• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia Chapter III V"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINDAK PIDANA KORPORASI ATAS PRAKTIK TRANSFER PRICING

BIDANG PERPAJAKAN DI INDONESIA

A. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Hukum pajak tergolong dalam hukum publik yaitu hukum administrasi atau tata usaha negara.Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara bersumber pada peristiswa-peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana.112 Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga hukum yang bertugas mengumpulkan uang pajak, melakukan tugasnya berlandaskan pada administrasi pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak bagian dari hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata maupun pidana. Hukum pajak memilik keterikatan kuat dengan hukum perdata dan juga hukum pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan dalam hukum pajak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata maupun hukum pidana.113

Dekatnya hubungan hukum pajak dengan hukum perdata maupun hukum pidana bisa dimaklumi karena segala macam transaksi ekonomi dalam hukum perdata menjadi sasaran atau objek dari hukum pajak. Soal kealpaan dan kesengajaan yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP pada dasarnya mengacu pada pengertian

112

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Op. Cit., hlm. 14-15.

113

(2)

kealpaan dan kesengajaan dalam hukum pidana. Demikian juga misalnya soal wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 321 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bahkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Buku Ketiga tentang Perjanjian, bisa dikatakan semuanya merupakan transaksi ekonomi yang bersifat perdata yang mempunyai aspek hukum pajak. Berbagai macam perjanjian yang diatur dalam hukum perdata umumnya akan berdampak pada aspek pajak, kecuali perjanjian tertentu seperti hibah tidak berdampak pada aspek pengenaan pajaknya.114 Hubungan yang jelas tampak bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Perjanjian, kekayaan dan warisan adalah contoh perdata yang menjadi dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang pajak. Jadi, segala kegiatan ekonomi akan dipantau dari sisi pengenaan pajak untuk kepentingan negara. Proses administrasi pengenaan pajak (pemajakan) inilah yang diatur dalam hukum pajak, termasuk proses penyelesaiaan hukumnya sebagai bagian dari hukum administrasi.

Proses pemajakan itu sendiri merupakan sebagian dari kegiatan administrasi perpajakan. Istilah administrasi perpajakan dapat diartikan secara sempit dan secara luas. Dalam pengertian sempit, administrasi perpajakan merupakan penatausahaan dan

114

(3)

pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayar pajak.Sedangkan dalam arti luas, administrasi perpajakan dipandang sebagai fungsi, sistem dan lembaga.115

Sebagaimana telah diuraikan bahwa ada keterkaitan hukum pajak dengan hukum perdata dan hukum pidana. Akibat adanya tindak pidana dalam bidang perpajakan dapat mengakibatkan kerugian negara. Pasal 11 ayat (3) dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4286) menentukan bahwa “Pendapatan Negara terdiri atas

penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah”. Termasuk dalam pajak adalah

bea masuk dan cukai sesuai pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 133 dana Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4778), yang menentukan bahwa: “Penerimaan

perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak perdagangan internasional adalah semua

penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan bea keluar”.

Adapun untuk penerimaan negara bukan pajak, pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3687) menentukan bahwa: “Penerimaan negara bukan

115

Gunadi, “Reformasi Administrasi Perpajakan dalam Rangka Konstribusi Menuju Good

(4)

pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan

perpajakan”.

Sedangkan mengenai kerugian negara, pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4355) menentukan “Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga

dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum

baik sengaja maupun lalai”.

Kerugian negara yang dimaksud dalam tesis ini adalah kekurangan uang yang nyata dan pasti jumlahnya dapat dihitung akibat perbuatan melawan hukum baik karena kelalaian maupun kesengajaan, yang berasal dari pungutan negara yang tidak dibayar atau tidak disetor kepada kas negara oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 6 tahun 1983, bahwa: “Setiap orang karena kealpaannya:

1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.

Bentuk pelanggaran yang lain juga diatur dalam Pasal 39 ayat (1), bahwa: Setiap orang dengan sengaja:

(5)

2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

4. Menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

5. Menolak untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; 6. Memperlihatkan pembukaan pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-seolah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperhatikan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain;

8. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

9. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Sementara itu, Pasal 39 Ayat (3) menyatakan bahwa: “Setiap orang yang

(6)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurud d, dalam rangka mengajukan permohonan

restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak.”

Pasal 39A huruf a dan b menentukan: “setiap orang dengan sengaja:

1. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau

2. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha kena

pajak…”.

Tindakan kelalaian dan kesengajaan tersebut mengakibatkan negara tidak dapat memungut uang tersebut sesuai ketentuan Undang-Undang Perpajakan di atas, sehingga berdampak negatif karena penerimaan negara menjadi berkurang, di mana pendapatan negara bersumber dari pajak (pajak pertambahan nilai/PPn, Pajak

Penghasilan/PPh, Pajak Impor, Bea Meterai/BM, atau PPN Barang Mewah…”) dan

perekonomian negara. Pada akhirnya, pelaksanaan pembangunan nasional yang ditujukan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi terhambat.

Pengertian tindak pidana pajak tidak ditemukan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP yang telah empat kali diubah.Namun, hanya ditemukan mengenai ketentuan pidana yang menentukan tentang kealpaan dan kesengajaan. Berkaitan dengan hal ini Rochim menulis bahwa:

“Tindak pidana pajak yakni suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak

(7)

tanpa kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis

concursus idealis, artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti penggelapan, penipuan, pemalsuan dan pencurian dan sebagainya.”116

Penjelasan tersebut dimaksudkan, bahwa untuk membuktikan seseorang, badan hukum, pegawai/pejabat pajak atau pihak ke-3 (tiga) yang diduga melakukan tindak pidana perpajakan, maka harus diawali dengan penyidikan tindak pidana di bidang

perpajakan, yakni, “serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di

bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.117

Berdasarkan uraian mengenai pengaturan kualifikasi “Tindak Pidana Pajak”, maka dari Pasal 38, Pasal 39, Pasal 39A dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP bahwa “Setiap orang

dengan sengaja…sanksi pidana penjara paling sedikit 2 (dua) dan paling lama 5

(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur

pajak…”. Definisi tentang “Tindak Pidana Pajak” secara parsial juga ditemukan dalam

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007Nomor 67 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724). Penjelasan Pasal 33 ayat (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal menentukan: “Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perpajakan

adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau

116

Rochim, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hlm. 25.

117

(8)

tidak lengkap atau melampirkan keterangan-keterangan yang tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.”

Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) huruf V Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122 dan Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5164) menentukan: “Hasil Tindak Pidana adalah harta

kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana di bidang Perpajakan”.

Dalam hal ini, pajak merupakan sumber pemasukan terbesar dalam APBN yang dari tahun ke tahun perlu peningkatan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, terjadi kebocoran-kebocoran yang dilakukan oleh wajib pajak, aparat pajak, maupun pihak ketiga, sehingga optimalisasi penerimaan tersebut tidak bisa tercapai. Untuk menimbulkan unsur jera kepada pelaku, maka ketentuan pidana yang ada Undang-Undang KUP (UU No. 16/2000 diubah UU No. 6/1983), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUH Pidana perlu diberlakukansecara selektif. Dalam praktik ketentuan-ketentuan itu tidak digunakan oleh aparat penegak hukum, di mana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi lebih mendominasi, sehingga ketentuan pidana dalam UU No. 16 Tahun 2000 tidak pernah dipakai. Berdasarkan asas Lex Specialist derogate legi genaralis, maka ketentuan pidana dalam UU No. 16/2000 harus diberlakukan.118

Sebagaimana UU KUP yang baru, ketentuan tindak pidana pajak merupakan tindak pidana khusus, sehingga penegakan hukum pidana pajak diberlakukan secara

118

(9)

khusus yakni dengan menggunakan UU KUP, bukan menggunakan undang-undang lain. Sebab, apabila yang diberlakukan adalah undang-undang yang lain, maka akan terjadi konflik perundang-undangan, di mana para pelaku potensial menggunakan celah hukum tersebut untuk melakukan tindak pidana perpajakan berupa pengelakan, penghindaran, penipuan, pemalsuan, bahkan dengan cara mafia perpajakan.

Heru Prabowo, seorang narapidana penggelapan pajak, menulis ada 5 (lima) penyebab mengapa mafia pajak masih marak terjadi di Indonesia:119

Pertama, kekuasaan yang besar, di mana lingkup kekuasaan Direktorat Jenderal Pajak (disingkat DJP) tidak hanya menetapkan pajak, tetapi juga mengadili sengketa pajak dalam proses keberatan, menyita asset Wajib Pajak (WP), memblokir rekening bank, menyidik tindak pidana pajak, meminta pencekalan WP sampai

menahan WP (penyanderaan). Dalam konteks ini, ungkapan “kekuasaan cenderung

korup” berlaku mutlak. Kedua, banyaknya hubungan kekerabatan antarsesama

karyawan di DJP ini tak lazim di institusi keuangan, karena kekerabatan mendorong persekongkolan yang sulit dideteksi. Ketiga, lemahnya pengawasan di internal di DJP.Dalam hal ini, kasus Gayus menjadi bukti. Jangankan investigasi, DJP saja baru menskors Gayus setelah kasusnya mencuat di media massa. Padahal, sesuai Pasal 2 PP 4/1966 tentang Pemberhentian PNS sementara, Gayus seharusnya diskors sejak jadi tersangka dalam kasus pertama saat dia divonis bebas.

Keempat, rendahnya target pajak. Misalnya, dalam RAPBN 2012, rasio pajak ditetapkan 12,72 persen dari PDB. Angka ini jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 15-20 persen.

119

(10)

Kelima, adanya wilayah abu-abu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semua pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara harus diatur dengan undang-undang. Namun, dalam undang-undang pajak, selain objek pajak pun ditentukan.Transaksi di luar objek dan non-objek adalah wilayah abu-abu yang berpotensi jadi sumber korupsi. Apalagi ada seloroh bahwa undang-undang pajak di Indonesia paling tipis di dunia. Mafia pajak seharusnya menjadi sejarah jika reformasi birokrasi DJP berhasil. Banyak pihak berharap kinerja aparat pajak bagus agar pendapatan negara meningkat. Bayangkan, jika nasabah pajak di Indonesia mencapai 20 persen. Kita tidak perlu bingung dengan subsidi BBM.Semoga DJP bisa memperbaiki diri.120

Uraian di atas membuktikan bahwa telah terjadi 5 (lima) penyebab kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan, baik oleh wajib pajak, fiskus/pegawai/pejabat pajak maupun pihak ketiga. Walaupun pelanggaran pajak merupakan administrasi penal dan penghukuman dengan hukum pidana pajak adalah hukuman sebagai sarana ultimum remedium, tetapi di dalam sistem pemidanaan, hakim memutuskan langsung sebagai kejahatan pajak untuk memberikan efek jera kepada pelaku pidana perpajakan tersebut dengan perintah pidana penjara, kurungan dan/atau pidana denda. Dalam konteks ini,

Muhammad Djafar menulis, bahwa: “Tindak pidana pajak berupa kejahatan di bidang

pajak yang dapat berupa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan

120

(11)

demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di bidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan di bidang perpajakan ketika memenuhi rumusan kaidah hukum pajak. Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sebagai bentuk kejahatan di bidang perpajakan memerlukan uraian analisis yang mendasar, sehingga mudah dipahami secara prinsipil. Pertama, melakukan perbuatan tetapi bertentangan dengan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya wajib pajak melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat pemberitahuan tetapi substansi tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas atau tidak ditandatangani. Kedua, tidak melakukan perbuatan, tetapi memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan melakukan kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya wajib pajak tidak membayar pajak untuk suatu saat atau masa pajak bagi tiap-tiap jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah terutangnya pajak atau

berakhirnya masa pajak tersebut.”121

Penjelasan di atas, menegaskan bahwa tindak pidana perpajakan merupakan tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana lainnya karena dalam tindak pidana perpajakan menjelaskan tentang melakukan perbuatan dan tidak melakukan perbuatan tetapi dapat melanggar ketentuan peraturan perpajakan.

Kejahatan di bidang perpajakan merupakan awal dari delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak boleh disamakan dengan kejahatan sebagai awal dari delik korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

121

(12)

Korupsi (UUPTPK). Adapun jenis kejahatan di bidang perpajakan, antara lain sebagai berikut:

l. Menghitung atau menetapkan pajak; 2. Bertindak di luar kewenangan;

3. Melakukan pemerasan dan pengancaman; 4. Penyalahgunaan kekuasaan;

5. Tidak mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya; 6. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan;

7. Pemalsuan surat pemberitahuan;

8. Menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak; 9. Menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak; 10. Menyalahgunakan pengukuhan pengusaha kena pajak; 11. Menolak untuk diperiksa;

12. Pemalsuan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain;

13. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

14. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan;

15. Tidak menyetor pajak yang telah dipotong atau dipungut;

16. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak;

(13)

19. Menghalangi atau mempersulit penyidikan delik pajak; 20. Tidak memenuhi kewajiban memberikan data atau informasi; 21. Tidak terpenuhi kewajiban pejabat pajak dan pihak lain; 22. Tidak memberikan data dan informasi perpajakan; 23. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan;

24. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak; dan 25. Tidak dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak.122

Gambaran tentang kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana telah disebutkan di atas, masih dapat dirinci lebih lanjut ke dalam jenis perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, tergantung pada kepentingan saat itu maupun yang diperintahkan untuk dilakukan. Perincian itu mutlak dijabarkan lebih lanjut ke dalam kaidah hukum pajak, sehingga menciptakan suatu kepastian hukum yang wajib ditaati. Sekalipun telah tergambar berbagai kejahatan di bidang perpajakan tidak berarti bahwa kejahatan itu harus dilakukan untuk memenuhi kepentingan pelaku.123

Upaya untuk menghindari agar tidak terjadi kejahatan di bidang perpajakan tergantung pada perilaku dan kepatuhan untuk melaksanakan tugas, kewajiban, dan larangan. Penghindaran untuk tidak melakukan kejahatan merupakan tindakan atau perbuatan hukum yang diharapkan menjadi dasar panutan agar tidak dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.Inilah yang merupakan substansi hukum pajak berupa terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dalam berbangsa dan bernegara.124

122

Muhammad Djafar, Eka Merdekawati Djafar, Op. Cit., hlm. 11.

123 Ibid.

(14)

B. Tindak Pidana Korporasi atas Praktik Transfer Pricing

Terdapat kecenderungan bahwa motif penghindaran pajaklah yang menjadi motivasi utama transfer pricing.Persepsi yang peyoratif tersebut tidak dapat dihindarkan, namun apakah argumen tersebut dapat dibuktikan secara empiris? Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan suatu telaah literatur mengenai perilaku perusahaan multinasional dan transfer pricing terutama ditinjau dari motivasi atau tujuan serta variabel yang memiliki keterkaitan erat dengan kebijakan transfer pricing.

Pada awalnya, kajian atas transfer pricing hanya terfokus pada bagaimana mekanisme transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk memaksimalkan laba perusahaan.125 Selain itu, sistem yang ada tersebut haruslah dapat mengukur secara adil kontribusi masing-masing perusahaan (divisi) dalam grup. Sebagian besar literatur tersebut membahas mengenai perspektif ekonomi dalam isu transfer pricing dengan mencoba merumuskan model untuk mendapatkan solusi transfer pricing yang optimal setelah membuat beberapa asumsi mengenai perusahaan, prioritas individu-individu yang terlibat, serta faktor lain yang mempengaruhi pengalokasian.

Faktor penghindaran pajak (atau memaksimalkan laba grup perusahaan setelah pajak) belum banyak dibahas, terutama karena dua hal: (a) asumsi dasar mengenai model transfer pricing yang dibangun pada periode tersebut diletakkan dalam konteks intra perusahaan (atau interaksi antardivisi dalam suatu entitas usaha) dan (b) belum banyak negara yang mengatur upaya penghindaran pajak via transfer pricing.126

Dari beberapa studi mengenai transfer pricing tanpa variabel pajak, dapat disimpulkan bahwa: dalam suatu kesepakatan yang wajar (arm’s lenghth), harga yang

125

Darussalam, dkk, Op. Cit., hlm. 45.

(15)

terjadi merupakan suatu proses negoisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang efeknya tidak dapat diprediksi dengan pasti.127 Ketidakpastian tersebut menciptakan tingginya biaya transaksi. Padahal biaya transaksi pada dasarnya menghambat perdagangan internasional dan juga cenderung mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak produktif.

Pada tahun 1985, Eccles membangun suatu kerangka yang memperlihatkan keterkaitan yang erat antara praktik transfer pricing dan bermacam variabel lainnya. Kontribusi utama dari kerangka yang dilakukan oleh Eccles tersebut adalah bahwa secara langsung dan tidak langsung, kebijakan transfer pricing yang diterapkan oleh suatu perusahaan multinasional akan memberikan implikasi pada berbagai hal, termasuk juga untuk memastikan tujuan bersama yang harmonis antar unit. Menurutnya, kebijakan atau sistem transfer pricing pada perusahaan akan menyebabkan pada keputusan bisnis yang mendorong kinerja perusahaan dan di sisi lain juga akan memberikan kompensasi bagi kinerja individual atau divisi secara adil dan dapat dipertanggungjawabkan.128

Walau demikian, tidak berarti kebijakan transfer pricing yang dipilih oleh perusahaan dapat memenuhi seluruh tujuan tersebut.Hal ini dikarenakan adanya sifat

127

Ibid.

128

(16)

yang justru saling bertolak belakang dari masing-masing tujuan tersebut.129 Hal ini jugadiperkuat oleh kesimpulan yang diajukan Tang:

“… a single transfer price can hardly meet all the objectives of a large

corporation. More than one transfer price is needed to accomplish the objective…’.130

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terdapat diskusi mengenai two sets of books dalam penentuan harga transfer, yaitu harga transfer yang ditentukan dipisahkan untuk tujuan internal (terutama untuk mengevaluasi kinerja dan kompensasi) serta tujuan eksternal (terutama untuk tujuan perpajakan). Hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Tang mengenai tujuan transfer pricing

perusahaan multinasional pada dua periode yang berbeda, memperlihatkan hasil yang menarik. Walau penelitian tersebut dilakukan pada saat isu pemeriksaan transfer pricing belum semarak seperti sekarang (sebelum tahun 2000), hasil tersebut mengindikasikan adanya pergeseran motif transfer pricing itu sendiri, dari tujuan bisnis ke tujuan perpajakan.

Mayoritas responden survei (kurang lebih 43% untuk kedua periode penelitian) menyatakan bahwa perusahaan mereka melakukan transfer pricing untuk tujuan memaksimal laba setelah pajak terkonsolidasi atau secara grup perusahaan multinasional. Jawaban terbesar berikutnya (kurang lebih 28% untuk kedua periode penelitian) adalah mengukur kinerja perusahaan yang ada di dalam grup.Sedangkan

129

R.A. Leitch dan K. S. Barret, “Multinational Transfer Pricing: Objectives and Contraints,” Journal of Accounting Literature 11, (1992), hlm. 47-92, sebagaimana dikutip dalam J. Elliot dan C.R. Emmanuel, International Transfer Pricing: A Study of Cross-border Transactions (London: CIMA Publishing, 2000), hlm. 2. Leitch dan Barret juga memiliki pandangan skeptis atas survei empiris mengenai perilaku perusahaan multinasional dalam kebijakan transfer pricing. Hal ini terutama didasari atas keunikan masing-masing situasi yang dihadapi oleh perusahaan multinasional.

130

(17)

tujuan terbesar ketiga (kurang lebih 10% untuk kedua periode penelitian) adalah untuk mengurangi pembayaran pajak penghasilan, cukai, dan pajak lainnya. Jika digabungkan jawaban yang menyiratkan bahwa pajak menjadi variabel pendorong dilakukannya transfer pricing (terbesar pertama dan ketiga), didapatkan angka kurang lebih 55%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motif penghindaran pajak (baik yang dapat diterima maupun tidak) memainkan peranan besar dalam mendorong dilakukannya transfer pricing.

Di sisi lain, jika ditinjau dari variabel yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan transfer pricing, terdapat dua faktor yang memengaruhi pembentukan harga transfer, yaitu struktur organisasi dari grup perusahaan multinasional (khususnya jika dilihat besarnya derajat sentralisasi) serta kondisi pasar di tempat perusahaan tersebut beraktivitas.131 Pendapat senada juga diungkapkan oleh Buckley dan Casson, dengan menambahkan variabel lainnya seperti: sifat barang yang diperdagangkan serta sistem fiskal yang ada.132

Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan lingkungan usaha sangat memengaruhi perubahan perilaku perusahaan multinasional terkait dengan transfer pricing.133 Pengaruhnya dapat ditelusuri melalui empat isu, yakni: (a) manajemen dan organisasi bisnis; (b) isu ekonomi dan bisnis internasional; (c) isu hukum dan perpajakan; dan (d) isu teknologi. Keempatnya tidak dapat dilihat secara parsial,

131

Lars Nieckels, Transfer Pricing in Multinational Firm (Stockholm: Almqvist & Wiksell International, 1975), hlm. 45.

132

Peter J. Buckley and Mark Casson, The Future of the Multinational Enterprise (London and Basingstoke: Macmillian Press, 1976), hlm. 44, sebagaimana dikutip dalam Lorraine Eden, “The

Internalization Benefit of Transfer Price Manipulation,” Bush School Working Paper, no. 315 (2003): 4. Menurut mereka:…the exploitation of transfer pricing depends not only on the nature of the product and the structure of external market, but also on the characteristic of the fiscal system in the various

regions linked by the market.”

133

(18)

karena memiliki keterkaitan yang akan berimbas secara signifikan pada besaran transaksi dan manajemen sistem transfer pricing pada korporasi. Misalkan, perkembangan teknologi informasi akan memfasilitasi transaksi secara global ( e-commerce) dan juga mendorong adanya perubahan organisasi. Perkembangan bisnis internasional akan menciptakan semakin banyaknya transaksi afiliasi, membutuhkan semakin banyak proses merger dan akuisisi atau aliansi strategis. Pada akhirnya, seluruhnya akan menjadi variabel penentu kebijakan transfer pricing yang diambil.

Jika dicermati pada uraian-uraian terdahulu tentang transfer pricing, terdapat cela atau melanggar undang-undang perpajakan. Sebab, transfer pricing sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik dan bermakna pejorative yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan dalam suatu grup perusahaan multinasional ke perusahaan lain dalam grup perusahaan multinasional yang sama di negara yang tarif pajaknya rendah. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.

Sebagaimana juga telah diungkapkan di muka, bahwa makna “pejorative” tersebut sebetulnya mengacu kepada apa yang disebut manipulasi transfer pricing,abuse of transfer pricing, transfer mispricing, dan sebagainya. Manipulasi

(19)

“terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak yang

terutang.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, undang-undang yang dilanggar adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu tentang kesengajaan. Kesengajaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 undang-undang tersebut. Menurut penulis, kegiatan menetapkan harga transfer

menjadi “terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak

yang terutang, merupakan kesengajaan yang mengakibatkan negara mengalami kerugian akibat kecilnya jumlah pajak yang diterima. Dengan sengaja memperkecil kewajiban membayar pajak kepada negara, sehingga negara dirugikan merupakan perbuatan pidana. Di sinilah unsur kesengajaan dalam transfer pricing yaitu memperkecil kewajiban membayar pajak kepada negara. Padahal sebagai sebuah korporasi, seharusnya memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membayar pajak kepada negara daripada orang perorangan.

(20)

Korporasi khususnya perseroan seharusnya merupakan salah satu sumber penghasilan negara melalui pembayaran pajak. Namun, dalam kenyataannya korporasi melalui direksinya justru menghindari melakukan pembayaran pajak. Suatu perbuatan dari korporasi yang berusaha menghindari kewajiban membayar pajak itulah yang disebut transfer pricing. Transfer pricing, khususnya international transfer pricing

(21)

BAB IV

MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PRAKTIK

TRANSFER PRICING BIDANG PERPAJAKAN

A. Gambaran Umum Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas

“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. 134 Pertanggungjawaban pidana

seseorang bergantung pada diaturnya suatu perbuatan menjadi suatu perbuatan tindak pidana di dalam suatu perundang-undangan (asas legalitas). Dengan demikian, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang menurut undang-undang telah memenuhi rumusan tindak pidana sebagaimana yang dimaksudkan, barulah seseorang tersebut dapat dipertimbangkan apakah ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut. Untuk mempertegas hal di atas, menurut Roeslan Saleh apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan terlarang dan tercela tentu dia tidak dipidana.135 Berdasarkan hal

tersebut diaturnya sebuah perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana dalam peraturan pidana menjadi sangat penting, karena tanpa adanya peraturan yang menyatakan perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana, maka dengan demikian orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana.

134

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 68.

135

(22)

Dapat dipertanggungjawabkannya seseorang adalah berdasarkan perbuatan pidana yang dilakukannya, sedangkan untuk dapat dipidananya seseorang haruslah ditemukan adalanya kesalahan dalam perbuatannya. Dalam hukum pidana dikenal

dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas tiada

pidana tanpa kesalahan dapat diartikan, pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan kesalahan pembuat. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat langsung dipertanggungjawabkan walaupun perbuatan yang dilakukannya sudah memenuhi unsur suatu tindak pidana.136

Dengan adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas,

“tidak ada pidana tanpa ada kesalahan”, maka untuk menentukan apakah seorang

pelaku tindak pidana dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, haruslah dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan, ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kesalahan yang dimaksudkan adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu patut dicela.

Permasalahan mengenai “kesalahan” dalam hukum pidana merupakan masalah

yang sangat mendasar atau fundamental.Permasalahan mengenai “kesalahan”

dinyatakan sebagai masalah yang sangat mendasar atau fundamental adalah karena kesalahan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat memidanakan seseorang atas perbuatan yang dilakukannya. Kesalahan dalam hukum pidana

136

(23)

merupakan inti pokok dari tindak pidana, yang isinya merupakan keadaan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana tersebut. Oleh karena demikian pentingnya

masalah “kesalahan” dalam hukum pidana perlu disampaikan secara mendalam dan

detail.137

Berkaitan dengan kesalahan menurut Simons, kesalahan adalah keadaan batin (psychis) orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.138Berdasarkan pendapat yang diberikan oleh Simons, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa Simons dalam memberikan pengertian mengenai kesalahan memperhatikan dua hal yakni keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu dan hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Menurut Simons, dua hal tersebut harus saling berkaitan antara satu dengan yang lain baru dapat dinyatakan sebagai kesalahan.

Sependapat dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Simons, Moelyatno memberikan pendapat mengenai unsur-unsur untuk menentukan adanya kesalahan itu, yaitu:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum); b. Di atas unsur tertentu mampu bertanggungjawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);

137

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 221-222.

138

(24)

d. Tidak ada alasan-alasan pemaaf.139

Sifat melawan hukum yang dimaksud adalah sama dengan tindakan melanggar hukum, walaupun dinyatakan melawan hukum, namun perbuatan yang sebenarnya dilakukan bukan benar-benar memberikan perlawanan terhadap hukum, ini merupakan hanya peristilahan saja karena hukum bukanlah benda hidup yang dapat dilawan atau memberikan perlawanan.

Apabila mencari pengertian mengenai kesalahan, maka akanditemukan bahwa banyak ahli hukum pidana yang memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai kesalahan. Namun secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua jenis pengertian kesalahan, yaitu kesalahan dari sudut pandang psikologis dan kesalahan dari sudut pandang normatif. Pengertian yang digunakan dalam perspektif hukum adalah kesalahan dalam pengertian normatif, sehingga pengertian kesalahan psikologis tidak digunakan karena kurang memberikan jawaban yang memuaskan terutama dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana bagi yang melakukan perbuatan pidana.140

Pengertian kesalahan secara psikologis yang menitikberatkan pada keadaan

batin “psikis” yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin

tersebut dengan perbuatan sedemikian rupa, sehingga pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.141 Pengertian kesalahan secara psikologis

saat ini sudah tidak digunakan lagi untuk memberikan penjelasan terhadap kesalahan, karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsur

139

Moelyatno, Op. Cit., hlm. 177.

140

Mahrus Ali., Op. Cit., hlm. 157.

141

(25)

“dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana. Dalam KUHP

yang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur “dengan sengaja”

atau “karena kealpaan”. Oleh karena itu, praktik hukum sempat diliputi pertanyaan

sekitar apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan”

dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana, sekalipun tidak ada salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis untuk menjelaskan masalah kesalahan.142

Permasalahan tersebut yang menyebabkan teori kesalahan normatif dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Pengertian kesalahan secara normatif, menentukan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi di samping itu, harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Secara ekstrim dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah

terdapat dalam kepala si pembuat, melainkan di dalam kepala orang lain”, ialah di

dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap si pembuat itu.143

Dalam pengertian kesalahan normatif di atas, terdapat tiga komponen utama yang perlu dijelaskan, yaitu dapat dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat berbuat lain. Dapat dicela di sini mempunyai dua pengertian, yaitu:

“dapat dicela berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan

dapat dicela berarti dapat dijatuhi pidana. Dalam pengertian pertama, kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana.Kata dapat di sini menunjukkan bahwa celaan atau pertanggungjawban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan penghapusan kesalahan.Dalam arti kedua kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi represif hukum

142

Chairul Huda., Op. Cit., hlm. 73.

143

(26)

pidana.Kata “dapat” dalam hal ini menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan

pidana tidak harus dilakukan oleh hakim.Hakim dapat saja hanya mengenakan tindakan sekalipun tindak pidana terbukti dan terdakwa bersalah

melakukannya”.144

Dilihat dari segi masyarakat, Roeslan Saleh menyatakan bahwa komponen tersebut merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan.145

Dapat berbuat lain, yang dimaksud dengan pernyataan tersebut adalah selalu terbuka bagi pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, atau dengan kata lain, apabila pembuat tidak ingin melakukan tindak pidana, maka ia dapat berbuat lain. Inti pengertian kesalahan justru terletak pada penilaian hukum terhadap kenyataan bahwa pembuat dapat berbuat lain. Ketiadaan kemungkinan pembuat dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana, menyebabkan dapat dilepaskan dari keadaan bersalah.146

Sepanjang terhadap subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat.Jadi, bukan psikologinya yang penting, tetapi penilaian normatif terhadap keadaan psikologis pembuat, ketika melakukan tindak pidana.Dalam pengertian kesalahan yang normatif terkandung di dalamnya pengertian psikologis.

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi atas Praktik Transfer Pricing

Untuk menjelaskan mengenai kemampuan bertanggungjawab, dapat dilihat pendapat yang diberikan Simons.Menurutnya kemampuan bertanggungjawab dapat

144Chairul Huda.,…

Op. Cit., hlm. 74-75.

145

Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 77.

146

(27)

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian yang membenar adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur umum maupun dari orangnya.147

Sesuai pengertian kemampuan bertanggungjawab yang diberikan oleh Simons, maka menurut Roeslan Saleh seseorang dianggap mampu bertanggungjawab itu haruslah memenuhi tiga syarat, yakni:

1. Dapat menginsyafi makna yang senyatanya daripada perbuatannya;

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.148

Lain halnya seperti yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh mengenai sehubungan dengan syarat seseorang dianggap mampu bertanggungjawab. Moeljatno juga mengemukakan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.149

Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yakni kemampuan bertanggungjawab seseorang dapat dimintakan apabila nyata bahwa keadaan batinya normal atau sehat, dan dengan keadaan batin yang normal dan sehat seharusnya seseorang itu dapat menyadari bahwa tindakan yang

147

Tongat, Op. Cit., hlm. 226.

148

Tongat, Op. Cit., hlm. 226.

149

(28)

dilakukan itu adalah perbuatan yang tidak pantas atau buruk apabila dilakukan dalam kehidupan masyarakat.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur (elemen) kesalahan, karena untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula.150Pembuat

dapat dipertanggungjawabkan berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat

dipertanggungjawabkan. Mengingat asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa

kesalahan”, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab. Yang diatur ialah kebalikannya yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab.151 Merumuskan pertanggungjawaban pidana

secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Demikian pula halnya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yakni Pasal 40, 41, dan 44 KUHP. Pada pasal 40 KUHP menentukan bahwa tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana ditandai oleh adanya gangguan jiwa, penyakit jiwa danretradasi mental. Tiga hal yang sama yang menjadi pertanda orang kurang mampu bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 41 KUHP. Pada Pasal 44 ayat (1) justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dapat dipidana, artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertanggung jawab. Sementara itu, kapan seseorang dapat dianggap bertanggungjawab, dapat diartikan kebalikannya yaitu apabila tidak terdapat tentang dua keadaan jiwa sebagaimana diterangkan dalam Pasal 44 KUHP tersebut.

150

Ibid., hlm. 181.

151

(29)

Dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Berarti jika seseorang ditemukan melakukan suatu kesalahan akan tetapi orang tersebut ditemukan tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di dalam hukum pidana, maka kepada orang tersebut hanya diberikan tindakan, namun tidak dipidana.

Pada asasnya, setiap orang perorangan yang melakukan kejahatan atau tindak pidana harus dapat dipertanggungjawabkan yang bentuknya berupa sanksi pidana.Pertanggungan tersebut tentu setelah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yaitu kealpaan, kelalaian dan kesalahan, dan kesengajaan. Masing-masing unsur tersebut berat atau ringan pertanggungjawabannya tergantung dari unsur mana yang dilakukan.

Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa unsur kelalaian dan kesengajaan dapat mengakibatkan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks transfer pricing, terdapat unsur kesengajaan yaitu menghindari pajak sehingga menyebabkan kerugian negara. Adapun dalam hal kelalaian, Schaffmeister menganggap bahwa terdapat hal yang sama dengan kesengajaan, dengan catatan bahwa melalui cara memenuhi tugas pemeliharaan, kelalaian lebih banyak dapat dipertanggungjawabkan pada korporasi.152

Cara menghindari pajak sebagaimana dimaksud di atas yaitu dengan Manipulasi transfer pricing dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan atas harga transfer yang berada di atas atau di bawah opportunity cost dalam rangka untuk penghindaran kontrol pemerintah dan/atau aktivitas memanfaatkan perbedaan regulasi antarnegara, terutama terkait dengan tarif pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan

152

(30)

bahwa manipulasi transfer pricing adalah kegiatan menetapkan harga transfer menjadi

“terlalu besar atau terlalu kecil” dengan maksud memperkecil jumlah pajak yang

terutang.

Dengan demikian, kemampuan bertanggungjawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa peraturan di luar KUHP termasuk di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan sudah barang tentu hal ini telah terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan sebagai pelaku tindak pidana, di mana suatu badan hukum apabila dituntut telah melakukan tindak pidana baik dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.153 Berdasarkan konsep tersebut, maka

korporasi yang mempunyai kewajiban membayar pajak tetapi melakukan perbuatan yang berusaha menghindari pajak, di mana hal tersebut dilakukan dengan kesengajaan, maka dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Perbuatan-perbuatan yang berupaya menghindari pajak, termasuk dengan cara manipulasi transfer pricing memenuhi unsur pidana yaitu berupa kesengajaan, sehingga dapat dipidana.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam hal masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schud) masih dapat dipertahankan, akan tetapi dalam perkembangan Ilmu Hukum Pidana pertanggungjawaban pidana yang mendasarkan pada asas kesalahan tersebut, tidak berlaku mutlak. Cukuplah fakta yang menderitakan korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku,

153 Mahmud Mulyadi & Feri Anton Surbakti,…

(31)

yang didasarkan sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.154

C. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif. Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagai dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang Perseroan Terbatas dan

154

(32)

peraturan pelaksanaannya. Organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Berdasarkan pengertian Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa Perseroan Terbatas (Persero) adalah badan hukum. Oleh karena itu, Perseroan Terbatas sebagai badan hukum adalah juga suatu korporasi. Badan hukum korporasi merupakan salah satu sumber pajak negara, sementara pajak itu sendiri di sebagian besar negara-negara di dunia merupakan sumber pendapatan negara-negara, bahkan sebagai tulang punggung penerimaan negara.

(33)

perpajakannya. Bahkan lebih banyak wajib pajak yang berusaha meloloskan diri dari kewajiban membayar pajak baik dengan cara memanipulasi maupun meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayar.

Padahal, seharusnya Wajib Pajak baik perorangan maupun korporasi harus dengan kesukarelaan membayar pajak kepada negara. Permasalahan kesukarelaan tersebut terjadi di negara-negara yang ada di seluruh dunia termasuk negara Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan rasio penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) yang masih rendah hanya sekitar 13 % dibandingkan dengan Negara Singapura dan Malaysia yang telah mencapai angka di atas 20 %. Rendahnya tax ratio tersebut berdampak pada penerimaan negara dari sektor pajak menjadi tidak optimal.

Tax ratio Indonesia tersebut sebenarnya masih dapat ditingkatkan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada awal pemerintahannya bahkan berani menetapkan target pencapaian tax ratio sebesar 19% pada tahun 2009. Hal tersebut dimungkinkan karena Indonesia mempunyai potensi pajak yang sangat besar. Dari 235 juta penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak yang terdaftar relatif kecil yaitu hanya sekitar 6 juta. Dari 6 juta wajib pajak yang sudah terdaftar, hanya sekitar 2,4 juta yang rutin membayar pajak dengan perincian 1,3 juta jiwa wajib pajak orang pribadi dan 1,1 juta jiwa wajib pajak badan.

(34)

penyumbang terbesar penerimaan pajak tahun 2007 berasal dari PPh Orang Pribadi yang mencapai nilai US$1,36 juta lebih besar daripada penerimaan PPh Badan.

Wajib Pajak yang dimaksud tidak hanya wajib pajak perorangan tetapi juga wajib berupa korporasi. Korporasi yang menjalankan suatu bentuk usaha berupa Perseroan Terbatas dalam kedudukannya sebagai Badan Hukum tentu mempunyai kewajiban terhadap negara dalam dalam hal ini pemerintah.Kewajiban yang dimaksud adalah membayar pajak kepada negara melalui pemerintah.

Model pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi yang sudah ada kemudian dikaitkan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

D. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi atas Praktik Transfer Pricing

Bidang Perpajakan

(35)

Transfer pricing itu merupakan hal yang biasa dilakukan oleh korporasi. Ranah

transfer pricing tidak dapat dilepaskan dari konteks perilaku perusahaan multinasional yang melakukan transaksi lintas negara. Artinya, transfer pricing sebenarnya tidak dimaksudkan untuk melakukan penghindaran pajak, melainkan sebagai cara efisiensi perusahaan dalam proses pengalokasian sumber daya saja.

Berikut ini dipaparkan ke-empat dimensi utama yang memengaruhi strategi

transfer pricing beserta faktor penyebabnya:155

1. Perubahan dalam lingkungan bisnis global yang disebabkan oleh: a. Ekspansi perdagangan internasional;

b. Peningkatan invetasi langsung di level internasional;

c. Ekspansi kegiatan operasional multinasional di negara lain; serta d. Integrasi dan regionalisasi.

2. Perubahan dalam hukum dan perpajakan yang disebabkan oleh:

a. Tekanan dari pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan upaya mencapai anggaran yang berimbang;

b. Perubahan dalam regulasi transfer pricingdan legislasi‟ serta

c. Investigasi dan pengawasan praktik transfer pricing.

3. Perkembangan dalam teknologi komunikasi dan komputerisasi yang disebabkan oleh:

a. Improvisasi dan terobosan dalam teknologi komunikasi;

b. Adanya software atau hardware baru atau perubahan signifikan dalam sistem komputerisasi; serta

155

(36)

c. E-commerce dan transaksi yang dilakukan antarbisnis usaha, misalkan: antara manufaktur dan pedagang besar.

4. Perubahan organisasi korporasi yang disebabkan oleh: a. Restrukturisasi dan penataan ulang organisasi; b. Aliansi bisnis yang strategis; serta

c. Merger dan akuisisi ataupun perubahan organisasi lainnya.

Walau demikian, dalam perkembangannya, manipulasi transfer pricing dapat terjadi. Dengan perkataan lain, transfer pricing juga seringkali diartikan sebagai praktik penghindaran pajak. Menurut Gupta, manipulasi transfer pricing adalah suatu upaya menentukan harga transfer tanpa mengacu pada pasar untuk mengurangi beban pajak grup perusahaan multinasional dengan cara mengalihkan laba dari negara dengan tarif pajak yang tinggi ke tarif pajak yang rendah.156

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-Governmental organization/ NGO) internasional seperti Tax Justice Newyork, Christian Aid, The Task Force on Financial Integrity and Economic Development, dan sebagainya, menggolongkan aktivitas ini sebagai transfer mispricing atau “trade mispricing”.157

Perbedaan tarif pajak di negara tempat perusahaan multinasional beraktivitas akan cenderung mendorong perusahaan multinasional tersebut untuk melakukan manipulasi transfer pricing melalui penciptaan suatu harga artifisial.158 Dari situasi ini,

156

Pradeep Gupta, Transfer Pricing: Practices and Manipulation in India, (Saarbrucken: VDM Verlag Dr. Muller, 2010),20.

157 Ibid.

158

(37)

perusahaan multinasional pada dasarnya menyadari adaanya suatu kesempatan atau keuntungan yang dapat diambil dari transaksi afiliasi.159

Penelitian yang dilakukan oleh Eden mengenai kaitan antara pemerintah, ketidaksempurnaan pasar, dan manipulasi transfer pricing di Amerika Serikat memberikan beberapa temuan penting:160

1. Manipulasi transfer pricing akan dipicu oleh faktor pasar dan pemerintah;

2. Manipulasi transfer pricing akan cenderung dilakukan jika pasar tidak memiliki harga referensi;

3. Skala (ukuran) perusahaan multinasional akan berkorelasi positif dengan manipulasi transfer pricing. Perusahaan multinasional yang berskala besar akan lebih memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam manipulasi transfer pricing; 4. Tingkat risiko politik yang tinggi akan menyebabkan perusahaan multinasional

merendahkan (atau meninggikan) harga ekspor (impor), dalam rangka mengalihkan laba ke negara dengan situasi politik yang lebih stabil;

5. Manipulasi transfer pricingakan cenderung dilakukan pada jenis produk yang semakin terdiferensiasi, sarat dengan teknologi, atau intensif terhadap pengetahauan.

Lebih lanjut, manipulasi transfer pricing dapat memengaruhi perekonomian suatu negara dengan berbagai cara. Pertama, manipulasi transfer pricing dapat mengakibatkan turunnya penerimaan negara atau hilangnya potensi penerimaan pajak.

159

Lebih lanjut lagi, potensi keuntungan yang bisa didapat dari manipulasi transfer pricingakan menciptakan dilemma bagi perusahaan multinasional terutama secara etika bisnis. Lihat Messaoud Mehafdi, “The Ethics of International Transfer Pricing”, Journal of Business Ethics, 28, No. 4 (2000): 378.

160

(38)

Kedua, implikasi di sisi penerimaan ini juga dapat berakibat pada kebijakan pengeluaran publik. Terbatasnya anggaran mendorong suatu negara untuk membatasi pengeluaran publiknya bagi sektor-sektor strategis, seperti: infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Ketiga, jika anggaran pengeluaran tidak dibatas, pilihan lainnya adalah mencari sumber pembiayaan bagi defisit anggaran (pinjaman domestik ataupun dari multilateral). Terakhir, ditinjau dari sisi makroekonomi, manipulasi

transfer pricing juga dapat mendistorsi neraca pembayaran negara tempat perusahaan multinasional beraktivitas, serta tergerusnya cadangan devisa.

Dari sisi aktivitas bisnis, motif manipulasi transfer pricing dapat mendorong perpindahan lokasi aktivitas perusahaan (pilihan investasi) dari suatu negara ke negara lainnya. Suatu negara bisa saja semakin diuntungkan dengan praktik manipulasi

transfer pricing. Sebagai contoh, negara yang justru memiliki tarif pajak yang relatif rendah, sistem pajak teritorial, dan melindungi kerahasiaan informasi investor, justru menjadi lokasi favorit untuk pendirian anak perusahaan atau cabang dari perusahaan multinasional. Apalagi jika negara tersebut memiliki kebijakan dan proses pemeriksaan transfer pricing yang tidak ketat. Dengan perkataan lain, praktik manipulasi manipulasi transfer pricing cenderung menguntungkan negara tax haven

atau negara dengan kebijakan transfer pricing yang relatif bersahabat.

(39)

dilarikan ke negara lain. Berikut ini akan dipaparkan dua studi yang mencoba mengestimasi kerugian dari manipulasi transfer pricing.

Studi yang dilakukan oleh Global financial terhadap aliran penggelapan dana di Meksiko selama kurun waktu 1970 hingga 2010 memberikan hasil yang menarik. Selama periode tersebut, Meksiko mengalami kerugian hingga USD 872 miliar, sekitar 75%-nya diakibatkan oleh trade mispricing (manipulasi transfer pricing). Peningkatan kerugian akibat trade mispricing sejalan dengan masuknya Meksiko ke dalam North American Free Trade Agreement (NAFTA) pada tahun 1994. Secara rata-rata, Meksiko kehilangan kurang lebih USD 15 miliar/tahun selama periode 1970-2010 dari aktivitas trade mispricing.161

Lembaga lainnya, Christian Aid, juga melakukan analisis dan estimasi kerugian penerimaan pajak dari bilateral mispricing pada kurun waktu 2005 hingga 2007. Hasil estimasi yang dilakukan oleh mereka cukup mengejutkan, karena kerugian beberapa negara berkembang yang merupakan anggota dari G20 mencapai GBP 39 miliar. Itupun hanya dari transaksi perdagangan dengan negara-negara uni Eropa dan Amerika Serikat. Selama periode ini, Indonesia diperkirakan mengalami kehilangan penerimaan pajak sebesar 675 juta rupiah atau setara dengan kurang lebih IDR 10 triliun.

Mencermati berbagai temuan tersebut, manipulasi transfer pricing pada dasarnya sangat merugikan. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika otoritas pajak di berbagai negara semakin memiliki kesadaran atas manipulasi transfer pricing, yang ditunjukkan dengan meningkatnya pemeriksaan transfer pricing, memperbaiki ketentuan domestik, hingga meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia.

161

(40)

Ketika transfer pricing dilakukan untuk menghindari pajak di situlah terdapat unsur pidananya. Oleh karena itu, korporasi yang melakukan transfer pricing dalam rangka menghindari pajak, artinya menghindari kewajibannya membayar pajak kepada negara, maka hal itu berarti melakukan kejahatan kepada negara, sehingga dapat dipidana. Dengan demikian, korporasi yang melakukan transfer pricing dengan tujuan untuk menghindari pajak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Sebelum menjelaskan pertanggungjawaban pidana korporasi atas transfer pricing dengan tujuan menghindari pajak, terlebih dahulu dikemukakan ketentuan dalam perpajakan yang terkait sanksi pidana. Pasal 13A Undang-Undang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa “Wajib Pajak yang karena

kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

(41)

atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapat negara tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud oleh Pasal 38 menyatakan “setiap

orang yang karena kealpaannya”:

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

(42)

sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya, sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Terkait dengan hal tersebut, Pasal 39 ayat (1) menyatakan “setiap orang yang

dengan sengaja”:

a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;

e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; f. memperlihatkan pembukuan,pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

(43)

h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Selanjutnya di dalam ayat (2) Pasal tersebut menyatakan “pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan pidana penjara yang dijatuhkan.

(44)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut di atas, yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara. Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1). Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.

(45)

pidana yaitu kesengajaan.Jadi, tidak sekedar lalai, tidak hati-hati atau kurang mengindahkan kewajibannya tetapi ada unsur kesengajaan.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa praktik transfer pricing dengan tujuan menghindari pajak, sehingga mengakibatkan kerugian negara merupakan perbuatan atau tindak pidana. Oleh karena itu, dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawaban pidana. Motivasinya jelas menghindari dari kewajiban korporasi membayar pajak kepada negara.

Dalam praktik transfer pricing yang dilakukan korporasi terdapat unsur kesengajaan dan kealpaan korporasi. Badan hukum yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan dan unsur-unsur psychis, apakah dapat memenuhi unsur kesalahan? Dengan kata lain, apakah asas kesalahan berlaku untuk dasar pemidanaan terhadap korporasi? Asas tiada pidana tanpa kesalahan (green straf zonder schuld) adalah merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya menyangkut masalah kesengajaan dan kealpaan pada korporasi.162

Terkait dengan hal tersebut, Muladi, menyatakan ada 2 (dua) persoalan yang harus perlu untuk diperhatikan. Pertama; apakah ukuran-ukuran yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi. Hal ini dapat dipecahkan dengan melihat apakah tindakan pengurus tersebut dalam rangka tujuan

statutair dari korporasi dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan. Artinya, cukup melihat tindakan itu sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari korporasi.

Kedua;bagaimana menentukan kesengajaan dan kealpaan pada korporasi? Mengenai

162

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian pada tahap kedua, dari setiap kecamatan terpilih, dilakukan pemilihan sampel industri secara sistematik sebanyak 20% dari jumlah industri di tiap kecamatan

The committee developed a prioritized list of precursor chemicals according to three criteria: (1) whether the pre- cursor chemical could be used in both vehicle-borne IEDs

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan

Intergranular corrosion (IGC) adalah bentuk penyerangan terhadap batas butir atau daerah sekitarnya pada material dalam lingkungan korosif tetapi hanya sebagian

Salah satu alat yang biasa digunakan untuk meningkatkan kualitas sebuah perangkat wifi adalah antenna wifi eksternal yang dapat anda jumpai pada toko-toko komputer di kota anda.

Kepuasan pelanggan dapat terwujud apabila kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan sama, atau setidaknya hampir sama dengan apa yang pelanggan harapkan

Pelayanan khusus yang bisa diberikan adalah dengan pemberian tawaran, pilihan dan informasi-informasi yang bersifat saran dan masukan sehingga tidak menambah kebingungan

Setelah membaca teks, siswa dapat menyampaikan informasi tentang aturan merawat hewan di rumah dengan benar4. Setelah membaca teks, siswa dapat menyampaikan