan pada vena.

Pekerjaan ventrikel kanan menjadi bertambah. Otot ventrikel kanan mengalami hipertrofi. Lama kelamaan hiupertrofi ini akan diikuti oleh dilatasi venrikel kanan. Dilatasi ventrikel kanan ini akan nampak pada foto jantung pada posisi lateral dan pada posisi PA. Vaskular paru, baik yang arterial maupun yan venosus tampak bertambah melebar. Pembesaran ventrikel kanan ini lama kelamaan dapat mempengaruhi fungsi katup tricuspid. Katup ini akan mengalami insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang mengalir ke paru berkurang. Dilatasi ventrikel kanan akan bertambah, sehingga kemungkinan terjadinya insufisiensi katup tricuspid semakin besar pula.

Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan. Pada keadaan stenosis mitral yang berat, ventrikel kiri dapat menjadi kecil, begitu juga aorta, karena kekurangan volume darah.

Pembuluh darah paru bertambah terutama di daerah suprahilar kanan. Vena-vena tampak sebagai pembuluh darah yang pendek dan lebar di hilus kana-kiri bagian atas.

(33)

Gambar 2.18. Kardiomegali sedang dengan atrium kiri yang mengalami dilatasi berat. Tampak perubahan pada kedua lobus bawah paru akibat kongesti vena yang berkepanjangan. Serta tampak garis Kerley B pada kedua paru.

2. Insufisiensi mitral (Regurgitasi mitral)

Bila pada stenosis mitral katup menyempit, tetapi masih dapat menutup dengan baik, maka pada insufisiensi mitral (regurgitsi mitral) katup mitral tidak dapat menutup dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh :

 Otot papilaris lemah karena meradang  Otot papilaris putus karena trauma  Prolaps katup

 Cincin katup melebar mengikuti dilatasi atrium kiri atau ventrikel kiri

Pada waktu sistolik sebagian darah dari ventrikel kiri masuk lagi ke dalam atrium kiri. Darah balik ini jumlahnya dapat besar, bergantung pada parahnya kerusakan katup mitral. Pada diastolic darah dari atrium yang jumlahnya menjadi besar ini mengalir ke dalam ventrikel kiri.

(34)

Akibat regurgitasi darah pada insufisiensi mitral ini terjadilah pembesaran ventrikel kiri dan atrium kiri. Darah yang mengalir melalui aorta menjadi kurang jumlahnya. Hal ini dapat berakibat mengecilnya caliber aorta. Pembesaran atrium kiri ini akan menghambat masuknya darah dari paru melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena pulmonalis terbendung, melebar, dan ini menyebabkan tekanan di dalam vena meninggi. Maka terjadilah hipertensi pulmonal. Ventrikel kanan membesar karena hipertrofi dan dilatasi, sebagaimana terlihat pada stenosis mitral.

Bentuk jantung pada insufisiensi mitral ini hampir sama dengan stenosis mitral dan masih memiliki bentuk konfigurasi mitral. Pada insufisiensi mitral, ventrikel kiri nampak besar, sedang pada stenosis mitral ventrikel ini normal atau kecil. Aorta pada insufisiensi mitral besarnya bergantung pada darah yang mengalir melalui aorta. Bila regurgitasi itu besar, maka jumlah darah yang mengalir melalui aorta menjadi kecil. Pada foto arkus aorta akan tampak kecil. Pada kelainan mitral, baik yang bersifat stenosis atau insufisiensi sering terjadi kelainan-kelainan pada paru. Perubahan ini akan nampak jelas bila penderita menunjukkan tanda-tanda dekompensasi.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada paru adalah :

a) Pelebaran pembuluh paru yaitu pembuluh vena dan kemudian juga akan terjadi pelebaran arteri. Pelebaran ini disebabkan karena bendungan pada vena pulmonalis. Selama arteri pulmonalis masih nampak, biasanya ventrikel kanan masih bekerja baik. Bila arteri ini mulai kecil dan sukar dilihat, maka kemungkinan ventrikel kanan sudah menunjukka gejala kegagalan.

b) Terjadi bintik opak di parenkim paru. Biasanya dimulai sekitar hilus kanan dan kiri. Bintik ini menunjukkan adanya

(35)

edema di jaringan interstitial. Gambaran paru menjadi lebih suram dari normal. Makin banyak edema, bercak-bercak ini makin bertmabah besar lebar dan mengakibatkan perselubungan di sekitar hilus kanan dan kiri. Ini adalah edema alveolar.

c) Efusi pleura

Biasanya penimbunan cairan di kavum pleura ini agak jarang. Efusi pleura dapat terjadi terutama pada dekompensasi yang sudah lanjut.

d) Bintik perkapuran di paru hemosiderosis.

3. Insufisiensi aorta (Regurgitasi aorta)

Pada insufisiensi aorta, katup aorta tidak dapat menutup sempurna. Penyebabnya banyak sekali, atara lain radang reuma, radang sifilis, dan cincin katup melebar karena dilatasi ventrikel kiri.

Pada sistolik, darah dari ventrikel kiri masuk ke dalam aorta secara normal. Pada diastolic, darah dari aorta sebagian masuk ke dalam ventrikel. Jumlahnya bergantung pada parahnya katup aorta. Dalam keadaan parah yang lanjut, jumlah darah yang kembali itu besar. Darah yang bolak balik ini disebut regurgitasi. Dengan demikian penyakit katup ini disebut regurgitasi aorta atau insufisiensi aorta. Aorta pada sistolik melebar, sedangkan pada diastolic mengecil, lebih kecil daripada aorta yang normal sebagai akibat regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan juga dilatasi. Pada foto tampak pembesaran aorta dan ventrikel kiri, sedang pinggang jantung bertambah mendalam. Bentuk jantung semacam ini disebut konfigurasi aorta atau bentuk sepatu.

Bila ventrikel kiri mengalami kegagalan, maka atrium kiri dan pembuluh darah paru melebar, terutama vena pulmonalis.

(36)

4. Stenosis aorta

Stenosis katup aorta menyebabkan terjadinya dilatsi pasca stenotik pada aorta asendens. Aorta desenden tidak berubah, tetapi kadang-kadang menjadi lebih kecil dari normal. Ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemidian disertai dilatasi.

Selama ventrikel kiri cukup kompeten, keadaan vascular paru tidak berubah. Bila ventrikel kiri mengalami kegagalan, maka darah tidak dapat dipompa ke aorta secara biasa, dan akibat timbunan darah di ventrikel kiri ini terjadilah pembesaran atrium kiri dan bendungan vena pulmonalis (Rasad, 2010).

Gambar 2.19. Kardiomegali sedang dengan batas jantung kiri yang mendatar.

2.3.7.2. Kelainan Jantung Bawaan 1. Stenosis Pulmonal

Stenosis pulmonal untuk sebagian besar merupakan kelainan congenital. Sebagian lainnya disebabkan oleh pengisutan katup akibat reuma.

Penyempitan pada arteri pulmonalis dapat terjadi di berbagai tempat, yang penting adalah :

(37)

a) Penyempitan pada infundibular, mengakibatkan stenosis infundibular.

b) Penyempitan di katup pulmonal sendiri, stenosis valvular.

c) Penyempitan di cabang-cabang arteri pulmonalis, stenosis supravalvular.

Stenosis dapat terjadi di dua tempat, misalnya stenosis infundibular dan stenosis valvular atau stenosis supravalvular.

2. Atrial Septal Defect (ASD)

Defek pada sekat atrium dapat terjadi pada septum primum yang tidak menutup. Atau terjadi pada septum sekundum (foramen ovale), karena foramen ini terlalu lebar atau penutupnya kurang sempurna (Kumar, 2007).

Pada kebocoran jantung dengan arah arus dari kiri ke kanan ini (L-R

shunt) hilus melebar, tebal, dan tampak pulsasi hilus. Pulsasi ini disebut

hilar dance. Hilar dance ini terjadi karena arteri pulmonalis penuh

darah dan melebar, sehingga pulsasi ventrikel kanan merambat sampai ke hilus. Hilar dance ini dapat dilihat pada kedua hilus dengan fluoroskopi.

Darah dari atrium kiri mengalir ke dalam atrium kanan (L-R shunt). Bersama dengan darah dari atrium kanan, darah tersebut masuk ke dalam ventrikel kanan lalu ke arteri pulmonalis. Jumlah darah dalam ventrikel kanan dan arteri pulmonalis menjadi besar dan terjadi dilatasi ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Darah yang masuk ke ventrikel kiri berkurang.

Makin besar defeknya, makin kecil jumlah darah yang mengalir ke ventrikel kiri, karena sebagian besar darah dari atrium kiri mengalir ke atrium kanan melalui defek. Aorta menjadi kecil, hampir sukar dilihat, sedangkan arteri pulmonalis menjadi 3-5 kali lebih besar. Pembuluh darah hilus melebar demikian juga cabang-cabangnya. Lambat laun

(38)

pembuluh darah bagian tepi menyempit dan tinggal pembuluh darah dari sentral (hilus) saja yang melebar. Bentuk hilus yang melebar, meruncing ke bawah berbentuk seperti tanda koma terbalik (inverted

coma).

Gambaran ini menunjukkan adanya tekanan yang meninggi dari pembuluh darah paru : hipertensi pulmonal (arterial). Tingginya hipertensi pulmonal ini akan membawa perubahan pada arah kebocoran. Tekanan di ventrikel kana dan di atrium kanan berangsur menjadi tinggi. Bila tekanan atrium kanan lebih tinggi daripada atrium kiri, kebocoran menjadi terbalik arahnya yaitu kebocoran dari kanan ke kiri (R-L shubt). Pada awalnya penderita tidak sianotik, sekarang dengan pembalikan arah arus darah penderita menjadi sianotik. Keadaan ini disebut sindrom Eisenmenger (Rasad, 2010) .

Gambar 2.20. Gambaran arteri pulmonalis yang sedikit meningkat dan arteri pulmonalis utama tampak konveks dengan ukuran jantung yang normal

3. Ventricular Septal Defect (VSD)

Kelainan congenital ini paling sering dijumpai pada anak-anak. Kebocoran ini terjadi di septum intraventrikular. Kebocoran ini terjadi karena kelambatan dalam pertumbuhannya. Biasanya terjadi di pars muskularis atau di pars membranasea dari septum. Besarnya kebocoran

(39)

bervariasi, mulai dari ukuran kecil sampai besar. Darah dari ventrikel kiri mengalir melalui defek ke dalam ventrikel kanan (L-R shunt). Bersama-sama darah yang datng dari atrium kanan, darah di ventrikel kanan jumlahnya bertambah besar. Seluruh pembuluh darah arteri pulmonalis beserta pembuluh darah di paru melebar. Hilus melebar. Arteri pulmonalis menonjol. Aorta menjadi kecil, karena darah yang seharusnya mengalir ke aorta, sebagian mengalir kembali ke ventrikel kanan. Atrium kiri yang menampung darah dari vena pulmonalis yang julahnya banyak, akan melebar dari biasa dan dapat mengalai dilatasi. Ventrikel kiri otot-ototnya mengalami hipertrofi. Hipertrofi ini agak sukar dilihat pada foto polos. Arah arus dari kiri ke kanan dapat berbalik menjadi dari kanan ke kiri bila terjadi kelainan pada pembuluh darah paru, yaitu pembuluh darah paru lumennya menjadi sempit terutama di bagian perifer. Hal ini berakibat tekanan di arteri pulmonalis menjadi tinggi. Tekanan di ventrikel kanan juga meninggi. Bila tekanan di ventrikel kanan menjadi lebih tinggi dari pada tekanan di ventrikel kiri, maka terjadilah pembalikan arah kebocoran menjadi

R-L shunt. Perubahan arah kebocoran ini menyebabkan penderita

(40)

Gambar 2.21. Kardiomegali sedang dengan apeks ventrikel kiri yang membesar hingga dinding toraks kiri. Pembuluh darah paru meningkat simetris dengan arah aliran yang berbentuk konveks

4. Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Pada kelainan congenital ini terdapat hubungan antara aorta dengan arteri pulmonalis. Penghubungnya adalah duktus arteriosus Botali. Pada kehidupan intrauterine, duktus itu berfungsi untuk sirkulasi darah dari arteri pulmonalis ke aorta. Pada waktu lahir, duktus ini menutup. Bila duktus ini besar, maka ia akan tetap merupakan hubungan antara aorta dan arteri pulmonalis. Darah dari aorta akan mengalir arteri pulmonalis

(L-R shunt). Kelainan ini disebut PDA. Aorta asenden terisi normal

dengan darah dari ventrikel kiri. Caliber arkus tampak normal. Setelah sampai duktus, sebagian darah mengalir ke arteri pulmonalis. Arteri pulonalis dan cabang-cabangnya menjadi lebar, sedangkan aorta desenden mengecil. Pembuluh darah paru melebar, hilus melebar, dan pada fluoroskopi tamapak hilar dance.

Bila kemudian tetjadi penyempitan pembuluh darah paru bagian tepi, maka tekanan di arteri pulmonalis akan meninggi. Keadaan ini akan memungkinkan arah arus kebocoran berbalik menjadi R-L shunt, dari

(41)

arteri pulmonalis ke aorta. Pada saat itu pasien akan mengalami sianosis atau mengalami sindrom Eissenmenger.

Gambar 2.22. Kardiomegali ringan dengan arteri pulmonalis utama yang berbentuk konveks dan arkus aorta yang prominen diatas MPA. 5. Tetralogi Fallot

Pada tetralogi fallot terdapat 4 kelainan pokok, yaitu : a) Hipertrofi ventrikel kanan

Ventrikel kanan mengalami dilatasi dan penebalan otot (hipertrofi) yang dapat dilihat jelas pada foto lateral.

b) Semitransposisi letak aorta

Posisi aorta dapat dilihat dari posisi septum. Septum tampak sebagai bayangan hitam antara ventrikel kanan-kiri. Semitransposisi aorta (overriding aorta) akan tampak dari posisi aorta yang pangkalnya sebagian berada di ventrikel kiri dan sebagian berada di ventrikel kanan.

c) VSD dengan kebocoran kanan ke kiri d) Stenosis pulmonal

Pada foto polos tampak paru yang radioluse dari biasanya. Pembuluh darah paru berkurang dan pembuluh yang Nampak mempunyai caliber kecil. Jantung membesar ke kiri dengan pinggang jantung yang

(42)

mendalam atau konkaf. Arkus aorta sering Nampak di sebelah kanan kolumna vertebra. Akibat kelaianan ini, sejak lahir bayi menjadi sianosis.

Gambar 2.23. Bentuk jantung seperti sepatu (boot shaped) dengan ukuran yang normal. Pembuluh darah paru tampak berkurang dan arkus aorta tampak prominen di sebelah kiri.

2.3.8. Penatalaksanaan CHF

Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri ataupun gabungan dan: (1) beban awal, (2) kontraktilitas, dan (3) beban akhir. Penanganan biasanya dimulai bila timbul gejala saat beraktivitas biasa (NYHA kelas fungsional II). Regimen penangangan secara progresif ditingkatkan sampai mencapai respons klinis yang diinginkan. Eksaserbasi akut dan gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung berat dapat menjadi alasan untuk perawatan di rumah sakit dan penanganan yang lebih agresif (Rasad, 2010).

(43)

BAB III LAPORAN KASUS 3.1. Identitas Penderita

Nama : Tn. S

Usia : 72 th 6 bln 7hr

Jenis kelamin : Laki Laki

Alamat : Sedang guo RT 03/09 G. Tembalan Semarang

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak bekerja

Pendidikan : SD

Status : Menikah

Suku Bangsa : Jawa (WNI)

Ruangan : Baitus Salam 1/Rawat INAP

Masuk RSISA : Selasa, 7 Juli 2015 3.2. Anamnesa (Alloanamnesa)

Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang :

Onset : 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit

Lokasi : dada sebelah kiri

Kualitas : nyeri terus menerus dirasakan menjalar sebelah

kiri.

Kuantitas : Keluhan tersebut membuat penderita tidak

nyaman saat aktivitas

Faktor yang memperberat : bertambah nyeri jika aktivitas, mengangkat benda berat

Faktor yang memperingan : berbaring

Gejala Penyerta : mual(-),muntah(-),demam (-), pusing (+)

Kronologi : 1 tahun yang lalu pernah merasakan nyeri dada

namun masih bisa melakukan aktifitas berat, namun membaik setelah mendapat obat dari puskesmas. 1 bulan ini sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh nyeri dada kembali. Nyeri timbul semakin lama semakin berat.

(44)

Keluhan tersebut membuat penderita tidak nyaman saat istirahat dan aktivitas. Nyeri semakin sakit jika penderita mengangkat benda berat. Nyeri berkurang jika penderita berbaring. 3 hari ini keluhan semakin berat, pasien memeriksakan diri ke IGD RSISA dan rawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat sakit dengan keluhan serupa  Riwayat operasi sebelumnya disangkal  Riwayat penyakit gula diakui

 Riwayat hipertensi ada  Riwayat alergi obat disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat anggota keluarga pernah atau sedang menderita keluhan serupa disangkal

Riwayat Psikososial : Penderita tidak bekerja, social ekonomi kurang, olaraga jarang dan perokok.

3.3. Diagnosis Suspek CHF 3.4. Pemeriksaan Penunjang 3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium HEMATOLOGI 3.4.1.1 Darah Rutin 3.4.1.1.1 Hb 12.5 3.4.1.1.2 Ht 37.0 3.4.1.1.3 Leukosit 3.8 3.4.1.1.4 Trombosit 107

3.4.1.2 Golongan Darah/Rh B/Positif

3.4.1.3 APTT 24.3

3.4.1.4 Waktu Protombin 10.4 KIMIA

3.4.1.5 Gula Darah Sewaktu 59

3.4.1.6 Ureum 48

(45)

3.4.1.7.1 Natrium 1.41

3.4.1.7.2 Kalium 4.17

3.4.1.7.3 Chloride 102.3

3.4.2 Pemeriksaan Radiologi

3.4.1.1. Gambaran Radiologi Thorax

3.4.1.2. Pembacaan Hasil Foto Thorax

Cor : Apeks ke laterokaudal, elongasi arcus aorta Pulmo : Corakan vaskuler tak meningkat, tak tampak gambaran infiltrate, diaphragm dan sinus costo frenikus tak tampak kelainan

K E S A N

Kardiomegali suspek LVH Elongasi Arcus Aorta Pulmo Tenang

(46)
(47)

4.1. Hasil

Seorang pasien laki-laki dengan usia 72 tahun tahun datang ke UGD pada selasa tangal 7 Juli 2014. 1 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh nyeri dada kiri. Nyeri dirasakan semakin lama semakin berat. Keluhan tersebut membuat penderita tidak nyaman saat aktivitas ringan. Nyeri semakin sakit jika penderita mengangkat benda berat. Nyeri berkurang jika penderita berbaring. 3 hari ini keluhan semakin berat, pasien memeriksakan diri langsung ke IGD RISA dan langsung menjalani rawat inap. Penderita memiliki riwayat hipertensi, jarang olaraga, dan merokok.

Dari hasil pemeriksaan radiologi foto thoraks, didapatkan gambaran pada foto thoraks : Cor : CTR > 50%, mengalami pembesaran (suspek LVH) .Pulmo : Tak tampak Kelainan., dan di dapatkan elongasi aorta.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Hubungan antara usia dengan kardiomegali (LVH)

Pasien Tn. S memiliki usia kategori usia lanjut yang sangat berisiko terjadinya pembesaran jantung. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSU Kota Tasikmalaya oleh Gyse’le S. Bleumink dkk, dimana insiden kejadian gagal jantung banyak dijumpai pada usia lebih dari 65 tahun.

4.2.2 Hubungan antara hipertensi dengan kardiomegali (LVH)

Dari hasil pemeriksaan di dapatkan pasien Tn. S memiliki riwayat hipertensi dan berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi mengalami

(48)

pembesaran jantung kiri atau LVH. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa hipertensi merupakan faktor resiko terhadap kejadian hipertrofi ventrikel kiri dimana pria dengan hipertensi beresiko sebesar 7,737 kali mendapatkan LVH dibandingkan dengan mahasiswa pria yang normotensi (Ribka dkk, 2015). Pada pemeriksaan ekokardiografi menujukan bahwa LVH terjadi pada lebih dari 50% penderita hipertensi sedang dan hamper pada semua penderita yang di rawat karena hipertensi berat (Horrower, 1998).

Jantung mengalami hipertrofi dalam usaha akibat beban tekan (Pressure over load) atau beban volume (Voleme overload yang mengakibatkan peningkatan tegangan dinding otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri dimulai dengan peningkatan kontraktilitas miokard yang dipengaruhi oleh sistem saraf adrenergik sebagai respon neurohumoral, kemudian diikuti dengan peningkatan aliran darah balik vena karena vasokontriksi dipembuluh darah perifer dan retensi cairan oleh ginjal. Bertambahnya volume darah dalam vaskuler akan meningkatkan beban kerja jantung, kontraksi otot jantung akan menurun karena suplai aliran darah yang menurun dari aliran koroner akibat arteriosclerosis dan berkurangnya cadangan aliran pembuluh darah koroner. Dengan peningkatan tahanan perifer dan beban sistolik ventrikel kiri, jantung mengalami hipertrofi karena aktifasi simpatis untuk meningkatkan kontraksi miokard. Akibat dari pembesaran jantung kiri menyebabakan perubahan posisi anatomi, dimana apeks cordis akan bergeser kearah laterokaudal dan menempati ruang retrocardiac space (Statters, 2000)

(49)

4.2.2 Hubungan antara aktivitas fisik dengan kardiomegali (LVH)

Berdasarkan riwayat pasien menunjukan adanya aktivitas yang buruk yaitu di tunjukan dengan jarangnya olaraga dan merokok. Pada penelitian hubungan aktivitas Fisik dengan LVH sebelumnya menujukan bahwa pria dengan aktivitas fisik yang kurang berisiko sebesar 6,333 kali mendapatkan LVH di bandingkan dengan pri yang beraktivitas fisik sedang. Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi (Ribka dkk, 2015).

(50)

Congestive heart fealure (CHF) atau Gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard dalam mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan yang berlebih pada jantung, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh.

Pada pasien dalam kasus diatas didapkan diagnosis Congestive heart fealure (CHF) atau Gagal jantung kiri di dasarkan pada pemeriksaan rasiologi X foto thorak posisi PA di dapatkan apeks kelaterokaudal dan adanya elongasi aorta.

Pada mekanisme kompensasi otot miokard ventrikel kiri pada pasien ini akibat peningkatan tahanan perifer dan beban sistolik ventrikel kiri, jantung mengalami hipertrofi karena aktifasi simpatis untuk meningkatkan kontraksi miokard. Akibat dari pembesaran jantung kiri menyebabakan perubahan posisi anatomi, dimana apeks cordis akan bergeser kearah laterokaudal dan menempati ruang retrocardiac space.

(51)

Collins J, Stern EJ. 2007. Chest radiology, the essentials. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN:0781763142.

Cremers, Simon., Bradshaw, Jennifer., Herfkens, Freek. 2010. Chest X Ray-Heart Failure. The Radiology Assistant. Publication date : 1-9-2010

Gleadle, Jonathan. 2005. At a Glance : Anamnesis & Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga.

Guyton, A.C; Hall, J.E; 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. 107-128.

H. Gray, Huon, D. Dawkins, Keith, dkk. 2003. Lecture Notes : Kardiologi. Edisi 4. Jakarta : Erlangga Medical Series.

Hartono L. 1995.Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Cetakan IV. Jakarta: EGC.

Horrower, A. and Mc Farlane, G., 1998. Left ventricular hypertrophy in hyper

tension. Am J Med;(S)1B:89-91.

Ismail. Gagal jantung kongestif. [Online] 1 Mei 2009 [akses 18 Juli 2015]. Available from: URL: http://www.gagal-jantung-kongestif.co.id.html.

Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2.Jakarta : EGC.

L. brashers, Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi pemeriksaan dan Manajemen. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D. 2011. Acute Pulmonary Edema. (Akses 17 Juli 2015) Available from: URL http://www.nejm.org. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI

Ribka L, Wowor., Kandou, G.D., Umboh, J.M.L., 2015. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembesaran Jantung Kiri (LVH) pada Mahasiswa Pria Peserta Kepanitraan Klinik Madya Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. FK Universitas Sam Ratulangi Manado.

(52)

Statters DJ. Malik M. Ward DE. Camm AJ. QT dispersion, problem of methodology and clinical significance. J. cardiovascular electrophysiology 1994 Aug. 672-85.

Sudoro, Aru . 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta : FKUI.

Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC

Gambar

Gambar 2.1. Letak Jantung 2.1.2. Lapisan jantung
Gambar 2.2. Lapisan jantung
Gambar 2.3. Ruang-Ruang Jantung
Gambar 2.4. Katup Jantung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah luas waslap yang kontak dengan pembuluh darah perifer yang berbeda antara teknik kompres air hangat dengan tepid sponge bath akan turut memberikan

Untuk bangunan Masjid Salman, Bandung pemilihan sutruktu atap berdasarkan pada tidak adanya keharusan dalam menggunakan kubah, juga karena ketidaksiapan

Dewasa ini masih banyak masyarakat yang memiliki pengetahuan yang minim terkait dengan implementasi dan urgensi kedaulatan rakyat untuk membantu penataan bangsa

Transparansi Kondisi Keuangan BPRS dan Surat Edaran OJK No.30 /SEOJK.03/2019 tanggal 26 Desember 2019 tentang Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan Publikasi BPRS. Laporan

• [5:114] Isa putera Maryam berdo'a: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami

Hal ini dilakukan untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan yaitu mengungkap dan menjelaskan bentuk dan konsep Patjarmerah sebagai festival kecil

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi unggah ungguh penggunaan bahasa tersebut, maka seseorang akan berbicara dengan memperhatikan status dirinya dan status orang

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Perbandingan Kadar Karbon Monoksida (CO)