• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi 21b Rancangan Penelitian Eksperim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Materi 21b Rancangan Penelitian Eksperim"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Ra n ca n ga n P e n e litia n Ep id e m io lo gi II: S tu d i Eks p e rim e n ta l

Ra n d o m ize d Co n tro lle d Clin ica l Tria l ( U ji Klin ik) )

 

P e n d a h u lu a n

Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan

penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya penyakit. Dalam prinsip dasar ini

tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko

yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara

objektif kemanfaatan dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai

metodologi uji klinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai

kemanfaatan klinik suatu obat perlakuan (intervensi) terapetik tertentu dengan

memperhatikan faktor-faktor yang dapat memberi pengaruh yang tidak dikehendaki

(adv erse effect) baik individual maupun populasi.

Dalam topik ini akan dibahas latar belakang, tujuan, tahap-tahap uji klinik dan

komponen-komponen yang tercakup dalam penelitian/uji klinik. Dengan menguasai

materi topik ini, peserta akan memeroleh informasi yang bermanfaat untuk menilai

secara kritis kemanfaatan dan keamanan suatu obat baru.

Dalam praktek sehari-hari seorang dokter akan selalu dihadapkan pada keadaan di

mana harus memilih dan menentukan alternatif terbaik bagi pasien. Keputusan yang

diambil tidak saja didasarkan atas pertimbangan klinis saja tetapi juga berbagai faktor

yang akan mempengaruhi proses terapetik. Jika pengobatan menjadi salah satu atau

bahkan satu-satunya alternatif terapi yang diputuskan, maka diperlukan pertimbangan

yang seksama untuk memilih obat yang sesuai yang memberi kemanfaatan maksimal

dan risiko efek samping yang sekecil-kecilnya. Untuk menelaah kemanfaatan suatu obat

diperlukan dasar-dasar mengenai uji klinik, yaitu suatu metode yang digunakan untuk

menilai kemanfaatan suatu hasil pengobatan atau bentuk intervensi lainnya. Dengan

kata lain, uji klinik merupakan suatu metode pengujian yang dilakukan untuk melihat

(2)

kemanfaatan suatu obat atau intervensi dibandingkan dengan obat standard atau

intervensi lain yang sudah terbukti kemanfaatannya secara ilmiah.

Informasi mengenai uji klinik ini sangat diperlukan, mengingat dalam praktek

sehari-hari seorang dokter akan selalu dihadapkan pada bermacam-macam pilihan obat mulai

dari yang sudah terbukti kemanfaatannya hingga obat-obat baru yang kadang indikasi

pemakaian dan efek farmakologiknyapun masih perlu dipertanyakan. Sementara

informasi yang datang dari pabrik obat umumnya lebih banyak bersifat sepihak (dalam

arti lebih mempertimbangkan segi pemasaran dan bisnis), seorang praktisi medik

dituntut untuk dapat menilai suatu obat baru secara objektif. Dengan mengetahui dan

memahami metodologi uji klinik, kita akan lebih bijaksana dalam menilai kemanfaatan

suatu obat baru secara ilmiah/objektif dengan mempertimbangkan segi manfaat dan

risiko serta lebih mengutamakan kepentingan pasien.

II. TAH AP -TAH AP U J I KLIN IK

Sebelum suatu obat dapat digunakan secara luas perlu dilakukan pengujian melalui

berbagai tahap. Tahap-tahap uji klinik yang harus dilalui oleh setiap obat atau intervensi

adalah:

1. U ji K li n ik Fa s e I

Pada uji klinik fase I untuk pertama kalinya obat yang diujikan diberikan pada

manusia (sukarelawan sehat), baik untuk melihat efek farmakologik maupun efek

samping. Secara singkat tujuan uji klinik pada fase ini adalah:

¾ melihat kemungkinan adanya efek samping dan toleransi subjek terhadap obat yang diujikan

¾ menilai hubungan dosis dan efek obat

¾ melihat sifat kinetika obat yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.

Dengan melakukan uji klinik fase I ini kita akan memperoleh informasi mengenai

dosis, frekuensi, cara dan berapa lama suatu obat harus diberikan pada pasien

agar diperoleh efek terapetik yang optimal dengan risiko efek samping yang

sekecil-kecilnya. Informasi yang diperoleh dari uji klinik fase I ini diperlukan

sebagai dasar untuk melakukan uji klinik fase berikutnya (fase II).

(3)

2 . U ji k lin i k fa s e II

Bertujuan untuk m elihat kem un gkin an efek terapetik dari obat yang diujikan.

Pada tahap ini uji klinik dilakukan secara terbuka tanpa kontrol (un con trolled

trial). Mengingat subjek yang digunakan terbatas, hasil dan kesimpulan yang

diperoleh belum dapat digunakan sebagai bukti adanya kemanfaatan klinik obat.

3 . U ji k lin i k fa s e III

Dalam tahap ini obat diuji atas dasar prinsip-prinsip metodologi ilmiah yang

ketat. Mengingat hasil yang diperoleh dari uji klinik fase III ini harus m em beri

kesim pulan defin itif m en gen ai ada/ tidakn y a kem an faatan klin ik obat, maka

diperlukan metode pembandingan yang terkontrol (controlled clin ical trial). Di

sini obat yang diuji dibandingkan dengan obat standard yang sudah terbukti

kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau plasebo (kontrol negatif).

4 . U ji k lin i k fa s e IV ( p o s t m a r k e t i n g s u r v e illa n c e )

Uji tahap ini dilakukan beberapa saat setelah obat dipasarkan/digunakan secara

luas di masyarakat. Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya efek samping

yang jarang dan serius (rare an d serious adv erse effects) pada populasi serta efek

samping lain yang tidak terdeteksi pada uji klinik fase I, II dan III.

III. KOMP ON EN -KOMP ON EN U J I KLIN IK

Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja didasarkan pada hasil yang

diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu mengingat faktor-faktor lain yang secara

objektif dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji klinik. Idealnya, suatu uji klinik

hendaknya mencakup beberapa komponen berikut,

1. Seleksi/pemilihan subjek

2. Rancangan

3. Perlakuan pengobatan yang diteliti dan pembandingnya

4. Pengacakan perlakuan

5. Besar sampel

6. Penyamaran (blin ding)

7. Penilaian respons

8. Analisis data

9. Protokol uji klinik

10. Etika uji klinik

(4)

1. S e le k s i / p e m ilih a n s u b je k

Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria pemilihan pasien,

yakni:

a. Krite ria p e m a s u ka n ( in c lu s i o n c r it e r ia), yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk dapat diikutsertakan dalam

penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik klinis (termasuk

gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris, derajat penyakit

(mis. Ringan, sedang atau berat), asal pasien (hospital atau com m un ity

-based), umur dan jenis kelamin

b. Krite ria p e n ge cu a lia n ( e xc lu s i o n c r i t e r i a ) , merupakan kriteria yang tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek-subjek tertentu

dalam penelitian. Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagain

besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek

mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding

manfaat yang didapat. Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi

terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan

dalam penelitian.

Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria diagnostik yang

dipilih benar-benar merupakan indikasi utama pamakaian obat yang diujikan.

2 . R a n c a n g a n u ji k lin i k

Untuk memperoleh hasil yang optimal dari suatu uji klinik perlu disusun

rancangan (design) penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan dan kepentingan pasien.

Rancangan uji klinik di sini dimaksudkan untuk uji klinik fase III, yang secara

garis besar m em ban din gkan dua atau lebih perlak uan / pen gobatan untuk

melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru dengan

menggunakan satu (atau lebih) parameter pengukuran. Dua rancangan uji klinik

yang baku dan umum digunakan, yakni ran can gan paralel/ ran can gan an tar

subjek (R andom ized Con trolled Trial/ R CT-Parallel Design) dan ran can gan

silan g/ ran can gan sam a subjek (R CT-cross-ov er design). Berikut dijelaskan

secara ringkas kedua jenis rancangan tersebut.

(5)

1. Ra n ca n ga n p a ra le l/ ra n ca n ga n a n ta r s u b je k ( RCT-p a ra lle l d e s ign )

Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang dilibatkan

dalam penelitian dibagi ke dalam dua atau lebih kelompok pengobatan. Jumlah

subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan harus seimbang atau sama.

Masing-masing kelompok akan memperoleh pengobatan/perlakuan yang

berbeda, sesuai dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil

pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan (Gambar 1)

Gambar 1 Rancangan Paralel

2 . Ra n ca n ga n s ila n g/ ra n ca n ga n s a m a s u b je k ( RCT-cro s s -o ve r d e s ign )

Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk

pengobatan/perlakuan secara selang-seling yang ditentukan secara acak. Untuk

menghindari kemungkinan pengaruh obat/perlakuan yang satu dengan yang

lainnya, setiap subjek akan memperoleh periode bebas pengobatan (w ashen -out

period) (Gambar 2). Rancangan ini hanya dapat dilakukan untuk

penyakit-penyakit yang bersifat kronik dan stabil, seperti missalnya rematoid artritis dan

hipertensi.

Gambar 2 Rancangan Cross-over

pasien

Memenuhi

kriteria

pengacakan

Pengobatan A

Pengobatan B

Memenuhi

kriteria

P E N G A C A K A N

Obat A

Obat B

W

A

S

H

E

D

O

U

T

Obat B

Obat A

Pasien

(6)

3 . J e n is p e rla ku a n a ta u p e n go ba ta n p e m ba n d in gn ya

Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya harus

didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan meliputi jenis obat

dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan, waktu dan cara pemberian

serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan

uji klinik dan keberhasilan pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi

teknis yang berkaitan dengan ketaatan pasien (patien ts com plian ce) serta

ketentuan-ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai contoh

disini adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari 4

kali/hari) maka kemungkinan ketaatan pasien juga semakin berkurang.

Penjelasan lain mengenai obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh diminum

selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus dijelaskan, apakah

pembanding positif (obat standard yang telah terbukti secara ilmiah

kemanfaatannya) atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah

obat, dalam arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak

dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal dan serius.

Yang perlu di garisbawahi di sini adalah bahwa pembanding positif hendaknya

merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dari indikasi yang dimaksud.

Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji diindikasikan untuk mengobati tifus

abdominalis, maka pembandingnya (kontrol positif) adalah khloramfenikol (drug

of choice untuk tifus).

4 . P e n ga ca ka n ( ra n d o m is a s i) p e rla ku a n

Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam uji klinik

terkendali (random ized-controlled trial-R CT), dengan tujuan utama

menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum uji klinik maka, ¾ setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang sama dalam

mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain setiap subjek

mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat uji atau

pembandingnya.

(7)

¾ Subjek-subjek yang memenuhi kriteria pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap kelompok perlakuan, di mana ciri-ciri subjek dalam satu

kelompok perlakuan, di mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok

praktis seimbang.

Dengan adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian

kemanfaatan obat uji dan pembandingnya dapat dijamin seobjektif mungkin.

5 . B e s a r s a m p e l

Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam uji klinik

adalah besar sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam uji klinik.

Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu pertimbangan dalam

penentuan jumlah sampel.

1. Derajat kepekaan uji klinik

Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat yang diuji

tidak begitu besar, maka diperlukan jumlah sampel yang besra.

2. Keragaman hasil

Makin kecil keragaman hasul uji antar individu dalam kelompok yang sama,

maka makin sedikit jumlah subjek yang diperlukan,

3. Derajat kebermaknaan statistik

Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik, maka

makin besar pula jumlah subjek yang diperlukan.

Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain, apabila kita ingin

membandingkan 2 jenis obat, A dan B di mana diperkirakan bahwa prosentase

kesembuhan setelah pemberian obat A adalah 90%, sementara prosentase

kesembuhan pada pemberian obat B 70%. Dengan menentukan (kesalahan tipe I)

dan (kesalahan tipe II), maka digunakan cara penghitungan bb,

Di mana,

N = jumlah sampel per perlakuan

P1 = prosentase kesembuhan yang diharapkan dari perlakuan 1 yakni 95%

P2 = prosentase kesembuhan yang diharapkan dari perlakuan 2 yakni 90%

= kesalahan tipe I, misalnya 0,05

= kesalahan tipe II, misalnya 0,1

)

,

(

f

x

)

P

-(P

)

P

-(100

x

P

)

P

-(100

x

P

group)

(per

n

2

2 1 2 2 1 1

β

α

+

=

(8)

f ( ) = 10,5 (dapat dilihat pada tabel berikut)

Kesalahan Tipe I

Kesalahan tipe II

0,05 0,1 0,2 0,5

0,01 0,02 0,05 0,1 17,8 15,8 13,0 10,8 14,9 13,0 10,5 8,6 11,7 10,0 7,9 6,2 6,6 5,4 3,8 2,7

Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah,

pasien

578

5

,

10

)

5

(

10

90

5

95

5

,

10

90)

-(95

90)

-(100

90

95)

-(100

x

95

group)

(per

n

2 2

=

+

=

+

=

x

x

x

x

Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156 atau dibulatkan menjadi

1200

6 . Pe n ya m a ra n / p e m b u ta a n ( b li n d in g )

Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan bentuk terapi

yang diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien dan/atau pemeriksa tidak

mengetahui yang mana obat yang diuji dan pembandingnya dibuat sama. Tujuan

utama penyamaran ini adalah untuk menghindari ‘bias’ (pracon don g) pada

penilaian respons terhadap obat yang yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan

secara:

¾ Sin gle blin d, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien.

¾ Double blin d, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak diberitahu obat yang diuji maupun pembandingnya.

¾ Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang melakukan analisis tidak diberitahu identitas obat yang diuji dan pembandingnya

(9)

Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada kontrol

terhadap pelaksanaan uji klinik. Kesehatan dan keselamatan pasien tetap dipantau

sepenuhnya oleh penanggung jawab medik, sehingga sewaktu-waktu terjadi

hal-hal yang tidak diharapkan (adv erse effect) dapat segera dilakukan penanganan

secara medik.

7. P e n ila ia n re s p o n s

Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus bersifat

objektif, ak urat dan kon sisten. Oleh sebab itu respons yang hendak diukur harus

didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh jika yang diuji obat antihipertensi, maka

penurunan tekanan darah hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur yang

sama, misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh

pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama pula.

Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai respons terapetik

adalah:

1. Penilaian awal (baselin e assessm en t) sebelum perlakuan.

Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya dicatat secara seksama

berdasarkan parameter-parameter yang telah disepakati. Sebagai contoh adalah

tekanan darah, yang hendaknya telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.

2. Kriteria-kriteria utama respons pasien

Di sini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang harus dinilai.

Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria utama penilaian

adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang atau gejala lain sebagai

manifestasi demam, dan sebagainya.

3. Kriteria tambahan

Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan, tetapi

juga menilai segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu diperlukan kriteria

tambahan. Dengan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat

menilai apakah obat yang diuji di samping memberi kemanfaatan klinis yang

besar juga terjamin keamanannya. Kriteria tambahan ini umumnya berupa efek

(10)

samping, mulai derajat ringan sampai berat, baik yang mengancam kehidupan

(life threaten ing) maupun tidak.

4. Pemantauan pasien

Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik (secara

umum) akan sangat ditentukan oleh ketaatan pasien, maka faktor-faktor yang

mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan serta dalam penelitian

hendaknya dapat dikontrol sebaik mungkin.

8 . An a lis is d a n in te rp re ta s i d a ta

Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung pada metoda

statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika kriteria untuk penilaian hasil

diekspresikan dalam bentuk “ya” atau “tidak” (misalnya sembuh-tidak sembuh;

hidup-mati; berhasil-gagal) maka salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat

(Chi-square). Untuk menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (m ean) antara

2 kelompok uji, maka digunakan uji-t (studen t t-test). Metoda statistika yang akan

digunakan untuk analisis data uji klinik harus sudah disiapkan saat pengembangan

protokol (protocol dev elopm ent), untuk menghindari ketidaktepatan uji statistika

dan interpretasi hasil.

Satu hal yang perlu menjadi pertimbangan dalam penilaian terhadap hasil uji klinik

adalah apakah kebermaknaan statistik yang diperoleh dapat juga diartikan sebagai

bermakna secara klinik? Sebagai contoh: suatu uji klinik membandingkan

kemanfaatan klinik obat antihipertensi A dan B. Diperoleh hasil bahwa obat A

menyebabkan penurunan tekanan sistolik rata-rata sebesar 5 mmHg, sedang obat B

menurunan rata-ratanya 10 mmHg. Secara statistik, keduanya berbeda bermakna.

Tetapi jika dilihat bahwa tekanan sistolik rata-rata pasien sebelum uji adalah 180

mmHg, apakah perbedaan ini juga bermakna secara klinik?

Hal ini hendaknya diinterpretasikan secara hati-hati, dengan melihat antara lain

distribusi ciri-ciri pasien pada kedua kelompok (sebanding atau tidak),

perbandingan jumlah subjek yang mengalami efek samping, kemungkinan bias pada

penilaian respons dan sebagainya.

(11)

9 . Pro to ko l u ji klin ik

Protokol uji klinik diperlukan sebagai,

¾ Petunjuk pelaksanaan uji klinik (operation s m an ual), yang mencakup penjelasan mengenai prosedur dan tatalaksana penelitian hingga cara penilaian

hasil serta analisis data.

¾ Rancangan ilmiah (scientific design), yang terutama mencakup latar belakang, tujuan khusus, kepentingan uji klinik hingga rancangan uji dan dasar ilmiah

penggunaan rancangan yang bersangkutan.

Kerangka protokol uji klinik idealnya mencakup hal-hal berikut:

1. Latar belakang dan tujuan umum

2. Tujuan khusus

3. Kriteria pemilihan pasien

4. Prosedur dan tatalaksana perlakuan

5. Kriteria penilaian respons

6. Rancangan uji

7. Pencatatan/pendaftaran dan randomisasi subjek

8. Persetujuan tertulis dari pasien (w ritten in form ed-con sen t)

9. Besar sampel yang diperlukan

10. Pemantauan pelaksanaan uji klinik

11. Formulir pencatatan dan pengelolaan data

12. Penyimpangan protokol

13. Rencana analisis statistika

14. Administrasi

10 . Etika u ji klin ik

Setiap uji klinik perlu memegang prinsip-prinsip dasar etika penelitian yang

secara garis besar menjamin bahwa segi kesehatan dan keselamatan pasien akan

menjadi pertimbangan dan perhatian utama penelitian. Dengan kata lain, tujuan

uji klinik lebih diutamakan bagi kepentingan pasien daripada sekedar uji coba

obat.

(12)

Magister Manajemen Rumahsakit

Fakultas Kedokteran UGM

12

Etika uji klinik antara lain mencakup hal-hal berikut:

¾ Protokol uji klinik yang diusulkan telah mendapat ijin kelaikan etik (ethical clearan ce) dari komisi etik penelitian biomedik pada manusia di institusi

setempat.

¾ Menjamin kebebasan pasien untuk ikut serta secara sukarela atau menolak atau berhenti sewaktu-waktu dari penelitian.

¾ Menjamin kesehatan dan keselamatan pasien sejak awal, selama dan sesudah penelitian.

¾ Keikutsertaan pasien dalam uji klinik harus dinyatakan secara tertulis (w ritten -in form ed con sen t).

¾ Menjamin kerahasiaan identitas dan segala informasi yang diperoleh dari pasien.

IV.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buning JE and Hennekens CH. Methodology of Intervention Trials in

Individuals. In: R Detels, WW Holand, J McEwen, GS Omenn. Oxford Text Book

of Public Health. 3rd Ed Volume 2. New York, Oxford University Press,

1997;pp:585-595

2. Duncan RA. Controlling Use of Antimicrobial Agents. In: LA Herwladt and MD

Decker (Eds). A Practical Handbook for Hospital Epidemiologist, Thorofare (NJ),

Slack, 1998;pp:59-78

3. Fisher LD. Advance in Clinical Trials in the Twentieth Century. Annu Rev Public

Health, 1999;20:109-124

4. Saphiro S. Randomizzed Controlled Clinical Trials in Health Service Research. In:

HK Amenian and S Saphiro. Epidemiology and Health Services. New York (NY),

Gambar

Gambar 1 Rancangan Paralel

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga Pemohon sebagai warga negara sangat dirugikan karena tidak berhak lagi mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

Uji Beda Skor Gejala Klinik antara Sebelum dan Minggu VIII Sesudah Perlakuan pada Kelompok

Uji homogenitas dilakukan untuk memperoleh asumsi bahwa sampel penelitian berangkat dari kondisi yang sama atau homogen. Uji homogenitas variansi sangat diperlukan sebelum

Sistem pendaftaran yang berjalan selama ini, yaitu pasien datang ke klinik untuk mendaftar, jika pasien tersebut belum pernah berobat di klinik, maka sebelum mendapatkan

Pengobatan rasional yaitu mensyaratkan bahwa pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinik, dosis yang sesuai, dalam periode waktu yang memadahi, dan

a) Uji (Validitas dan Reliabilitas) alat ukur, dengan menguji cobakan berupa pengisian skala burnout belajar kepada subjek lain, yang memiliki kriteria subjek yang sama

Cara pengumpulan data : 1 Mengamati tingkat pemahaman pasien rawat jalan sebelum adanya poster bergambar alur pelayanan; 2 Setelah diketahui tingkat pemahaman pasien rawat jalan, maka

Dokumen ini berisi laporan kasus dari seorang pasien yang telah mendapatkan pengobatan di Klinik Dokter Keluarga FK