• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORGANISASI BISNIS DALAM ISLAM riyadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ORGANISASI BISNIS DALAM ISLAM riyadi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ORGANISASI BISNIS DALAM ISLAM

Dasar perekonomian dalam islam sesungguhnya mengacu pada pelarangan riba’ dan anjuran untuk berjual beli. kedua istilah tersebut secara jelas dan tegas di sebutkan dalam alqur’an dan hadis nabi saw. Disamping kedua istilah tersebut alqur’an juga banyak menyebutkan tuntunan–tuntunan lain yang bersifat ethical, seperti larangan berbuat gharair, dzalim, bathil, penimbunan, maisir, egois, dan nilai ethical, lainnya yang tidak di tunjukkan dalam kegiatan berekonomi.oleh karena itu agama islam menganjurkan umatnya untuk memikirkan urusan–urusan dunianya karena yang tidak banyak nya ayat–ayat alqur‘an yang mengatur atau menunjukkan secara jenis-jenis muamamallah wajib bagi umat islam di maksudkan wajib bagi umat islam bisa sebebasnya-bebasnya melakukan apa saja dalam urusan keduniawian. ini ditandai dengan ¾ lebih ayat–ayat alqur’an menjelaskan tentang urusan duniawi sementara lebihnya adalah masalah ibadah.Didasari ataupun tidak sesunggunya alqur’an ( ALLAH ) memahami bahwa kehidupan duniawi manusia senantiasa berubah – ubah mengikuti perkembangan zaman, maka jika alqur ‘an menden ifisikan secara rinci jenis dan bentuk perbuatan muamallah barang kali ajaran islam akan terkubur oleh kemajuan budaya manusia.

Adanya kehidupan bervariasi ini sesunggunya mengajarkan umat islam untuk saling memahami, tolong menolong dan hormat - menghormati karena secara naluriah manusia berwatak saling membutuhkan. Si kaya membutuhkan si miskin, si pandai memerlukan si bodoh. Adanya orang maju dan juga karena adanya orang yang lemah .oleh karena itu tolong menolong sesama manusia merupakan sunatulloh yang tidak bisa dihindari .

Islam adalah agama yang mengajurkan umatnya melakukan kerjasama yang terorganisasi dengan baik. Dalam konteks itu, maka prinsip syirkah, yang didalamnya terdapat aktivitas musyarokah dan mundharabah, menjadi prinsip dasarnya. Musyarokah adalah kerjasam dua orang, yang keduanya menyediakan modal atau keahlian yang dibuhtuhkan dalam berusaha. sedangkan Mudharabah adalah satu jenis kerja sama antara dua orang, dimana satu pihak kelebihan moadal dan pihak lain kekurangan. orang yang kelebihan modal ingin agar hartanya tidak stagnan, demikian orang yang kekurangan modal ingin agar bisa bertahan hidup.

(2)

untuk sebuah usaha. Keuntungan yang didapat dari usaha itu di bagi dua berdasarkan nisbah perbandingan yang telah disepakati. Sementara jika terjadi kerugian, modal ditanggung sepenuhnya oleh shahib al-mal dan mudlarib hanya menanggung tenaga, waktu serta kesempatan mendapatkan laba.

ORGANISASI BISNIS DENGAN PRINSIP MUSYARAKAH

Pengertian AL -Musyarakah

Musyarakah adalah kerjasama antara dua Pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing–masing pihak memberikan kontribusi dana ( atau ketrampilan usaha ) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai kesepakatan.

Musyarakah mempunyai dua jenis: musyarakah pemilan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan tercipta karna warisan. wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan dari aset terebut.

Jenis –jenis Musyarakah

Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.Musyarakah akad terbagi menjadi inan, mufawadah, a’ mal, dan mudlarabah dengan penjelasan sebagai berikut :

a) Syirkah al –inan, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama sebagaimana kesepakatan. Akan tetapi porsi masing–masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan harus identik dengan kesepakatan mereka.

(3)

sama sebagai mana kesepakatan .Dengan demikian syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana, tanggung jawab, laba dan kerugian. c) Syirkah al–a’mal adalah kontrak kerjasama antara dua orang seprofesi untuk

menerima perkerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dalam pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama antara dua arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerjasama antara dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam kantor. Jenis musyarakah ini kadang–kadang juga disebut musyarakah abdan atau musyarakah shana’i.

d) Syirkah al-wujuh, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestis yang baik serta ahli dalam berbinis. Mereka membeli barang secara kredit dari perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka membagi keuntungan dan kerugian secara sama jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.

e) Syirkah al–mudharabah, adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dimana terdapat pihak yang menyediakan modal dan ada pula pihak yang menyediakan ketrampilan kerja.

Aplikasinya dalam organisasi bisnis syari’ah, musyarakah meliputi dua bentuk :

a) Pembiayaan proyek Musyarakah, dalam hal ini, biasanya diterapkan untuk pembiyaan proyek di mana nasabah dan bank sama–sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

b) Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang di bolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau mkenjual bagian sahamnya baik secara singkat.

ORGANISASI BISNIS DENGAN PRINSIP MUDHARABAH

(4)

Secara etimologi kata mudharabah berasal dari kata dharb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk di antara kata yang mempunyai banyak arti. Di antaranya memukul; dharaba ahmad, al kalb, berdetak; dharaba al–alqalbu, mengalir, dharaba damuhu, berenang; dharaba fi al–ma‘ ,bergabung; dharaba fi al–amr, menghindar; dharaba al–syai ‘, berjalan; dharaba fi al–ardl‘ dan yang terjadi dalam kata tersebut tampak bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang yang membentuknya. Namun di balik keluwesan kata ini dapat ditarik dalam benang merah yang dapat mempersentasikan keragaman makna yang di timbulkannya, yaitu bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain.

Di dalam alquran kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas. Alquran hanya mengungkapkan musytaq dari kata dharaba sebanyak 58 kali. Diantara jumlah itu terdpat kata yang di jadikan oleh sebagian ulama‘ fiqh sebagai akar kata mudharabah, yaitu kata dharaba fi al-ardl yang artinya berjalan di muka bumi. Bahkan mereka menganggap bahwa yang di maksud berjalan di bumi adalah berpergian kesuatu wilayah untuk sebuah perdangangan.

Sementara dalam hadits, akar kata mudharabah (dharaba) pun banyak disebutkan, tetapi juga mengindikasikan makna yang bermacam–macam. Misalnya, hatta mudhariba alqaum, sehingga memerangi kaum tersebut. Dharaba disini bearti perang atau jihad. kana yaqli fi al-mudharib illa biqodla ain, kata dharaba disimpan tidak menunjukkan arti mudharabahia yang kita kenal sekarang. Bahkan terdapat pula kata mudharabah, yaitu pada hadits yang berbunyi al–ardhlu‘ indi, matsalu mal al– mudharabah shaluha fi al–ardli wa ma lam yashluhish fi ma al mudharabah lam yashluh fi al ardl “ini pun tidak scara tegas dimaksudkan sebagai kerjasama mudharabah yang di jelaskan oleh para jumhur ulama fiqh. kecenderungan makna yang terdapat dalam makna mudharabah tersebut lebih mengarah pada kerja sama dalam hal pertanian atau perkebunan.

(5)

Beberapa peristiwa diatas oleh mereka di jadikan landasan keabsahan mudharabah. Iebih Menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan dan di biarkan oleh nabi NABI SAW merupakan sunnah taqririyah yang dapat menjadi sumber buku islam. Bahkan ada beberapa pendapat mengatakan bahwa pratek mudharabah pun telah di lakukan oleh beliau ketika bermitra dengan khadijah pada masa prakenabian. Namun satu acuan tertulis yang umumnya di jadikan dasar hukum islam yang tidak kalah oleh mereka adalah sebuah hadits yang diriwayatkan ibnu majah, yang mengatakan bahwa terdapat tiga jenis usaha yang mendapatkan barakah, yaitu; menjual dengan kredit, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur terigu dengan gandum untuk kalangan sendiri bukan untuk di jual. Namun ibnu Hazm menolak hal itu, setiap bagian dalam fiqh mempunyai dasar acuan dalm alqur’an Hadits kecil kecuali mudharabah. Kita tidak menemukan dasar hukum apapun dalam hal ini. ’’ Lebih lanjut ia mengatakan bahwa keabsahan mudharabah sebagai dasar hukum lebih mengarah konsensus (ijma’) para ulama yang menilai mudharabah sebagai kerjasama yang mengadung banyak kemashlahatan bagi masyarakat.

Perdebatan mengenai dasar hukum mudharabah senantiasa menjadi wacana yang membutuhkan pencarian yang lebih serius. Namun sebagai bukti yang kuat bagi keautentikan dasar hukum mudharabah adalah kenyataan bahwa mudharabah merupakan kegiatan ekonomi yang paling sering di pratikkan oleh masyarakat oleh masyarakat jahiliyah dimana mata pencahariannya berorientasi pada sektor perdangangan. oleh karena itu pengaruhnya sangat kental pada masa Rasulullah, sehingga sulit di pahami ketidakteribatan kaum muslimin dalam menggunakan jenis usaha ini. Termasuk juga Nabi Saw dan para sahabatnya. Disamping itu watak kerjasama ini mengadung nilai solidaritas yang tinggi yang dapat memberikan kemaslahatanbagi masyarakat.

Kata mudharabah ini beberapa mempunyai sinonim, yaitu muqaradhah qiradh atau mamallah. Menurut para ulama fiqhn perbedaan itu terletak dalam hal kebiasaan penyebutan dari tiap–tiap daerah islam. Masyarakat Irak menggunakannya dengan istilah mudharabah atau kadang kala juga muamalah, masyarakat Islam Madinah atau wilayah Hijaz lainnya menyebutkannya dengan muqaradhah atau qiradh.

(6)

mengacu pada sunnah taqririyah dimana Nabi membiarkanya untuk dipratikkan masyarakat muslim itu.

Dalam fiqh muamallah, denifisi terminlogi bagi mudharabah diungkap secara bermacam–macam oleh beberapa ulama dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.

Sementara madzhab Maliki menamainya sebagai: Penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan dari keuntungannya.

Madzab Syafi’i mendefinisikannya: bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk di jalankan dalam suatu usaha dangang keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.

Sedangkan menurut madzhab Hambali: Penyerahan suatu barang atau jenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntunganya.

Denifisi secara global sesungguhnya dapat di pahami, namun secara terinci definisi tersebut mempunyai kekurangan masing–masing yang masih belum terjelaskan. Denifisi mazdhab Hanafi misalnya, tidak secara detail menjelaskan tentang cara pembagian keuntungan antara kedua orang yang bersyarikat tersebut. Dalam madzhab Maliki penekanan akad kerjasamanya justru tidak nampak jelas, mereka mengatakannya sebagai sebuah pemberian kuasa (tawkil) kepada seorang wakil atau bawahahanya. Seakan–akan mudharabah bukan sebuah kerjasama tetapi sebuah permintaan pertolongan dari satu pihak yang mempunyai modal atau barang untuk dikelola dalam sebuah usaha. Jelas hal ini membawa implikasi yang berbeda, pihak kedua tentu saja bukanlah seorang mitra kerja yang sejajar, tetapi ia adalah seorang agen (wakil) yang mewakili pihak pertama. Dalam hal pembagian keuntungan inipun berbeda dimana seorang mita kerja dalam hal pembagian keuntungan jika usaha yang di kelolanya mendatangkan hasil sementara hal perwakilan (wakalah) keuntungan diberikan sebagai sebuah gaji tetap yang diterima oleh seorang wakil walaupun usaha yang di lakukannya tidak mendatangkan keuntungan.

(7)

Satu hal yang barang kali terlupakan oleh keempat madzhab ini di dalam mendefinisikan mudharabah adalah bahwa kegiantan kerjasama mudharabah merupakan jenis uaha yang tidak secara otomatis mendatangkan hasil. Oleh karena itu penjabaran mengenai untung dan rugi perlu untuk di selipkan sebagai bagian yang integral dari sebuah definisi yang baik. Banyak parang da ulama mengatakan bahwa kerjasama mudharabah terjadi manakala terdapat untung dari sebuah usaha, Sementara ketika tidak mendatangkan untuk tidak disebut sebagai mudharabah.

Oleh karena itu sebagai definisi yang dapat mewakili pengertian mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal atau semaknanyadalam jumlah, jenis karakter tertentu dari seorang pemilik modal (shahib al–mal) kepada pengelola (mundharib) untuk dipergunakan sebagai sebuah usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil maka hasil (laba) tersebut.

Dibagi berdua berdasarkan kesepakatan sebelumnya sementara jika usaha tersebut tidak dengan syarat dengan syarat dan rukun–rujun tertentu.selain menjelaskan wujud mudharabah yang utuh, juga tersirat dimensi filosofis yang melandasinya, yaitu adanya penyatuan antara modal (capital) dan usaha (skill dan entrepreneurship) yang dapat membuat pemodal (shabib al – mal) dan pengusahanya ini lebih mengarah pada aspek solidaritas yang tinggi dari pemilik modal untuk dan membantu para tenaga terampil kurang modal. Karena dalam kehidupan keadaan seperti ini memang tidak bisa terhindarkan.

Beberapa Unsur Mudharabah

Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama antara dua pihak mempunyai beberapa ketentuaan–ketententuan yang harus di penuhi dalam rangka mengikat jalinan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum. Menurut madzab hanafi dalam kaitanya dengan kontrak tersebut unsur yang paling mendasar adalah ijab dan qobul (offer and acceptence), artinya bersuaiannnya kinginan dan maksud dari kedua belah pihak tersebut untuk menjalin ikatan kerjasama. Namun beberapa madzab lain seperti Syafi ’i mengajukan beberapa unsur mudharabah yang tidaka hanya adanya ijab dan qobul saja ,tetapi juga adanya laba dan adanya modal.

(8)

dengan menyebutkan unsur–unsur yang harus ada yang menjadi prasyarat sah transaksi mundharabah. Adapun unsur (rukun) perjanjian mudharabah tersebut adalaha :

1. Ijab dan qobul

pernyataan tersebut kehendak yang berupa ijab dan qobul antara kedua pihak memiliki syarat – syarat yaitu ;

(a) ijab dan qobul itu harus jelas menunjukkan maksud melakukan kegiatan mudharabah, qiradh muqorodhah, muamallah atau semua kata yang semakna dengannya .Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata – kata sepadan lainnya, jika maksud dari penawaran tersebut di pahami. Misalnya Ambil uang ini dan di gunakan untuk usaha dan keuntungan kita bagi dua.

(b) ijab dan qobul harus bertemu , artinya penawaran pihak sampai dan di ketahui oleh pihak kedua. Artinya ijab yang di ucapkan pihak pertama harus di terima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaanya berkerjasama. Ungkapan kesediaan tersebut bisa di ungkapkan dengan kata atau gerakan tubuh ( isyarat ) lain yang menunjukkan kesediaan. seperti misalnya dengan mengucapakan ; “ ya saya terima ”, atau “ saya setuju ” atau dengan isyarat setuju lain seperti menganggukkan kepala , diam atau senyum. Oleh karena itu peristiwa ini harus terjadi dalam satu majlis akad agar terhindar dari kesalah pahaman.

(9)

2. Adanya Dua Pihak ( pihak penyedia dana dana pengusaha ). Para pihak (shahib al – mal ) dan pihak mudharib ).

(a) Cakap bertindak hukum secara syar ’i .artinya ,shahib al –mal memiliki kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memilki kapasitas menjadi pengelola . jadi mudharabah yang di sepakati oleh shahib al –mal yang mempunyai penyakit gila tidaklah syah, namun jika di kuasakan oleh orang lain maka syah .Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud kontrak saja sudah cukup dan syah mudharababahnya.

(b) memiliki wiayah al tawkil waal wikalah (memiliki kewenangan untuk mewakilkan / memberi kuasa dan menerima pemberian kuasa ), karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal tersebut.

3. Adanya modal. Adapun modal di syaratkan:

(a) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan di ketahaui oleh kedua belah pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidak jelasan jumlah .Kepastian dan kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.

(10)

Laila ,beralasan bahwa keduanya di samakan dengan dinar dan dirham .keduanya berbeda sedikit dalam harga hanya berbeda sedikit (tidak fluktuatif ). Dalam hal kaitanya dengan modal ini pula para fuqaha sepakat bahwa sepakarahkant bahwa jika barang yang diserahkan tersebut tidak untuk di –mudharabah –kan tetapi untuk di jadikan sebagai sebuah modal mudharabah dengan cara menjualkannya terlebih dahulu maka hal ini ini di perbolehkan. Menurut Ibnu Hazm karena hal telah banyak disebutkan dalam hadits nabi SAW.

(c) Uang bersifat tunai (bukan utang)

Mengenai keharusan uang dalam bentuk tunai (tidak utang) bentuknya adalah misalnya shahib al –mal memiliki piutang kepada seseorang tertentu. Piutang pada seseorang tersebut kemudian di jadikan modal mudharabah bersama si berutang. Ini tidak d benarkan karena piutang itu sebelum diterima kan oleh siberhutang kepada si berpiutang masih merupakan milik arti berhutang. Jadi apabila ia jalankan dalam suatu usaha berarti ia menjalankan dananya sendiri bukan dana siberhutang. selain itu hal ini bisa membuka pintu kearah perbuatan riba, yaitu mmberi tangguh kepada siberhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan kompensansi siberhutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini para ulama fiqh tidak berbeda pendapat. Perselisihan para fuqaha tersebut terletak pada orang yang menyuruh orang lain untuk menerima hutang orang ketiga, kemudian orang tersebut memutarkannya berdasarkan mudharabah. Imam malik dan para pengikutnya tidak boleh pengikutnya yang tidak membolehkan hal tersebut karena memandang bahwa pada cara tersebut terdapat penambahan kerja dari orang tersebut orang yang bekerja (memutarkan harta). Kerja tambahan tersebut adalah suruhan untuk menerimanya. Alasan ini didasarkan pada aturan pokok mudharabah, maka bathal. Sedang Imam syafi ’i dan Abu Hanifah membolehkanya dengan alasan orang tersebut telah mewbakilkan penerimaan kepada orang lain. Jadi ia tidak menjadikan penerimaan sebagai syarat pemutar utang.

(11)

diserahkan sepuhnya (berangsur - angsur) dikhawatirkan akan terjadinya kerusakan pada modal penundaan yang dapat menganggu waktu mulai berkerjanya dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya secara maksimal. Jumhur fuqaha sepakat akan hal ini, hanya saja sebagian dari madzab Hanafi lebih fleksibel menambahkan apabila pengangsuran kucuran modal tersebut dikehendaki oleh mundharib maka tidak bathal.

4. Adanya usaha ( al-aml ).

Mengenai jenis usaha pengelolaan ini sebagai ulama, khususnya Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dangang (commercial). Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan (ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal (investor). Sementara para pegawainya di gaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat memberikan modalnya kepada pekerja yang akan digunakannya ntuk membeli bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan kemudian dijualnya. Keuntungan ini dapat dibagi di bagi dua antara keduanya. Ini memandang tidak termasuk jenis perdangangan murni yang mana seseorang hanya terlibat dalam pembelian dan penjualan. Dalam menjalankan usaha ini shahib al-mal tidak boleh ikut campur dalam tkni operasional dan manajemen usaha tidak boleh membatasi usaha mundharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya perolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi di lain pihak pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syari’ah secara umum . Dalam usaha itu dijalankan dibawah akad mudharabah terbatas. Maka ia harus memenuhi klausul – klausul yang ditentukan oleh shahib al- mal.

5. Adanya mengenai keuntungan. Mengenai keuntungan disyaratkan bahwa :

(12)

secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidak jelasan perhitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak syah.

(b) Keuntungan untuk masing–masing pihak di tentukan dalam jumlah nominal berarti shahib al-mal telah mematok untung tertentu dari sebuah usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada perbutan riba.

(13)

Kesepakatan dan Implikasi Kontrak Mundharabah

Sebagai sebuah kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan - ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya kegitaan mudharabah tersebut. Hal – hal ini yang harus disepakati tersebut antara lain :

1. Manajemen,

Ketika mundharib telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerjasama mundharabah maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahib al –mal. Pengelolaan usaha tersebut membutuhkan kreativitas dan ketrampilan tertentu yang kadang – kadang hanya ia hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan manajemen, kebebasan mudharib dalam merencanakan, merancang, mengatur, dan mengelola usaha merupakan faktor yang menentukan. Menurut madzab Hanafi, mudharabah itu mempunyai dua macam; mudterharabah muthlaqah (absolut, tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (terikat). Dalam mudharabah muthlaqoh, mundharib mendapatkan kebebasan untuk menset up mudharabah sebagaimana yang ia inginkan. Mundharib bisa membawa pergi modalnya memberikan modalnya, kepihak ketiga atau bahkan untuk modal musyarakah dengan orang lain. Mundharib juga bisa mencampur modal mudharabah dengan modalnya sendiri. Dia bebas menyewa orang atau barang dengan modal itu .Interfensi shahib al- mal dalam mudharabah ini tidak ada. Sebaliknya dalam mudharabah muqayyadah semua keputusan yang mengatur praktek mudharabah ditentukan oleh shahib al- mal. Mundharib tidak bebas mewujudkan keinginannya tetapi dia harus terbatasi oleh aturan–atuaran yang di tetapkan oleh shahib al- mal dalam sebuah kontrak. Sementara menurut Imam malik syafi ’i jika shahib al-mal mengatur mundharib untuk membeli barang tertentu dan kepada seseorang tertentu , maka mudharabah itu bathal Karena hal itu dikhawatirkan upaya pemerolehan keuntungan yang maksimal tidak terpenuhi.

(14)

Satu hal yang harus mendapat kesepakatan antara shahib al-mal dan mundharib adalah lamanya waktu usaha. Ini penting karena tidak semua modal yang diberikan kepada mundharib itu dana mati yang dibutuhkan oleh pemiliknya. Disamping itu penenetuan waktu adalah sebuah cara untuk memacu mudharib bertindak lebih efektif dan terencana. Namun disisi lain penentuan waktu itu bisa membuat mudharib menjadi tertekan dan tidak bebas menjalani usaha mudharabah. Apalagi kerja ekonomi bersifat spekulatif tidak selalu berjalan lancar. Karenanya para fuqaha berselisih pendapat. madzab Maliki dan Syafi’i penentuan waktu itu dapat membathalkan kontrak. Sedangkan menurut madzab Hanafi dan Hambali penentuan waktu tidak syah. Kontrak mudharabah dapat diakhiri oleh satu pihak dengan memberitahukan terlebih dahulu. Ini dimungkinkan terjadi dan para fuqaha sepakat bahwa mudharabah adalah kontrak yang tidak mengikat. Tidak ada perbedaan pndapat mengenai diakhirinya kontrak sebelum mudharib melakukan usaha. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa ketika mundharib melakukan kerja salah satu pihak dalam mengakhirinya. Namun demikian Imam Malik tidak membolehkanya. Ketika mudharabah menjadi bathal, karena suatu alasan tertentu, maka ia berhak menerima upah tertentu atas pekerjaan yang telah ia kerjakan, dan ini termasuk wilayah kontrak mudharabah tetapi wilayah kontrak sewa (ijarah) Oleh karena itu dia harus dibayar atas usahanya.

3. Jaminan (dhilman).

(15)

Namun jaminan menjadi perlu ketika modal yang rusak melampaui batas. Tetapi bagaimana batasan sesuatu dianggap melampaui batas, para ulama pun berbeda pendapat. Menurut imam malik dan Syafi’i, jika shahib al–mal bersikeras terhadap adanya jaminan dari shahib al –mal dan menetapkannya sebagai bagian dari kontrak, maka kontrak menjadi tidak syah.

Ketika sebuah kontrak telah disepakati, imaka kontrak tersebut menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik shahib al–mal atau mundharib, maka kontrak menjadi gugur tidak berlaku lagi. Kesepakatan kontrak mundharabah yang menjadi hukum terebut membawa berbagai implikasi, diantaranya :

1. Mundharib sebagai Amin (orang yang dipercaya).

Seorang mudharib menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan kepadanya. Ini berarti bahwa dia telah diizinkan oleh pemilik modal utuk memiliki modal tersebut. Penyerahan ini bukan suatu jual beli, pinjaman ataupun sewa. Modal yang diserahkan dalam hal ini adalah amanah yang harus dijaga oleh mudharib. Namun pengertian amanah tersebut berpijak pada suatu ketentuan dimana jika modal tersebut rusak ditanganya tanpa ada unsur penyelewengan, maka tidak ada tanggungan baginya. Posisi mudharib sebagai amin mengindikasikan bahwa penyerahan modal dan pengelolaanya sepenuhnya tergangantung pada mundharib. sebab dalam pengelolaanya modal tersebut akan bercampur dengan modal dan barang – barang lain milik mundharib. Keadaan seperti ini tentu saja sulit dideteksi. Oleh karena itu dengan diposisikannya mudharib sebagai amin akan dapat memunculkan kesadaran dan sikap kehati–hatian pengelola dalam mengolah usahanya utamanya memisahkan antara modal prfibadi dan orang lain dalam perhitungan keuntungannya.

2. Mudharib sebagai wakil.

(16)

dlakukan oleh Madzab Hanafi. Mundharib sebagai wakil menjeakan bahwa mundharib merupakan tangan kanan dari shahib al- mal dalam kegiatan bisnis Implikasinya sebagai seorang wakil tentu dia tidak menanggung apapun dari. modal ketika terjadi kerugian. Namun menurut mayoritas fuqaha seorang akil tetap akan mendapat uapah kerjanya.

3. Mundharib sebagai Mitra dalam Laba.

Mundharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang dilakukan, sebab mundharabah sendiri adalah pertemanan dalam laba. Sementara seorang agen atau wakil tidak mendapatkan laba ketika terjadi keuntungan dalam usahanya, karena dia hanya teman dalam kaitannya dengan kontrak. Pembagian laba ini telah ditentukan pada awal kontrak. Dengan menjadikannya mundharib sebagai mitra dalam laba maka besar atau kecilnya laba akan sangat tergantung pada ketrampilan mundharib dalam menjalankan usahanya.

Demikian pendapat ilmu fiqh tentang mundharabah. Pembahasan tentang mundharabah yang diulas dalam bab ini hanya memaparkan teori–teori fiqh murni yang menjadi dapat dijadikan pijakan pengembangan organisasi bisnis. Bentuk praktis, organisasi yang beroperasi dengan konsep mundharabah salah satunya adalah bank syari ’ah.

Referensi

Dokumen terkait

Sedikit berbeda dengan Mudharabah, akad ini dilakukan oleh dua pemilik modal atau lebih yang menghimpun modalnya untuk proyek atau usaha tertentu. Nantinya, pihak

menceritakan tentang seorang wanita muda yang lugu bernama Andrea yang menjadi asisten dari Miranda Priestly, yang merupakan editor model sebuah majalah. Wanita

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dikatakan Goldman (dalam Glassgold, 2001) pada akhirnya akan lebih bijak melihat filosofi ateisme dan para penganutnya dalam perspektif

Prediksi perolehan genetik dihitung berdasarkan data pengukuran umur 24 bulan setelah tanam dengan variabel berupa tinggi tanaman, diameter setinggi dada (dbh) dan kelurusan

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Penggunaan Biogas di Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten

Panjang pendeknya gerekan pada suatu ruas diduga terjadi karena karakteristik dari batang tanaman tebu, walaupun hasil yang didapat menunjukkan tidak berbeda nyata namun terlihat

3.3.2 Mengenal huruf vokal dalam suatu kata yang terkait dengan aku dan teman baru 4.3.1 Melafalkan huruf vokal dan konsonan dalam kata bahasa Indonesia 4.3.2 Melafalkan huruf

Saya akan mengucapkan salam sebelum memasuki ruangan atasan dan menghormati atasan maka dengan ini saya sudah menerapkan nilai-nilai ASN (Nasionalisme :