• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEJADIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN VARIETAS TOLERAN GANODERMA DENGAN SISTEM LUBANG TANAM STANDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEJADIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA TANAMAN BELUM MENGHASILKAN VARIETAS TOLERAN GANODERMA DENGAN SISTEM LUBANG TANAM STANDAR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Wibawa, W. (2013). Development of method for residue analysis of three herbicides in the soil by high performance liquid chromatography (HPLC). Journal of Environmental Chemistry and Ecotoxicology, 5(8), 220-226. Doi: 10.5897/JECE 2013.0285.

Widiyanti, P.M., & Yuniningsih. (2013). Pengembangan metode analisis residu

herbisida parakuat dalam tanaman secara thin layer chromatography (TLC) dan aplikasinya. Prosiding PPI Standardisasi 2013, 2013-Medan.

Yuniningsih. (2012). Validasi metode analisis herbisida parakuat (gramoxone) dalam tanaman secara spektrofotometri. Prosiding PPI Standardisasi 2012-Jakarta, 13 November 2012. Jakarta.

KEJADIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA TANAMAN

BELUM MENGHASILKAN VARIETAS TOLERAN

GANODERMA DENGAN

SISTEM LUBANG TANAM STANDAR

BPB juga sudah mulai terjadi pada tanaman muda (Prasetyo & Susanto, 2016; Susanto et al, 2015; Susanto, Prasetyo, & Wening, 2013), terutama di wilayah Sumatera Utara yang saat ini sudah mencapai generasi tanaman ketiga hingga keempat (Priwiratama, Prasetyo, & Susanto, 2020). Pada daerah-daerah endemik, laju infeksi

Ganoderma juga menjadi lebih cepat khususnya pada tanaman generasi kedua atau lebih dengan pola tanam menggunakan lubang standar (Prasetyo & Susanto, 2016; Priwiratama et al, 2020).

Penggunaan bahan tanam toleran Ganoderma

dipercaya menjadi salah satu solusi untuk mengendalikan penyakit BPB di lapangan (Cooper, Flood, & Rees, 2011; Idris & Norman, 2016; Susanto et al, 2015). Di Indonesia, upaya perakitan bahan tanam toleran Ganoderma telah dilakukan secara intensif sejak dua dekade terakhir (Breton et al, 2010; Durand-Gasselin et al, 2005; Rahmaningsih, Setiawati, Nelson, Breton, & Sore, 2010; Susanto & Prasetyo, 2013; Turnbull et al, 2014; Wening et al, 2016) dan dalam kurun lima tahun terakhir, dua varietas telah dilepas secara komersil. Kedua varietas tersebut menghadirkan harapan baru bagi industri kelapa sawit Indonesia untuk menekan tingkat kerugian yang diakibatkan penyakit BPB di lapangan.

PENDAHULUAN

Busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Jamur Ganoderma boninense merupakan penyakit pada tanaman kelapa sawit yang paling merusak di kawasan Asia Tenggara (Idris & Norman, 2016; Susanto et al, 2015). Di Indonesia, penyakit BPB dapat menyebabkan penurunan produktivitas kelapa sawit yang signifikan per hektar area, terutama disebabkan oleh kematian tanaman yang dapat mencapai lebih dari 50% (Subagio & Foster, 2003; Susanto, 2011; Susanto & Huan, 2010). Potensi kerugian akibat penyakit BPB di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari USD 250 juta untuk setiap 1% tingkat kejadian penyakit di lapangan (Darmono, 2011).

Pada awal perkembangan perkebunan kelapa sawit, penyakit BPB lebih banyak terjadi pada tanaman menghasilkan berusia lebih dari 15 tahun dengan tingkat kejadian penyakit yang relatif masih rendah (Susanto, 2012). Seiring dengan pertambahan generasi tanaman, kejadian penyakit

Hari Priwiratama dan Agus Susanto

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Hari Priwiratama( )*

Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Jl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, Indonesia Email: hari.priwiratama@gmail.com

Abstrak -Kejadian penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada dua varietas toleran yang sudah dirilis (Toleran 1 dan Toleran 2) diamati pada areal tanaman belum menghasilkan tahun tanam 2018 (TBM II) dan 2017 (TBM III) di kebun kelapa sawit yang terletak di Kabupaten Deli Serdang. Gejala penyakit BPB pada kedua varietas di areal TBM berupa akumulasi daun tombak, penguningan tajuk tanaman disertai nekrosis pada pelepah bagian bawah, dan pembusukan di bagian pangkal bonggol tanaman. Rata-rata kejadian penyakit BPB kedua varietas pada areal TBM II dan TBM III masih tergolong rendah, yaitu kurang dari 1%. Kejadian penyakit BPB varietas Toleran 1 pada TBM II dan TBM III masing-masing mencapai 0,55% sedangkan pada varietas Toleran 2 berturut-turut mencapai 0,32% dan 0,40%. Pemilihan pola tanam ulang tanpa sanitasi sumber inokulum menjadi salah satu faktor pencetus infeksi Ganoderma pada kedua areal TBM.

Kata kunci: Ganoderma, busuk pangkal batang, kejadian penyakit, Toleran 1, Toleran 2, sanitasi Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(2)

Saat ini kedua varietas tersebut telah mulai ditanam secara luas, khususnya pada kebun-kebun yang berada di kawasan endemik

Ganoderma. Dengan anggapan bahwa varietas yang digunakan sudah toleran terhadap

Ganoderma, beberapa kebun yang terletak di wilayah endemik hanya menerapkan pola tanam ulang standar (tumbang-chipping) dengan lubang tanam normal (60x60x40 cm). Namun, respon kedua varietas terhadap paparan Ganoderma

pada pola tanam standar di area endemik belum banyak diketahui. Oleh karena itu, observasi lapangan untuk mengetahui tingkat kejadian penyakit BPB pada fase awal penanaman kedua varietas perlu untuk dilakukan. Dalam makalah ini, tingkat kejadian penyakit BPB pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) dari kedua varietas toleran akan didiskusikan.

Bahan dan Metode

Observasi lapangan dilakukan di salah satu kebun kelapa sawit yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada bulan April 2020. Pengamatan kejadian penyakit BPB dilakukan pada areal TBM kelapa sawit tahun tanam 2018 (TBM II) seluas 174,50 ha (10 blok) dan tahun tanam 2017 (TBM III) seluas 245,65 ha (11 blok) yang ditanami menggunakan dua varietas toleran Ganoderma

(Toleran 1 dan Toleran 2). Sensus tanaman dilakukan secara visual dengan memperhatikan gejala-gejala tanaman yang terinfeksi Ganoderma. Sampel jaringan sakit dari tanaman terinfeksi dengan gejala yang sama juga turut diisolasi pada media potato dextrose agar

(PDA) untuk mengkonfirmasi pertumbuhan jamur G. boninense pada tanaman tersebut. Tingkat kejadian penyakit selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala penyakit BPB pada TBM kelapa sawit

Tanaman dengan indikasi penyakit BPB dapat ditemukan di seluruh blok observasi TBM II dan TBM III. Gejala penyakit BPB paling umum yang teramati pada kedua areal TBM adalah akumulasi daun tombak (Gambar 1). Selain disebabkan oleh infeksi

Ganoderma, akumulasi daun tombak dapat terjadi akibat kondisi kekeringan, tetapi umumnya memiliki pola penyebaran yang lebih merata pada seluruh blok (Susanto, 2012). Gejala lainnya adalah menguningnya tajuk tanaman secara menyeluruh, biasanya menyerupai gejala defisiensi N, dan seiring perkembangan penyakit akan disertai dengan nekrosis atau mengeringnya anak daun secara serentak, yang umumnya dimulai dari pelepah bagian bawah (Gambar 2). Gejala nekrosis ini merupakan salah satu gejala khas infeksi

Ganoderma pada tanaman TBM (Susanto, 2012). Kemunculan gejala nekrosis, menunjukkan bahwa bagian bonggol tanaman yang terinfeksi sudah mengalami pembusukan berat sehingga asupan air dan nutrisi lainnya terhambat (Gambar 3). Berbeda dengan pembusukan akibat infeksi bakteri seperti pada kasus busuk pupus, gejala pembusukan yang

terjadi pada bagian bonggol adalah busuk kering dan tidak berbau (Priwiratama & Susanto, 2013; Susanto, 2012). Pada kondisi ini, tanaman umumnya akan mengalami kematian secara perlahan. Gejala-gejala tersebut dapat juga disertai dengan kemunculan tubuh buah, terutama apabila tanaman yang terinfeksi dapat bertahan hidup. Tanaman yang terinfeksi umumnya juga memiliki vigor tanaman yang lebih kurus atau pertumbuhan yang tertinggal dibandingkan dengan tanaman yang sehat, terutama apabila tanaman terinfeksi pernah terserang oleh kumbang tanduk

Oryctes rhinoceros.

Kejadian penyakit BPB

Kejadian penyakit BPB teramati pada tempat-tempat tertentu (spotted) di areal TBM II dan TBM III, baik pada blok yang ditanami varietas Toleran 1 maupun varietas Toleran 2 (Tabel 1). Secara umum kejadian penyakit BPB pada areal TBM III lebih tinggi dibanding areal TBM II. Kejadian penyakit BPB tertinggi pada varietas Toleran 1 di areal TBM II dan TBM III berturut-turut sebesar 0,84% (blok AF) dan 1,33% (blok F), sedangkat pada varietas Toleran 2 sebesar 0,46% (blok AJ) dan 0,70% (blok K). Rata-rata kejadian penyakit BPB kedua varietas pada

areal ini masih cukup rendah yaitu kurang dari 1%. Rata-rata kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 adalah sebesar 0,58% baik pada TBM II

maupun pada TBM III, sedangkan pada varietas Toleran 2 berturut-turut sebesar 0,32% dan 0,40% (Gambar 4).

Gambar 1. Tanaman terinfeksi Ganoderma dengan gejala akumulasi daun tombak

Gambar 2. Tajuk pada tanaman terinfeksi Ganoderma menguning diikuti dengan gejala nekrosis pada pelepah bawah

Gambar 3. Tanaman tumbang akibat terinfeksi Ganoderma menunjukkan bagian bonggol tanaman dengan gejala busuk kering

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(3)

Saat ini kedua varietas tersebut telah mulai ditanam secara luas, khususnya pada kebun-kebun yang berada di kawasan endemik

Ganoderma. Dengan anggapan bahwa varietas yang digunakan sudah toleran terhadap

Ganoderma, beberapa kebun yang terletak di wilayah endemik hanya menerapkan pola tanam ulang standar (tumbang-chipping) dengan lubang tanam normal (60x60x40 cm). Namun, respon kedua varietas terhadap paparan Ganoderma

pada pola tanam standar di area endemik belum banyak diketahui. Oleh karena itu, observasi lapangan untuk mengetahui tingkat kejadian penyakit BPB pada fase awal penanaman kedua varietas perlu untuk dilakukan. Dalam makalah ini, tingkat kejadian penyakit BPB pada fase tanaman belum menghasilkan (TBM) dari kedua varietas toleran akan didiskusikan.

Bahan dan Metode

Observasi lapangan dilakukan di salah satu kebun kelapa sawit yang terletak di Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada bulan April 2020. Pengamatan kejadian penyakit BPB dilakukan pada areal TBM kelapa sawit tahun tanam 2018 (TBM II) seluas 174,50 ha (10 blok) dan tahun tanam 2017 (TBM III) seluas 245,65 ha (11 blok) yang ditanami menggunakan dua varietas toleran Ganoderma

(Toleran 1 dan Toleran 2). Sensus tanaman dilakukan secara visual dengan memperhatikan gejala-gejala tanaman yang terinfeksi Ganoderma. Sampel jaringan sakit dari tanaman terinfeksi dengan gejala yang sama juga turut diisolasi pada media potato dextrose agar

(PDA) untuk mengkonfirmasi pertumbuhan jamur G. boninense pada tanaman tersebut. Tingkat kejadian penyakit selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala penyakit BPB pada TBM kelapa sawit

Tanaman dengan indikasi penyakit BPB dapat ditemukan di seluruh blok observasi TBM II dan TBM III. Gejala penyakit BPB paling umum yang teramati pada kedua areal TBM adalah akumulasi daun tombak (Gambar 1). Selain disebabkan oleh infeksi

Ganoderma, akumulasi daun tombak dapat terjadi akibat kondisi kekeringan, tetapi umumnya memiliki pola penyebaran yang lebih merata pada seluruh blok (Susanto, 2012). Gejala lainnya adalah menguningnya tajuk tanaman secara menyeluruh, biasanya menyerupai gejala defisiensi N, dan seiring perkembangan penyakit akan disertai dengan nekrosis atau mengeringnya anak daun secara serentak, yang umumnya dimulai dari pelepah bagian bawah (Gambar 2). Gejala nekrosis ini merupakan salah satu gejala khas infeksi

Ganoderma pada tanaman TBM (Susanto, 2012). Kemunculan gejala nekrosis, menunjukkan bahwa bagian bonggol tanaman yang terinfeksi sudah mengalami pembusukan berat sehingga asupan air dan nutrisi lainnya terhambat (Gambar 3). Berbeda dengan pembusukan akibat infeksi bakteri seperti pada kasus busuk pupus, gejala pembusukan yang

terjadi pada bagian bonggol adalah busuk kering dan tidak berbau (Priwiratama & Susanto, 2013; Susanto, 2012). Pada kondisi ini, tanaman umumnya akan mengalami kematian secara perlahan. Gejala-gejala tersebut dapat juga disertai dengan kemunculan tubuh buah, terutama apabila tanaman yang terinfeksi dapat bertahan hidup. Tanaman yang terinfeksi umumnya juga memiliki vigor tanaman yang lebih kurus atau pertumbuhan yang tertinggal dibandingkan dengan tanaman yang sehat, terutama apabila tanaman terinfeksi pernah terserang oleh kumbang tanduk

Oryctes rhinoceros.

Kejadian penyakit BPB

Kejadian penyakit BPB teramati pada tempat-tempat tertentu (spotted) di areal TBM II dan TBM III, baik pada blok yang ditanami varietas Toleran 1 maupun varietas Toleran 2 (Tabel 1). Secara umum kejadian penyakit BPB pada areal TBM III lebih tinggi dibanding areal TBM II. Kejadian penyakit BPB tertinggi pada varietas Toleran 1 di areal TBM II dan TBM III berturut-turut sebesar 0,84% (blok AF) dan 1,33% (blok F), sedangkat pada varietas Toleran 2 sebesar 0,46% (blok AJ) dan 0,70% (blok K). Rata-rata kejadian penyakit BPB kedua varietas pada

areal ini masih cukup rendah yaitu kurang dari 1%. Rata-rata kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 adalah sebesar 0,58% baik pada TBM II

maupun pada TBM III, sedangkan pada varietas Toleran 2 berturut-turut sebesar 0,32% dan 0,40% (Gambar 4).

Gambar 1. Tanaman terinfeksi Ganoderma dengan gejala akumulasi daun tombak

Gambar 2. Tajuk pada tanaman terinfeksi Ganoderma menguning diikuti dengan gejala nekrosis pada pelepah bawah

Gambar 3. Tanaman tumbang akibat terinfeksi Ganoderma menunjukkan bagian bonggol tanaman dengan gejala busuk kering

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(4)

K 24,75 3590 Toleran 2 25 0,70 J 21,60 3059 Toleran 2 3 0,10 I 24,60 3533 Toleran 1 15 0,42 H 25,00 3455 Toleran 1 6 0,17 G 23,15 3312 Toleran 1 10 0,30 F 12,30 1651 Toleran 1 22 1,33 E 21,50 3199 Toleran 1 9 0,28 A 22,75 3215 Toleran 1 27 0,84 B 21,85 3075 Toleran 1 35 1,14 C 23,40 3269 Toleran 1 22 0,67 D 24,75 3654 Toleran 1 2 0,05

Fase tanam Blok Luas (ha) Jumlahpohon Varietas terinfeksiPohon penyakit (%)Kejadian

TBM II AA 22,20 3134 Toleran 1 24 0,77 AB 7,70 1117 Toleran 1 7 0,63 AC 22,30 3008 Toleran 1 18 0,60 AD 2,85 413 Toleran 1 3 0,73 AE 15,60 2271 Toleran 1 5 0,22 AF 21,60 3109 Toleran 1 26 0,84 AG 15,90 2256 Toleran 1 7 0,31 AH 22,15 3089 Toleran 2 8 0,26 AJ 19,70 2606 Toleran 2 12 0,46 AK 24,50 3527 Toleran 2 8 0,23 TBM III

Pada kedua areal, kejadian penyakit BPB terdapat pada areal-areal tertentu (spotted) dan cenderung mengelompok di sekitar tanaman yang terinfeksi. Pola mengelompok ini dapat terjadi akibat infeksi Ganoderma yang penyebaran utamanya melalui kontak akar. Pada kasus di TBM dengan pertumbuhan akar yang masih terbatas atau belum tumpang tindih, pola mengelompok dapat mengindikasikan bahwa di sekitar titik penanaman terdapat sumber inokulum Ganoderma, baik pada sisa-sisa akar ataupun bonggol, yang dapat dijangkau oleh akar-akar tanaman sehat di sekelilingnya. Pada kasus lainnya juga dilaporkan

bahwa sebaran penyakit BPB pada generasi tanaman baru cenderung mengelompok di sekitar titik-titik dimana terdapat bonggol atau tunggul sisa tanaman yang pernah terinfeksi Ganoderma

(Priwiratama & Susanto, 2015).

Kematian tanaman pada areal TBM III turut diperparah dengan serangan rayap, seperti yang terjadi di blok AF. Pada umumnya, tanaman yang tumbang menunjukkan gejala busuk kering yang disertai serangan rayap pada bagian bonggol (Gambar 5). Serangan rayap ini dapat terlihat dari tanda serangan berupa lorong-lorong tanah yang

Tabel 1. Kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 dan Toleran 2 terdapat di bagian pangkal bonggol hingga ke titik

tumbuh. Kejadian serangan rayap yang bersamaan dengan penyakit BPB juga sebelumnya pernah teramati di wilayah Riau (Priwiratama, Madiyuanto,

Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahan tanam toleran Ganoderma tidak dapat menjamin tanaman kelapa sawit akan terbebas dari infeksi Ganoderma pada masa awal perkembangan kelapa sawit atau pada fase TBM.

Rozziansha, Prasetyo, & susanto, 2018). Sinergi serangan rayap dengan infeksi Ganoderma ini berpotensi mempercepat kematian pada tanaman meskipun tajuk tanaman masih terlihat segar.

Infeksi yang terjadi pada masa TBM menunjukkan bahwa inokulum Ganoderma sudah tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah untuk mendukung terjadinya infeksi pada bibit yang ditanam (Flood, Hasan, Turner, & O'Grady, 2000). Pemilihan metode Gambar 4. Rerata kejadian penyakit BPB varietas Toleran 1 dan Toleran 2 pada areal TBM II dan TBM III

Gambar 5. Tanaman dengan serangan rayap dan infeksi Ganoderma

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(5)

K 24,75 3590 Toleran 2 25 0,70 J 21,60 3059 Toleran 2 3 0,10 I 24,60 3533 Toleran 1 15 0,42 H 25,00 3455 Toleran 1 6 0,17 G 23,15 3312 Toleran 1 10 0,30 F 12,30 1651 Toleran 1 22 1,33 E 21,50 3199 Toleran 1 9 0,28 A 22,75 3215 Toleran 1 27 0,84 B 21,85 3075 Toleran 1 35 1,14 C 23,40 3269 Toleran 1 22 0,67 D 24,75 3654 Toleran 1 2 0,05

Fase tanam Blok Luas (ha) Jumlahpohon Varietas terinfeksiPohon penyakit (%)Kejadian

TBM II AA 22,20 3134 Toleran 1 24 0,77 AB 7,70 1117 Toleran 1 7 0,63 AC 22,30 3008 Toleran 1 18 0,60 AD 2,85 413 Toleran 1 3 0,73 AE 15,60 2271 Toleran 1 5 0,22 AF 21,60 3109 Toleran 1 26 0,84 AG 15,90 2256 Toleran 1 7 0,31 AH 22,15 3089 Toleran 2 8 0,26 AJ 19,70 2606 Toleran 2 12 0,46 AK 24,50 3527 Toleran 2 8 0,23 TBM III

Pada kedua areal, kejadian penyakit BPB terdapat pada areal-areal tertentu (spotted) dan cenderung mengelompok di sekitar tanaman yang terinfeksi. Pola mengelompok ini dapat terjadi akibat infeksi Ganoderma yang penyebaran utamanya melalui kontak akar. Pada kasus di TBM dengan pertumbuhan akar yang masih terbatas atau belum tumpang tindih, pola mengelompok dapat mengindikasikan bahwa di sekitar titik penanaman terdapat sumber inokulum Ganoderma, baik pada sisa-sisa akar ataupun bonggol, yang dapat dijangkau oleh akar-akar tanaman sehat di sekelilingnya. Pada kasus lainnya juga dilaporkan

bahwa sebaran penyakit BPB pada generasi tanaman baru cenderung mengelompok di sekitar titik-titik dimana terdapat bonggol atau tunggul sisa tanaman yang pernah terinfeksi Ganoderma

(Priwiratama & Susanto, 2015).

Kematian tanaman pada areal TBM III turut diperparah dengan serangan rayap, seperti yang terjadi di blok AF. Pada umumnya, tanaman yang tumbang menunjukkan gejala busuk kering yang disertai serangan rayap pada bagian bonggol (Gambar 5). Serangan rayap ini dapat terlihat dari tanda serangan berupa lorong-lorong tanah yang

Tabel 1. Kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 dan Toleran 2 terdapat di bagian pangkal bonggol hingga ke titik

tumbuh. Kejadian serangan rayap yang bersamaan dengan penyakit BPB juga sebelumnya pernah teramati di wilayah Riau (Priwiratama, Madiyuanto,

Hasil-hasil di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahan tanam toleran Ganoderma tidak dapat menjamin tanaman kelapa sawit akan terbebas dari infeksi Ganoderma pada masa awal perkembangan kelapa sawit atau pada fase TBM.

Rozziansha, Prasetyo, & susanto, 2018). Sinergi serangan rayap dengan infeksi Ganoderma ini berpotensi mempercepat kematian pada tanaman meskipun tajuk tanaman masih terlihat segar.

Infeksi yang terjadi pada masa TBM menunjukkan bahwa inokulum Ganoderma sudah tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah untuk mendukung terjadinya infeksi pada bibit yang ditanam (Flood, Hasan, Turner, & O'Grady, 2000). Pemilihan metode Gambar 4. Rerata kejadian penyakit BPB varietas Toleran 1 dan Toleran 2 pada areal TBM II dan TBM III

Gambar 5. Tanaman dengan serangan rayap dan infeksi Ganoderma

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(6)

demikian, penggabungan beberapa teknik pengendalian sangat penting dalam upaya mitigasi

Ganoderma di lapangan, sebagaimana yang telah banyak disarankan sebelumnya (Cooper et al, 2011; Darmono, 2011; Flood et al, 2000; Prasetyo & Susanto, 2016; Priwiratama, Prasetyo, & Susanto, 2014; Susanto & Huan, 2010; Virdiana et al, 2012; Wening et al, 2016). Teknik-teknik tersebut terdiri dari persiapan lahan dengan sanitasi akar, penggunaan lubang tanam besar pada lahan mineral dengan topografi datar, penggunaan tanaman toleran, aplikasi agen hayati sejak pembibitan hingga penanaman di lapangan, monitoring penyakit secara berkala, isolasi tanaman sakit menggunakan parit individu atau kelompok, pembumbunan dan pembedaan tanaman dengan gejala ringan, hingga pemusnahan tanaman bergejala berat. Meskipun tidak dapat mengendalikan penyakit seluruhnya, integrasi metode-metode tersebut diharapkan mampu meminimalkan resiko infeksi atau mengurangi kerugian ekonomi akibat penyakit Ganoderma.

KESIMPULAN

Infeksi Ganoderma dapat terjadi pada areal TBM meskipun tanaman yang digunakan merupakan varietas toleran Ganoderma. Gejala penyakit BPB pada TBM berupa akumulasi daun tombak, tajuk tanaman menguning disertai gejala nekrosis yang dimulai dari pelepah-pelepah bagian bawah. Infeksi

Ganoderma yang terjadi secara mengelompok mengindikasikan bahwa sisa-sisa perakaran dari penanaman sebelumnya menjadi medium yang potensial untuk menularkan penyakit dari satu pohon ke pohon lainnya. Kejadian penyakit BPB di lokasi pengamatan menjadi contoh pentingnya penanganan

Ganoderma secara terpadu yang harus direncanakan dan dimulai sejak proses persiapan lahan untuk mengurangi sebanyak mungkin sumber inokulum

Ganoderma di lapangan.

DAFTAR PUTAKA

Breton, F., Rahmaningsih, M., Lubis, Z., Syahputra, I., U, S., Flori, A., . . . de Franqueville, H. (2010, 30 M a r e t 2 0 2 0 ) . E v a l u a t i o n o f resistance/susceptibility level of oil palm progenies to basal stem rot disease by the use of an early screening test, relation to field tanam ulang dengan pola standar yang hanya

dilakukan dengan cara penumbangan dan pencacahan tanaman serta penggunaan lubang tanam standar (60x60x40 cm) menjadi faktor yang paling berkontribusi menyebabkan terjadinya infeksi pada masa TBM di lokasi pengamatan. Dengan metode tanam ulang standar, sumber inokulum potensial dalam penyebaran Ganoderma seperti sisa-sisa akar dan bonggol akan tetap berada di lapangan sehingga potensi infeksi Ganoderma pada awal periode penanaman menjadi lebih tinggi (Cooper et al, 2011; Virdiana et al, 2012). Keberadaan sisa-sisa akar dan bonggol tanaman dapat menjadi tempat bagi

Ganoderma untuk tinggal dan bertahan hidup hingga pada akhirnya menginfeksi tanaman sehat ketika akar tanaman terus tumbuh dan kontak dengan inokulum tersebut (Susanto, 2012).

Penggunaan tanaman toleran juga harus dikombinasikan dengan teknologi pengendalian terpadu lainnya yang dimulai sejak persiapan lahan (Susanto et al, 2015; Virdiana et al, 2012). Pentingnya pemilihan metode tanam ulang pada areal endemik

Ganoderma telah didemonstrasikan sebelumnya pada generasi tanaman ketiga (Priwiratama et al, 2020). Pada penelitian tersebut, tiga metode tanam ulang yang terdiri dari metode standar kebun (Corley & Tinker, 2016; Lubis, 2008), metode lubang tanam besar (hole in hole) (Susanto et al, 2015), dan metode kombinasi sanitasi akar dengan lubang tanam besar dilakukan untuk penanaman kelapa sawit menggunakan varietas normal (non toleran). Hasilnya, kejadian penyakit BPB pada lubang tanam besar baru terdeteksi pada tahun ketiga setelah penanaman dan dapat dipertahankan dibawah 5% hingga tahun keenam. Sementara itu, pada metode kombinasi sanitasi akar, kejadian penyakit BPB baru terdeteksi pada tahun ketujuh dan tetap berada dibawah 5% hingga tahun kesembilan. Sedangkan pada metode tanam standar, kejadian penyakit BPB sudah terdeteksi sejak TBM I mencapai 2% dan terus meningkat hingga lebih dari 50% pada tahun kesembilan (Priwiratama et al, 2020).

Percobaan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan metode tanam ulang yang tepat mampu menekan infeksi Ganoderma pada fase TBM bahkan hingga tanaman menghasilkan muda (umur 3-9 tahun) meskipun menggunakan varietas normal. Kejadian penyakit Ganoderma tersebut tentunya dapat lebih ditekan bila menggunakan varietas toleran. Dengan

observations Paper presented at the Second IOPRI-MPOB International Seminar: Advances in Ganoderma research and management, Yogyakarta.

Cooper, R. M., Flood, J., & Rees, R. (2011). Ganoderma boninense in oil palm plantations: current thinking on epidemiology, resistance and pathology. 87(1024), 515-526.

Corley, R. H. V., & Tinker, P. B. (2016). The Oil Palm (5 ed.). Chichester, UK: Blackwell Science Ltd. Darmono, T. (2011, 2-3 November 2011). Strategi

berperang melawan Ganoderma pada perkebunan kelapa sawit. Paper presented at the Symp. Nasional & Lokakarya Ganoderma “Sebagai Patogen Penyakit Tanaman & Bahan Baku Obat Tradisional”, Bogor.

Durand-Gasselin, T., Asmady, H., Flori, A., Jacquemard, J.-C., Hayun, Z., Breton, F., & De Franqueville, H. (2005). Possible sources of genetic resistance in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) to basal stem rot caused by Ganoderma boninense–prospects for future breeding. Mycopathologia, 159(1), 93-100. Flood, J., Hasan, Y., Turner, P. D., & O'Grady, E. B.

(2000). The spread of Ganoderma from infective sources in the field and its implications for management of the disease in oil palm. In J. Flood, P. D. Bridge, & M. Holderness (Eds.), Ganoderma diseases of perennial crops (pp. 101-112). UK: CABI.

Idris, A. S., & Norman, K. (2016). Some latest R&D on Ganoderma diseases of oil palm in Malaysia. Paper presented at the Sixth IOPRI-MPOB International Seminar: Current Research and Management of Pests, Ganoderma, and Pollination in Oil Palm for Higher Productivity, Medan.

Lubis, A. U. (2008). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia (2 ed.). Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2016). Prolonging the productive life of oil palms in Ganoderma endemic area with flutriafol. Paper presented at the 6th IOPRI-MPOB Int. Seminar: Current Research and Management of Pests, Ganoderma, and Pollination in Oil Palm for

Higher Productivity, Medan.

Priwiratama, H., Madiyuanto, Rozziansha, T. A. P., Prasetyo, A. E., & susanto, A. (2018). Kenali dan kendalikan serangan rayap di areal kelapa sawit dan eks-hutan. Warta PPKS, 23(3), 91-98.

Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2014). Pengendalian penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit secara kultur teknis. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 10(1), 1-7.

Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2020). Incidence of basal stem rot disease of oil palm in converted planting areas and control treatments. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 468, 012036. doi:10.1088/1755-1315/468/1/012036

Priwiratama, H., & Susanto, A. (2013). Mengenal penyakit busuk pupus di perkebunan kelapa sawit. [Field monitoring of lethal spear rot disease in oil palm plantation]. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 18(1), 1-6.

Priwiratama, H., & Susanto, A. (2015, 19-20 Mei 2015). Peran tunggul terinfeksi dalam penyebaran Ganoderma boninense di perkebunan kelapa sawit. Paper presented at the Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2015, Yogyakarta.

Rahmaningsih, M., Setiawati, U., Nelson, S. P. C., Breton, F., & Sore, R. (2010, 1-3 Juni 2010). Genetic combine ability (GCA) for Ganoderma tolerance via nursery screening test. Paper presented at the International Oil Palm Conference, Yogyakarta.

Subagio, A., & Foster, H. L. (2003, August 2003). Implications of Ganoderma disease on loss in stand and yield production of oil palm in North Sumatra. Paper presented at the 6th International Conference on Plant Protection in the Tropics, Kuala Lumpur, Malaysia.

Susanto, A. (2011, 2-3 November 2011). Ganoderma di perkebunan kelapa sawit dari waktu ke waktu. Paper presented at the Symp. Nasional & Lokakarya Ganoderma "Sebagai Patogen Penyakit Tanaman dan Bahan Baku Obat Tradisional", Bogor.

Susanto, A. (2012). S.O.P. Pengendalian Ganoderma di Perkebunan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(7)

demikian, penggabungan beberapa teknik pengendalian sangat penting dalam upaya mitigasi

Ganoderma di lapangan, sebagaimana yang telah banyak disarankan sebelumnya (Cooper et al, 2011; Darmono, 2011; Flood et al, 2000; Prasetyo & Susanto, 2016; Priwiratama, Prasetyo, & Susanto, 2014; Susanto & Huan, 2010; Virdiana et al, 2012; Wening et al, 2016). Teknik-teknik tersebut terdiri dari persiapan lahan dengan sanitasi akar, penggunaan lubang tanam besar pada lahan mineral dengan topografi datar, penggunaan tanaman toleran, aplikasi agen hayati sejak pembibitan hingga penanaman di lapangan, monitoring penyakit secara berkala, isolasi tanaman sakit menggunakan parit individu atau kelompok, pembumbunan dan pembedaan tanaman dengan gejala ringan, hingga pemusnahan tanaman bergejala berat. Meskipun tidak dapat mengendalikan penyakit seluruhnya, integrasi metode-metode tersebut diharapkan mampu meminimalkan resiko infeksi atau mengurangi kerugian ekonomi akibat penyakit Ganoderma.

KESIMPULAN

Infeksi Ganoderma dapat terjadi pada areal TBM meskipun tanaman yang digunakan merupakan varietas toleran Ganoderma. Gejala penyakit BPB pada TBM berupa akumulasi daun tombak, tajuk tanaman menguning disertai gejala nekrosis yang dimulai dari pelepah-pelepah bagian bawah. Infeksi

Ganoderma yang terjadi secara mengelompok mengindikasikan bahwa sisa-sisa perakaran dari penanaman sebelumnya menjadi medium yang potensial untuk menularkan penyakit dari satu pohon ke pohon lainnya. Kejadian penyakit BPB di lokasi pengamatan menjadi contoh pentingnya penanganan

Ganoderma secara terpadu yang harus direncanakan dan dimulai sejak proses persiapan lahan untuk mengurangi sebanyak mungkin sumber inokulum

Ganoderma di lapangan.

DAFTAR PUTAKA

Breton, F., Rahmaningsih, M., Lubis, Z., Syahputra, I., U, S., Flori, A., . . . de Franqueville, H. (2010, 30 M a r e t 2 0 2 0 ) . E v a l u a t i o n o f resistance/susceptibility level of oil palm progenies to basal stem rot disease by the use of an early screening test, relation to field tanam ulang dengan pola standar yang hanya

dilakukan dengan cara penumbangan dan pencacahan tanaman serta penggunaan lubang tanam standar (60x60x40 cm) menjadi faktor yang paling berkontribusi menyebabkan terjadinya infeksi pada masa TBM di lokasi pengamatan. Dengan metode tanam ulang standar, sumber inokulum potensial dalam penyebaran Ganoderma seperti sisa-sisa akar dan bonggol akan tetap berada di lapangan sehingga potensi infeksi Ganoderma pada awal periode penanaman menjadi lebih tinggi (Cooper et al, 2011; Virdiana et al, 2012). Keberadaan sisa-sisa akar dan bonggol tanaman dapat menjadi tempat bagi

Ganoderma untuk tinggal dan bertahan hidup hingga pada akhirnya menginfeksi tanaman sehat ketika akar tanaman terus tumbuh dan kontak dengan inokulum tersebut (Susanto, 2012).

Penggunaan tanaman toleran juga harus dikombinasikan dengan teknologi pengendalian terpadu lainnya yang dimulai sejak persiapan lahan (Susanto et al, 2015; Virdiana et al, 2012). Pentingnya pemilihan metode tanam ulang pada areal endemik

Ganoderma telah didemonstrasikan sebelumnya pada generasi tanaman ketiga (Priwiratama et al, 2020). Pada penelitian tersebut, tiga metode tanam ulang yang terdiri dari metode standar kebun (Corley & Tinker, 2016; Lubis, 2008), metode lubang tanam besar (hole in hole) (Susanto et al, 2015), dan metode kombinasi sanitasi akar dengan lubang tanam besar dilakukan untuk penanaman kelapa sawit menggunakan varietas normal (non toleran). Hasilnya, kejadian penyakit BPB pada lubang tanam besar baru terdeteksi pada tahun ketiga setelah penanaman dan dapat dipertahankan dibawah 5% hingga tahun keenam. Sementara itu, pada metode kombinasi sanitasi akar, kejadian penyakit BPB baru terdeteksi pada tahun ketujuh dan tetap berada dibawah 5% hingga tahun kesembilan. Sedangkan pada metode tanam standar, kejadian penyakit BPB sudah terdeteksi sejak TBM I mencapai 2% dan terus meningkat hingga lebih dari 50% pada tahun kesembilan (Priwiratama et al, 2020).

Percobaan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan metode tanam ulang yang tepat mampu menekan infeksi Ganoderma pada fase TBM bahkan hingga tanaman menghasilkan muda (umur 3-9 tahun) meskipun menggunakan varietas normal. Kejadian penyakit Ganoderma tersebut tentunya dapat lebih ditekan bila menggunakan varietas toleran. Dengan

observations Paper presented at the Second IOPRI-MPOB International Seminar: Advances in Ganoderma research and management, Yogyakarta.

Cooper, R. M., Flood, J., & Rees, R. (2011). Ganoderma boninense in oil palm plantations: current thinking on epidemiology, resistance and pathology. 87(1024), 515-526.

Corley, R. H. V., & Tinker, P. B. (2016). The Oil Palm (5 ed.). Chichester, UK: Blackwell Science Ltd. Darmono, T. (2011, 2-3 November 2011). Strategi

berperang melawan Ganoderma pada perkebunan kelapa sawit. Paper presented at the Symp. Nasional & Lokakarya Ganoderma “Sebagai Patogen Penyakit Tanaman & Bahan Baku Obat Tradisional”, Bogor.

Durand-Gasselin, T., Asmady, H., Flori, A., Jacquemard, J.-C., Hayun, Z., Breton, F., & De Franqueville, H. (2005). Possible sources of genetic resistance in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) to basal stem rot caused by Ganoderma boninense–prospects for future breeding. Mycopathologia, 159(1), 93-100. Flood, J., Hasan, Y., Turner, P. D., & O'Grady, E. B.

(2000). The spread of Ganoderma from infective sources in the field and its implications for management of the disease in oil palm. In J. Flood, P. D. Bridge, & M. Holderness (Eds.), Ganoderma diseases of perennial crops (pp. 101-112). UK: CABI.

Idris, A. S., & Norman, K. (2016). Some latest R&D on Ganoderma diseases of oil palm in Malaysia. Paper presented at the Sixth IOPRI-MPOB International Seminar: Current Research and Management of Pests, Ganoderma, and Pollination in Oil Palm for Higher Productivity, Medan.

Lubis, A. U. (2008). Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia (2 ed.). Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2016). Prolonging the productive life of oil palms in Ganoderma endemic area with flutriafol. Paper presented at the 6th IOPRI-MPOB Int. Seminar: Current Research and Management of Pests, Ganoderma, and Pollination in Oil Palm for

Higher Productivity, Medan.

Priwiratama, H., Madiyuanto, Rozziansha, T. A. P., Prasetyo, A. E., & susanto, A. (2018). Kenali dan kendalikan serangan rayap di areal kelapa sawit dan eks-hutan. Warta PPKS, 23(3), 91-98.

Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2014). Pengendalian penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit secara kultur teknis. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 10(1), 1-7.

Priwiratama, H., Prasetyo, A. E., & Susanto, A. (2020). Incidence of basal stem rot disease of oil palm in converted planting areas and control treatments. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 468, 012036. doi:10.1088/1755-1315/468/1/012036

Priwiratama, H., & Susanto, A. (2013). Mengenal penyakit busuk pupus di perkebunan kelapa sawit. [Field monitoring of lethal spear rot disease in oil palm plantation]. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 18(1), 1-6.

Priwiratama, H., & Susanto, A. (2015, 19-20 Mei 2015). Peran tunggul terinfeksi dalam penyebaran Ganoderma boninense di perkebunan kelapa sawit. Paper presented at the Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2015, Yogyakarta.

Rahmaningsih, M., Setiawati, U., Nelson, S. P. C., Breton, F., & Sore, R. (2010, 1-3 Juni 2010). Genetic combine ability (GCA) for Ganoderma tolerance via nursery screening test. Paper presented at the International Oil Palm Conference, Yogyakarta.

Subagio, A., & Foster, H. L. (2003, August 2003). Implications of Ganoderma disease on loss in stand and yield production of oil palm in North Sumatra. Paper presented at the 6th International Conference on Plant Protection in the Tropics, Kuala Lumpur, Malaysia.

Susanto, A. (2011, 2-3 November 2011). Ganoderma di perkebunan kelapa sawit dari waktu ke waktu. Paper presented at the Symp. Nasional & Lokakarya Ganoderma "Sebagai Patogen Penyakit Tanaman dan Bahan Baku Obat Tradisional", Bogor.

Susanto, A. (2012). S.O.P. Pengendalian Ganoderma di Perkebunan Kelapa Sawit. Medan: Pusat Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

(8)

Turnbull, N., de Franqueville, H., Breton, F., Jeyen, S., Syahoutra, I., Cochard, B., . . . Durand-Gassellin, T. (2014). Breeding methodology to select oil palm planting material partially resistant to Ganoderma boninense. Paper presented at the 5th quadrennial international oil palm conference, Bali Nusa Dua Convention Center, Indonesia.

Virdiana, I., Flood, J., Sitepu, B., Hasan, Y., Aditya, R., & Nelson, S. P. C. (2012). Integrated disease management to reduce future Ganoderma infection during oil palm replanting. Planters, 88(1305), 383-393.

Wening, S., Rahmadi, H. Y., Arif, M., Supena, N., Siregar, H. A., Prasetyo, A. E., . . . Purba, A. R. (2016). Construction of Ganoderma resistant oil palm planting material: Progress in IOPRI. Paper presented at the 6th IOPRI-MPOB Int. Seminar: Current Research and Management of Pests, Ganoderma, and Pollination in Oil Palm for Higher Productivity, Medan.

Penelitian Kelapa Sawit.

Susanto, A., & Huan, L. K. (2010). Management of Ganoderma in mineral and peat soil in Indonesia. Paper presented at the The Second IOPRI-MPOB International Seminar of Oil Palm Diseases: Advances in Ganoderma Research and Management, Yogyakarta.

Susanto, A., & Prasetyo, A. E. (2013). Metode skrining tanaman kelapa sawit toleran Ganoderma. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 19(2), 71-75.

Susanto, A., Prasetyo, A. E., Priwiratama, H., Rozziansha, T. A. P., Simanjuntak, D., Sipayung, A., . . . de Chenon, R. D. (2015). Kunci Sukses Pengendalian Hama dan Penyakit Kelapa Sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Susanto, A., Prasetyo, A. E., & Wening, S. (2013). Laju infeksi Ganoderma pada empat kelas tekstur tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia, 9(2), 39.

LEDAKAN HAMA MINOR ULAT API KECIL

Olona gateri dan

Penthocrates sp.

(Lepidoptera: Limacodidae) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(Ahmad, 2012). Sifat makan turut mempengaruhi perilaku oviposisi karena kebiasaan serangga meletakkan telur pada inang sebagai tempat makan larva yang akan menetas. Serangga yang bersifat monofagus hanya memiliki satu spesies tanaman sebagai inang utama untuk sumber makanan, contohnya wereng batang cokelat Nilaparvata lugens yang hanya makan dan meletakkan telur di tanaman padi. Berlawanan dengan monofagus, serangga polifagus mempunyai kisaran inang yang luas meliputi berbagai spesies tanaman sebagai tempat makan dan meletakkan telur (Thamarai & Soundararajan, 2017). Contoh serangga polifagus yaitu spesies ulat grayak Spodoptera litura yang mampu makan pada beberapa jenis tanaman misalnya kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, dan tanaman herba lainnya (Gaur & Kumar, 2017). Serangga oilgofagus mampu makan dan meletakkan telur pada beberapa spesies tanaman dalam satu famili, misalnya berbagai ragam ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS) di Indonesia yang pada awalnya makan dan meletakkan telur di tanaman kelapa (Cocos nucifera) kemudian berpindah ke tanaman kelapa sawit.

Howard, Moore, Giblin-Davis, dan Abad (2001) telah merangkum berbagai hama UPDKS penting, khususnya kelompok ulat api (Lepidoptera: Limacodidae) pada tanaman kelapa sawit dan

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) telah diintroduksi ke Indonesia sejak tahun 1848 dan mulai ditanam secara komersial pada tahun 1878 (Lubis, 2008). Hal ini berarti kelapa sawit telah dibudiayakan dan ditanam secara luas selama lebih dari 140 tahun. Selama periode tersebut, interaksi antara tanaman kelapa sawit dengan organisme lain seperti serangga sangat mungkin terjadi hingga keduanya dapat saling beradaptasi. Serangga lokal yang bersifat fitofagus dapat beradaptasi dengan kelapa sawit sebagai inang yang baru untuk makan maupun meletakkan telur (oviposisi) dalam rangka berkembang biak. Proses adaptasi dimulai ketika keberadaan tanaman yang menjadi inang utama serangga tersebut mulai berangsur tergantikan oleh budidaya kelapa sawit yang cukup masif.

Perpindahan inang serangga sebagai tempat makan dan oviposisi terjadi berdasarkan kemampuan adaptasi serangga yang terbagi menjadi monofagus, polifagus, dan oligofagus

Mahardika Gama Pradana, Hari Priwiratama, Tjut Ahmad Perdana Rozziansha, Wiharti Oktaria Purba, dan Agus Susanto

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Mahardika Gama Pradana( )*

Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Jl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, Indonesia Email: mahardikagama@gmail.com

Abstrak -Budidaya kelapa sawit di Indonesia telah berlangsung selama lebih dari seratus tahun. Beberapa serangga mengalami proses adaptasi untuk dapat melakukan aktivitas makan dan meletakkan telur pada kelapa sawit sebagai tanaman inang. Akibat interaksi tersebut, terdapat berbagai jenis serangga yang bersifat sebagai hama baik mayor maupun minor. Pada waktu tertentu, populasi hama minor mengalami ledakan seperti spesies

O. gateri dan Penthocrates sp. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor diantaranya dominasi hama utama yang bergeser akibat populasinya menurun. Penurunan populasi terjadi karena berbagai pengaruh seperti terkendali oleh musuh alami, penggunaan insektisida, maupun faktor iklim yang tidak sesuai. Monitoring hama yang akurat dan berkala menjadi salah satu kunci sukses dalam mencegah ledakan hama minor maupun hama utama pada umumnya.

Kata kunci: Olona gateri, Penthocrates sp., resurgensi, dinamika populasi Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah

dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium.

Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabilitas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Gambar

Gambar 2. Tajuk pada tanaman terinfeksi Ganoderma menguning diikuti dengan gejala nekrosis pada pelepah bawah
Tabel 1. Kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 dan Toleran 2 terdapat di bagian pangkal bonggol hingga ke titik
Tabel 1. Kejadian penyakit BPB pada varietas Toleran 1 dan Toleran 2 terdapat di bagian pangkal bonggol hingga ke titik

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeterminasi status terkini penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit di lndonesia dan keragarnan rnikroorganisrne rhizosfer pada

Dengan ini saya menyatakan bahwa PKM-AI Potensi Limbah Lumpur Minyak Kelapa Sawit sebagai Media Pertumbuhan Pseudomonas fluorescens dalam Menekan Penyakit Busuk Pangkal Batang

lainnya (Utomo et al. Mlu I memberikan hasil pemotongan fragmen pada semua sampel Ganoderma spp. pada ke- lapa sawit dan semua G. boninense yang di- isolasi dari batang kelapa

UJI AKTIVITAS ANTIFUNGI JAMUR ENDOFIT AKAR MANGROVE Avicennia marina TERHADAP Ganoderma boninense PENYEBAB PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG KELAPA SAWIT Elaeis guineensis Jacq...

(2012) melaporkan bahwa penanaman bibit kelapa sawit dengan jarak sekurang-kurangnya 2 m dari lubang tanam lama pada saat tanam ulang dapat menunda proses infeksi penyakit melalui

Salah satu penyakit penting pada tanaman sawit adalah Busuk Pangkal Batang (BPB) kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma boninense yang merupakan penyakit

Uji Ketahanan Beberapa Hasil Persilangan Kelapa Sawit dan Medium Tanam Terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang yang Disebabkan oleh Jamur Ganoderma boninense Di