• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BE"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BELANDA, JEPANG

DAN SETELAH KEMERDEKAAN

12.37 SEJARAH 4 comments

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan : praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono: 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru, dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang. Pendidikan

Pada Masa Kemerdekaan telah mengalami

perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman

kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam

kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah system pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas

penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan

kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara

pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula

bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang

akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

(2)

pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan

Jepang-lah sistem pendidikan disatukan

Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda. Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menulis makalah mengenai “ SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA BELANDA, JEPANG DAN SETELAH KEMERDEKAAN “

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan, pokok permasalahan :

1. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Belanda?

2. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa Jepang?

3. Bagaimanakah sistem pendidikan Indonesia pada masa setelah kemerdekaan?

3. Tujuan dan Manfaat penulisan

a. Tujuan Penulis:

Untuk mendeskripsikan perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang telah berlaku di Indonesia khususnya pada masa pendudukan Jepang, Belanda, dan setelah kemerdekaan.

b. Manfaat Penulisan

Semakin menambah pengetahuan penulis tentang perkembangan dan perbedaan system pendidikan yang telah trjadi di Indonesia pada setaip dekade pemerintahan. Selain itu, juga melatih penulis dalam membuat atau menuliskan suatu karya ilmiah. Juga diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa .

4. Metodologi Penulisan

Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan

misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan menggunakan teknik serta alat – alat tertentu. Dalam penulisan ini digunakan metode kepustakaan.

BAB II PEMBAHASAN A. Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda

(3)

loro dan ongko siji. Sekolah ini bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana. Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.

Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School). Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di sekolah ini.

Sebagai pembanding, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pula ELS (Eropesch Lagere School) sebagai sekolah dasar untuk anak-anak eropa dan China Lagere School bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Sekolah ini jelas bukan milik kaum pribumi yang secara sosial berada di bawah posisi orang Eropa dan China.

Di tingkat lanjut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan MULO yang setingkat SMP jaman sekarang. Kurikulum yang dipergunakan semakin lengkap. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa pengantar. Selain itu diajarkan bahasa Perancis dan Inggris. Tidak setiap anak bangsa bisa memperoleh pendidikan tingkat ini. Banyak kendala rasialis dan sosial yang menghalangi anak bangsa untuk memperoleh kesempatan ini. Jika dibandingkan jaman sekarang lulusan MULO sebanding kualitasnya dengan lulusan S-1 sekarang. Bagi lulusan MULO maka ia berhak mendapatkan tempat pekerjaan di struktur kepegawaian negeri maupun militer pemerintah Kolonial Belanda.

Pengembangan aspek kepegawaian dan sistem birokrasi pemerintah Kolonial Belanda yang semakin lengkap, jelas membutuhkan pegawai lokal yang lebih cerdas. Oleh karena itu, dengan jumlah lulusan MULO yang tidak banyak maka kebutuhan akan jumlah kepegawaian itu dapat terpenuhi.

(4)

yang bersekolah di HBS secara sosial ia adalah pribumi yang sudah disamakan derajatnya dengan bangsa Eropa/Belanda. Pada pendidikan tingkat ini, kualitas menjadi sebuah ukuran mutlak. Oleh karena pola pendidikannya yang disiplin dengan kurikulum yang jelas maka dengan sendirinya menghasilkan alumni yang disegani oleh siapa saja. Para alumninya antara lain: Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soetomo, Cipto Mangunkusuma, A. Rivai, Suwardi Suryaningrat, dan sebagainya.

Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri.

Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya. Menjadi guru toh merupakan jenjang kepriyayian yang dicita-citakan meski berada pada posisi terbawah model birokrasi Kolonial Belanda.

Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan standar lulusan setiap tahunnya.

Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.

Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal 25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.

(5)

pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah.

Adanya dukungan dana dari orang tua dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.

Semuanya yang sudah dijelaskan di atas pada akhirnya akan bermuara pada kualitas lulusannya yang hebat dan mumpuni di bidangnya. Konon, saking hebatnya lulusan AMS maka banyak orang yang mengatakan bahwa kualitasnya sama dengan lulusan S-2 jaman sekarang.

B. Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang

Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:

1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan

menggantikan Bahasa Belanda;

2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan

berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.

Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut:

1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk

SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.

2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama)

dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun.

3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di

bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. 4. Pendidikan Tinggi.

(6)

Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.

Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain:

1. Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;

2. Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang;

3. Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang;

4. Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta

5. Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan.

Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini:

1. Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi;

2. Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika

setiap pagi;

3. setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita

Asia Raya;

4. Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang;

5. Melakukan latihan-latihan fisik dan militer;

6. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang

menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.

(7)

ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.

Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.

C. Pendidikan Masa Indonesia Merdeka

Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan sistem persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini, kualitas pendidikan masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut politik yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik. Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri.

Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil. Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda.

(8)

diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang layak.

Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik.

Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan pengetahuan.

Di sisi lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam tambahn yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994.

Agaknya perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik tertentu melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi. Contohnya adalah pemberlakuan materi PSPB pada kurikulum 1984 yang sarat dengan muatan ideologis dan politis. Demikian pula salah satu syarat kenaikan kelas seorang siswa harus mendapatkan nilai minimal 6,0 dengan skala 1 sampai dengan 10 pada nilai raport. Jika nilai dibawah itu, maka siswa tidak dapat naik kelas meskipun pelajaran lain mendapat 9 (sembilan).

Pada masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat terkenal adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan peluang dan respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku dan statis seperti yang dilaksanakan pada masa sebelumnya.

Pendidikan Masa Reformasi Pada masa reformasi, jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka kepentingan politik yang mendasarinya.

Namun semenjak penataran P-4 (Eka Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi yang semestinya.

(9)

berusaha untuk memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang melanda dunia mana saja.

Namun demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang ada. Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan kebijakan baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004.

Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru menjadi satu faktor yang belum dituntaskan pada masa reformasi ini. Kesejahteraan guru mulai diperhatikan ketika era Presiden Abdurrahman Wahid menaikkan gaji guru hingga sama dengan pegawai negeri lainnya. Pada akhirnya era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kesejahteraan guru dan anggaran pendidikan 20% disahkan melalui undang-undang guru dan dosen serta sistem pendidikan nasional. Sertifikasi guru dilaksanakan secara menyeluruh dengan konsekuensi guru mendapatkan penghasilan tambahan sebesar satu kali gaji pokok.

Kurikulum 2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna keberfungsian semangat kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana Bos. Di samping itu, pemerintah memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan saat ini.

BAB II KESIMPULAN

Pergantian era kekuasaan sangat mempengaruhi model dan kebijakan pendidikan yang dihasilkan. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari situasi politik sebuah bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan pendidikan sebagai sarana memperoleh tenaga kerja di bidang administrasi tingkat rendahan. Pendidikan tingkat lanjut hanya diprioritaskan pada kalangan bangsawan semata.

(10)

kawasan Asia Pasifik. Mereka melaksanakan apa yang diharapkan Jepang yaitu sebagai serdadu yang siap maju di medan perang seperti: Romusha, Heiho, dan Peta.

Sebaliknya, pada masa Indonesia merdeka pendidikan diarahkan sebagai medium pembangkit rasa nasionalisme. Karena keadaan tertentu, periode ini tidak banyak pengembangan pendidikan yang bisa diharapkan. Secara kualitas, pendidikan tetap terjaga mutunya hanya pendirian bangunan sekolah tidak banyak artinya.

Pada masa Orde Baru, perubahan kurikulum senantiasa silih berganti. Perubahan dilaksanakan dalam rangka mengantisipasi kepentingan global yang berubah. Hal ini pun masih dilanjutkan dengan pergantian kurikulum pada era reformasi. Kurikulum 2006 merupakan alternatif terakhir dari bangunan kurikulum dalam sejarah Indonesia. Artinya, pemerintah tetap belajar dari pengalaman. Lintasan pendidikan yang berusia cukup tua pada akhirnya menghasilkan kebijakan yang penuh nuansa keberpihakan pada esensi pendidikan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia. Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai

Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.

Zaenuddin, 2008. Reformasi Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dibuktikan dari tingkat depresi pada subjek 1 dan 2 pada saat baseline kedua lebih rendah daripada tingkat depresi pada saat baseline awal, sehingga membuktikan bahwa

[r]

 Pastikan alat dalam status Ready, kemudian tekan tombol (Shutdown) pada layar, kemudian pesan konfirmasi Shut down akan tampil di layar..  Letakkan CELLCLEAN

Meskipun secara spesifik belum ada penelitian yang menguji model hubungan P-O Fit dan work engagement dengan menempatkan gender dan masa kerja sebagai pemoderasi,

Hasil penelitian mendapatkan 56 zona dengan 476 sampel pada zona nilai tanah 2019 serta penelitian ini juga menghasilkan dampak yang diberikan oleh wisata pada tahun 2019 dari

Faktor-faktor pendorong kegiatan alihfungsi lahan sawah di Subak Kerdung terdiri dari rendahnya pendapatan usahatani padi, pemilik lahan bekerja di sektor lain, harga

0HQXUXW 6WRUEDFND GDQ /HKWLQHQ DGD WLJD NRQVHS GDUL PDQDMHPHQ KXEXQJDQ SHODQJJDQ .RQVHS \DQJ SHUWDPD DGDODK SHQFLSWDDQ QLODL SHODQJJDQ \DQJ EHUWXMXDQ WLGDN KDQ\D XQWXN

Skripsi ini untuk mengetahui pengaruh dari media ular tangga PASI, sehingga penulis dapat mengetahui pengaruh dari media ular tangga PASI terhadap motivasi dan