BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Sejak awal abad ke-21 kanker paru merupakan salah satu penyebab kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kanker paru sebagai penyebab utama kematian pada pria dan kedua pada wanita di antara semua jenis kanker. Menurut WHO, pada tahun 2005 Proportional Mortality Rate (PMR) kanker di seluruh dunia sebesar 13%. Angka kematian akibat kanker paru di antara laki-laki di seluruh dunia dengan angka kematian menurut umur diperkirakan 23,0 per 100.000 pada tahun 2008 (Mathers, 2008). Di Korea, angka kematian dari kanker paru adalah 38,7 per 100.000 di antara pria (Nitadori, 2006). Kanker paru melampaui kanker kolon sebagai penyebab utama kanker kematian pada tahun 1999 (Naidich, 2007).
Berdasarkan data kementerian kesehatan, dalam 10 peringkat utama penyakit neoplasma ganas menurut Daftar Tabulasi Dasar (DTD) pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2006, kanker paru menduduki peringkat ke 6 dengan proporsi sebesar 5,66 %. Berdasarkan distribusi penyakit kanker sistem saluran nafas dan alat rongga dalam lainnya pada pasien rawat inap tahun 2006, kanker paru menduduki peringkat ke-3 dari 5 peringkat utama dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 14,03 % (Wahyuni, 2011).
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PPL) di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan angka kesakitan disebabkan oleh kanker paru sebesar 30 % (Wahyuni, 2011).
karsinoma sebanyak 11 orang (6,6%), dan karsinoma sel besar sebanyak 4 orang (2,5%) (Syahruddin, 2010).
Seiring dengan kemajuan endoskopi dan teknologi video serta peningkatan jumlah kasus obstruksi jalan nafas berat, keganasan intratoraks, penyakit paru infeksi/ non infeksi, dan penyakit pleura telah mendorong perkembangan suatu area dalam bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi yang dikenal dengan nama pulmonologi intervensi. Definisi pulmonologi intervensi yang berkembang menurut American Thorac Society dan European respiratory Society adalah gabungan suatu ilmu dan seni kedokteran yang berkaitan dengan prosedur diagnostik dan terapi invasif yang memerlukan pelatihan dan keterampilan khusus dalam program pendidikan spesialis paru (Astowo, 2010).
Berbagai teknik digunakan dalam prosedur tindakan diagnostik pulmonologi intervensi antara lain jarum transbronkial (Transbronchial Needle Aspiration/TBNA), biopsi intra bronkial (bronchial washing, bronchial brushing, needle aspiration, biopsi forceps), bronchoscopic protected specimens brushing,
biopsi paru tembus bronkus (Transbronchial lung biopsy/ TBLB), Endobronkial ultrasound (EBUS), Transthoracal Lung Biopsy, autofluorescent bronchoscopy,
biopsi pleura tertutup (closed pleura biopsy), torakosintesis dan pemasangan chest tube, biopsi dan aspirasi jarum percutaneus, terapi oksigen, insersi kateter oksigen transtrakeal, torakoskopi medik dan lain sebagainya (Astowo, 2010).
Transthoracic Needle Aspiration (TTNA) nama lainnya Transthoracal Biopsy atau dikenal juga Percutaneus Needle Aspiration (PCNA), merupakan suatu metode invasif dibidang penyakit paru yang terutama digunakan untuk diagnosis massa ganas di paru (Astowo, 2010). TTNA pertama kali digunakan untuk diagnosis penyakit paru pada tahun 1886 ketika Leyden melakukan prosedur tindakan pada tiga penderita dengan massa di paru. Kemudian pada tahun 1886 Menetrier melaporkan penggunaan TTNA untuk diagnosis kanker paru (Meyer, 2007).
diagnostik yang bisa membantu menegakkan diagnosis kanker paru, namun transtorakal biopsi dengan tuntunan CT Scan toraks sekarang lebih sering dipakai karena lebih aman, efektif, lebih akurat walaupun pada lesi dengan diameter < 1 cm dan letak lesi yang jauh dari dinding dada. Indikasi transtorakal biopsi antara lain adalah adanya massa atau lesi di paru, adanya lesi di mediastinum atau hilus, invasi tumor paru ke dinding dada. Tingkat akurasi diagnostik transtorakal biopsi dengan tuntunan CT Scan lebih dari 80 % pada penyakit jinak dan lebih dari 90 % pada penyakit keganasan. Bronkoskopi biasa dipakai untuk diagnostik bila lesi terletak di sentral ataupun bronkus masih terbuka atau paten, tapi bila letak lesi perifer dan ukuran lesi < dari 2 - 3 cm maka tindakan TTNA menjadi pilihan diagnostik. Menurut Khouri TTNA dengan tuntunan CT scan toraks dapat menurunkan angka diagnostik dengan torakotomi sebesar 8 % diharapkan dengan diagnostik TTNA dapat menurunkan angka torakotomi yang tidak diperlukan. Mayo melaporkan angka komplikasi akibat tindakan operasi sebesar 27 % dengan angka kematian mencapai 1,7 % (Khouri, 1985).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mencoba melakukan tindakan TTNA dengan tuntunan CT-Scan toraks dalam menegakkan diagnosis kanker paru
pada pasien yang dicurigai menderita kanker paru di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan yang di konfirmasi dengan hasil sitologi.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat akurasi diagnostik TTNA dengan tuntunan CT-Scan toraks
dalam menegakkan diagnosis kanker paru?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat akurasi diagnostik TTNA dengan tuntunan
CT-Scan toraks dalam menegakkan diagnosis kanker paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk memperoleh gambaran karakteristik pasien-pasien yang
dilakukan TTNA dengan tuntunan CT-Scan toraks di Instalasi
Radiologi di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan umur, jenis
kelamin, pekerjaan, riwayat merokok.
2. Untuk mengetahui tingkat akurasi diagnostik pemeriksaan TTNA
dengan tuntunan CT-Scan Toraks dalam membantu menegakkan
diagnosis kanker paru dengan melihat hasil sensitivitas dan spesifisitas
3. Untuk mengetahui komplikasi yang ditemukan pada pemeriksaan
TTNA dengan tuntunan CT-Scan Toraks dalam membantu
menegakkan diagnosis kanker paru.
1.4. Manfaat Penelitian
2. Manfaat bagi institusi, untuk menambah ilmu pengetahuan serta pengalaman baru dalam bidang intervensi pulmonologi dan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian di masa yang akan datang.