• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Putusan Mahkamah Agung NO 179 SIP 1961 Tentang Pembagian Harta Warisan Pada Anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo Chapter III V"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HUKUM WARIS ADAT KARO

A.Sejarah Waris Adat Karo

Menurut sejarah dikalangan Suku Batak terutama pada Suku Karo, dimana tempat perkampungan leluhur adalah yang menjadi ahli warisnya. Dimana cara pembagiannya pada zaman dulu yaitu pembagian Warisan menurut Adat Batak Karo yaitu dilakukan dengan cara musyawarah atau runggu dan hasil dari

musyawarah adat karo yaitu 1/3 dari warisan untuk anak Perempuan dan 2/3

untuk Anak Laki-Laki.51

51

Darwin Prinst, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis ,2004 Hal 15

Kedudukan anak perempuan pada waris adat karo pada zaman dahulu

tidak mendapatkan warisan atau dapat dikatakan sebagai ahli waris dari ayahnya.

Alasanya kenapa anak Perempuan tidak mendapatkan warisan dari ayahnya

karena sang anak perempuan hanya mewarisi marga sang ayah hanya sampai satu

generasi keturunan saja.

Maksud dari hanya mewarisi satu garis keturunan saja yaitu apabila anak

perempuan menikah , maka marga sang ayah hanya dibawa anak perempuan saja

,tetapi tidak untuk sang anak yang dilahirkannya.Akan tetapi anak Perempuan bisa

mendapat warisan dari orang tuanya apabila sang anak laki-laki memberikan

warisannya kepada saudara perempuan hanya untuk memberikan penghormatan

(2)

Harta Warisan dalam masyarakat Karo dibagi atas terbagi atas 2 golongan

yaitu :

a. Harta Warisan yang didapat dari hasil jerih payah kedua Orang Tua

Harta yang didapat bersama atau biasa disebutkan yaitu harta yang

didapatkan dari jerih payah kedua orang tuanya.Terhadap harta ini baik anak

Laki-laki ataupun perempuan berhak atas warisan kedua orang tuanya akan

tetapi warisan untuk anak laki-laki lebih besar dari pada anak Perempuan.

b. Harta Warisan yang didapat dari Hak Ulayat

Yaitu harta warisan yang didapat dari jerih payah yang dibawa oleh marga

dan tidak bisa diganggu gugat dan bagian dari anak perempuan 1/3 untuk

anak Perempuan(dasar peraturannya tidak tertulis atau lisan)52

Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut maka pembagian warisan dalam adat Karo maka bagian anak laki-laki dengan anak Perempuan sama tidak terdapat perbedaannya.

.

Sejak dulu Hak Ulayat hanya terdapat hak pakai dan tidak ada batasnya

dan tidak bisa dijual belikan, kalaupun ada transaksi harus disetujui oleh pihak

pemberi Saudara Laki-Laki.

Akan tetapi pembagian warisan pada Adat Karo berubah sejak Keluarnya

Putusan Mahmakah Agung dengan NO Putusan M.A Tanggal 1-11-1961 nomor 179/SIP/1961 menyatakan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.

52

(3)

Dikuatkan juga berdasarkan Pengadilan Tinggi Medan, dalam tingkat banding, dengan putusannya tanggal 28 Mei 1970 No.444/1969

Keberatan ini ditolak oleh Mahkamah Agung, dengan pertimbangan : “bahwa keberatan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena tentang hal yang dimaksud oleh penggugat untuk kasasi inipun telah secara tepat dipertimbangkan oleh judex facti, yaitu bahwa tentang pelaksanaan pembagian harta warisan yang belum terbagi, hukum adat yang harus diperlakukan adalah hukum adat (jurisprudensi) yang berlaku pada saat pembagian tersebut dilaksanakan.

menguatkan putusan tersebut. Dalam tingkat kassai diajukan sebagai keberatan: “bahwa keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 Novembert 1961 tentang persamaan hak antara ahliwaris laki-laki dan ahliwaris perempuan terhadapa harta warisan, belum dapat dilaksanakan di Tanah Karo sewaktu Elak Meliala meninggal dunia pada tahun 1947, jadi pada tahun 1957 itu menurut hukum adat Karo hanya ahliwaris laki-laki yang berhak mewaris”.

Dari keputusan keputusan diatas dapat kita ketahui bahwa dewasa ini hukum adat masyarakat batak karo dalam hal warisan tidak hanya diberikan kepada anak laki-laki saja tetapi juga kepada anak perempuan jadi anak laki-laki dan perempuan mendapatkan harta warisan.

(4)

wanita dan pria dewasa ini tidaklah dapat dibeda bedakan, karena sudah ada dalam pasal 28 D UUD 1945.

Selain anak perempuan, janda juga mendapat harta bagian warisan dari peninggalan si suaminya, karena pihak perempuan ini telah dibeli dengan perkawinan jujur jadi dia merupakan sudah dianggap saudara oleh bagian pihak laki-laki, dan akibat dari perkawinan jujur ini sang janda ini dapat kawin dengan saudara dari pihak suami yang disebut juga dengan Levirant/Paraekhan/Lakoman, tetapi apabila sang janda ini tidak menikah dengan pihak saudara dari sang suami maka ia harus menyerahkan harta pusaka yang telah ia terima dari pihak si laki-laki.

Janda disini berhak mendapat bagian asalkan itu digunakan untuk keperluan keperluan utama untuk kemajuan sang anak, yang dimana menurut penjelasan orang tua atau leluhur dari karo bila ada suatu warisan yang ditinggalkan oleh orangtua hendaklah warisan tersebut dapat meningkatkan perbaikan hidup anak cucunya dan untuk terciptanya suatu kedamaian sesamanya.53

B. Perkembangan Waris Adat Karo

Menurut Masyarakat Batak Karo warisan Adat sangat berarti dan juga adat karo menggunakan azas kekeluargaan dan Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana lebih menekankan kepada kedudukan anak Laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan.

53

(5)

Jadi Anak Laki-laki yang mewariskan marga dari sang bapak dan juga masyarakat karo masih menggunakan sistem perkawinan jujur, maksud darisistem perkawinan jujur yaitu suatu bentuk perkawinan yang mana pihak laki-laki memberikan suatu benda atau bisa disebut membayar sejumlah uang kepada pihak perempuan sehingga dapat dikatakan bahwa anak Perempuan dibeli secara adat oleh anak Laki-laki yang mana tujuannya yaitu agar pihak perempuan dapat melepaskan marga ayahnya sehingga masuk dalam marga suaminya.54

Didalam Hukum Waris Adat Karo dikenal istiah Pewaris Pengganti , maksud dari pewaris pengganti yaitu apabila seorang anak yang menjadi ahi waris meninggal sebelum orang tuanya maka tempatnya digantikan oleh keturunannya, sehingga cucu mendapat sebagian dari warisan neneknya ataupun kakekya, yang sebenarnya menajadi warisan orang tuanya.

Pada masyarakat Karo yang menerima warisan adalah Anak Laki-laki saja dan anak perempuan tidak berhak atas warisan dan akan tetapi anak Perempuan yang dapat warisan hanya berdasarkan pada pemberiansaudara-saudaranya berdasarkan pada cinta kasih dan rasa kasihan.

Didalam masyarakat Hukum Adat Batak Karo bukan hanya anak Perempuan saja yang tidak mendapat warisan akan tetapi Janda yang ditinggal suaminya juga tidak dapat, disebabkan karena pihak perempuan tidak mendapatkan harta warisan dari ayah ataupun suaminya.

55

54

Sitepu Sempa, Sitepu Bujur A.G, Pilar Budaya Karo, Hal 20 55

(6)

Sering perkembangan Zaman Hukum Adat Pada Masyarakat Karo sedikit mengalami perubahan karena dianggap tidak adil bagi anak perempuan dan hanya berpihak pada kaum laki-laki saja. Hukum Adat Karo mengalami mengalami banyak kontroversi sehingga banyak sekali gugatan yang diajukan dan lama kelamaan warisan adat Karo mengalami perubahan dan banyak mengikuti pada hukum positif di Indonesia.

Sebagai contohnya yaitu Putusan M.A Tanggal 1-11-1961 nomor 179/SIP/1961Menyatakan bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.

C. Sistem Waris Adat Karo

Sebelum membahas sistem kewarisan pada masyarakat ada karo, akan

dipaparkan terlebih dahulu kedudukan anak pada masyarakat karo, karena

pandangan terhadap kedudukan anak tersebut berimplikasi terhadap seluruh

sistem kewarisan masyarakat adat Karo. Kedudukan anak laki-laki dan anak

perempuan pada masyarakat Karo.

Pada Masyarakat adat Karo tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan

keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang

(7)

dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada

pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan56

Namun biasanya jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki

banyak kepercayaan-kepercayaan tradisionil yang dilakukan untuk mendapatkan

keturunan laki-laki, mulai dari banyak laranganlarangan yang berlaku, ritual adat

yang dilakukan bahkan dimandikan dengan air jeruk.

Oleh karena anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga pada

masyarakat Karo, sehingga jika tidak mempunyai anak laki-laki dianggap wajar

oleh masyarakat maupun kerabat apabila diadakan perceraian karena dianggap

“masap” (lenyap dari keluarangya).

57

Namun bukan berarti anak perempuan pada masyarakat tidak mempunyai

arti dalam masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada masyarakat karo

demikian penting karena dari anak perempuan itulah lahir ikatan kekeluarga

sebagai anak beru.21 Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan maka Kehadiran anak laki-laki dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga

berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuannya.

Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan benang merah

yang menghubungkan ikatan kerabatan antara suatu keluarga dengan saudara

laki-laki ayahnya serta orang yang semarga dengan ayahnya, dan semua anak laki-laki-laki-laki

akan memperoleh kedudukan yang sama dan sederajat.

56

Suara Bangun, Wawancara, Berastagi 29 Nopember 2016. 57

(8)

berimplikasi pada aturan kewarisan yang meniadakan hak anak perempuan untuk

mewarisi.

Berdasarkan sistem kekeluargaan patrilineal (garis keturunan dari pihak

bapak) masyarakat karo menganut sistem kewarisan individual dimana

berdasarkan prinsipnya, ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan

menurut bagiannya masing-masing.

Dalam hal ini anak laki-laki yang menjadi ahli waris yang memiliki

seluruh harta warisan. Adapun alasan mengapa anak perempuan tidak berhak

untuk mewarisi karena anak perempuan sendiri tidak dapat meneruskan marga

dari keluarga ayahnya.58

Alasan lain dikemukakan bahwa perkawinan adat patrilineal, apabila

perempuan sudah kawin, ia dianggap keluar dari keluarganya dan menjadi

keluarga suaminya, seperti perempuan Sembiring menikah dengan seorang

Ginting, dengan adanya pemberian yang disebut tukar, maka perempuan

Sembiring tersebut ikut kepada kerabat si suami. Dengan demikian ia tidak

mendapatkan harta warisan.59

Anak perempuan tidak berhak mewarisi karena dia akan menikah dengan

orang lain yang nantinya dia akan mewarisi harta dari suaminya. Fenomena yang

terjadi dimasyarakat karo, anak perempuan yang telah menikah maka dia sudah

58

Maspon Sembiring, Wawancara, Berastagi 11 Desember 2016. 59

(9)

menjadi bagian dari keluarga suaminya, sehingga dia dianggap sebagai orang lain

atau bukan lagi bagian dari kerabat asalnya.60

Praktek Pembagian harta warisan yang terjadi seperti yang dijelaskan pada

sistem di atas dalam lingkungan masyarakat adat Karo telah diatur secara turun

temurun menurut hukum adat Karo61

60

Rumus Tarigan, Wawancara, Berastagi 15 Desember 2016. 61

Sersan Ginting, Wawancara, Berastagi 16 Desember 2016.

, dan ahli waris yang mendapatkan harta

warisan dalam adat Karo adalah anak laki-laki saja atau jika tidak ada maka

kerabat laki-laki dari pewaris. Masyarakat karo meniadakan hak waris anak

perempuan, hal itu disebabkan anak perempuan tidak dapat meneruskan keturunan

karena sistem kekeluargaan masyarakat karo.

Berdasarkan garis keturunan pada masyarakat adat batak Karo, dengan

kata lain anak laki-laki yang membawa marga (meneruskan keturunan).Ada jika

saudara laki-laki dari anak perempuan tersebut dengan suka rela memberikan

beberapa atau bahkan semua warisan yang ia miliki maka anak perempuan

tersebut tidak boleh menolak.

Dalam hukum warisan patrilineal harta yang dapat menjadi harta warisan

bukan hanya harta yang didapat selama perkawinan saja, tapi juga termasuk harta

pusaka, karena dalam hukum Adat perkawinan patrilineal marga itu berlalu

keturunan patrilineal, sehingga hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris

(10)

Ahli Waris Masyarakat Karo adalah Anak Laki-laki Semua anak laki-laki

menjadi ahli waris tentunya anak yang sah yang berhak menjadi ahli waris dari

orang tuanya, baik harta dari hasil perkawinan maupun harta pusaka. Jumlah harta

yang akan menjadi harta warisan itu sama diantara anak-anak laki-laki pewaris,

misalnya apabila pewaris mempunyai tiga orang anak-laki-laki, maka bagian harta

masing-masing mendapat sepertiga bagian.

Namun bila pewaris tidak mempunyai anak-laki-laki, tetapi ahli warisnya

hanya istri dan anak perempuan, maka harta pusaka itu bisa dipergunakan baik

oleh istri dan anak perempuan selama hidupnya, setelah meninggal dunia harta

warisan itu kembali kepada asalnya atau kembali kepada –pengulihen.

1. Anak angkat

Anak angkat dalam masyarakat patrilineal Batak Karo merupakan ahli

waris yang berkedudukannya seperti halnya anak sah, akan tetapi anak angkat ini

hanya menjadi ahli waris terhadap harta warisan atas harta perkawinan artinya

hanya harta yang di dapat dalam pekawinan atau harta bersama dari orang tua

angkatnya, sedangkan untuk harta pusaka anak angkat tidak mempunyai hak harta

warisan.

Dalam adat Karo anak angkat adalah anak laki-laki karena pada umumnya

masyarakat Karo mengangkat anak laki karena tidak memiliki keturunan

laki-laki sehingga pengangkatan anak laki-laki-laki-laki bertujuan untuk meneruskan silsilah

(11)

2. Ayah dan Ibu

Untuk ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung pewaris, ini muncul

sebagai ahli waris apabila tidak ada anak kandung dan anak angkat pewaris, maka

ayah, ibu dan saudara-saudara kandung pewaris menjadi ahli waris secara

bersama-sama.

Dalam posisi anak perempuan sebagai ibu maka ia tergolong ahli waris

pada masyarakat karo hal ini juga dengan syarat bahwa si ibu tersebut tidak

mempunyai anak laki-laki, dengan demikian ibu dan anak perempuan memiliki

posisi yang berbeda dalam menerima warisan sehingga anak perempuan tetap

tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris pada masyarakat Karo.

3. Keluarga terdekat dari garis keturunan Laki-laki

Keluarga terdekat ini muncul sebagai ahli waris apabila tidak ada ahli

waris anak kandung, anak angkat, ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris.

4. Persekutuan adat

Persekutuan adat ini sebagai ahli waris apabila tidak ada ahli waris sama

sekali yang tersebut diatas, maka warisan jatuh pada persekutuan adat,

berdasarkan pemaparan ahli waris diatas tidak ada yang menyebutkan bahwa anak

perempuan merupakan ahli waris dalam masyarakat adat karo. Bahkan jika anak

perempuan adalah anak tunggal dari pewaris, maka hartanya terlebih dahulu

dibagikan kepada kerabat kerabat dalam garis ayah,62

62

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Brastagi 20 Desember 2016

(12)

bahwa masyarakat adat karo tidak mengakui bahwa anak perempuan adalah ahli

waris pada masyarakat Karo.

D. Proses Pembagian Warisan

Proses pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo dapat

dilaksanakan pada saat sebelum pewaris meninggal dunia dan setelah pewarisn

meninggal dunia, proses pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia

dapat berupa pengalihan kedudukan, hak/kewajiban, lewat penunjukan pewarisan,

hibah/wasiat, dan lain-lain.

Pada masyarakat Karo misalnya proses pembagian warisan sebelum

pewaris meninggal dunia dapat dilihat dalam hal pengalihan kedudukan atau

jabatan adat kepada pewarisnya.

Ada juga pemberian harta kekayaan pewaris tertentu sebagai bekal

kekayaan untuk kehidupan kelanjutan yang diberikan pewaris kepada anak pada

saat anak-anaknya hendak menikah, di batak di sebut Manjae, pada masyarakat

Karo anak perempuan biasanya mendapat bagian warisan dari ayahnya ketika ia

menikah, berupa harta bawaan, yang berupa perhiasan atau tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak perempuan

dimungkinkan pada masyarakat Karo dapat menerima warisan dengan dua cara;

Berdasarkan kerelaan anak laki-laki, dan dalam hal tersebut anak perempuan tidak

(13)

Sebelum si anak perempuan menikah, yang berupa harta bawaan yang

diberikan keluarga yang masih hidup berupa perhiasan, tanah, dan lain-lain. Dan

proses pembagian warisan yang disebutkan diatas dilakukan melalui musyawarah

keluarga yang dalam hal ini masyarakat Karo menyebutnya dengan istilah

Runggun Keluarga jika dalam proses pembagian harta tersebut banyak

kerabat-kerabat yang tidak menyetujui pembagian warisan tersebut.

Didalam perkawinan adat karo juga dikenal dengan istilah untuk

menyelesaiakan masalah yang ada dalam keluarga adat karo yaitu runggun

keluarga ini diadakan karena masalah perkawinan yang melibatkan dua pihak

keluarga, namun tidak dipungkiri pada Masyarakat Karo menjadikan runggun

kelurga ini forum formal dalam menyelesaikan segala perkara-perkara yang

dialami masyarakat.

Hingga jika ada permasalahan yang ditimbulkan baik yang menyangkut

masalah pribadi ataupun dengan orang, maka biasanya masyarakat mengadakan

runggun kelurga tersebut untuk mencari jalan keluar dari masalah yang tengah

dihadapi. Karena pada masyarakat Karo masalah pribadi juga masalah bersama

apalagi yang menyangkut dengan aturan adat.

Asas yang diutamakan adalah asas keadilan dan kerukunan antara anggota

keluarga, maka ketika terjadi sengketa waris, masyarakat Desa Rumah Kabanjahe

tidak pernah membawa perkara sengketa waris ke pengadilan, dan mereka lebih

memilih jalan secara kekeluargaan yakni dengan bermusyawarah yang disebut

(14)

mempertimbangkan mufakat umum dalam suatu forum yang tenang pada tiga

kategori kekeluargaan.

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan

berasal dari pihak ayah. Dimana jika terjadi masalah maka yang

bertanggungjawab adalah pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut oleh

bangsa Arab, Eropa, dan suku Batak yang hidup di daerah Sumatera Utara. Kata

Patrilineal seringkali disamakan dengan patriarkhat atau patriarkhi, meskipun

pada dasarnya artinya berbeda.

Patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti

“ayah”, dan linea (bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti

mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sementara itu

patriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti “ayah” dan

archein (bahasa Yunani) yang berarti “memerintah”. Jadi, “patriarkhi” berarti

“kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki“.

Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum

adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak

mewarisi harta peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak

perempuan sama sekali tidak mewarisi

Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat

melanjutkan silsilah (keturunan keluarga) yaitu :

1. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama

(15)

2. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk

anggota keluarga suaminya.

3. Dalam adat, Kalimbubu (laki-laki) dianggap anggota keluarga sebagai orang

tua (ibu);

4. Apabila terjadi perceraian, suami isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi

tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayah

baik dalam adat maupun harta benda.63

Dalam Waris Adat Karo mengandung sistem kekerabataan Parental yaitu Pengaruh jenis harta dalam sistem waris patrilineal khususnya pada suku adat Batak Tanah Karo atau biasa disebut Batak Karo.

Dalam masyarakat Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, hanyalah anak laki- laki yang menjadi ahli waris. Terdapat beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang meninggal dunia, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris.

Hal ini didasarkan kepada anggapan kuno yang menganggap rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya dan dalam masyarakat Batak pada umumnya.

Selain itu, perempuan tidak mendapatkan warisan dikarenakan beberapa faktor seperti silsilah keluarga didasarkan kepada anak laki-laki; dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga; anak-anak memakai marga ayahnya sedangkan istri digolongkan ke dalam marga suaminya; dalam adat, wanita tidak mewakili

63

(16)

orang tuanya sebab ia maasuk anggota keluarga suaminya; apabila terjadi perceraian, pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya.

Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.

(17)

BAB IV

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 179/SIP/1961 TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DIKECAMATAN RUMAH

KABANJAHE

A. Pembagian warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo

Kabupaten Karo resmi terbentuk pada tahun 1943 dan sejak saat itulah

Kabupaten Karo dipimpin oleh seorang Bupati. Kabupaten Karo yang memiliki

alam yang sejuk dan indah yang dikenal dengan sebutan Taneh Karo Simalem

berada pada ketinggian 400-1600m di atas permukaan laut. Terdapat beberapa

buah gunung, seperti Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Gunung Barus dan lain

sebagainya yang sampai saat ini dijadikan sebagai daerah wisata

Pada sub bab ini akan dibahas berkaitan dengan pelaksanaan pembagian

harta waris. Yang dimaksud dengan pelaksanaan adalah segala hal yang

menyangkut tata cara atau mekanisme pembagian harta waris yang berlaku pada

masyarakat Karo.

Di mulai dari penentuan waktu pelaksanaan, musyawarah menentukan

porsi atau kadar serta pihak-pihak yang berhak mendapatkan bagian harta warisan,

(18)

1. Waktu pembagian harta warisan

Salah satu yang selalu diperbincangkan bahkan diperdebatkan adalah berkaitan

dengan waktu pelaksanaan pembagian harta warisan, menurut hukum perdata,

peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak

dan kerelaan ahli waris yang akan menerima hak tersebut. Intinya, peralihan

harta waris tidak berlaku dengan sendirinya64

Kerelaan pewaris menjadi sebuah keniscayaan karena kesedian menerima

sebagai ahli waris akan membawa akibat langsung untuk bersedia menerima

risiko melunasi hutang pewaris

.

65

1. Hartawarisan yang belum terbagi .

Di dalam hukum waris terdapat istilah yaitu penundaan pembagian harta waris.

Istilah lain yang kerap digunakan yaitu :

2. Harta warisan yang dipertangguhkan

3. Penundaan penanggugan pembagian harta peninggalan

4. Penundaan pembagian harta warisan

5. Harta peninggalan dalam keadaan tak terbagi

Menurut adat Karo, pembagian harta waris umumnya dilaksanakan setelah

kedua orangtuanya meninggal dunia66

64

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata ,Bandung: 1977, h. 84-85 65

Kitab Undang-undang Hukum Perdata 66

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, BAndung: Citra Aditya Bakti, 2003 hal. 104

, dengan demikian, meninggalnya

orang tua laki-laki tidak serta merta harta yang ditinggalkan dapat dibagi

(19)

dibawah pengelolaan istri yang ditinggalkan. Ia berhak mengelola dan

memanfaatkan harta suaminya sepanjang ia belum menikah kembali67

Berkenaan dengan hal ini menarik mencermati apa yang dituliskan oleh

Masri Singarimbun sebagai berikut: According to Karo adat, a women belongs to

the merga of her husband. His death does not alter her status, as her rights and

duties according to adat remain the same. She is fully responsible for raising her

children, and the inheritance may only be divided after the death of both

parents

.

Bagi masyarakat Karo, istri yang ditinggal wafat suaminya berbeda dengan

cerai hidup tetapi tetaplah dianggap menjadi bagian dari keluarga suaminya.

Hal ini sesungguhnya adalah konsekuensi dari lembaga ‛tukur‛ (wanita yang

dibeli) yang dikenal pada masyarakat Karo).

Sebaliknya, jika terjadi ‛cerai hidup‛, maka janda tersebut kembali kepada

keluarganya semula. Hubungannya dengan suaminya secara adat pun

terputus.

68

Informasi yang diperoleh dari beberapa informan menyatakan harta

warisan baru dapat dibagi setelah kedua orang tua meninggal. Dalam kasus

tertentu, pembagian harta dapat dilakukan atas permintaan anak ahli waris.

Biasanya hal ini dilakukan apabila anak ahli waris telah menikah dan sangat

membutuhkan harta. Dalam kasus seperti ini, ibu (istri ahli waris) akan membagi

harta berdasarkan persetujuan kalimbubu dan anak beru. .

67

Syahrizal, Hukm Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhoksumawe: Nadia Foundation, 2004,hal 224.

68

(20)

Dalam adat Karo, harta waris biasanya dibagi setelah kedua orang tua

meninggal dunia. Bagi orang Karo, adalah tabu jika anak-anak menuntut harta

waris selagi salah satu orang tuanya masih hidup. Kecuali keinginan itu muncul

dari orang tuanya sendiri.Tentu saja, penundaan pembagian harta waris ini

menimbulkan persoalan tersendiri69

Jadi walaupun hukum waris adat mengenal asas kesamaan hak tidak

berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang

sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah

tertentu

.

2. Metode Penentuan Porsi atau Jumlah

Tampaknya di dalam hukum waris adat Karo tidak dikenal kadar atau

porsi harta untuk setiap ahli waris. Hampir di seluruh masyarakat adat tidak

mengenal cara pembagian harta waris dengan perhitungan matematika yang ketat.

70 .

Di dalam hukum adat Karo, pembagian harta waris bukan berdasarkan

jumlah tertentu melainkan berdasarkan jenis atau bentuk harta yang ditinggalkan,

biasanya disebut harta pusaka atau harta waris hanya menyangkut ladang, sawah,

kolam dan rumah.

69

Satria Effendi M Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis

Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah ,Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2004 hal. 272. 70

(21)

Berikut ini menurut pendapat para informan yaitu:

Dirumah Kabanjahe kendudukan pembagian Warisan untuk anak

perempuan yaitu dilakukan dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh anak

beru dan hasil dari musyawarah adat karo tersebut menghasilkan 1/3dari warisan

untuk anak Perempuan dan 2/3 untuk Anak Laki-Laki.71

B.Implementasi Putusan Mahkamah Agung No 179/SIP/1961 pada

masyarakat Batak Karo dikecamatan Kabanjahe Kota

Bagian warisan untuk anak perempuan hanya mendapatkan 1/3 dari hasil

warisan yaitu karena sesuai adat Karo anak perempuan tidak membawa marga

dari orang tuanya dan tidak secara terus menerus dan juga tidak mutlak, jadi

warisan untuk anak perempuan hanya untuk memberi penghormatan kepada anak

perempuan dan anak perempuan hanya membawa 2 kali marga dari sang ayah dan

setelah itu maka sang ayah akan hilang.

Perkembangan dalam hukum waris adat Batak ditandai dengan lahirnya

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961 yang menyatakan

Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia,

bahwa antara anak laki-laki dan anak perempuan, bersama-sama berhak atas harta

warisan dalam arti bagian anak lelaki adalah sama dengan perempuan72

Memang yurisprudensi tersebut tidak dapat berlaku sebagai peraturan

hukum yang mengikat secara umum, tetapi hanyalah mengikat para pihak yang .

71

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Kabanjahe 20 November 2016 72

(22)

berperkara saja atau lebih jauh dapat diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang

sama. Namun sebagai penemuan hukum dari hakim yurisprudensi ini cukup

berharga sebagai faktor pembentukan hukum nasional73

Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung nomor 179/SIP/1961 pada

masyarakat batak Karo di Rumah Kabanjahe kecamtan Kabanjahe Kota setelah

keluarnya putusan tersebut yaitu tidak berubah karena beliau cara pembagian karena yurisprudensi

sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

Yurisprudensi juga berfungsi untuk menciptakan hukum yang baru

dengan mengubah hukum yang lama dengan dasar pertimbangan bahwa hukum

yang lama tidak sesuai lagi dengan masyarakat tempat hukum itu berlaku.

Diharapkan perkembangan yang telah dilakukan oleh putusan-putusan hakim ini

dapat mengangkat hak-hak anak perempuan sama sebagai ahli waris.

Pengadilan melalui yurisprudensi tersebut berusaha membawa

perkembangan hukum tidak tertulis ke arah keseragaman hukum yang

seluas-luasnya, antara lain dengan pembinaan ke arah pola hukum keluarga dan hukum.

Berdasarkan pandangan yang ada dalam masyarakat yang saya teliti bahwa

didalam masyarakat Rumah Kabanjahe banyak yang mengetahui tentang Putusan

Mahkamah Agung No 179/SIP/1961, dan pandangan masyarakat terhadap

putusan Mahkamah Agung ini bukan tidak dipergunakan, akan tetapi masyarakat

adat karo harus sesuai adat, walaupun dibawa ke pengadilan dan hasil dari

putusan pengadilan harus dirembukan kembali dengan pihak keluarga.

73

(23)

warisan yang paling baik menggunakan Hukum Adat, karena untuk menjaga

hubungan kekeluargaan yang ada dan juga untuk mencegah supaya tidak terjadi

keretakan dalam hubungan kekeluargaan.74

C. Cara Penyelesaian Sengketa Harta Warisan bagi anak Perempuan

Skema Penyelesaian sengketa warisan pada Mayarakat Batak Karo yaitu :

1. Keluarga

Cara penyelesaikan sengketa warisan adat karo yang paling utama yaitu

melalui keluarga, karena melalui keluarga sengketa warisan dapat diselesaikan,

karena hanya keluarga saja lah yang dapat menyelesaikan warisan karo dan juga

cara penyelesaian yang dilakukan keluarga juga dengan cara adat, karena melalui

adat pembagian warisan sangat adil bagi keluarga dan juga menghindari terjadi

keretakan dalam keluarga.

74

Perdana Sembiring Brahmana, wawancara, Kabanjahe 20 November 2016

Keluarga

Pengadilan Negeri

(24)

2. Runggun

Runggu merupakan cara lanjut dari keluarga untuk melakukan pembagian

warisan melalui adat, dengan alasan bahwa dengan runggu ditentukan dapat

ditentukan bagian yang didapat oleh ahli waris.

3. Pengadilan Negri

Cara pembagian warisan melalui pengadilan negri bahwa cara terakhir

apabila secara adat tidak terpenuhi atau tidak bagi ahli waris, karena bagi anak

perempuan pembagian warisan melalui adat tidak adil, dengan alasan bahwa anak

perempuan tidak mendapatkan warisan sama sekali dan anak perempuan

menuntut ke pengadilan negri supaya cara pembagian warisan dilakukan secara

(25)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan :

1. Berdasarkan sistem patrilineal pada masyarakat karo anak laki-laki lebih

dihargai dibandingkan kedudukan anak perempuan ,sehingga hal ini

berdampak pada kedudukan anak perempuan dalam hal waris. Anak

perempuan dalam hukum adat Batak Karo tidak berhak atas bagian waris

dari orang tuanya.

Namun dari hasil penelitian pada masyarakat karo di kecamatan rumah

kabanjahe , anak perempuan saat ini mendapatkan bagian dari warisan

sebesar 1/3 yang diberikan dari pemberian kepada anak perempuan ini

didasari pada penghormatan kepada anak perempuan.

2. Dari hasil penelitian, implementasi terhadap Putusan Mahkamah Agung No

179/SIP/1961, tidak diterapkan dengan alasan karena anak laki-laki yang

membawa marga dan digunakan untuk menjaga hubungan kekeluargaan

supaya tidak terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.

3. Penyelesaian sengketa dalam waris adat karo yang terdapat dalam

masyarakat adat karo dengan cara dibawa ke dalam musyawarah keluarga

atau ke runggu, dengan alasan untuk menjaga hubungan yang baik antar

(26)

B. Saran

Dari hasil pembahasan diatas dapat diberiakan saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya dimasa yang akan datang, anak perempuan harus juga

berkedudukan sebagai ahli waris seperti halnya anak laki-laki,karena anak

perempuan dan anak laki-laki adalah sebagai keturunan dari orang tuanya.

2. Sebaiknya dikemudian hari putusan mahkamah agung no 179/SIP/1961

supaya masyarakat bisa mengimplementasikan kedalam permasalahan

pembagian warisan dimasyarakat Batak Karo di kecamatan Rumah

Kabanjahe.

3. Sebaiknya juga harus selain memakai aturan dari putusan mahkamah agung

juga tetap secara adat karena untuk menghindari terjadi keretakan yang

Referensi

Dokumen terkait

Immanuel, Imanta, Kedudukan perempuan Batak Karo dalam memperoleh harta warisan setelah penetapan keputusan MA No.179/K/Sip 1961, Skripsi, Unpublised Sarjana FISIP

Kedudukan anak perempuan dalam sistem waris adat Bali adalah anak perempuan tidak mempunyai hak sebagai ahli waris terhadap harta warisan orang tuanya sesuai dengan

Anak angkat dalam masyarakat patrilineal Batak Karo merupakan ahli waris yang berkedudukannya seperti halnya anak sah, akan tetapi anak angkat ini hanya menjadi ahli waris

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Patar Simamora dan Bapak Langkas Lumbangaol bahwa cara pembagian warisan yang terjadi dalam masyarakat adat Batak Toba

Sehingga dapat dikemukakan saran yaitu, disarankan kepada ketua adat/lembaga adat suku Batak Toba agar dalam menyelesaikan sengketa warisan memperhatikan asas keadilan dan sesuai

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DARI SEORANG LAKI-LAKI YANG MELAKUKAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ADAT ( SUATU STUDI Dl PENGADILAN NEGERI SURABAYA )..

Meliala dan Aswin Perangin – angin mengemukakan ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan

Berdasarkan data kasus yang diatas, maka penulis tertarik buat melakukan penelitian dengan judul Penerapan Hukum Pidana Adat Batak Karo dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan dalam