• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tingkat pencemaran di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tingkat pencemaran di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lingkungan

Tingkat pencemaran di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah satu studi melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. World Bank juga menempatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar polutan / partikulat tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City (Gupito, 2012),

Jumlah emisi CO2 di Indonesia tergolong tinggi, yaitu 1,55 ton karbon (5,67 ton CO2) per kapita. Angka ini diperkirakan dapat mencapai sebesar 3,22 ton karbon per kapita pada tahun 2050 mengikuti pertumbuhan penduduk. Pada sektor-sektor yang memproduksi emisi CO2 yang tinggi, pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk mengurangi emisi GRK sampai menjadi 26% pada tahun 2020 Sebagaimana perubahan iklim telah menjadi sebuah agenda nasional, akan diperlukan dukungan yang besar dari provinsi-provinsi dan sektor-sektor untuk mencapai target pengurangan emisi. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten akan memainkan peran yang penting karena terdapat aktivitas-aktivitas yang memproduksi emisi hal pemda memiliki peran yang sangat penting untuk mengurangi emisi pencemaran di daerah. Sejalan dengan itu, pemerintah Provinsi dan Kabupaten dapat membuat kebijakan atau rencana aksi daerah untuk mendukung proses pengurangan emisi ini. Indonesia memiliki beberapa penyumbang produk domestik rational bruto (PDRB) di berbagai sektor terkait,

(2)

sektor- sektor ini antara lain Kehutanan, Pertanian, Industri, transportasi (Gupito, 2012)

Pembangunan ekonomi yang ada telah banyak mencemarkan alam sekitar, serta mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah ada sejak dahulu, dan bukanlah masalah yang hanya dimiliki atau dihadapi oleh kabupaten/kota, tapi masalah lingkungan hidup merupakan masalah bagi seluruh daerah. Penurunan kualitas lingkungan dapat terjadi akibat emisi yang berasal dari industri, transportasi, pertanian dan kehutanan. Sebagian besar daerah yang sedang berkembang mulai beralih dari yang berfokus pada sektor pertanian menjadi sektor industri, tentunya yang bertujuan untuk meningkatkan (PDRB) dari sektor industri terhadap PDRB perkapita (Gupito, 2012).

Gas rumah kaca berasal dari beberapa sumber dilihat dari beberapa sektor, yaitu sektor Industri :kegiatan pabrik pabrik industri, cerobong asap rumah produksi, limbah hasil pengolahan. Sektor transportasi : pengeluaran gas pembakaran alat bantu. Sektor kehutanan: kegiatan pengrusakan/ pembakaran hutan, penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang sebelumnya disimpan di dalam pohon. Sektor pertanian: Dari sektor pertanian, emisi GRK terutama metana dihasilkan dari sawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran padang sabana dan pembusukan sisa-sisa pertanian (Gupito, 2012).

(3)

2.2 Kualitas Lingkungan Mangrove

Mangrove adalah pohon atau perdu yang tumbuh di pantai di antara batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan sedikit di atas rata-rata permukaan air laut (Hardjosentono, 1978). Selanjutnya Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian (1982) mendefinisikan hutan mangrove lebih spesifik lagi, yaitu tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan sub tropika pantai di antara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit di atas rata-rata dari permukaan air laut.

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau. Istilah hutan bakau hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove. yaitu jenis Rhizophora sp. Mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Dahuri dan Arumsyah, 1994). Hutan mangrove sering dianggap sebagai suatu ekosistem lain dan mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi iklim, formasi tumbuhan dan faktor edafis. Hutan mangrove disebut juga hutan pantai (coastal woodland) atau hutan pasang surut (tidal forest).

Soerianegara (1993) menyatakan hutan mangrove adalah yang tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon antara lain : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora, dan Nypa. Maka ekosistem mangrove beserta fauna memiliki habitat yang khas.

(4)

Ekosistem mangrove di wilayah pesisir sangat tergantung pada faktor lingkungan wilayah tersebut. Menurut Bengen (2001) penyebaran dan zonasi mangrove dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan antara lain :

1. Salinitas dan Suhu

Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan mangrove, oleh sebab itu, zonasi setiap habitat mangrove selalu berbeda sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Hal ini karena di lokasi habitat mangrove, selain terpengaruh oleh air laut juga terpengaruh oleh adanya air tawar, serta lokasinya yang berada pada zona terbuka dan berhadapan langsung dengan laut bebas sehingga mempengaruhi salinitas di daerah habitat mangrove, (BAKORSTANAL, 2009)

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1992). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi (Effendi, 2003). Hal tersebut sangat mempengaruhi nilai salinitas yang terdapat pada daerah estuary. Suhu di estuary lebih bervariasi dari pada di perairan pantai di dekatnya. Menurut Nybakken (1992) variasi suhu di daerah estuary disebabkan karena pada daerah estuary volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan lebih besar. Hal ini terjadi karena lingkungan estuari merupakan peralihan antara darat dan laut yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut, seperti halnya pantai, namun umumnya terlindung dari pengaruh gelombang laut. Lingkungan estuary umumnya merupakan pantai tertutup atau semi terbuka ataupun terlindung oleh pulau-pulau kecil, terumbu karang dan bahkan gundukan pasir dan tanah liat yang

(5)

menyebabkan luas permukaan dari area estuary lebih besar namun volume air di daerah estuary menjadi lebih kecil. Maka dengan kondisi ini jika terjadi evaporasi pada daerah estuary, air estuary ini akan lebih cepat menguap. Pada daerah mangrove suhu juga dipengaruhi oleh penutupan hutan mangrove. Suhu dapat mempengaruhi laju penguapan yang berpengaruh pada nilai salinitas.

2. Derajat Keasaman (pH) air dan Sedimen

Derajat keasaman (pH) air berkisar antara 8 sampai dengan 8,5. Adapun pH sedimen bervariasi antara 7,5 sampai dengan 8,5 dengan rata-rata 8. Variasi pH ini disebabkan oleh kadar bahan organik dan mineral pada tanah sedimen, serta kandungan mineral dari air laut. Dari kisaran pH yang ada, menandakan produktifitas perairan tersebut. Untuk pH pada kisaran 8 sampai 8,5 dimana menandakan bahwa perairan di daerah tersebut tergolong dalam perairan dengan produktifitas yang tinggi. Pada pH dengan nilai 5,5 – 6,5 dan > 8,5 termasuk perairan yang produktif serta pH 7,5 – 8,5 termasuk dengan produktivitas yang tinggi (Kaswadji, 1971).

3. Kandungan C-organik

Penelitian Jesus (2012) di daerah pesisir Bazartete Distrik Liquisa Timor Leste, bahwa adanya perbedaan kandungan C-organik disebabkan oleh adanya perbedaan struktur komunitas vegetasi mangrove. Tingginya kandungan C- organik disebabkan oleh adanya dominasi vegetasi mangrove jenis Rhizophora yang banyak terpengaruh oleh pasang surut air laut dimana tanah sering mengalami reduksi saat air pasang dan teroksidasi pada saat air laut surut, ini sesuai dengan pendapatnya Lacerda (1995) bahwa spesies Rhizophora lebih sulit

(6)

terdekomposisi sehingga lebih banyak ditemukan dalam bentuk bahan organik. Keberagaman dinamika C-organik terbentuk oleh adanya aktifitas tanaman, termasuk pertumbuhan dan kematian terhadap spesies tanaman yang berpengaruh, serta menhasilkan fluktuasi kondisi fisika secara temporal maupun spasial di dasar hutan.

2.3 Ekosistem Mangrove

Ekosistem merupakan suatu konsep sentral dalam ekologi, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungan (Soemarwoto, 1997). Selanjutnya Odum (1976) menyatakan ekosistem adalah satuan fungsional dasar dalam ekologi, karena memasukkan ke dua organisme (komunitas-komunitas) biotik dan lingkungan abiotik, masing-masing mempengaruhi sifat-sifat yang lainnya dan keduanya perlu untuk pemeliharaan kehidupan.

Menurut Ardhana (2012), konsep ekosistem merupakan konsep yang luas, fungsi utama didalam pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib, ketergantungan, dan hubungan sebab musabab, yakni serangkaian komponen-komponen untuk membentuk satuan-satuan fungsional satuan-satuan fungsional dalam ekosistem meliputi : Sirkuit-sirkuit energi, rantai-rantai makanan, pola-pola keanekaragaman dalam ruang, waktu, daur-daur unsur hara (biogeokimia), perkembangan, evolusi dan pengendalian (cybernetics)

Pertemuan dua fenomena alam, dari wilayah daratan dan laut bisa menimbulkan perubahan yang sangat dinamis di wilayah pesisir. Arus, gelombang, sedimentasi, abrasi, dan perubahan salinitas air terjadi dengan pola

(7)

perubahan yang sangat dinamis. Aktifitas kehidupan manusia dan dinamika lingkungan tersebut seringkali menimbulkan tekanan yang mengakibatkan rusaknya kondisi alami wilayah pesisir. Salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia secara langsung maupun tidak langsung adalah ekosistem mangrove (Suwargana, 2010)

Mangrove tumbuh di pantai yang landai dengan kondisi tanah yang berlumpur atau berpasir. Mangrove tidak dapat tumbuh di pantai yang terjal, berombak besar, atau yang mempunyai pasang surut tinggi dan berarus deras. Mangrove akan tumbuh dengan lebat pada pantai yang dekat dengan muara sungai atau delta sungai yang membawa aliran air dengan kandungan lumpur dan pasir, karena menyediakan pasir dan lumpur yang merupakan media utama pertumbuhannya (Nontji, 2002). Adanya faktor lingkungan tersebut menyebabkan habitat mangrove bersifat spesifik yang hanya dapat ditempati oleh jenis tumbuhan dan fauna tertentu yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Hutan mangrove mempunyai fungsi fisik dan fungsi ekologi yang penting bagi kelestarian ekosistem di daerah pesisir. Secara fisik, hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengaruh gelombang laut. Secara ekologi, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi keanekaragaman biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting (Nursal dkk, 2005).

Di Indonesia luas hutan mangrove berkurang, seiring dengan pesatnya kebutuhan hidup masyarakat, serta meningkatnya pembangunan di kawasan

(8)

pesisir. Kondisi tersebut terjadi sebagian besar di daerah pesisir, Lombok Barat, dan Teluk Saleh (Pulau Sumbawa, NTB) (Pramudji, 2006). Didukung oleh pendapat Onrizal (2010) bahwa perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian.

2.4 Formasi Hutan Mangrove

Di sepanjang pantai biasanya terdapat hutan pantai, Bagian muka berbatasan dengan laut ditumbuhi oleh tumbuhan pantai yang menjalar, pada bagian ini terutama oleh kangkung laut (Ipomoea pes-caprae). Apabila tumbuhnya sangat luas maka dinamakan formasi Pes-caprae. Jenis lain yang di pantai ini adalah : rumput angin (Spinifex littorous), dengan batang menjalar yang mempunyai panjang lebih dari 40 meter. Di bagian agak dalam sering tumbuh pandan laut (Pandanus tectorius), gabusan (Scaevola garica). Hutan pantai pada umumnya terdiri dari jenis pohon yang cukup besar. Pada bagian ini paling banyak ditemukan adalah pohon buton (Baringtonia asiatica) sehingga disebut formasi Baringtonia. Di dalam formasi ini terdapat antara lain Nyamplung (Callophyllum inophyllum), Ketapang (Terminalia catapa), Waru (Hibiscus tiliaceus), dan rumputan sruni (Wedelia biflora) (Soegianto, 1986).

Selain jenis - jenis tumbuhan di atas, masih ada beberapa jenis lainnya yaitu yang dapat hidup di bagian pantai yang selalu tergenangi air apabila pasang sedang naik, dan kering kembali apabila telah surut. Tidak jarang beberapa jenis

(9)

tumbuhan terakhir ini membentuk hutan yang cukup lebat. Pada umumnya terjadi pada pantai yang landai, sehingga pada waktu pasang sedang naik, mudah tergenangi air laut. Hutan yang demikian disebut hutan pasang atau hutan mangrove. Disebut juga hutan bakau (Rhizophoraceae) karena banyak pohon bakau atau Rhizophoraceae yang tumbuh di tempat itu (Soegianto, 1986).

2.5 Habitat Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah hutan tropis basah dengan jenis tumbuhannya sedikit. Tiap jenis menghuni zona-zona tertentu yang mempunyai sifat-sifat tertentu pula dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut adalah perbedaan yang kecil dalam tingkat dan bukan perbedaan yang mendasar. Mangrove terdapat pula terjadi pada pantai yang berbatu karang, dan pula pada terumbu koral yang telah mati, yang kemudian tertutup oleh lapisan pasir atau lumpur (Soegianto, 1983).

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Vegetasi Hutan Mangrove

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetasi hutan mangrove yaitu :

2.6.1 Faktor Dalam atau Fisiologis Tumbuhan yang ideal terdiri atas :

a. Akar, untuk bersauh dalam tanah dan dari dalam tanah itu menyerap air dan zat hara yang terlarut di dalamnya.

(10)

b. Batang, untuk mendukung daun dan alat reproduksi di atas, untuk pengangkutan zat-zat yang diperlukan untuk pertumbuhan ke seluruh jaringan tubuhnya mangrove.

c. Daun- daun yang berklorofil dapat melakukan fotosintesis dengan bantuan dari cahaya matahari, dapat membuat zat-zat makanan yang diperlukan.

d. Bunga untuk menghasilkan buah dan selanjutnya biji untuk reproduksi. Seperti yang diuraikan di atas dimiliki oleh tumbuhan hutan mangrove, apabila dari masing-masing bagian dari tumbuhan tersebut tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan tersebut akan terganggu (Polunin, 1990).

2.6.2 Faktor Luar atau Fisik dan Kimia

Faktor luar yang berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetasi mangrove adalah :

1. Iklim tropis, iklim di daerah sedang kebanyakan cukup panas dan lembab, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap iklim adalah :

a. Cahaya, intensitas cahaya pada tempat tergantung pada lamanya penyinaran, waktu, kualitas cahaya yang diterima. Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan sangat tergantung pada intensitas cahaya, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Dalam hutan di daerah iklim sedang, cahaya sangat diperlukan untuk membantu pohon-pohon

(11)

melakukan proses reproduksi, dimana daun, bunga dari suatu tumbuhan terangsang untuk berkembang.

b. Suhu, faktor ini mempunyai peran penting, karena suhu menentukan kecepatan reaksi dan kegiatan kimiawi yang mencakup kehidupan tumbuhan mangrove.

c. Curah hujan, banyaknya hujan yang jatuh pada suatu daerah selama setahun, merupakan faktor yang penting, karena curah hujan menentukan tersedianya air untuk pertumbuhan dan proses vital lainnya.

d. Daya penguapan, penguapan udara dapat mempengaruhi transpirasi pada tumbuhan. Daya penguapan ditunjukkan oleh kelembaban nisbi, dengan perantara suhu basah atau kering. Kelembaban tinggi mengakibatkan transpirasi pada tanaman akan berkurang. Sebaliknya pada kelembaban rendah mengakibatkan transpirasi tanaman akan bertambah.

e. Angin dapat berpengaruh langsung terhadap vegetasi dapat mengembangkan pohon-pohonan dan mematahkan dahan-dahan atau bagian lainnya. Angin dapat menghambat pertumbuhan karena membawa udara kering akibatnya transpirasi meningkat dan menurunkan tekanan turgor sel-sel tumbuhan yang dipengaruhi (Polunin, 1990).

f. Air pasang surut, adanya air pasang surut menyebabkan terjadinya endapan sungai, bila air surut endapan tersebut tertimbun. Timbunan

(12)

endapan yang berlapis-lapis, antara butiran-butiran pasir merupakan kondisi yang baik untuk perkembangan pohon-pohon hutan mangrove (Polunin, 1990).

2. Salinitas, derajat salinitas air dapat dan sering berpengaruh terhadap habitat dan komunitas yang menghuninya. Di daerah pantai yang selalu tergenang air laut memiliki kadar garam (salinitas) lebih tinggi dibandingkan dengan di sepanjang arah muara sungai, karena terjadi pelarutan oleh air tawar atau air hujan, sehingga cenderung mempunyai komposisi vegetasi yang berbeda (Polunin, 1990).

Menurut Soegianto (1986) Rhizophora mucronata tumbuh di pantai yang berlumpur yang pukulan ombaknya tidak terlalu kuat. Bruguiera gymnorrhiza yang juga termasuk familia Rhizophoraceae jika dibandingkan dengan R. mucronata lebih suka tumbuh dibagian yang kering. Perapat yang terdiri dari jenis Sonneratia alba dan S. casiolaris, kedua jenis pohon itu mempunyai tempat tumbuh yang berbeda pula. S. alba lebih menyukai air laut dan S.casiolaris lebih suka tumbuh di bagian tengah hutan mangrove, di tempat yang lumpur banyak, dan yang berair atau mendekati tawar. Pohon api-api terdapat pada barisan terdepan hutan mangrove, maupun di daratan sampai jauh di belakang garis pasang, termasuk juga teruntum (Lumnitzera racemosa), dan kacang-kacangan (Avicennia corniculatum).

Ditinjau dari segi biologis terutama menyangkut mata rantai makanan, hutan mangrove merupakan produser primer energi hidup melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah hutan setelah mengalami proses dekomposisi oleh

(13)

sejumlah microorganisme, menghasilkan detritus dan merangsang pertumbuhan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimangsa oleh konsumen primer yang terdiri dari zooplankton , ikan, udang, kepiting dan lain-lain, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia sebagai konsumer utama.

Kawasan hutan mangrove dapat dibedakan menjadi beberapa zona berdasarkan bentuk genangan (Harahab, 2010) yakni (1) Zona Proksimal, (2) Zona Middle, (3) Zona Distal. Akibat dari perbedaan penggenangan, zonasi berdasarkan genangan ini juga bisa ditandai oleh perbedaan salinitas (Arief, 2003; Kordi, 2012). Pembagian zonasi juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi (Arief, 2003) yakni (1) Zona Avicennia, (2) Zona Rhizophora, (3) Zona Bruguiera, (4) Zona Nypah (zona ini biasanya ditemukan jika komunitas mangrove berada pada sempadan sungai). Banyak kawasan lain di Indonesia, tidak seluruh zonasi ini ada. Ketidak lengkapan ini disebabkan oleh sejumlah faktor lingkungan antara lain salinitas dan keasaman tanah (Arief, 2003; Harahab, 2010; Kustanti, 2011).

Pertumbuhan mangrove akan menurun jika suplai air tawar dan sedimen rendah. Keragaman jenis hutan mangrove secara umum relatif rendah jika dibandingkan dengan hutan alam tipe lainnya, hal ini disebabkan oleh kondisi lahan hutan mangrove yang senantiasa atau secara periodik digenangi oleh air laut, sehingga mempunyai salinitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap keberadaan jenisnya. Jenis yang dapat tumbuh pada ekosistem mangrove adalah jenis halofit, yaitu jenis-jenis tegakan yang mampu bertahan pada tanah yang mengandung garam dari genangan air laut. Kondisi-kondisi lingkungan luar yang

(14)

terdapat dikawasan mangrove cenderung bervariasi di sepanjang gradien dari laut ke darat. Banyak spesies mangrove telah beradaptasi terhadap gradien ini dengan berbagai cara, sehingga di dalam suatu kawasan suatu spesies mungkin tumbuh secara lebih efisien dari pada spesies lain. Tergantung pada kombinasi dari kondisi-kondisi kimia dan fisik setempat, karena hal ini, jalur-jalur atau zona-zona dari spesies tunggal atau asosiasi-asosiasi sederhana sering kali berkembang di sepanjang garis pantai. Faktor-faktor lainnya seperti toleransi keteduhan, metoda penyebaran tumbuh-tumbuhan mangrove muda serta predasi terseleksi terhadap mangrove muda oleh kepiting akan berpengaruh terhadap pen-zonaan.

Ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologi dan ekonomi (Rochana, 2012). Fungsi ekologi mencakup pelindung garis pantai dari abrasi, mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan, mencegah intrusi air laut kedaratan. Fungsi ekonomi hutan mangrove yang terutama adalah sebagai penghasil keperluan rumah tangga dan obat-obatan. Hutan mangrove merupakan pemasok keperluan industri seperti bahan baku kertas, tekstil , kosmetik, penyamak kulit, pewarna. Selain itu fungsi ekonomi mangrove lainnya ialah sebagai tempat pariwisata, konservasi, penelitian, dan pendidikan (Saparinto, 2007).

Komposisi hutan mangrove merupakan komponen penyusunan suatu hutan. Komposisi menyatakan keberadaan suatu jenis dalam hutan, Parameter yang dipakai untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan antara lain kerapatan, frekuensi, luas penutupan dan indeks nilai penting (Indriyanto, 2006).

(15)

Aspek yang menjadi ciri suatu vegetasi adalah aspek zonasi. Aspek zonasi dapat dibedakan menjadi zonasi horizontal dan zonasi vertikal. Selanjutnya aspek zonasi baik horizontal maupun yang vertikal dapat ditinjau dari segi skala kecil maupun yang skala besar. Aspek ini dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian jenis terhadap lingkungan dan sifat efisiensi penggunaan energi yang yang tersedia oleh setiap yang terlibat (Ardhana, 2012). Selanjutnya mengenai zonasi horizontal dalam skala kecil disajikan pada (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Diagram Keanekaragaman Tipe Vegetasi Daerah Pantai. (Sumber : Ardhana, 2012).

TIPE-TIPE MASYARAKAT TUMBUHAN LOW LAND

Konsosiasi Pantai Baringtonia Formasi Tak Tergenang Hutan Non Hutan (Pescarprai Formasi) Asosiasi Komunitas Pantai Mangrove Air Laut Air Tawar Tergenang Konsosiasi Populasi H Pidada H Bakau H Tancang Nipah Asosiasi Komunitas Mangrove

(16)

2.7 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan struktur (bentuk) vegetasi yang ada di wilayah yang dianalisis. Komposisi dan struktur vegetasi dapat disajikan secara kualitatif dengan parameter, kerapatan, frekuensi dan penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar. Dengan demikian, dalam mempelajari analisis vegetasi diperlukan adanya teknik penunjang antara lain : sampling plot (misalnya petak tunggal), petak ganda, jalur (transek) dan atau tanpa plot, misalnya dengan cara kuadran. Analisis vegetasi yang dilakukan pada area luas tertentu umumnya berbentuk segi empat, bujur sangkar dan lingkaran. Untuk menganalisis vegetasi tingkat pohon, tiang dan sapihan dan anakan digunakan metode kuadrat antara lain : lingkaran, bujur sangkar dan segi empat. Variasi ukuran petak contoh tergantung pada homogenitas vegetasi yang ada. Hutan yang heterogen membutuhkan petak yang lebih besar dibandingkan dengan hutan homogen.

Pengambilan contoh di lapangan haruslah representatif, sehingga hasil analisisanya menggambarkan seluruh vegetasi. Dengan demikian, pada suatu daerah vegetasi umumnya terdapat area dengan luas tertentu, dan daerah ini sudah memperlihatkan kekhususan dari vegetasi secara keseluruhan. Area ini memiliki luas minimal yang dapat ditentukan dengan membuat kurva spesies area atau daftar spesies area. Teknik tersebut didasarkan pada kurva yang dibentuk oleh hubungan antara jumlah kumulatif jenis yang tercatat dengan luas petak ukur yang semakin besar. Dalam praktek, hanya bentuk kurvalah yang mengalami perubahan bentuk (semakin mendatar) yang menunjukkan hasil analisis (Arief, 1994).

(17)

Metode analisis vegetasi sesungguhnya sangat beragam, tergantung keadaan vegetasi itu sendiri dan tujuannya. Misalnya apakah tujuannya untuk mempelajari tingkat suksesi, atau untuk mengetahui penguasaan suatu jenis, kerapatan, frekuensi dan dominasi maka metode yang digunakan harus disesuaikan dengan struktur dan komposisi vegetasi. Untuk areal yang luas dengan vegetasi semak rendah misalnya, digunakan metode garis (line intercept), untuk pengamatan sebuah petak contoh dengan vegetasi “tumbuh menjalar” (creeping), digunakan metode titik (point intercept), dan untuk suatu survei daerah yang luas dan tidak tersedia cukup waktu, estimasi visual (visual estimation) mungkin dapat digunakan oleh peneliti yang sudah berpengalaman. Juga harus diperhatikan keadaan geologi, tanah, topografi, dan data vegetasi yang mungkin telah ada sebelumnya, serta fasilitas kerja atau keadaan, seperti peta, lokasi memperoleh efisiensi dan secara teknis bisa dilaksanakan (Ardhana, 2012). Pada dasarnya data yang diperoleh dari analisis vegetasi dapat dibagi atas dua golongan, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif menunjukkan bagaimana suatu jenis tumbuhan tersebar apakah tersebar secara acak seragam dan berkelompok, stratifikasi, periodisitas, dan lain sebagainya ; sedang data kuantitatif menyatakan jumlah, ukuran, berat basah atau kering suatu jenis, dan luas daerah yang ditumbuhinya. Data kualitatif didapat dari hasil pengamatan lapangan berdasarkan pengalaman yang luas atau hasil penelitian autecology (Ardhana, 2003). Biasanya intensitas areal cuplikan petak contoh pada areal yang memiliki hamparan vegetasi luas digunakan intensitas 0,4% dari total areal yang diinventarisasi namun intensitas cuplikan bisa saja berubah tergantung

(18)

dari luas dan kondisi hamparan vegetasi yang akan dianalisis (Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah VIII, 1986).

2.8 Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Mangrove

Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili.

Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikat. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang sejati penting/dominan (Bengen, 1999).

Jenis mangrove tertentu, seperti bakau (Rhizophora sp) dan tancang (Bruguiera sp) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari benih yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa istirahat. Selama ini, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah, sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya lepas. Selanjutnya semaian ini jatuh dari pohon induk, masuk ke perairan dan mengapung di permukaan air, semaian ini kemudian terbawa oleh aliran air ke perairan yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar perairan, secara bertahap tumbuh menjadi pohon (Bengen, 1999).

(19)

2.9 Pesisir Teluk Saleh

Secara administrasi Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat di sebelah barat, Kabupaten Dompu di sebelah timur. Salah satu potensi sumberdaya perairan yang sangat potensial adalah wilayah pesisir dan laut. Perairan Teluk Saleh dengan luas 1.495 km2 serta panjang garis pantai 282 km ini memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi potensial untuk pengembangan aquabisnis dan agroindustri. Topografi khusus Teluk Saleh, baik disisi Kabupaten Dompu maupun Kabupaten Sumbawa umumnya berbukit-bukit dengan kisaran ketinggian antara 0 – 325 meter, dengan kemiringan rata-rata 25 %. Bila dilihat dari tingkat luas terdapat 43.470 ha berada pada kemiringan antara 0 – 2 %, 81.795 ha, berada pada kemiringan antara 2 – 15 % yang merupakan areal terluas 75.787 ha, berada pada kemiringan 15 – 40 % terdapat 31.410 ha berada pada kemiringan 15 – 40 terdapat 31.410 ha berada pada kemiringan diatas 50 % (BAKORSTANAL, 2010).

Teluk Saleh merupakan salah satu teluk yang memiliki berbagai macam jenis keanekaragaman mangrove di sepanjang pesisir pantai termasuk hutan. Ada beberapa jenis mangrove yang ada pada pesisir Teluk Saleh Tabel 2.1.

(20)

Tabel 2.1

Jenis Mangrove di Perairan Teluk Saleh

No. Nama Lokal Nama Ilmiah Keterangan 1. Jeruji Acanthus micifolius Asosiasi 2. Piyai, paku laut Acrostichum aureum Asosiasi 3. Gedangan Aegiceras corniculatum

4. Api-api hitam Avicennia alba 5. Api-api Avicennia marina 6. Tancang Bruguiera cylindrica 7. Tumu Bruguiera gymnorrhiza 8. Tancang kuning Bruguiera parviflora 9. Bintaro Cerbera odollum 10. Tengal Ceriops tagal 11. Tengal Ceriops decandra 12. Buta-buta Excocaria agallocha

13. Dungun Heritiera littoolaris Asosiasi

14. Truntun Lumnitzera littorea 15. Truntun Lumnitzera racemosa

16. Pandan Pandanus tectorius Asosiasi

17. Centigi Pemphis acidula Asosiasi

18. Bakau minyak Rhizophora mucronata 19. Bakau kuning Rhizophora stylosa 20. Bakau merah Rhizophora apiculata 21. Pidada Sonneratia alba 22. Nyirih Xylocarpus granatum Sumber : BAKOSURTANAL. 2010

Gambar

Gambar 2.1. Diagram Keanekaragaman Tipe Vegetasi Daerah Pantai.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh komposisi beeswax dan carnauba wax sebagai basis lipstik dalam menentukan kekerasan dan daya lekat sediaan

indikator yang diteliti yaitu hubungan persepsi siswa tentang pemberian reward (X) terhadap motivasi belajar (Y), untuk melihat hasil analisis penelitian ini

Menurut Slameto (2010: 2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

Selain itu hal lain yang dapat disarankan yaitu perlu pengamatan tingkat kesukaan panelis terhadap irisan bit sebelum uji organoleptik dilakukan serta koefisien

Akan tetapi apabila ada yang memakai kain sampai melebihi kaki atau menyentuh tanah, lantai dan sebagainya, itu jelas dilarang menurut hadis tersebut karena sombong namun

Naskah Tengul karya Arifin C. Noer tidak memberikan penjelasan tentang usia dari tokoh Korep. Akan tetapi, dari jalinan cerita.. menunjukkan usianya adalah separuh

[r]

Dari berbagai tanda yang digunakan dalam film Senyap ini muali dari Ikon, Indeks dan Simbol baik berupa tanda verbal dan non verbal merupakan seluruh rangkaian tanda yang memberikan