• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Terapi Oksigen Anestesi.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat Terapi Oksigen Anestesi.doc"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian adalah penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh.

Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama 6 bulan dapat memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup mereka. Namun penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasien-pasien hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas latihan. Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.2

(2)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rongga thoraks

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus.2,3

2.2 Anatomi paru - paru normal

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).2,3

Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru. Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut

(3)

sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu ruangan potensial.2

Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3

Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2

Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3

Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini

(4)

kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura normal.3

2.3 Kontrol pernafasan

Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling berinteraksi. Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua komponen volume-elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa.4

Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat mengangkat tulang iga dan sternum) merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.4

Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan. Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan) karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau penururnan pH merangsang pernafasan.3,4

Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan yang cukup berarti.4

Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru. Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada

(5)

pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi. Mekanisme ini yang dikenal dengan nama reflex Hering-Breuer, refleks ini tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons dan medulla oblongata.3,4

Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4

2.4 Kontrol pernafasan pada jalan nafas

Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan. Persarafan parasimpatis (kolinergik – melalui nervus vagus) memberikan tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas.5

Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis terutama ditimbulkan oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergic-beta2, dan menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, bronkodilasi, dan berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis mempersarafi jalan nafas, namun hanya sedikit.5

Sekarang ini, komponen ketiga pengontrolan saraf yan telah digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat nonadrenergik. Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida. Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat

(6)

menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan permeabilitas pembuluh darah.5

2.5 Fisiologi

Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke

dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi

menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5

 Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan

 Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus

 Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau

respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah

proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru. 2.5.1 Ventilasi

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6

Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8 mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2 mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5

(7)

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan diafragma ke atas.3,4

Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6

Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi yang efektif :4

 Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang

terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung

dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam

keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

 Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa sekitar 10-20 kali per menit.

 Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau

diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh

meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas dalam.

 Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak

tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1

(8)

ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi. Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian

dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio

tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik.

 Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam

alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.

VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan

VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara

yang terbuang dalam ventilasi VD.

 Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik

(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan

komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.

2.5.2 Transportasi – Difusi

Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 µm). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer

pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami

penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4

(9)

Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat

mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal. Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler

paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4

PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =

103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan

tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah

6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian

dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena

dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari

total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan

difusi.6

2.6 Hubungan antara ventilasi – perfusi

Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam

(10)

keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks paru.7

Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7

V/Q = 0,8

Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).

Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami, apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7

2.7 Transpor O2 dalam darah

O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:

secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible,

dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang

ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma darah.

Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai

hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2).7

Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya

sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara transport

seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat

dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk

(11)

memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang

O2 hiperbarik).7

Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata

dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.

Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang meninggalkan paru menjadi jenuh.6

Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam

plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb

kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah

melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi

berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada

darah arteri.7

2.8 Penilaian Status Pernafasan

Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja

tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk

memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan. Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7

Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.

(12)

Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke

jaringan pada PaO2 tertentu.6,7

2.9 Terapi Oksigen

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi fisiologis normal.8

Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.8

2.9.1 Tujuan Pemberian Terapi Oksigen

Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu :

a) Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob.

b) Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan kerja nafas dan miokard. Menilai fungsi pertukaran gas.

2.9.2 Indikasi Pemberian Terapi Oksigen

Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan diedarkan ke seluruh tubuh. Apabila terjadi gangguan pada sistem respirasi, maupun pada hemoglobin, mengakibatkan gangguan pada jaringan.

Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di bawah level normal yang

(13)

tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Hipoksia merupakan salah satu masalah gawat darurat karena dapat merusak organ vital. Selain itu dapat juga mengancam kehidupan. Salah satu cara mencegah hipoksia dengan memberikan terapi oksigen. Klasifikasi deksriptif macam-macam penyebab hipoksia, yaitu :

a) Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan ekstrinsik

- Kekurangan oksigen dalam atmosfer. - Hipoventilasi (gangguan neuromuskular). b) Penyakit paru

- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau penurunan komplians paru.

- Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan ruang rugi fisiologis atau pintasan fisiologis).

- Berkurangnya difusi membran pernapasan. c) Pintasan vena ke arteri

d) Transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan - Anemia atau hemoglobin abnormal.

- Penurunan sirkulasi umum.

- Penurunan sirkulasi lokal (perifer, serebral, pembuluh darah koroner).

- Edema jaringan.

e) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai - Keracunan enzim oksidasi selular.

- Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen, karena toksisitas, defisiensi vitamin atau faktor-faktor lain.

Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat menyebabkan kematian sel-sel seluruh tubuh, tetapi pada derajat yang kurang berat terutama akan mengakibatkan penekanan aktivitas mental, kadang-kadang memberat sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja otot.

Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh yaitu sianosis. Sianosis berarti kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam pembuluh darah

(14)

kulit, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada apabila darah arteri mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap 100 ml darah.

Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti penderitaan mental yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan udara. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :

a) Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia dan hipoksia (dengan porsi yang jauh lebih sedikit)

b) Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk menghasilkan ventilasi yang memadai

c) Orang tersebut dalam keadaan pikiran

Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan karbondioksida yang berlebihan dalam cairan tubuh, akan tetapi dalam suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen dalam cairan tubuh berada dalam batas normal, namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat. Keadaan inilah yang sering menimbulkan dispnea pada orang tersebut. Ada juga suatu keadaan yang mana fungsi pernapasannya sudah kembali normal, akan tetapi masih mengalami dispnea karena perasaannya yang masih abnormal, disebut dispnea neurogenik atau dispnea emosional.

Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu indikasi yang memerlukan terapi oksigen. Misalnya pada bayi premature berisiko terkena penyakit membrane hialin karena belum matur dalam menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi saluran pernafasan akut. Pada dewasa, mudah terpapar faktor risiko kardiopulmoner. Sistem pernafasan dan jantung mengalami perubahan fungsi pada usia tua / lansia.

2.9.3 ALAT PEMBERIAN OKSIGEN Sistem pemberian oksigen Kecepatan aliran L/menit FiO2 (%

(15)

1. Nasal Kanula 1 2 3 4 5 6 25 29 33 37 41 45 - Simpel, nyaman, murah, pasien dapat makan dan minum - Tidak ada resiko menghirup CO2 kembali

- Iritasi lokal dan kekeringan mukosa (bila kecepatan aliran>4L/menit)

pada aliran tinggi, pasien tidak nyaman dan harus digunakan bersama sistem

humidifikasi/pelembaban. - Tidak efektif untuk oksigen konsentrasi tiggi. - Oksigen yang diberikan

tidak konsisten. - Alat dibersihkan setiap hari. Evaluasi luak akibat tekanan di telinga dan pipi. - Aliran >6 liter tidak akan menambah FiO2 2. Sungkup muka sederhana >5 (5-15) 35-50 - Peningkatan aliran ke 10L/menit bisa meningkatkan konsentrasi oksigen 50% - lebih murah dibanding masker lain

- Harus ditutup ke wajah dengan kuat dan ketat : panas dan terasa mengikat

- Tidak praktis untuk jangka waktu lama

- Aliran <5L/menit menyebabkan peningkatan resistensi terhadap pernapasan. - Kemungkinan CO2terkumpul dalam masker dan pernapasan ulang bisa terjadi. 3. sungkup muka dengan kantong rebreathin g 5-15 6-10 L/menit (sistem ini dapat menyediakan fraksi oksigen 40-70%) - FiO2 yang lebih tinggi pada aliran yang lebih rendah - Katup memberikan ruang untuk CO2 keluar dari

Resiko atelektasis dan toksisitas oksigen (pemakaian yang lama)

Aliran oksigen harus terus diberikan untuk memastikan kantung senantiasa terisi sepertiga atau separuh pada saat inspirasi.

(16)

masker 4. Non-rebreathing mask 10 10-12 60-80 (tergantung aliran oksigen dan tipe pernapasan) 95 - Diutamakan untuk pasien rawat inap - Konsentrasi oksigen tinggi tanpa dibutuhkan intubasi - Pasien menghirup udara yang kaya oksigen dari kantung dan bukan dari

udara yang tersisa.

Lebih mahal dibanding nasal kanul dan simple

mask Kantong harus diisi sebelum dipasang ke pasien 5. Sungkup muka venturi 4 6 8 10 24-28 31 35-40 50 Konsentrasi oksigen akhir dapat dimonitor dengan lebih ketat dan lebih

tepat

- Resiko atelektasis dan toksisitas oksigen (pemakaian lama)

- Harus dipasang dengan ketat - Tidak dapat mengalirkan oksigen

konsentrasi tinggi dengan fleksibel

6. Head box 5 6 7 >7 - Meningkatkan O2

- Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah penumpukan CO2

- Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk mencegah rebreathing CO2 7. Continue Positive airway pressure(CPAP) 2-10 dengan konsentrasi 21-100%

- Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif pada

(17)

(18)

2.9.5 Monitoring Dalam Pemberian Terapi Oksigen

Dalam pemberian terapi oksigen, monitoring merupakan hal yang penting, agar terapi oksigen yang diberikan bisa efisien, efektif dan optimal serta efek samping dapat seminimal mungkin. Rekomendasi monitoring terapi oksigen, yaitu:

(19)

a) Jika memungkinkan AGD harus dilakukan sebelum terapi oksigen diberikan.

b) AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah pemberian terapi oksigen dan FiO2 diatur sesuai kebutuhan, respon yang adekuat adalah apabila PaO2 > 7,8 kPa (7,8 kPa ≈ 60mmHg) atau SaO2 > 90%.

c) Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal napas harus dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.

d) Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD harus dilakukan lebih sering untuk menilai PaO2 dan SaO2 harus dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.

2.9.6 Menghentikan Pemberian Terapi Oksigen

Prosedur menghentikan terapi oksigen disebut penyapihan (weaning), dapat dilakukan secara bertahap dengan menurunkan konsentrasi oksigen selama periode waktu yang ditetapkan sambil dievaluasi parameter klinis dan SpO2 atau dapat juga langsung dihentikan. Awalnya penghentian oksigen dilakukan selama 30 menit dan dilanjutkan untuk waktu yang lama, jika tidak terdapat deteriorasi, penghentian dapat dilakukan secara total. Tanda-tanda deteriorasi, yaitu peningkatan RR (terutama >30x/menit), penurunan SpO2, peningkatan dosis oksigen dibutuhkan untuk memastikan SpO2 berada pada target range, rasa mengantuk, nyeri kepala, muka kemerahan, dan tremor.

Pada pasien dengan penyakit respirasi yang kronis akan membutuhkan oksigen dalam konsentrasi yang rendah untuk jangka waktu yang lebih lama. Pemberian oksigen harus dihentikan apabila oksigenasi arteri sudah adekuat dengan keadaan bernapas pada udara kamar (PaO2 >60 mmHg, SaO2 >90%). Weaning dipertimbangkan apabila pasien sudah merasa nyaman, penyakit dasar sudah terstabilisasai, tekana darah, nadi, frekuensi napas, warna kulit dan oksimetri dalam batas normal, serta hasil AGD dalam batas normal.

2.9.7 Komplikasi Terapi Oksigen

Penderita PPOK dengan retensi CO

2 sering bergantung pada “hypoxic

(20)

dapat mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.10

Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada

neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat. Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara berkelanjutan.10

Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang

(21)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang.

Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen, teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi CO2.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

AARC CPG, 2010, “AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for Adults in the Acute Care Facility”.

Astowo, Pudjo, 2010, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Jakarta: FK UI.

Ganong, F. William, 2009, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta: EGC. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2010, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2010, “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.

Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2010, “Emergency Medicine: Oxygen Therapy”, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.

South Durham Health Care NHS, 2000, “Guideline for the Management of Oxygen Therapy”.

Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2010, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi tepung kulit bawang putih sebanyak 30 ppm dan mineral organik sebanyak 41,8 ppm pada pakan basal tidak

Dampak penerapan Ekstrakurikuler Tahfidz al-Qur’an di MI Roudlotut Tholibin Dau Malang sesuai dengan teori Az-Zuhri berkata, “Hati seorang penuntut ilmu itu pada umumnya hanya

Setelah user login, maka user dapat menggunakan fasilitas untuk analisis pestisida yang telah dibuat dengan implementasi algoritma CBR, yaitu dengan memilih gejalah

Pengukuran kembali lubang ledak yang sudah di bor ( sounding )merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan isian bahan peledak agar sesuai rencana.Kegiatan

Selain persoalan kesepadanan tingkat intelektualitas dan wawasan antara Petugas Pembinaan dengan narapidana tindak pidana korupsi yang harus dibenahi melalui

Aktivitas customer relations dalam meningkatkan citra BPJS Ketenagakerjaan serta mempertahankan kepuasan peserta yang dijalankan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam penelitian

* PHILIPPINES 8100023 PRIMARY 6 LIVING SPRING ACADEMY FILIPINAS, THEUS GIFT EDWIN

Nilai indeks keanekaragaman jenis tertinggi tingkat semai dimiliki oleh ketinggian tempat 1.300 m dpl yang mempunyai keanekaragaman jenis se- besar 3,34 dengan 35 jenis individu