• Tidak ada hasil yang ditemukan

Depresi Pada Post Infark Miokardium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Depresi Pada Post Infark Miokardium"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM

Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Billy Siahaan Divisi Psikosomatis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK – USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan / RS PIRNGADI

1. Pendahuluan

Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang dikenali dan mematikan. Selama dua dekade terakhir , peneliti menemukan bahwa tidak hanya depresi lebih sering terjadi pada pasien kardiak dibandingkan populasi umum, tetapi depresi juga merupakan faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas dari pasien dengan gangguan kardiovaskular secara independen terhadap faktor resiko tradisional kardiak. Hubungan antara depresi dan morbiditas kardiak tampaknya melibatkan keduanya efek fisiologi dan perilaku dari orang dengan depresi.1

Lebih kurang 65 % pasien dengan infark miokard akut ( IMA) melaporkan pengalaman gejala depresi . Kebanyakan depresi terjadi pada 15 – 22 % dari pasien – pasien ini. Depresi merupakan faktor resiko independen terhadap perkembangan dan mortalitas sehubungan dengan penyakit kardiovaskular dalam keadaan lain pada orang sehat . Orang yang mengalami depresi dan yang memiliki penyakit kardiovaskular sebelumnya memiliki resiko kematian 3.5 kali lebih besar dibandingkan pasien yang tidak depresi dan memiliki penyakit kardiovaskular .2

Meskipun begitu tampaknya gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati pada pasien – pasien dengan penyakit kardiovaskular. Diperkirakan bahwa hanya 25 % atau kurang dari pasien- - pasien kardiovaskular dengan depresi mayor didiagnosa dengan depresi, dan hanya sekitar 50 % dari pasien – pasien ini mendapatkan pengobatan untuk depresi.3 Untuk itu tulisan ini mencoba memberikan pengenalan terutama mengenai pendekatan diagnostik serta penanganan depresi pada pasien pasien dengan kejadian infark miokardium sebelumnya.

2. Prevalensi

(2)

angina tidak stabil atau infark miokardium mengalami gejala depresi klinis yang signifikan . Lebih jauh , 15 -20 % pasien – pasien dengan infark miokardium memiliki kriteria gangguan depresi mayor ( MDD) dimana nilai rerata MDD ini mencapai 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum dan hal ini sama seperti yang terjadi pada pasien – pasien dengan gagal ginjal kronis dan kanker.4 Sementara itu dari literatur keilmuwan mengatakan bahwa persentase berkisar 14 – 47 % pasien – pasien dengan penyakit jantung iskemik menderita gejala depresi , dimana populasi umum berkisar 4 – 7 %.5

3. Faktor Resiko

Terdapat beberapa inkonsistensi di literatur , dimana beberapa faktor resiko untuk terjadinya depresi pada pasien – pasien kardiak. Kebanyakan studi menemukan pasien dengan usia muda, wanita , dan pasien dengan riwayat depresi sebelumnya tampak lebih memungkinkan memiliki depresi dalam konteks penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan sindrom koroner akut ( ACS) , sebagai tambahan faktor sebelumnya diantaranya isolasi sosial dan dalam beberapa kasus adanya komorbid diabetes juga meningkatkan resiko depresi. Pada pasien dengan coronary arterial bypass graft (CABG) , depresi pre – CABG diprediksi oleh gender wanita, usia muda , tinggal sendiri , dan edukasi yang kurang dan depresi post – CABG tampaknya menjadi prediktor terbaik untuk terjadinya gejala depresi.6,7 4. Hubungan Depresi dan infark miokardium

Hubungan antara depresi dan infark miokardium telah diketahui, tetapi mekanisme yang menjelaskan kejadian depresi setelah kejadian infark miokardium masih belum jelas. Reaksi psikologis pasien setelah kejadian infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya post miokardial infark depresi (PMID). Pasien dengan pemikiran repetitif mengenai aspek negatif dari pengalaman IMA memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka dengan pemikiran positif. Telah diketahui bahwa kerusakan neuron membawa pada gejala depresi dan diperlihatkan bahwa pada IMA protein S100B, penanda dari kerusakan cerebral , meningkat setelah kejadian IMA yang mensugestikan bahwa IMA menyebabkan kerusakan cerebral. Pengeluran sitokin – sitokin inflamasi seperti Tumor Necrosis factor – alfa ( TNF

(3)

miokard pada tikus berhubungan dengan peningkatan protein apoptosis dan mengindikasikan kerentanan untuk terjadinya kematian neuron pada korteks prefrontal dan hipotalamus.8

Gambar 1. Infark miokardium menginduksi peningkatan sitokin proinflamasi di sirkulasi dan sistem limbik.9

Beberapa mekanisme lain yang juga sempat dikemukakan diantaranya mekanisme hipotalamus pituitary axis , dan neurotropik faktor tampaknya juga berperan dalam kejadian depresi pada pasien – pasien dengan infark miokardium.9

5. Proses Pro Inflamasi dan Infark Miokardium

(4)

terjadinya reaksi inflamasi yang berhubungan dengan influx signifikan dari neutrophil pada miokardial iskemik dan akhirnya akan diganti oleh makrofag. Setelah periode iskemia yang lebih lama, hampir seluruh sel memperlihatkan daerah iskemi akan mati yang akan menyebabkan gagal jantung jika kerusakan miokardial meluas.MI akut berhubungan dengan tingginya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF –α , IL-1β , IL-6 dan IL-6 dimana nantinya sitokin –sitokin ini berperan dalam gejala – gejala depresi.10

6. Depresi post infark miokardium dan apoptosis

Otak post mortem pada pasien depresi menunjukkan fragmentasi DNA dan apoptosis neuronal , mensugestikan peningkatan kerentanan neuronal pada depresi. Hilangnya neuron dan penurunan neurogenesis juga telah diobservasi pada model hewan dengan gangguan mood. Penurunan volume hippocampus , amygdala dan korteks prefrontal merupakan salah satu tanda neuropatologi yang dideskripsikan pada depresi dimana apoptosis memainkan peranan . Kematian sel neuronal mungkin terjadi via 2 mekanisme : 1. Bentuk akut , atau nekrosis yang cepat dan 2. Melalui apoptosis.

Sel – sel apoptosis berkarakteristik dengan reduksi volume , pengkerutan sitoplasmik, fragmentasi DNA , pembulatan sel. Sel apoptotik pada akhirnya akan pecah kedalam membran yang terdiri dari badan apoptotik , dimana dapat difagositik oleh sel fagosit.10

7. Apoptosis pada sistem limbik setelah infark miokardium

Apoptosis telah diobservasi pada sistem limbic setelah infark miokardium. Dimana apoptosis sel didapatkan terutama di daerah amyglada yang ditandai dengan peningkatan caspase -3 , suatu efektor yang berhubungan dengan regulasi protein – protein inhibitor apoptosis. Setelah 3 hari post MI, caspase – 3 dan 8 teraktivasi pada hippocampus dan regio amyglyda. 10

8. Sitokin , depresi dan Post Infark Miokardium

(5)

membantu meregulasi homeostasis dan mediasi inflamasi. Sitokin berikatan dengan reseptor pada konsentrasi pikomolar sampai nanomolar untuk mengaktifasi dan memodulasi fungsi selular dan jaringan. Reseptor sitokin memiliki struktur berbeda pada sistem limbic. Sebagai contoh, reseptor IL-1 ditemukan di hipotalamus dan hipokampus; IL-6 berlokasi di hipokampus , hipotalamus , girus dentate dan korteks piriform ; TNF berlokasi di hipokampis, kortex , amyglada , ganglia basalis dan mengekspresi oligodendrocytes.10

Pada tikus , sitokin proinflamasi menginduksi perilaku sickness menyangkut aspek depresi seperti penurunan nafsu makan , penurunan berat badan , fatik , hilangnya libido , gangguan tidur dan penurunan kontak sosial. Pada manusia pemberian langsung sitokin proinflamasi seperti TNF – alfa , INF – gamma , IL-1β , membawa pada gejala depresi seperti fatik , letargi , hilangnya nafsu makan , retardasi psikomotor dan gangguan tidur. Aksi potensial lain dari sitokin proinflamasi adalah aksi dari indoleamine 2,3-dioxygenase ( IDO) ; suatu enzim yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi ( IL-1 , IFN - ɤ , TNF –α) dan terkait dengan katabolisme triptofan , suatu precursor serotonin, sehingga menurunkan sintesis dan ketersediaan serotonin diotak.10

9. Mekanisme terkait axis hipotalamus – pituitari – adrenal

Regulasi Hipotalamus – pituitary adrenal (HPA) axis memiliki peranan mayor dalam homeostasis metabolik dan overaktifasi oleh stress terkait dengan efek yang merusak pada otak. Disregulasi axis HPA merupakan bagian dari patofisiologi depresi. Deskripsi klasik axis HPA menyangkut 3 komponen utama :

1. Hipotalamus , yang mengsekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) pada situasi stres 2. Kelenjar pituitary yang bereaksi pada CRH melalui produksi growth hormone , prolactin dan ACTH

3. Kelenjar adrenal yang bereaksi pada ACTH melalui produksi dan pelepasan glukokortikoid, terutama kortisol pada manusia dan kortikosteron, epinefrin dan norepinefrin.

(6)

patofisologi depresi. Aktifasi reseptor glukokortikoid oleh agonis dexametason menginduksi apoptosis pada neuron, sedangkan aktifasi reseptor mineralokortikoid akan cenderung menginduksi pertahanan neuronal. Hipotesis yang menjelaskan efek antidepresan pada HPA bahwa pengobatan dapat meningkatkan ekspresi dan fungsi reseptor glukokortikoid dan mempromosikan translokasi nuklear. Sedangkan pada reseptor mineralokortikoid tidak berpengaruh. Pemberian SSRI akan menyebabkan peningkatan mRNA pada reseptor glukokortikoid pada berbagai jaringan dan neuron. Depresi terkait dengan peningkatan sekresi IL-1β, TNF –α dan IFN –α. Hiperaktifitas axis HPA akan sejalan dengan fenomena ini dan selanjutnya sitokin – sitokin ini akan mengaktifasi axis HPA.10

10. Pendekatan Diagnostik

Meskipun tersedia pengobatan yang efektif dan aman untuk depresi pada pasien – pasien kardiak, depresi masih sering tidak dikenali dan diterapi . Satu studi pasien – pasien dengan post infark miokard, kurang dari 15 % pasien depresi yang diidentifikasi akurat dan hanya 11 % mendapatkan pengobatan antidepresan. Oleh karena peningkatan morbiditas dan mortalitas sehubungan dengan depresi maka menjadi penting bagi klinisi untuk secara konsisten mengidentifikasi depresi pada pasien- pasien dengan IMA.11

11. Penyaringan

Penyaringan rutin pada pasien – pasien kardiak terhadap depresi menjadi salah satu cara yang potensial memperbaiki deteksi depresi pada populasi ini. American Heart Association ( AHA) merekomendasikan penyaringan menggunakan 2 dan 9 item Patient Health Questionnaires ( PHQ -2 dan PHQ 9 ). Dimana PHQ-2 memberi keterangan terhadap

adanya dan frekuensi mood depresi dan anhedonia, sedangkan PHQ-9 mencakup pertanyaan tentang 9 kriteria diagnostic untuk MDD ( 2 dari pertanyaan ertama pada PHQ 9 adalah PHQ2). Kedua alat penyaringan ini memberi efisiensi waktu dan memiliki potensial integrasi pada evaluasi standar pasien rawat jalan dan rawat inap.11

(7)

Minimal PHQ – 2 memiliki 2 pertanyaan yang direkomendasikan untuk mengidentifikasi pasien – pasien depresi (Tabel 1). Jika jawabannya “YA” untuk salah satu atau kedua pertanyaan , direkomendasikan untuk menanyakan seluruh item pada PHQ -9. Kebanyakan pasien dapat menyelesaikan kuesioner ini tanpa bantuan sekitar 5 menit atau kurang.12,13 Keduanya menghasilkan diagnosis depresi sementara dan skor keparahan yang dapat digunakan untuk seleksi dan monitoring pengobatan.Pada pasien dengan gejala ringan , follow up selama subsekuen kunjungan dianjurkan. 12,13

Tabel 1. Patient Health Questionnaire – 2 ( PHQ-2) 12

(8)

Gambar 2. Penyaringan Depresi pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner 13

(9)

Pada pasien dengan hasil positif dilanjutkan dengan penegakan diagnosa depresi pada pasien kardiak. Kontroversi signifikan tampaknya masih ada terkait hal ini. Hal ini terutama pada pasien dengan kejadian kardiak akut. Pasien ini kemungkinan memiliki ansietas yang signifikan dan mood depresi transient yang segera mengikuti kejadian kardiak tetapi mungkin tidak berkembang menjadi MDD. Lebih jauh gejala terkait kejadian kardiak ( fatik , konsentrasi yang buruk, penurunan nafsu makan) mungkin tumpang tindih secara signifikan dengan gejala klinis depresi . Sebagai hasilnya, beberapa berpendapat untuk memperlama jumlah waktu yang dibutuhkan untuk episode depresi untuk mengidentifikasi pasien dengan kejadian kardiak akut , atau untuk mengeksklusikan gejala somatik yang mungkin akibat dari penyakit kardiak.14

Meskipun begitu studi pada umumnya tetap merekomendasikan penggunaan kriteria DSM IV ( termasuk kriteria durasi 2 minggu) untuk diagnosis depresi, meskipun pada pasien yang memiliki kejadian kardiak. Diagnosis gangguan depresi mayor membutuhkan adanya 5 atau lebih gejala seperti yang direkomendasikan oleh DSM IV : 15

1. Mood depresi

2. Berkuranganya minat yang nyata atau kesenangan pada hampir seluruh aktivitas 3. Penurunan berat badan yang signifikan atau penurunan atau peningkatan nafsu makan 4. Insomnia atau hiperinsomnia

5. Agitasi psikomotor atau retardasi 6. Fatik atau hilangnya energi

7. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak tepat 8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi atau keraguan 9. Pemikiran untuk mati yang rekuren, ide bunuh diri atau usaha bunuh diri

Gejala ini harus ada hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu gejala mood depresi atau hilangnya ketertarikan atau kesenangan dalam aktifitas. Gejala ini harus merepresentasikan perubahan dari fungsional sebelumnya yang menyebabkan gangguan sosial , pekerjaan , atau gangguan hidup lainnya , dan hal ini tidak boleh secara langsung sebagai hasil penggunaan narkoba , kondisi medis atau kematian. Untuk membantu ingatan dapat dilihat SIG E CAPS + mood (Tabel 3) dapat digunakan untuk mengingat kriteria ini.15

(10)

13. Tatalaksana

Pilihan pengobatan untuk tatalaksana depresi pada umumnya termasuk obat – obat anti depresan, terapi perilaku kognitif dan aktifitas fisik seperti latihan aerobic dan rehabilitasi kardiak masih menjadi pilihan.16

13.1 Obat anti depresan

Meskipun penggunaan anti depresan berhubungan dengan keduanya peningkatan dan penurunan resiko kardiak pada beberapa studi epidemiologi. Suatu uji coba klinis acak mendemonstrasikan bahwa 2 anti depresan selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI) , sertraline dan citalopram , aman pada pasien dengan penyakit jantung coroner dan efektif untuk moderat – berat atau depresi rekuren. Suatu non randomisasi post hoc analisa studi Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients ( ENRICHD) mendapatkan bahwa pasien yang diterapi dengan SSRI , apakah diberikan terapi perilaku kognitif atau layanan biasa , memperoleh penurunan 42 % kematian atau rekurensi MI dibandingkan dengan pasien

– pasien depresi yang tidak mendapatkan anti depresan. Pengobatan dengan SSRI segera setelah IMA tampak aman dan relatif tidak mahal dan mungkin efektif pada depresi post MI. Tampaknya tepat untuk menyaring dan mengobati depresi. Tidak hanya pengobatan memperbaiki mood dan kualitas hidup , tetapi studi –studi menunjukkan bahwa depresi mempengaruhi kepatuhan dan pengobatan gejala depresi dapat memperbaiki kepatuhan pengobatan pada pasien setelah IMA.16

(11)

dikontraindikasikan. Sebagai contoh , anti depresan trisiklik dan monoamine oxidase inhibitor dikontradindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung karena efek samping kardiotoksiknya. Bila pengobatan farmakologi diinisiasi, pasien harus diobservasi secara ketat dalam 2 bulan pertama dan secara regular sesudahnya untuk memantau resiko bunuh diri, memastikan kepatuhan pengobatan dan mendeteksi dan menatalaksana efek merugikan. Sekitar 15 -25 % pasien – pasien memberhentikan antidepresannya selama 6 bulan pertama pengobatan oleh karena efek samping atau kurangnya efikasi. Oleh karena itu interaksi obat yang potensial atau efek samping harus dimonitoring secara ketat.16

Pengobatan antidepresan dipertimbangkan pada kondisi : 17 1. Depresi berat

2. Depresi kronis atau rekuren 3. Adanya gejala psikotik

4. Respon sebelumnya terhadap medikasi positif 5. Adanya riwayat keluarga depresi

6. Pasien tidak dapat melakukan aktifitas yang dibutuhkan untuk psikoterapi

Ketika memilih antidepresan pertimbangkan point STEPS , Keamanan ( Safety), kemampuan toleransi ( Tolerability) , Efikasi , Biaya ( Payment) , dan Sederhana ( Simplicity). Kombinasi terapi perilaku kognitif dan medikasi mungkin yang paling tepat

ketika gejala depresi berat, kronis , gagal membak dengan salah satu terapi sendiri , dan jika adanya masalah psikososial signifikan.17

13.2 Terapi perilaku kognitif

Terapi psikosial paling efektif untuk pasien depresi pada infark miokardium adalah terapi perilaku kognitif. Terapi ini menerima pasien yang berpartisipasi aktif pada pengobatan dan interaksi resiprokal terjadi melalui 5 elemen kunci terapi yaitu lingkungan , pikiran , emosi , perilaku dan fisiologi.17

(12)

dengan depresi sedang sampai berat berespon lebih baik terhadap kombinasi antidepresan dan psikoterapi daripada salah satu terapi sendirian. Rujukan kepada psikoterapis yang berkualifikasi dibutuhkan. ENRICHD , uji kontrol acak pada setidaknya 12 – 16 sesi terapi perilaku kognitif selama 12 minggu didapatkan remisi untuk depresi sedang dan berat. Pada praktis klinis , durasi dan frekuensi dapat disesuaikan dengan memperlakukan terapis untuk bertemu dengan kebutuhan individual pasien dimana beberapa pasien lebih memilih dan dapat melakukan dengan baik dengan regimen intensif yang lebih sedikit.17-19

Penggunaan terapi perilaku kognitif harus dipertimbangkan pada kondisi : 17 1. Depresi yang tidak berat

2. Depresi tidak kronis

3. Gejala psikotik tidak dijumpai

4. Respon sebelumnya terhadap terapi perilaku kognitif cukup positif 5. Tersedianya pelayanan terapi perilaku kognitif

6. Kontraindikasi terhadap pengobatan

7. Perbaikan tidak diperoleh dengan obat-obatan sendiri 8. Adanya keadaan psikososial kompleks

13.3 Latihan / aktifitas fisik

Latihan aerobik dan rehabilitasi kardiak dapat menurunkan gejala depresi sebagai tambahan perbaikan kebugaran kardiovaskular. Meskipun depresi dapat menjadi penghambat partisipasi dari rehabilitasi kardiak dan program latihan, kita dapat membantu pasien depresi yang datang dengan barrier dengan menyediakan encouragement dan kontak untuk follow-up. Mereka harus mendapat pertolongan pasangan , teman atau keluarga untuk memperbaiki kepatuhan. Kegiatan latihan membutuhkan penilaian individu berbasis status kardiak dan kapasitas latihan dari individu.20

(13)

menunjukkan bahwa pengobatan depresi memperbaiki keluaran kardiak ; pasien masih memiliki resiko kejadian kardiak mayor dan mortalitas meskipun telah diterapi untuk depresi. Bukti mensugesti bahwa pasien depresi yang tidak respon terhadap pengobatan untuk depresi memiliki resiko lebih untuk kejadian kardiak yang merugikan. Pasien depresi juga membutuhkan tatalaksana klinis tambahan untuk memastikan kepatuhan dengan regimen pengobatan kardiak dan untuk promosi perubahan perilaku gaya hidup.20

Tabel 4. Efek obat – obat Anti Depresi terhadap Jantung 18

Tabel 5. Interaksi Obat 18

(14)

Studi Meta-analisa mendapatkan bahwa pasien dengan depresi post infark miokardium berhubungan dengan 2 – 2.5 kali resiko peningkatan keluaran yang buruk gangguan kardiovaskular. Studi di India menemukan keduanya penurunan rerata depresi dan kejadian kardiak pada pasien depresi pada post infark miokardium yang mendapatkan pengobatan antidepresan. Studi ENRICHD menemukan penurunan 43 % pada kematian , MI tidak fatal dan seluruh penyebab mortalitas pada pasien yang mendapatkan SSRI.20

15. Kesimpulan

(15)

Daftar Pustaka

1. Huffman JC, Celano CM, Beach SR . Depression and Cardiac Disease: Epidemiology, Mechanisms, and Diagnosis. Cardiovascular Psychiatry and Neurology.2013 ;13 123-28 2. Musselman DL, Evans DL, Nemeroff CB. The relationship of depression to cardiovascular disease: epidemiology, biology, and treatment. Arch Gen Psychiatry 1998;55:580-92.

3. Rojo. Pathogenesis of depression after myocardial infarction: rationale, state of the art and perspectives.

4. P. J. Tully , R. A. Baker, “Depression, anxiety, and cardiac morbidity outcomes after

coronary artery bypass surgery: a contemporary and practical review,” Journal of Geriatric

Cardiology, vol. 9, no. 2, pp. 197–208, 2012.

5. Van Melle JP, de Jong P, Spijkerman TA, et al. Prognostic association of depression following myocardial infarction with mortality and cardiovascular events: a meta-analysis. Psychosom Med 2004;66:814–22.

6. G. Magyar-Russell, B. D. Thombs, J. X. Cai et al., “The prevalence of anxiety and depression in adults with implantable cardioverter defibrillators: a systematic review,” Journal of Psychosomatic Research, vol. 71, no. 4, pp. 223–231, 2011

7. V. Freedenberg, SA. Thomas, and E. Friedmann, “Anxiety and depression in implanted cardioverter-defibrillator recipients and heart failure: a review,” Heart Failure Clinics, vol. 7, no. 1, pp. 59–68, 2011.

8. Kaloustian S, Bah TM, Rondeau I, Mathieu S, Lada -Moldovan L, Ryvlin P, Godbout R, Rousseau G . Tumor necrosis factor –alpha participates in apoptosis in the limbic system after myocardial infarction. Apoptosis. 2009 29; 14(1):1308 -16.

9. Guy R, Bah TM, Godbout R.Post-Myocardial Infarction Depression. Intech .2012. Dapat Diunduh dii www.intechopen.com

10. Guy R ,Thierno Madjou Bah TM Roger Godbout R. Post-Myocardial Infarction Depression in : Novel Strategies in Ischemic Heart Disease.2012. tersedia di www.intechopen.com

(16)

13. McManus D, Pipkin SS, Whooley MA. Screening for depression in patients with coronary heart disease (data from the Heart and Soul Study). Am J Cardiol. 2005;96:1076 – 1081

14. Y. W. Leung, D. B. Flora, S. Gravely, J. Irvine, R. M. Carney, and S. L. Grace, “The impact of premorbid and postmorbid depression onset on mortality and cardiac morbidity among patients with coronary heart disease: meta-analysis,” Psychosomatic Medicine, vol. 74, no. 8, pp. 786–801, 201

15. American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association, 1994.

16. Lespérance F, Frasure-Smith N. Depression in patients with cardiac disease: a practical review. J Psychosom Res. 2000;48:379 –391.

17. United States Department of Health and Human Services, Public Health Service, Agency for Health Care Policy and Research. Depression in primary care. Vol 2. Detection and diagnosis. Rockville, Md.: Government Printing Office, 1993: AHCPR publication no. 93-0550.

18. Roose SP, Laghrissi-Thode F, Kennedy JS, Nelsen JC, Bigger JT Jr., Pollock BG, et al. Comparison of paroxetine and nortriptyline in depressed patients with ischemic heart disease. JAMA 1998;279:287-91

19.Thase ME, Friedman ES, Biggs MM, Wisniewski SR, Trivedi MH, Luther JF, Fava M, Nierenberg AA, McGrath PJ, Warden D, Niederehe G, Hollon SD, Rush AJ. Cognitive therapy versus medication in augmentation and switch strategies as second-step treatments: a STAR report. Am J Psychiatry. 2007;164:739 –752.

Gambar

Gambar 1. Infark miokardium menginduksi peningkatan sitokin proinflamasi di sirkulasi dan
Gambar 2. Penyaringan Depresi pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner 13
Tabel 5. Interaksi Obat 18

Referensi

Dokumen terkait

1) Peraturan mengenai paten sederhana sendiri dijadikan satu dengan ketentuan paten biasa sehingga menyebabkan ketidakjelasan atas kepastian hukum hak paten sederhana

• Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata yang lain yang terdapat di dalam kalimat..

Pada pasien yang kami laporkan dengan TB milier disertai TB tonsil dan nasofaring dengan limfadenopati servikal, yang awalnya dicurigai suatu keganasan setelah dilakukan

Di Indonesia, sedikitnya data mengenai kualitas hidup pada pasien RA mendasari penelitian ini untuk mengidentifikasi perubahan kualitas hidup, jumlah eosinofil mukosa hidung,

 Mensyukuri nilai-nilai dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai bentuk pengabdian kepada

Pertumbuhan kapang diamati dengan pengamatan hari tumbuhnya kapang pada produk setelah pemaparan di pasar dan jenis kapang yang tumbuh pada produk.. Rempah yang

00 WIT, Pokja ULP telah melaksanakan Penjelasan (Aanwijzing) Dokumen Pengadaan secara elektronik.. (online) paket pekerjaan “Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pembangunan

- Fotocopy STTB/STK dan Daftar Nilai yang telah disyahkan oleh pejabat yang berwenang masing-masing sebanyak 2 (dua) lembar (Untuk peserta yang belum mendapatkan