• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI LOKAL PESISIR DAN DAYA DUKUNG LAHAN PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI LOKAL PESISIR DAN DAYA DUKUNG LAHAN PENGGEMBALAAN DI KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS TERNAK SAPI LOKAL PESISIR

DAN DAYA DUKUNG LAHAN PENGGEMBALAAN DI

KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA BARAT

(The Productivity of Pesisir Cattle and the Carrying Capacity of Communal

Grazing Land in the District of Pesisir Selatan in West Sumatera)

WIRDAHAYATI R.B.1danA.BAMUALIM2 1

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114 2

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran, Kav. E. 59, Bogor 16151

ABSTRACTS

A monitoring survey was conducted to identify the condition and the population dynamics of three groups of breeding cattle, two groups owned by the farmers from Surantih Village, Sub-District Sutera and Lakitan Village Sub-District Lengayang, while the other group belonged to the Livestock Service, Pesisir Selatan District. Besides, an assessment on fattening practice was also carried out at the two groups belonged to two farmers in the Surantih village. The carrying capacity of the grazing land used communally was assessed through sampling square method.

Key Words: Pesisir Cattle, Productivity, Breeding, Fattening, Grazing Land Capacity

ABSTRAK

Suatu survei monitoring untuk mengetahui kondisi dan dinamika populasi kelompok ternak yang dibudidayakan telah dilaksanakan di tiga lokasi, dua lokasi milik petani yaitu di Nagari Surantih, Kecamatan Sutera dan Nagari Lakitan Kec. Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, sedangkan satu kelompok milik UPTD Dinas Peternakan Kabupaten. Disamping itu dilakukan pula pengkajian terhadap penggemukan ternak pada dua kelompok milik petani di Nagari Surantih. Kajian dukungan/daya tampung lahan penggembalaan dengan menggunakan metoda kubus dilakukan di lahan yang biasa digunakan sebagai lahan penggembalaan umum.

Kata Kunci: Sapi Lokal Pesisir, Produktivitas, Budidaya, Penggemukan, Daya Dukung Lahan

Penggembalaan

PENDAHULUAN

Peningkatan laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,5%/tahun dan pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan pendapatan sekitar 3% per tahun, urbanisasi serta peningkatan kesadaran tentang gizi telah mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat. Peningkatan konsumsi produk peternakan baik berupa daging, telur dan susu meningkat cukup tinggi yakni diatas 5% per tahun seperti yang diprediksi oleh

Agricultural and Rural Development Strategy Study (ARDS, 2003) untuk masa 20 tahun

mendatang. Sampai saat ini kemampuan produksi daging dalam negeri belum mampu memenuhi peningkatan konsumen yang cukup

pesat. Sekitar 27% dari jumlah konsumsi daging nasional (450 ribu ton daging/th) berasal dari daging sapi dan kerbau, dimana produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan ± 350 ribu ton dan sisanya terpaksa diimpor dari luar negeri melalui ternak hidup dan daging beku. Ancaman ketergantungan impor daging nasional (450 – 700 ribu ekor/tahun), yang meningkat setiap tahun, harus disiasati melalui usaha terobosan untuk memacu produktivitas dan pertumbuhan populasi ternak lokal (ANONIMUS, 2004). Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) merupakan salah satu daerah pemasok sapi potong yang utama di Pulau Sumatera. Dengan populasi ternak sapi sekitar 550.000 ekor, setiap

(2)

tahunnya membutuhkan sekitar 60.000 ekor sapi untuk konsumsi masyarakat Sumbar, dan sekitar 20.000 ekor dikeluarkan ke propinsi terdekat seperti Propinsi Riau, Jambi dan sebagian kecil ke Propinsi Sumatera Utara. Jenis sapi potong yang ada di Sumbar adalah sapi persilangan yang berasal dari luar, peranakan sapi lokal Sumatera, sapi lokal Pesisir, dan sapi Bali.

Kabupaten Pesisir Selatan (Pes Sel) dengan luas 5.749 km2, merupakan salah satu kabupaten yang potensial untuk pengembangan sapi di Provinsi Sumbar. Populasi sapi potong yang ada di wilayah ini tercatat sekitar 114. 470 ekor, kira-kira 20% dari total populasi sapi potong di Sumatera Barat didominasi oleh jenis sapi lokal Pesisir (ANONIMUS, 2002). Penampilan jenis sapi lokal Pesisir lebih kecil dari sapi Bali dengan warna beragam, ada yang kekuningan, putih ke abu-abuan kecoklatan dan ada yang menyerupai sapi Madura. Punuk dan gelambir tidak terlihat, sehingga sulit menentukan apakah jenis sapi Pesisir termasuk keturunan sapi Zebu yang adaptif di Sumatera (Sumatran Zebu). Berdasarkan keterangan dan pengalaman petani setempat, ternak ini tergolong produktif dengan kelahiran anak yang tinggi setiap tahunnya, beradaptasi dengan kondisi daerah Pes. Sel. dengan baik. Sesuai dengan pendapat SALADIN (1983) yang membenarkan sebutan masayarakat setempat sebagai “jawi ratuih” atau “bantiang ratuih” (bahasa Minang: jawi = bantiang = sapi;

ratuih = kecil dan banyak) yang berarti sapi

yang jumlahnya banyak dan kecil-kecil. Temperamen sapi Pesisir umumnya jinak.

Pemasaran Sapi Pesisir menjangkau beberapa pasar ternak di kabupaten lainnya dan meningkat di saat menjelang Lebaran terutama Lebaran Haji, saat umat Islam melakukan korban. Sapi Pesisir yang sudah dewasa dan memenuhi persyaratan sebagai hewan korban sangat digemari calon peserta pembayar korban ternak karena harganya relatif rendah sehubungan dengan bobot badannya yang juga relatif lebih rendah dibanding jenis sapi Simmental dan sapi lainnya yang mempunyai berat hidup sekitar 400 – 500 kg dan harganya minimal mencapai 2 – 3 kali harga sapi Pesisir dewasa untuk hewan korban.

Sistem pemeliharaan masih ekstensif yaitu dilepas bebas di lapangan penggembalaan

bahkan berkeliaran disepanjang jalan dan pasar pasar di daerah ini. Apabila potensi sumberdaya yang ada, terutama limbah dan hasil ikutan tanaman pangan dan perkebunan dimanfaatkan secara optimal dan berintegrasi dengan penerapan manajemen peternakan yang memadai, Kabupaten Pes. Sel. dapat diandalkan menjadi daerah pengembangan sapi Pesisir dan pemasok sapi potong yang berwawasan agribisnis. Kebijakan PEMDA Sumbar telah menetapkan Kabupaten Pes. Sel sebagai salah satu dari 16 Kawasan Sentra Produksi sapi Potong di Sumbar, yaitu di dua Kecamatan, Sutera dan Bayang yang merupakan wilayah kantong ternak sapi di daerah ini.

Mendukung perencanaan perbaikan dan pengembangan sapi Pesisir, BPTP Sumbar melaksanakan kegiatan karakterisasi dan identifikasi potensi dan kendala produktivitas sapi lokal Pesisir dengan melakukan survei

monitoring (pemantauan) produktivitas ternak

dan daya dukung lahan penggembalaan ternak. Pengumpulan data baik dikelompok pembiakan (budidaya) maupun penggemukan, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang produktivitas ternak yang ada, dokumentasi dan analisis yang lengkap tentang keadaan/kondisi produktivitas yang ada, kendala usaha yang dominan. Hal ini diperlukan sebagai basis dalam menentukan tindakan manajemen yang sesuai untuk usaha pengembangan sapi lokal Pesisir.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan materi pengkajian

Survai Monitoring Produktivitas Sapi Lokal Pesisir dilakukan setiap tiga bulan pada tiga kelompok ternak yang dibudidayakan di Nagari Surantih, Kecamatan Sutera, dan Nagari Lakitan Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan dan satu kelompok milik UPTD Dinas Peternakan Kabupaten Pes. Sel. Dua kelompok penggemukan yang dikandangkan sepanjang waktu, merupakan milik petani yang dipesiapkan untuk dijual saat hari raya Haji. Pengamatan di kedua lokasi penggemukan dilakukan setiap bulan.

Kontribusi peternak dalam hal penyediaan ternak, sarana lainnya dan tenaga kerja dalam

(3)

pemeliharaan ternaknya, sedangkan tenaga peneliti dan penyuluh dari BPTP merupakan sumber teknologi dan membimbing serta memberi petunjuk dalam pelaksanaan pengkajian.

Untuk menduga daya dukung padang penggembalaan alam yang digunakan di sekitar lokasi pengkajian, dilakukan pengukuran kapasitas tumbuh hijauan yang ada menggunakan sistem kubus. Lahan seluas 1 m2 dipagari, sehingga hijauan yang tumbuh didalamnya tidak dimakan ternak. Setiap tiga bulan rumput yang tumbuh di dalam kubus dipotong, ditimbang dan disortir menurut jenisnya, mungkin terdiri dari beberapa jenis rumput alam, legum dan gulma. Kemudian produksi 1 m2 di konversikan kedalam hektar, sehingga produksi hijauan dalam periode tiga bulan dapat diketahui.

Parameter pengamatan

Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data sekunder dari dinas terkait, kemudian dilakukan pengumpulan data primer menyangkut keadaan sosial-ekonomi peternak, pemilikan dan jumlah ternak, sistem pemeliharaan, ketersediaan dan sistem pemberian pakan yang ada, pemasaran ternak serta sistem usahatani penunjang melalui wawancara dengan pemilik ternak sampel.

Data reproduksi meliputi; persentase kebuntingan, tingkat kelahiran, umur beranak pertama, sistem perkawinan, ketersediaan dan kualitas pejantan, serta serangan penyakit.

Data primer produktivitas kelompok ternak yang di budidayakan:

• Bobot hidup ternak menurut kelasnya. • Pertumbuhan ternak dan perubahan bobot

hidup ternak muda dan dewasa • Produksi pakan ternak menurut musim

Data pertumbuhan dan konsumsi pakan ternak penggemukan dikumpulkan setiap bulan, untuk memperoleh nilai rata-rata dari beberapa parameter yang diamati. Perhitungan analisa usahatani juga dilakukan untuk memperkirakan keuntungan bagi petani yang melakukan usaha penggemukan sapi Pesisir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum lokasi pengkajian

Kabupaten Pes. Sel membentang sepanjang pantai bagian barat Provinsi Sumbar, dengan luas sekitar 574,899 ha dan elevasi yang cukup bervariasi. Jumlah penduduk 415.124 orang, sebanyak 2004.359 laki-laki dan 210.705 perempuan. Dari jumlah usia angkatan kerja sebanyak 178.532 orang hanya 82,67% yang mempunyai pekerjaan (147.593 orang), sisanya 30.940 orang merupakan pengangguran atau sedang mencari pekerjaan. Sejumlah 58,9% bekerja dalam bidang pertanian, 18,3% berusaha pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran, 5,5% bergerak dalam sektor jasa dan sektor lainnya. Pencanangan kebijakan Pemda Sumbar menjadikan wilayah Pesisir Selatan sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Sapi Potong diharapkan dapat membantu memberikan lapangan kerja terhadap sejumlah 18% angkatan kerja pengangguran di daerah ini.

Sistem pemeliharaan dan pemilikan ternak sapi

Pemeliharaan sapi umumnya secara ekstensif, ternak digembalakan secara bebas di beberapa kawasan persawahan tadah hujan dan lahan-lahan yang kosong, bahkan banyak ternak berkeliaran di sepanjang jalan raya dan pasar. Rata-rata pemilikan sapi Pesisir relatif tinggi, yaitu sekitar 14 ekor induk/KK (kisaran 10 – 20 ekor) dengan jumlah anak sebanyak 12 ekor (kisaran 8 – 15 ekor).

Penampilan produksi ternak

Pertumbuhan ternak yang dibudidayakan secara ekstensif

Berat lahir sapi lokal Pesisir rata-rata 14 – 15 kg, relatif sama dengan berat lahir anak sapi Bali yang diamati di Nusa Tenggara. Namun setelah lahir, pertumbuhan ternak di tiga lokasi yang dimonitor ternyata sangat rendah, sehingga penampilan ternak pada umur-umur tertentu jauh dibawah penampilan sapi lokal Pesisir yang di survei dua puluh tahun lalu

(4)

oleh SALADIN (1983) (Tabel 1). Bobot hidup sapi Pesisir betina umur satu tahun yang diamati dalam monitoring ini hanya mencapai 65 – 79 kg, mendekati separuh dari bobot hidup sapi betina yang disurvei SALADIN (1983), yaitu 136 kg. Fenomena penurunan bobot hidup ini juga terlihat nyata pada bobot hidup sapi betina dewasa umur 6 – 10 tahun yang dalam monitoring ini hanya sebesar 160 kg, 165 kg dan 184 kg di tiga lokasi pengkajian yaitu di Setiabudi, Pasir Panjang dan lokasi UPTD milik Dinas, sedangkan laporan Saladin (1983) untuk umur yang sama adalah 269 kg, jadi penurunan bobot hidup mencapai sekitar 100 kg.

Pengalaman di lapangan menunjukkan, ketersediaan pakan merupakan faktor yang paling menentukan pertumbuhan ternak. Rataan pertumbuhan induk dewasa di lokasi Lengayang, kelompok Setiabudi, hanya 50-66 g/ekor/hari lebih rendah dibanding pertumbuhan induk dewasa di lokasi Pasir Panjang, Surantih yaitu 105 g/ekor/hari. Hal ini diduga karena kelompok sapi di lokasi Setiabudi hanya dilepas bebas atau diikat pindah di lapangan penggembalaan alam yang kualitas dan kuantitasnya jauh dari memadai. Di lokasi petani di Pasir Panjang, dalam tahun 2005 BPTP telah mengintroduksi beberapa jenis rumput unggul dan legum pohon yang telah dimanfaatkan sejak awal 2006 walaupun belum mempertimbangkan kebutuhan optimum ternak, namun telah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ternak. Pertumbuhan kelompok induk di lokasi ini dalam pengamatan tahun 2005 hanya mencapai 50 g/ekor/hari, namun dalam tahun 2006 meningkat menjadi 105 g/ekor/hari.

Khusus untuk kelompok ternak milik UPTD, pada awal pengamatan (Juli 2006) rataan bobot hidup induk dewasa paling tinggi dibanding dengan rataan bobot hidup induk di dua lokasi petani (lokasi Setiabudi dan Pasir Panjang) yaitu 184 kg vs 160 kg dan 165 kg. Tingginya bobot hidup di lokasi UPTD dapat dimaklumi, karena sapi-sapi betina induk di lokasi ini merupakan hasil seleksi dari sapi-sapi rakyat dan dikumpulkan di lokasi ini untuk dijadikan bibit, yang diharapkan untuk memperbaiki penampilan turunan sapi lokal Pesisir. Ironisnya, pertumbuhan induk betina di UPTD, hanya sempat bertumbuh dengan baik

drastis waktu monitoring ketiga dan keempat, memberikan rataan pertumbuhan yang negatif akibat kehilangan bobot badan sebesar 170 g/ekor/.hari sehingga bobot badan akhirnya menjadi 156 kg yang awalnya adalah 184 kg.

Hal ini diduga, karena UPTD dalam taraf pengembangan dan pembangunan kebun-kebun rumput, setiap pagi ternaknya digembalakan di luar areal UPTD dan sore baru dikandangkan, tanpa ada pemberian penambahan pakan. Sapi-sapi induk di lokasi ini umumnya melahirkan dalam tahun 2006, sedangkan kebutuhan pakannya tidak disuplai secara memadai. Sebelum di rekrut ke UPTD, barangkali sapi-sapi induk ini berasal dari tempat tempat pemeliharaan esktensif yang mempunyai kondisi lapangan penggembalaan yang memadai. Hal ini menjadi indikasi bahwa dalam kondisi pakan memadai, sapi Pesisir mampu memberikan penampilan yang baik dan bobot hidup yang lebih tinggi. Namun dalam kondisi pakan yang kurang memadai respons negatif tercermin dari penampilan dan kondisi ternak. Apabila manajemen pemeliharaan tidak segera diperbaiki, UPTD kehilangan sumber bibit yang telah diseleksi, dan membutuhkan waktu yang panjang untuk memulihkannya, dan sapi–sapi induk mungkin akan mengalami jarak kelahiran yang lebih panjang dan kurangnya anak yang dihasilkan.

Pertumbuhan anak-anak sapi umumnya berkisar antara 100 – 150 g/ekor/hari. Anak sapi jantan terlihat bertumbuh sedikit lebih tinggi dari anak betina (Tabel 3), namun secara keseluruhan pertumbuhan ternak muda tidak mencapai 200 g /ekor/hari.

Pertumbuhan pada ternak jantan yang digemukkan

Monitoring kelompok penggemukan dilakukan pada dua kelompok ternak jantan milik petani yang dipersiapkan untuk pemasaran di bulan Haji. Masing-masing petani memberikan pakan yang berbeda. Kelompok penggemukan petani pertama dengan jumlah ternak 18 ekor, memberikan pakan harian berupa rumput alam 10 kg/ekor, dedak 1,4 kg, sagu 2,2 kg dan batang pisang sekitar 1,2 kg per ekor/hari. Kelompok milik petani kedua dengan jumlah ternak 8 ekor, mendapat pakan berupa 10 kg rumput unggul dan 2 kg dedak/ekor/hari.

(5)

Tabel 1. Penampilan bobot hidup (kg), tinggi pundak (cm) dan lingkar dada (cm) sapi lokal Pesisir di beberapa kelompok di Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2006

dan penampilan sapi Pesisir yang diamati Saladin tahun 1983

Kelompok Setiabudi Desa Pasir Panjang UPTD Saladin (1983) Kelamin/umur N Bobot hidup (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) N Bobot hidup (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) N Bobot hidup (kg) Tinggi pundak (cm) Ling kar dada (cm) N Bobot hidup (kg) Tinggi pundak (cm) Lingkar dada (cm) Betina 1 – 3 bulan 8 17 57 62 2 19 61 65 3 17 54 55 4 – 6 bulan 3 27 62 70 3 39 69 84 - - - - 6 – 12 bulan 3 53 74 86 2 45 76 85 - - - - 1 – 1,5 tahun 2 79 89 102 4 65 78 94 - - - - 20 136 96 100 2 – 2,5 tahun 12 114 92 112 3 88 82 106 - - - - 44 168 108 130 3 tahun 13 131 95 117 4 126 96 116 - - - - 53 170 108 130 4 tahun 10 148 99 122 - - - - - - 108 240 109 138 5 tahun 5 142 96 120 - - - - - - 163 249 112 140 6 – 10 tahun 16 160 100 125 10 165 99 129 25 184 99 128 94 269 116 145 Jantan 1 – 3 bulan 4 17 58 59 2 20 63 71 6 bulan 2 35 65 74 4 41 69 83 4 23 65 69 1 tahun 5 82 86 100 4 86 84.5 100.5 1 88 91 1002 24 149 97 114 2 tahun 2 140 106 123 3 119 89 114 3 155 98 124 44 191 107 125 3 tahun 1 139 100 119 1 199 111 132 40 233 110 135 4 tahun 36 277 114 142 5 tahun 94 290 117 143 6 tahun 70 295 118 148 7 tahun 8 297 119 148 8 tahun 3 298 119 148

(6)

Tabel 2. Perubahan bobot hidup (BH) sapi lokal Pesisir yang diamati setiap tiga bulan pada tiga kelompok

ternak di Kabupaten Pesisir Selatan selama tahun 2006

Waktu kunjungan

Juni 06 Sept 06 Des 06 Maret 07 Kelompok N Jumlah Sampel Kelamin Umur BB BB BB BB 8 B 1 – 3 bulan 17 33 45 57 Setiabudi 3 B 4 – 6 bulan 27 46 55 64 3 B 6 – 1 tahun 53 73 79 94 2 B 1 – 1,5 79 87 103 111 12 B 2 – 2,5 114 122 130 144 13 B 3 131 144 153 163 10 B 4 148 154 160 168 5 B 5 142 155 166 172 2 B 6 146 156 172 177 4 B 7 150 159 170 174 9 B 8 151 160 173 178 4 J 1 – 3 bulan 17 29 41 53 2 J 6 bulan 35 53 65 98 5 J 1 82 87 93 103 2 J 2 140 159 165 177 1 J 3 139 164 168 213 UPTD 3 B 1 bulan 19 30 54 Disnak 2 B 9 bulan 56 76 25 B Dewasa (4 – 5 tahun) 184 194 171 156 2 J 1 bulan 19 40 1 J 1 tahun 87.5 116.5 106 3 J 2 tahun 155 157 155 163 1 J 3 tahun 198.5 209 195 192 Kelompok 2 B 3 bulan 22 28 33 Psr Panjang 3 B 6 bulan 39 48 54 58 2 B 1 tahun 45 54 61 68 4 B 1,5 65 69 80 83 3 B Hfr 2 88 100 101 112 4 B Dewasa 3 tahun 126 131 137 139 10 B Dewasa 6 – 9 tahun 165 171 168 172 3 J 2 bulan 20 34 3 J 4 bulan 22.5 26.5 28 4 J 6 bulan 41 46 53 59 5 J 1 tahun 77.5 82.5 4 J 1.5 tahun 86 95.2 102 105.7 3 J 2 tahun 119 129 134 141

(7)

Tabel 3. Pertumbuhan sapi Pesisir yang dibudidayakan oleh dua kelompok peternak dan di UPTD Dinas

Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan dalam tahun 2006

Setia Budi Pasir Panjang UPTD Kelamin Umur N PBBH (g) N PBBH (g) N PBBH (g) Betina 1 – 3 bulan 8 128 2 138 3 71 Betina 4 – 6 bulan 3 101 3 96 Betina 6 – 1 tahun 3 161 2 164 2 226 Betina 1 – 1,5 tahun 2 88 4 76 Betina 2 – 2,5 tahun 12 153 3 276 Betina 3 tahun 13 105 4 56 Betina 4 tahun 10 86 Betina 5 tahun 5 65 Betina 6 – 9 tahun 18 50 10 105 25 -170 Jantan 1 – 3 bulan 4 133 2 203,5 2 231 Jantan 6 bulan 2 368 4 164 2 301 Jantan 1 tahun 5 112 5 132 2 106 Jantan 2 tahun 2 132 7 136 3 155 Jantan 3 tahun 1 495 1 195 N = Jumlah sampel

Tabel 4. Keragaan bobot hidup ternak (kg), jumlah pakan yang diberikan (kg/ekor/hari) dan pertumbuhan

(g/ekor/hari) di dua kelompok penggemukan sapi lokal Pesisir

Kelompok* Rataan BB awal (kg/ekor) Rataan BB akhir (kg/ekor) Pertumbuhan (kg/ekor) Rataan pertumbuhan (g/ekor/hari)

Pakan yang diberikan (kg/ekor/hari) I (n = 18) Lama pengamatan 5 bulan 122,5 157,4 34,9 238 10 kg rumput alam 1,4 kg dedak 2,2 kg sagu 1,2 kg batang pisang II (n = 8) Lama pengamatan 4 bulan 143 170,8 33,8 275 10 kg rumput unggul 2 kg dedak

* n = jumlah ternak yang dipelihara

Pertambahan bobot badan ternak dan jenis pakan yang diberikan oleh masing-masing petani disajikan dalam Tabel 4. Pertumbuhan ternak yang digemukkan dengan sistem pemberian pakan cara petani hanya mencapai 238 dan 275 g/ekor/hari. Data terdahulu (RAFLI MUNIR et al., 2003) menyatakan pertumbuhan ternak dengan sistem pemberian 75% hijauan (50% rumput + 25% tanaman jagung) dan 25% silase jerami padi, pertumbuhannya mencapai 0,53 kg/ekor /hari, dan ternak sapi yang hanya

diberi 100% hijauan pertumbuhannya hanya 0,27 kg/ekor/hari. Sedangkan sapi yang dilepas atau dipelihara dengan cara petani hanya menghasilkan penambahan bobot sapi yang jauh lebih rendah, yaitu 0,17 kg/ekor/hari. Perbaikan kualitas dan kuantitas pakan akan meningkatkan pertumbuhan ternak yang digemukkan (BAMUALIM et al., 2004), namun peternak yang mengusahakan penggemukan sapi Pesisir untuk dipasarkan sebelum lebaran haji, kurang berminat untuk meningkatkan

(8)

pakan untuk memacu pertumbuhan yang tinggi, karena umumnya istilah penggemukan yang dilakukan para pedagang adalah menumpuk ternak beberapa bulan sebelum dijual, dengan prinsip hanya menjaga kondisi ternak dengan baik dan sehat sebelum dijual, jadi bukan untuk mendapatkan pertumbuhan yang tinggi.

Reproduksi ternak

Kelompok ternak induk yang dimonitor sejak tahun 2005 yang lalu tercatat melahirkan anak sebanyak 74%. Wawancara dengan petani mengungkapkan bahwa pada umumnya induk sapi dapat dikawinkan lagi sekitar 3 bulan setelah melahirkan. Umur bunting pertama kali sekitar 30 bulan dan umur beranak pertama kali sekitar 39 bulan atau 3,3 tahun. Perkawinan ternak umumnya secara alam di lapangan penggembalaan dengan resiko kawin dalam (inbreeding). Masalah utama adalah langkanya pejantan yang memenuhi syarat sebagai bibit. Pejantan hanya mengandalkan sapi jantan yang ada di lapangan yang belum terjual dengan penampilan yang relatif kecil, pejantan yang memadai sangat langka.

Daya dukung lahan penggembalaan umum di Pesisir Selatan

Rumput lapangan merupakan sumber hijauan utama sapi Pesisir. Pendugaan daya dukung padang penggembalaan umum, menggunakan sistem kubus. Hasil produksi 1 m2 lahan dalam kubus dikonversikan ke dalam luasan per hektar, sehingga produksi hijauan dalam masa tiga bulan dapat diketahui (Tabel 5). Jumlah ternak yang dapat ditampung lahan penggembalaan untuk merumput dapat diperkirakan dengan membandingkan produksi hijauan per hektar per hari dengan jumlah kebutuhan ternak per ekor per hari. Produksi hijauan yang paling tinggi diperoleh dari kubus no. 2, yaitu 3,5 kg/m2 yang dapat dikonversikan menjadi 35.000 kg/ha dalam waktu 95 hari. Sehingga rata-rata produksinya adalah 368 kg/ha/hari. Apabila kebutuhan seekor ternak sapi Pesisir dewasa adalah 20 kg/hari, maka satu hektar lahan penggembalaan dimana kubus ini berada bisa menampung 18 ekor sapi dewasa, namun kenyataannya di lapangan penggembalaan selalu dipadati ratusan ternak setiap harinya, sehingga kondisinya selalu kekurangan rumput.

Tabel 5. Produksi hijauan dan estimasi daya dukungnya terhadap jumlah ternak sapi yang digembalakan

(ekor/ha) di padang penggembalaan di sekitar lokasi pengkajian

Produksi hijauan (g/m2) Estimasi produksi hijauan (kg/ha/3 bulan) Kubus

Juni September Desember Juni September Desember

1 50 1850 1200 500 18500 12000 2 100 2300 1750 1000 23000 17500 3 150 2900 1950 1500 29000 19500 4 750 2850 1250 7.500 285000 12500 5 3500 900 700 35.000 9000 7000 6 190 1900 1300 1.900 19000 13000 7 180 2950 1600 1.800 29500 16000

Estimasi produksi hijauan (kg/ha/hari) Estimasi kapasitas tampung sapi (ekor) Kubus

Juni September Desember Juni September Desember

1 5,5 205 133 0,3 10,2 6,6 2 11 256 194 0,5 12,8 9,7 3 17 323 216 0,8 16 10,8 4 79 317 148 3,9 16 7,4 5 368 10 85 18,4 0,5 4,2 6 20 211 144 1,0 10,5 7,2 7 19 328 177 0,9 16,4 8,8

(9)

Jenis hijauan, nama lokal dan nama latin, nilai gizi (kandungan protein, fosfor dan sulfur) dari berbagai jenis hijauan yang terdapat di lapangan penggembalaan di sekitar lokasi pengkajian disajikan dalam Tabel 6. Kalkulasi nilai gizi hijauan yang ada hanya cukup untuk mendukung pertumbuhan ternak yang minimal. Jadi apabila pakan yang dikonsumsi hanya bergantung pada rumput alam maka diperlukan pakan tambahan yang mendukung pertumbuhan yang optimal dan ekonomis.

Pemberian pakan tambahan hanya pada sapi yang digemukkan berupa sagu dan dedak padi. Namun bila ditinjau dari kebutuhan pertumbuhan ternak yang digemukkan maka kedua jenis pakan tambahan tersebut hanya merupakan sumber karbohidrat (energi), sehingga pertambahan bobot badan (PBB) nya relatif masih rendah. Oleh sebab itu pakan tambahan yang dibutuhkan juga harus mengandung unsur protein. Upaya perbaikan pemberian tambahan asupan protein pada ternak penggemukan dapat diperoleh dari tanaman legum, yang ironisnya masih sangat jarang ditemui di lapangan. Oleh karena itu prioritas pengembangan pakan ternak di lokasi pengkajian adalah mengembangkan tanaman pakan sumber protein, baik berupa hijauan yang merambat maupun pohin-pohon leguminosa terutama gamal, lamtoro, turi dan akasia.

Analisa usahatani penggemukan sapi Pesisir

Lama pemeliharaan untuk penggemukan sapi di Pesisir bekisar selama 6 – 11 bulan. Analisis ekonomi penggemukan sapi yang dipelihara secara intensif memperhitungkan biaya pembelian sapi bakalan, penyusutan kandang, pemberian pakan tambahan dan obat-obatan, ternyata dapat memberikan keuntungan sebanyak Rp 600.000/ekor/siklus dengan nilai R/C = 1,22 (Tabel 7).

Tabel 7. Analisis ekonomi usaha penggemukan

sapi Pesisir/ekor/siklus*), tahun 2005 A Penjualan 1 ekor sapi Rp. 3.300.000 B Pembiayaan:

Biaya tetap

Penyusutan kandang Biaya variabel

Beli sapi bakalan Pakan **) Obat-obatan Tenaga kerja ***) Biaya total Rp. 200.000 Rp.2 000.000 Rp. 200.000 Rp. 50.000 Rp. 250.000 Rp. 2.700.000 C Keuntungan Rp. 600.000 R/C 1,22

*) Per siklus = 6 – 11 bulan

**) Hanya pakan tambahan yang dihitung biayanya ***) Merupakan biaya tenaga kerja keluarga

Table 6. Jenis hijauan yang dominan dan sporadis serta estimasi kandungan protein, gizi di lokasi pengkajian

Kandungan gizi (%) Nama lokal Nama latin

Protein Fosfor (P) Sulfur (S) Hijauan utama

Rumput Agam Fimbristylis alboviridis 8,3 0,12 0,46

Rumput Pahit Axonopus compressus 9,3 0,13 0,53

Rumput Bulek Eleocharis ochrostachys 10,5 0,14 0,78 Hijauan sporadis

Rumput Kerinci Brachiaria platyphylla 8,6 0,11 0,75

Rumput Sawik Eleusina indica - - -

Rumput Udang Paspalum secrobiculatum 8,8 0,11 0,73

Rumput Pahit Joho Andropogon pertusus - - -

Rumput Paro-paro Cyperus sanguinolentus - - -

Hijauan/pakan lain

Campuran rumput - 10,3 0,16 0,66

Batang pisang Musa spp 3,9 0,12 0,37

(10)

KESIMPULAN

1. Sapi Pesisir pada umumnya dipelihara secara bebas dengan penerapan manajemen yang masih rendah, sehingga produktivitas masih rendah, namun berfungsi sebagai bentuk investasi yang dapat diuangkan sewaktu keperluan mendesak.

2. Sapi Pesisir merupakan ternak yang populer untuk kebutuhan hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan Survei monitoring ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi terkini dan akurat tentang data produktivitas dan kendala ternak sapi Lokal Pesisir yang mendominasi populasi sapi di Kabupaten Pesisir, hal ini penting untuk menjadi landasan pemikiran tentang perencanaan peningkatan produkitivitas sapi Pesisir ke depan.

3. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penampilan sapi lokal Pesisir yang dilepas bebas di tempat penggembalaan umum relatif kecil-kecil sebagai akibat rendahnya pertumbuhan ternak, sehubungan dengan rendahnya kapasitas dan dukungan pakan yang disediakan dari padang penggembalaan umum. Penampilan yang kecil dapat dipastikan bukan karena faktor genetis melainkan dukungan pakan yang semakin rendah. Buktinya data catatan performans sapi Pesisir dua puluh tahun yang lalu menunjukkan bobot hidup dan kondisi sapi ini jauh lebih baik dan bukan sapi yang kecil, karena dukungan pakan masih memadai.

4. Perlu upaya perbaikan dan pemeliharaan padang penggembalaan umum, untuk mengurangi tekanan penggunaan yang eksesif dan memadai sebagai areal penggembalaan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ternak yang optimal/memadai.

5. Rataan bobot hidup dan pertumbuhan sapi jantan yang dikandangkan secara intensif untuk digemukkan, masih kurang memadai. Hal ini karena pemberian pakan tambahan berupa sagu dan dedak yang merupakan sumber karbohidrat (enersi) masih kekurangan protein untuk mendukung pertumbuhan yang optimal.

6. Berdasarkan pengamatan di lapangan, perbaikan pakan berupa introduksi hijauan/

tanaman pakan unggul atau perbaikan pemberian jenis dan jumlah pakan mampu meningkatkan pertumbuhan dan penampilan ternak lokal sapi Pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

BAMUALIM,A. dan WIRDAHAYATI R.B. 2004. Profil dan Prospek Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Pulau Sumatera. Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Sapi Potong. Puslitbang Peternakan bekerja sama dengan Loka Penelitian Sapi Potong. Yogyakarta, 8 – 9 Oktober 2004.

ANONIMUS. 2002a dan 2004. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. ANONIMUS. 2002b. Statistik Peternakan Propinsi

Sumatera Barat, 2002

ANONIMUS. 2004a. Pokok-pokok pemikiran Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan 2004 – 2009. Departemen Petanian Republik Indonesia.

ARDS. 2003. Membangun Pertanian Sumatera dalam kerangka Pembangunan Pertanian Nasional Berkelanjutan. Penanggulangan Kemsikinan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan. First Regional Consultation Workshop. Medan 28th August 2003. Agricultural and Rural Development Strategy Study (ARDS) – ADB.

BAMUALIM, A., WIRDAHAYATI R.B. dan MURSAL BOER. 2004. Status dan peranan sapi lokal Pesisir di Sumatera Barat. Disampaikan dalam Seminar Kelembagaan Usahatani Tanaman – Ternak di Denpasar. Tanggal 30 November – 2 Desember 2004. PAATP Pusat, Badan Litbang Pertanian.

RAFLI MUNIR,MURSAL BOER,RIDWAN, SOFYANDI NUR, ASMAK dan ZULRASDI. 2003. Sistem Usahatani Terpadu Pangan dan Ternak Spesifik Lokasi (Crops Livestock System). Laporan Tahunan PAATP, BPTP Sumatera Barat.

RUSFIDRA, A. 2005. Quo Vadis Sapi Pesisir. Makalah e-mail pada Website Universitas Bung Hatta (20 Oktober 2005).

SALADIN,R. 1983. Penampilan sifat-sifat produksi dan reproduksi Sapi Lokal Pesisir Selatan di Porpinsi Sumatera Barat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Tabel 1.  Penampilan bobot hidup (kg), tinggi pundak (cm) dan lingkar dada (cm) sapi lokal Pesisir di beberapa kelompok di Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2006  dan penampilan sapi Pesisir yang diamati Saladin tahun 1983
Tabel 2.  Perubahan bobot hidup (BH) sapi lokal Pesisir yang diamati setiap tiga bulan pada tiga kelompok  ternak di Kabupaten Pesisir Selatan selama tahun 2006
Tabel 3. Pertumbuhan sapi Pesisir yang dibudidayakan oleh dua kelompok peternak dan di UPTD Dinas  Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan dalam tahun 2006
Tabel 5. Produksi hijauan dan estimasi daya dukungnya terhadap jumlah ternak sapi yang digembalakan  (ekor/ha) di padang penggembalaan di sekitar lokasi pengkajian
+2

Referensi

Dokumen terkait

ada di Desa Bangunsari Kecamatan Lasalepa Kabupaten Muna dapat dilihat dari hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pengusaha maupun buruh mebel yaitu: 1. Hak dan

BANGKOK - Bagi memahami senario pertanian di negara lain yang lebih kurang sama iklimnya serta gunatanah untuk pertanian, seramai 25 pelajar Master Pengurusan Sumber

3. Masih ada beberapa siswa yang belum serius mengikuti pembelajaran dan asik mengobrol dengan teman sebangku. Berdasarkan hasil evaluasi, perlu di- tingkatkan lagi

Iles-iles merupakan bahan pangan lokal Indonesia yang mudah dibudidayakan dan olahan iles-iles mengandung karbohidrat cukup tinggi serta mengandung glukomanan yang baik untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi mahasiswa dalam mengerjakan skripsi (1) kurang memiliki pengetahuan tentang metodologi penulisan skripsi; (2)

Perusahaan yang melakukan konsep penjualan karena memanfaatkan peluang dengan menjual produknya di lokasi yang strategis dan harga yang terjangkau untuk

Hasil dari uji F dibuktikan dengan menunjukkan tingkat signifikan 0,000 < 0,05 dan dapat disimpulkan bahwa secara bersama inovasi, kesesuaian, keunggulan

Dukungan keluarga yang terdiri dari empat dimensi yang meliputi dukungan sosial, dukungan penilaian, dukungan tambahan, dukungan emosional yang jika diberikan dengan baik