BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengorganisasian Masyarakat
2.1.1. Pengertian dan Konsep Pengorganisasian Masyarakat
Mc. Millan Wayne (1947) mengatakan bahwa community organizing dalam
pengertian umum adalah suatu usaha yang ditujukan untuk membantu
kelompok-kelompok dalam mencapai kesatuan tujuan dan tindakan. Hal ini merupakan
praktek yang tujuannya adalah untuk mencapai sumber-sumber daya yang
dibutuhkan oleh dua atau lebih kelompok-kelompok yang ada. G. Ross Murray
juga mengatakan bahwa community organizing ialah suatu proses dengan mana
suatu masyarakat menemukan kebutuhan-kebutuhan dan tujuannya adalah untuk
menciptakan teoritis diantara kebutuhan-kebutuhan, juga menemukan
sumber-sumber baik sumber-sumber informal (dari masyarakat sendiri) maupun sumber-sumber eksternal
(dari luar masyarakat) agar masyarakat dapat meningkatkan dan mengembangkan
sikap-sikap dan praktek-praktek cooperative didalam masyarakat (Agus Suriadi,
dalam buku diktat kuliah Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara, 2005: 5).
Murray G.Ross juga mengemukakan beberapa pendapat mengenai
community organizing (Agus Suriadi, 2005: 12), ialah:
1. Proses menghasilkan suatu kemajuan yang efektif berupa penyesuaian
antara sumber-sumber kesejahteraan sosial dan kebutuhan kesejahteraan
2. Community oganization juga berusaha untuk mencari kebutuhan yang
potensial dari masyarakat setempat.
3. Untuk mecapai tujuan pada program-program community organization
perlu diadakan pendekatan antara disiplin ilmu.
4. Pendekatan antara disiplin ilmu tersebut haruslah pada social therapy yang
sifatnya menyeluruh dan melalui proses secara bertahap.
Beberapa asumsi/nilai yang mendasari community organization, yaitu :
1. Seorang CO worker harus dapat membina sikap “cooperative”.
2. Co bergerak dari nilai tradisional kearah nilai philosofi pekerjaan sosial.
Dimana nilai tradisional berupa nilai keagamaan dan kemanusiaan,
sedangkan nilai philosofinya merupakan prinsip partisipasi, prinsip kemandirian
masyarakat untuk memecahkan masalahnya, prinsip untuk menghargai
individu/kelompok yang ada dalam masyarakat, dan prinsip demokrasi.
Adanya asuransi tertentu bahwa satu metode dapat mempengaruhi cara
pendekatan terhadap masyarakat. Dalam bidang community organization, metode
yang dapat digunakan berupa (Agus Suriadi, 2005: 14):
- Metode social action (pendekatan dari arah bawah ke atas).
- Metode social planning (menerapkan program agar dapat dilaksanakan
oleh masyarakat, sifat pendekatannya dari atas ke bawah).
- Cara pendekatan dengan menggunakan pendekatan mengenai kebutuhan
- Adanya pengakuan bahwa didalam masyarakat terdapat problema atau
permasalahan yang timbul karena adanya nilai manusia modern yang
mana akan dapat menimbulkan “Cultural Lag”.
Seorang CO worker adalah orang yang ditugaskan untuk memotivasi
masyarakat agar masyarakat itu bisa mengenal permasalahannya sendiri dan
mengatasi masalahnya sendiri (Agus Suriadi, 2005: 7). Allinsky (1971), Biklen
(1983), Rothman (1969) menyatakan bahwa Community organizer adalah kekuatan
pendorong (driving force) dalam organisasi aksi sosial. Allinsky menganggap para
pengorganisir rakyat sebagai “para insinyur dan arsitek yang sangat kreatif dan
penuh daya-cipta” yang dimiliki oleh organisasi-organisasi masyarakat, “para
pembawa pesan perubahan dan kemungkinan pencapaiannya, tidak terbatas hanya
pada satu kawasan geografis tertentu atau sekelompok anggotanya saja
Peranan community organization worker menurut Murray G.Ross adalah :
(Agus Suriadi, 2005: 7)
- Helper, yaitu orang (social worker) yang member pertolongan (helper) dan
yang memberi kemungkinan-kemungkinan (enabler) atau kesempatan
terhadap masyarakat untuk melakukan peranan sosialnya ataupun untuk
membantu masyarakat yang mengalami disorganisasi untuk beradaptasi
dengan lingkungannya.
- Guide, yaitu peranan dari profesi social worker untuk menstimulir
masyarakat agar dapat menentukan sendiri maslah yang mereka hadapi.
permasalahan yang mereka hadapi, oleh karena itu guide berperan
membimbing masyarakat mengetahui permasalahannya sendiri.
- Social Therapist, yaitu social worker sebagai orang yang menanggulangi
masalah-masalah sosial secara langsung dengan berperan untuk
melakukan intervensi terhadap masalah sistem klient.
- Expert, yaitu peranan social worker sebagai tenaga ahli dibidang
perencanaan dalam menyusun program-program keahlian yang dimiliki,
misalnya dalam bidang penelitian dan penyusunan perencanaan atau
program.
Menurut Murray G. Ross juga dimana social action, social planning, dan
social development adalah merupakan proses dari community organizing.
Sedangkan menurut Jack Rothman, mengatakan social action, social planning, dan
social development merupakan proses dari community organizing yang dimana
posisinya masing-masing berdiri sendiri. Jack Rothman juga menyatakan bahwa
social action ini memiliki kedudukan sebagai social treatment dan social reform
(Agus Suriadi, 2005: 7).
2.1.2. Gerakan Sosial Sebagai Kekuatan Perubahan Sosial
Secara filosofis, dalam materialisme dialektika menunjukkan bahwa dunia
materi atau kenyataan obyektif itu senantiasa dalam keadaan bergerak dan
berkembang terus menerus. Keadaan diam atau statis , hanya bersifat sementara
dan relatif, disebabkan karena kekuatan didalamnya serta hubungannya dengan
kekuatan-kekuatan yang ada disekitarnya dalam keadaan seimbang (Materialisme
Masih banyak faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang dapat
disebutkan, ataupun mempengaruhi proses suatu perubahan sosial dibagi dalam dua
bagian, dari dalam dan luar masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi dari
dalam masyarakat, yaitu bertambah atau berkurangnya penduduk,
penemuan-penemuan baru, pertentangan masyarakat, dan terjadinya pemberontakan atau
revolusi. Sedangkan dari luar masyarakat ialah sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan alam fisik yang ada disekitar manusia, peperangan, dan pengaruh
kebudayaan masyarakat lain (Soerjono Soekanto, 1982: 318).
Secara sosiologis, berbicara tentang perubahan sosial, kita membayangkan
sesuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu; kita berurusan dengan
perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu
tertentu. Untuk dapat menyatakan perbedaannya , cirri-ciri awal unit analisis harus
diketahui dengan cermat, meski terus berubah (Strasser & randall, 1981: 16). Jadi
konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada
waktu yang berbeda; dan (3) diantara sistem sosial yang sama. Contoh defenisi
sosial yang bagus yaitu apa yang disampaikan Hawley, perubahan soial adalah
perubahan yang tak terulang dari sistem soial sebagai satu kesatuan (Hawley 1978 ;
Piotr Sztompka, 2004: 3).
Paham determinisme, memberi pandangan yang deterministik menganggap
hanya ada satu faktor yang paling menentukan perubahan sosial. Terhadap paham
determinis ini dapat diadakan penggolongan besar menjadi dua. Pertama yang
menganggap bahwa faktor yang paling menentukan bersifat sosial, sedangkan yang
kedua bersifat non-sosial. Untuk contoh golongan yang pertama, dapatlah di
tokoh yang terkenal dengan pendapat, bahwa perkembangan suatu masyarakat
dapat dikatakan di tentukan seluruhnya oleh struktur atau perubahan struktur
ekonomi masyarakat tersebut. Keadaan demikian dapat dikatakan sebagai suatu
determinisme ekonomi. Contoh golongan kedua, misalnya adanya pandangan
bahwa iklimlah yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial.
Orang yang terjun kedalam kegiatan untuk mewujudkan perubahan besar
biasanya merasa memiliki sesuatu kekuatan yang tidak dapat dibendung. Generasi
yang mencetuskan Revolusi Prancis memiliki pandangan yang berlebihan
mengenai kemampuan manusia berpikiran rasional dan mengenai kecerdasan
manusia yang tidak terbatas. Sedangkan menurut de Tocqueville, manusia
demikian bangganya akan dirinya sendiri dan demikian percaya pada
kemampuannya sendiri, dan disamping rasa percaya diri yang berlebihan ini ada
rasa haus akan perubahan yang memenuhi jiwa setiap orang (Hoffer Eric, 1988: 7).
Maka dari keinginan manusia akan perubahan telah membawa keasadaran agar
manusia dapat selalu bergerak, baik secara individu maupun secara massa.
Bagi orang yang tidak puas, gerakan massa menawarkan sebuah harapan,
untuk seluruh diri pribadi atau untuk berbagai unsur yang membuat kehidupan
dapat dipikul dan yang tidak dapat digalinya dari sumber kepribadiannya sendiri.
Tawaran untuk menggantikan harapan pribadi ialah salah satu daya tarik yang kuat
atas gerakan massa, karena daya tarik ini efektif terutama dalam masyarakat yang
sedang dimabuk ide kemajuan (Hoffer Eric, 1988: 15). Maka, gerakan massa yang
terlibat dalam kegiatan mewujudkan perubahan besar dengan cepat ialah gerakan
Banyak pakar yang menyimak peran khas gerakan sosial. Blummer (1951)
melihat gerakan sosial sebagai salah satu cara untuk menata ulang masyarakat
modern, hingga Killian (1964) juga mengatakan bahwa gerakan sosial sebagai
pencipta perubahan sosial, dan Adamson & Borgos (1984) menyatakan bahwa
gerakan massa dan konflik yang ditimbulkan adalah agen utama perubahan sosial
(Hoffer Eric, 1988: 321). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok
masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan
atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga
masyarakat yang ada.
Dalam kondisi psikologisnya, manusia cenderung mencari berbagai
kekuatan yang membentuk hidup diluar diri. Maka, mau tidak mau keberhasilan
dan kegagalan selalu dikaitkan dengan keadaan di sekeliling. Karena itu, orang
yang sudah merasa berhasil melihat dunia ini sebagai dunia yang baik dan ingin
memeliharanya sebagaimana adanya, sedangkan orang yang tidak puas
menginginkan perubahan besar. Akan tetapi rasa tidak puas saja tidak selalu
menimbulkan keinginan akan perubahan, harus ada faktor-faktor lain sebelum rasa
tidak puas menjelma menjadi tindakan perlawanan karena hanya sebagai sikap
yang bersifat reaksi. Maka yang menjadi faktor utama dari rasa keinginan
perubahan dari suatu gerakan, tidak lain adalah dilatarbelakangi oleh suatu cita-cita
dari manusia itu sendiri. Seperti apa yang disampaikan oleh Ali Syari’ati bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki cita-cita dan merindukan sesuatu yang
ideal, dimana usaha untuk mecapai cita-cita merupakan faktor utama dalam
tidak tinggal diam saja di alam, kehidupan dan lingkaran, realitas yang ada, tetap
dan terbatas. Inilah kekuatan yang mendorongnya untuk selalu berpikir , menggali,
mengkaji, mencari kebenaran, mencipta dan melakukan pembentukan fisik dan
spiritual (Ali Syari’ati, 1992: 49).
Analisis teori Gramsci, yaitu ketika terjadi suatu perlawanan atas kondisi
tatanan hegemoni baik terstruktur atau tidak maka hal yang mutlak yang mesti
dilakukan adalah membangkitkan semangat perlawanan atas eksploitasi dan
hegemoni tersebut. Supremasi dari sebuah kelompok sosial ditunjukkan ada dua
cara, yaitu dalam bentuk dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual
(Pozzolini, 2006: 79).Gramsci juga mengatakan “semua orang adalah intelektual,
maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki
fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah
orang-orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok
sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi
hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal.
Maka berangkat dari pemahaman yang ada, suatu gerakan sosial dalam
historisnya ataupun secara dialektika memiliki determinasi bagi perubahan sosial
itu sendiri. Suatu gerakan yang dilatarbelakangi suatu kondisi secara kualitas
maupun kuantitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau cita-cita (idea) yang
dimiliki oleh individu-individu atau masyarakat. dimana suatu gerakan itu
diharapkan dapat terorganisir secara sadar ataupun dalam bentuk reaksi, agar dapat
mencapai titik yang dicita-citakan atau yang dibutuhkan oleh manusia-manusia itu
perubahan itu juga harus sadar apa yang menjadi arah atau cita-cita dari gerakan
dan kondisi objektif yang mereka alami.
2.1.3. Pendidikan Dalam Membangun Kesadaran Kritis
Pendidikan yang merupakan proses penyadaran, ialah suatu pokok
determinasi dalam proses gerakan sosial. Suatu kesadaran kritis terhadap realitas
sangat dibutuhkan sebagai dasar sejarah atas permasalahan-permasalahan yang
dihadapi masyarakat. Maka oleh karena itu, pendidikan yang membebaskan dan
melahirkan kesadaran kritis pada masyarakat ialah pokok kekuatan dari proses
pengorganisasian masyarakat.
Di Indonesia, pendidikan sebagai proses penyadaran dan pembebasan akan
sangat sulit ditemukan. Selain dari permaslahan komersialisasi pendidikan dimana
tidak semua kalangan ekonomi yang mampu merasakan dunia pendidikan formal,
terdapat juga permasalahan yang lain, yaitu konsep belajar dan mengajar antara
guru dan murid ternyata menjadi permasalahan yang tersistem. Dimana konsep
pendidikan tersebut juga dimaksud oleh Paulo Freire dengan sebutan pendidikan
gaya Bank.
Konsep pendidikan gaya “bank” menurut Paulo Freire, dimana ruang gerak
yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat,
dan menyimpan. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung,
dimana para murid adalah celengan dan para guru adalah penabungnya. Yang
terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan
pernyataan-pernyataan dan mengisisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri
berpengetahuan kepada mereka yang dianganggap tidak memiliki pengetahuan
apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak kepada orang lain sebab cirri dari
ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai
proses pencarian. (Freire, 1984 : 52)
Pendekatan gaya bank dalam pendidikan orang dewasa, tidak akan
menyarankan kepada peserta didik agar mereka melihat realitas secara kritis.
Mereka yang menggunakan pendekatan gaya bank ini, secara sadar atau tidak sadar
(karean terdapat juga guru-guru bergaya pegawai bank ini sesungguhnya beritikad
baik, namun tidak menyadari bahwa mereka sedang bekerja untuk tujuan
dehumanisasi), tidak memahami bahwa pengetahuan yang mereka tanamkan berisi
kontradiksi dengan realitas. (Freire, 1984 : 56)
Permasalahan yang dilahirkan melaui metode pendidikan gaya bank yang
tidak sesuai dengan prsoses gerakan pembebasan yang humanis menuntut adanya
pola pendidikan yang bersifat humanis dan suatu proses pembebasan yang
melahirkan kesadaran kritis. Menurut Paulo freire bahwa hanya dialoglah yang
mununtut adanya pemikiran kritis, yang mampu melahirkan pemikiran kritis.2
2
Dialog adalah bentuk perjumpaan diantara sesama manusia, dengan perantara dunia, dalam rangka menamai dunia. (Freire; hal 77)
Tanpa dialog tidak aka ada komunikasi, dan tanpa komunikasi tidak akan mungkin
ada pendidikan sejati. Pendidikan yang mampu mengatasi kontradiksi antara
guru-murid berlangsung dalam suatu situasi dimana keduanya mengarahkan laku
pemahaman mereka kepada obyek yang mengantarai keduanya. Karena itu, sifat
guru-yang-murid berhadapan dengan murid-yang-guru dalam suatu situasi
pendidikan, tetapi ketika yang pertama tadi terlebih dahulu bertanya kepada diri
sendiri tentang apa dialog yang akan dilakukan dengan pihak yang pertama. Dan
perenungan tentang isi dialog itu adalah sesungguhnya perenungan tentang isi
program pendidikan. (Freire, 1984 : 84)
Permasalahan mengenai pendidikan yang telah tersistematis, akan dibahas
pada analisis hubungan ekonomi didalam pendidikan. Proses kapitalisme yang
menjadi permasalahan pendidikan di Indonesia membawa proses anti keadilan bagi
seluruh masyarakat. Kapitalisme, dengan disangga oleh hubungan dua kelas utama
(buruh dan kapitalisme), adalah system penidasan terhadap masyarakat. Pendidikan
dalam kapitalisme juga akan memperoses suatu generasi dimana pengetahuan dan
keterampilan yang diajarkan juga akan mendukung terjadinya penindasan itu.
Prisnsip marxisme yang dikaitkan dengan masalah pendidikan akan menunjukkan
bahwa pendidikan sebagai suatu proses historis dalam kehidupan manusia
ditentukan oleh perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh kondisi material
ekonomis yang berkembang. Marx menempatkan pendidikan pada wilayah struktur
atas (superstruktur) yang disangga (ditentukan) oleh ekonomi (hubungan produksi
dan alat-alat produksi) sebagai struktur bawah (basis struktur) yang merupakan
suatu fondasi perkembangan masyarakat. Karena pendidikan juga merupakan
proses dimana filsafat, ide(ologi), agama, dan seni diajarkan. Maka pendidikan
adalah media sosialisasi pandangan hidup dan kecakapan yang harus diterima pada
masyarakat (terutama anak-anak). (Soryomukti, 2008 : 74)
Mengenai metode pendidikan dalam menjalankan proses penyadaran,
subjektif untuk melakukan revolusi sosial. Menurut proyek tersebut, aktivitas
ilmiah dan proses penyadaran melampaui baik ruangan sekolah maupun penjejalan
materi pelajaran dan pengetahuan ilmiah ke dalam kepala murid. Pendidikan
Marcusian merupakan proses peruntuhan (dekonstruksi), pembangunan ulang
(rekonstruksi) dan pengarahan kembali (reorientasi) pikiran dan pancaindra
(Saeng, 2012: 309).
Pendidikan secara menyeluruh harus digunakan untuk menciptakan tatanan
yang sesuai bagi hakikat manusia, yaitu tatanan dimana kontradiksi berupa
hubungan produksi yang eksploitatif (kapitalisme) digantikan dengan hubungan
produksi yang setara, yang sering sekali disebut Marx dan pengikutnya sebagai
sosialisme. Pendidikan untuk menciptakan dan mempertahankan sosialisme,
sebagai jalan pembebasan manusia, dengan demikian harus demokratis,
menciptakan kondisi anak-anak didik yang benar-benar bebas, rasional, aktif, dan
independen. (Soryomukti, 2008 : 103) Tidak adanya penghisapan dalam hubungan
ekonomi diharapkan akan membuat kerja yang dilakukan bukan semata-mata untuk
memenuhi suatu hal yang terpaksa atau hanya karena kebutuhan primer seperti
makan. Seperti kata Marx, bahwa manusia punya karakter solidaritas, estetis, yang
hidup untuk memperjuangkan keindahan hubungan dan memproduksi sesuatu yang
lebih dari memenuhi kebutuhan tubuhnya, karena memang manusia adalah
keberadaan yang tinggi disbanding binatang. (Marx, Manuskrip Ekonomi dan
Filsafat, dalam Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, serta dalam Soryomukti,
2008 : 103) oleh karena itu, bahwa manusia pada hakikatnya lebih mnginginkan
2.2. Pengembangan Masyarakat
2.2.1. Pengertian dan Konsep Pengembangan Masyarakat
Community development adalah proses dimana usaha masyarakat bertemu
dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan kondisi, baik kondisi ekonomi,
sosial, dan budaya masyarakat (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Arthur Durkheim
juga menyatakan bahwa community development adalah suatu proses yang
bertujuan untuk meningkatkan keadaan ekonomi dan sosial seluruh masyarakat
dengan partisipasi aktif masyarakat (Agus Suriadi, dalam buku diktat
Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara;
2005: 30).
Irwin Sanders mengatakan bahwa community development merupakan
program dan aktifitas atau kegiatan community organizing, dan juga community
development merupakan sebagian dari pembangunan ekonomi masyarakat. Jadi
menurut Irwin Sanders, community development merupakan gabungan antara
community organizing dan economic development atau pembangunan ekonomi.
Unsur-unsur community development yang diambil dari community organizing
merupakan masalah-masalah mengenai kesejahteraan sosial dan pendidikan sosial
bagi orang-orang dewasa (adult education) yang diberikan dalam bentuk
pendidikan non-formal. Sedangkan unsur-unsur yang diambil dari economic
development merupakan perencanaan dibidang ekonomi dan juga aspek-aspek
kolektivitas untuk meningkatkan pengembangan tingkat pendapatan dimana tujuan
akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan sosial (Irwin Sanders dalam Agus
Salah satu aspek penting dari proses pengembangan masyarakat adalah
bahwa proses tersebut tidak dapat dipaksakan. Agar proses bejalan dengan baik,
diperlukan langkah yang natural untuk memulainya, dan untuk mendorong proses
tersebut menyelaraskan dengan langkah tersebut. Maka dari itu langkah proses dari
pengembangan masyarakat ialah bahwa proses merupakan milik masyarakat, bukan
milik pekerja sosial. Dengan demikian, proses harus berjalan sesuai dengan
langkah masyarakat yang tidak mungkin menjadi langkah yang diinginkan oleh
pekerja masyarakat. Hal ini merupakan hasil yang alamiah dari gagasan
penegmbangan organik, dimana pendekatan organis untuk melihat perubahan
terjadi pada beberapa dimensi, melalui proses pengembangan yang bertahap bukan
perubahan radikal yang dipaksakan (Tesoriero & Ife, 2008: 357).
Semua pengembangan masyarakat seharusnya bertujuan membangun
masyarakat. Pengembangan masyarakat melibatkan pengembangan modal sosial,
memperkuat interaksi sosial dalam masyarakat, menyatukan mereka, dan
membantu mereka untuk saling berkomunikasi dengan cara yang dapat mengarah
pada dialog yang sejati, pemahaman dan aksi sosial. Pengembangan masyarakat
sangat diperlukan jika pembentukan struktur dan proses level masyarakat yang baik
dan langgeng ingin dicapai (Putnam, 1993; Tesoriero & Ife, 2008: 363).
Dalam menjalankan metode community development, komponen yang
harus diingat adalah :(Agus Suriadi, 2005: 32)
1. Adanya partisipasi masyarakat terhadap program yang diberikan.
2. Metode community development dapat dilengkapi dengan cara
tujuannya agar masyarakat melalui keputusan ataupun kepentingan
tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.
3. Metode community development dapat dijalankan dengan cara
memberikan pendidikan massa/sosial atau pendidikan non-formal bagi
masyarakat.
Asal konsep Pengembangan Masyarakat (terjemahan dari Community
Development) sebenarnya adalah Pengorganisasian Masyarakat (Community
Organization); yang bermakna mengorganisasi-kan masyarakat sebagai sebuah
sistem untuk melayani warganya dalam setting kondisi yang terus berubah. Dengan
demikian inti pengertiannya adalah mendorong warga masyarakat untuk
mengorganisasikan diri untuk melaksanakan kegiatan guna mencapai kesejahteraan
sendiri. Di tingkat nasional, aktor- aktor institusinya adalah pemerintah, kalangan
cendekiawan, kalangan bisnis, LSM , dan masyarakat biasa. Semuanya harus
terorganisasi dalam sebuah kesatuan sistem untuk membangun masyarakat secara
sinergis (Ha
McCowan (1996) menjelaskan bahwa proses-proses yang digunakan dalam
pengembangan masyarakat tidak perlu diimpor dari luar, karena mungkin terdapat
proses-proses masyarakat lokal yang dimengerti dan diterima dengan baik oleh
masyarakat lokal (Tesoriero & Ife, 2008: 259). Dimana penting bagi pekerja
masyarakat untuk berupaya memahami proses-proses masyarakat lokal walaupun
terkadang tidak sedikit proses-proses lokal mungkin bersifat konservatif atau
eksklusif. Sebagaimana dengan kebudayaan, memahami proses-proses lokal tidak
karena yang terpenting ialah agar dapat untuk memahaminya dan dapat mengetahui
dimana titik yang harus dimulai.
Sebuah komponen kunci dari pengembangan masyarakat adalah gagasan
bekerja dalam solidaritas dengan warga masyarakat. Hal ini mengandung arti
bahwa, seorang pekerja pengembangan masyarakat bukanlah aktor bebas yang
mengikuti agendanya sendiri ketimbang menyediakan waktu dan menerima
kesulitan-kesulitan untuk memahami sifat dari masyarakat lokal, tujuan dan
aspirasi warga dan cara-cara berfungsinya masyarakat (Tesoriero & Ife, 2008:
261). Sebagai hasilnya, seorang pekerja masyarakat mampu bergabung dengan
warga masyarakat itu dalam perjuangan mereka, dan bergerak dalam arah yang
sama. Dimana kemajuan juga bagian dari proses perubahan, untuk menjadikan apa
yang telah dicita-citakan oleh dan secara massa (masayarakat) itu sendiri dan
memang harus dibangaun dari, untuk, dan oleh masyarakat itu sendiri dengan
berbagai aspek dan landasan yang diantaranya berdasarkan keadilan sosial dan hak
azasi manusia.
2.2.2. Pengembangan Masyarakat: Perspektif Keadilan Sosial dan
Hak Azasi Manusia.
Dalam revolusi perancis, tercatat tiga nilai dasar yaitu “kebebasan,
kesetaraan, dan solidaritas” yang apabila ketiga nilai tersebut dapat menjadi realitas
dapat dianggap sebagai masyarakat berkeadilan. Akan tetapi dalam pemakaian
makna kestaraan ini memiliki titik kerelatifitasan dengan makna keadilan hingga
yang paling dominan pada tahun 1980-an yaitu keadilan sebagai nilai sentral
dipakai menggantikan makna kesetaraan. Secara filsafat Heinrich (2002)
antar manusia. Relasi tertentu yang bisa disebut berkeadilan, karena pertanyaan
selanjutnya bukanlah “apa itu keadilan?”, melainkan “apa yang berlaku pada
keadilan?”. Topik keadilan adalah kedudukan orang-perorang dalam masyarakat,
dalam relasi antar orang lain. Manusia memiliki kebutuhan, posisinya dalam relasi
dengan yang lain yang berhubungan dengannya, menentukan, bagaimana dipahami,
bagaimana dinilai. Sesuai dengan harga diri perorangan berkaca pada penilaian
sesamanya, ia akan merasa diperlukan secara adil. Manifestasinya terlihat dalam
penilaian terkait penyerahan penolakan atau penyitaan komoditas material dan
ideal (Tobias Gombert, dkk, Friedrich Ebert Stiftung: 20).
Pada titik konvensional tentang keadilan sosial dalam teori keadilan yang
dikembangkan oleh John Rawls (1972, 1999), dimana karyanya berusaha
menerapkan prinsip-prinsip keadilan. Argumentasinya kompleks, dimana beliau
menyimpulkan dengan tiga prinsip keadilan. Ketiganya adalah: kesetaraan dalam
kebebasan dasar, kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan untuk kemajuan, dan
diskriminasi positif bagi mereka yang tidak-beruntung dalam rangka menjamin
kesetaraan. Dari prinsip tersebut dapat dianyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut
secara normal akan dipahami sebagai prinsip yang diterapkan kepada
individu-individu. Akan tetapi ketiga prinsip ini belum dapat dikatakan cukup, karena
analisis dari perspektif hanyalah salah satu cara untuk memahami isu-isu sosial dan
keadilan sosial. Dalam istilah politik, perspektif individu pada hakikatnya memiliki
orintasi yang liberal, dan walaupun orientasi ini telah menjadi sentral bagi filosofi
politik barat arus utama sejak Hobbes dan Locke, itu adalah perspektif yang
memberikan pandangan yang terbatas dan berdimensi-tunggal atas fenomena
yang konservatif dan tidak memiliki basis moral (Banerjee 2005; Tesoriero & Ife,
2008: 107).
Suatu perlakuan sosiologis yang lebih luas, atas masalah-masalah sosial dan
isu-isu sosial, suatu perspektif yang lebih luas di butuhkan dari apa yang
dikemukakan Rawl jika ingin tiba pada suatu posisi yang akan menyiadakan suatu
kerangka yang cukup untuk memahami dan mengambil tindakan dalam isu-isu
sosial yang menghadang para pekerja masyarakat. Maka dari itu, tidak cukup
analisis dari Rawl tentang eksploitasi dan penindasan sebagai penggerak
ketidakadilan. Dimana dari keadilan sosial terbatas pada paling sedikit dua
landasan dalam teori distribusional, yang didefinisikan oleh mullaly (1997):
pertama, ia tidak memperdulikan proses-proses dan praktik sosial yang
menyebabkan maldistribusi; dan kedua, ia tidak mengakui keterbatasan logika dari
perluasan gagasan distribusi kepada barang dan sumber daya non-material (seperti
hak dan kesempatan) (Tesoriero & Ife, 2008: 108).
Berbicara tentang kebutuhan manusia secara adil, keadilan sosial secara
tidak langsung adalah beberapa pandangan kejujuran atau kesetaraan, dan
prinsip-prinsip yang gagasan kejujuran dan kesetaraan diletakkan pada umumnya
mencakup beberapa acuan kepada hak-hak (Tesoriero & Ife, 2008: 116). Maka dari
itu, hak-hak merupakan hal yang mendasar bagi pemahaman atas keadilan sosial.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebuah komponen vital dari suatu
pengembangan masyarakat. Prinsip yang mendasar adalah bahwa pengembangan
masyarakat seharusnya berupaya menegaskan HAM, dan seharusnya
memungkinkan orang mewujudkan dan melaksanakan HAM mereka, dan
dibiarkan bertindak melawan prinsip-prinsip HAM, dan ini menciptakan
kendala-kendala tertentu dalam hal apa yang mungkin dalam pengembangan masyarakat
(Tesoriero & Ife, 2008: 122).
Apabila mengadopsi suatu pendekatan hak-hak karena terdapat sinergisitas
yang jelas antara hak-hak dan masyarakat merupakan suatu kondisi yang rasional
bagi pengembangan masyarakat. Ife (2004), dengan menjelaskan bagaimana HAM
berkaitan dengan masyarakat dalam beberapa cara. Pertama, hak-hak dan tanggung
jawab berjalan beriringan. Memiliki hak berarti bahwa orang lain memiliki
tanggung jawab dalam hubungan dengan hak-hak tersebut. Dengan perkataan lain,
terdapat resiprositas yang inheren, dan hubungan-hubungan yang resiprokal, yang
terkandung didalam hak-hak. Ini membutuhkan kehadiran orang lain, dan hak-hak
tidak dapat terjadi sendiri dalam lingkup seorang individu yang terisolasi. Oleh
karena itu, diperlukan suatu gagasan tentang kelompok atau masyarakat manusia
dalam gagasan tentang hak-hak. Kedua, jika sesorang memiliki hak-hak, maka
terdapat suatu kewajiban yang menyertainya untuk melaksanakan hak-hak tersebut
dan bagi masyarakat untuk mendorong dan mendukung pelaksanaan hak-hak
tersebut. Melaksanakan hak-hak seperti hak untuk kebebasan untuk berekspresi,
hak untuk perwatan kesehatan atau hak untuk pendidikan, mensyaratkan sebentuk
partisipasi. Partisipasi adalah sentral dan vital bagi pengembangan masyarakat
yang ‘bottom-up’ dan pendekatan kepada pengembangan masyarakat. Ketiga,
mempromosikan HAM membutuhkan suatu proses yang panjang dan kompleks
untuk membangun suatu kultur HAM. Proses ini memerlukan bekerja dengan
mereka yang terpinggirkan, yang suaranya tidak didengar, sehingga klaim mereka
membentuk hakikat dari pengembangan masyarakat. Ini adalah suatu proses yang
menantang wacana-wacana hak yang dominan ketika hal ini membuat hak-hak dari
mereka yang tidak berdaya tidak terlihat. Keempat, pengembangan masyarakat
membutuhkan hak-hak. Hak-hak menyediakan suatu perancah moral yang disitu
tugas masyarakat dapat berjalan. Tanpa ini, pengembangan masyarakat berada
dalam suatu vakum moral. Hak-hak menyediakan ukuran moral untuk
mempertimbangkan apakah setuju atau tidak setuju mendukung partisipasi warga
(Tesoriero & Ife, 2008: 123). Akhirnya, Ife menunjuk kepada sebuah sinergi
linguistik antara pengembangan masyarakat dan HAM yang secara gamblang
menyoroti hubungan antara keduanya. Beliau mengatakan: ‘pengembangan
masyarakat melihat tujuannya sebgai pembentukan masyarakat manusia, sementara
HAM menekankan pada tujuan mencapai suatu
kemanusiaan-yang-diterima-bersama. Kedua istilah tersebut baik secara linguistik maupun semantik adalah
serupa, bila tidak sinonim.
Prinsip-prinsip keadilan sosial dan HAM sering kali diekspresikan
berkenaan dengan kebutuhan. Gagasan kebutuhan adalah hal yang mendasar dalam
kebijakan sosial, perencanaan sosial, dan pengembangan masyarakat; dan ia juga
dekat berhubungan dengan gagasan hak-hak. Terdapat dua cara jika kebutuhan
dilihat sebgai mendasar bagi keadilan sosial, HAM, dan pengembangan
masyarakat: pertama, suatu keyakinan bahwa kebutuhan manusia atau masyarakat
seharusnya ‘terpenuhi’; kedua, bahwa manusia dan masyarakat seharusnya mampu
mendefinisikan kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan itu didefinisikan
oleh pihak-pihak lain (Tesoriero & Ife, 2008: 150). Dari hal ini jelas digambarkan
dalam pengembangan masyarakat untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan manusia
atau masyarakat itu sendiri termasuk dalam perspektif keadilan sosial dan HAM.
2.2.3. Pengembangan Masyarakat; Perubahan dari Bawah
Di jantung pengembangan masyarakat terdapat gagasan perubahan dari
bawah. Hal ini adalah konsekuensi alamiah dari perspektif ekologis dan perspektif
keadilan sosial serta perspektif hak azasi manusia. Terdapat gagasan bahwa
masyarakat harus mampu menetapkan kebutuhan mereka sendiri dan bagaimana
memenuhinya, bahwa masyarakat pada tingkat lokal paling mengetahui apa yang
mereka butuhkan dan bahwa masyarakat seharusnya mengarahkan dirinya sendiri
dan berswadaya. Dalam praktik aktual, gagasan perubahan dari bawah memiliki
keterkaitan dengan gagasan-gagasan yang harus dilakukan dipermulaan, yaitu
menghargai pengetahuan lokal, menghargai kebudayaan lokal, menghargai sumber
daya lokal, menghargai keterampilan lokal, dan menghargai proses lokal (Tesoriero
& Ife, 2008: 242).
Gagasan ‘perubahan dari bawah’ dibuat diatas landasan berbagai ideologi
dan teori, dimana mazhab-mazhab pemikiran khusus yang kesemuanya relevan
bagi praktik bottom-up atau perubahan dari bawah, yaitu pluralisme, sosialisme
demokratis, anarkhisme, post-kolonialisme, post-modernisme, dan feminism
(Tesoriero & Ife, 2008: 262).
• Pluralisme
Dalam
beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan
hasil tanpa konfli
Dalam pengertian sederhana, suatu posisi pluralis mengenal bahwa terdapat suatu
keanekaragaman kepentingan dalam masyarakat, dan bahwa kekuasaan tidak
terkonsentrasi di suatu lokasi, tetapi didistribusikan di antara sejumlah kelompok
yang berbeda. Bergerak lebih jauh dari posisi yang pada hakikatnya deskriftif ini,
seorang pluralis yang ideologis akan membela kesukaan dari distribusi kekuasaan
yang tak satupun kelompok kepentingan akan menjadi sangat berkuasa. Tetapi
bagaimana, dari permainan interaksi dalam berbagai kepentingan, hingga
kompromi akan muncul yang kemungkinan besar mewakili semua kepentingan
(Tesoriero & Ife, 2008: 262).
Pluralisme telah memberikan suatu kerangka yang berguna dan popular
bagi oposisi terhadap beberapa dari kearifan konvensional dari rasionalisme
ekonomi, dan terhadap konsentrasi pemilikan media, monopoli modal dan
pemerintahan manajerial. Hal ini karena pluralisme dapat digunakan untuk
membela keanekaragaman tanpa keharusan membela perubahan mendasar dalam
orde sosial, ekonomi, dan politik. Pluralisme memiliki potensi untuk menjadi posisi
yang bermanfaat untuk mengartikulasikan oposisi terhadap
kecenderungan-kecenderungan kebijakan-kebijakan tertentu, dan untuk melegitimasi gagasan
keanekaragaman dalam lingkup wacana arus utama. Meskipun demikian,
pluralisme gagal menyediakan kerangka yang mencukupi bagi jenis transformasi
sosial, ekonomi, dan politik yang diinginkan, dan tidak dapat diterima sebagai
suatu basis yang cukup untuk pengembangan suatu alternatif berbasis-masyarakat
yang menangani agenda keadilan sosial dan HAM. Pluralisme adalah sebuah
pluralisme tersebut dapat melegitimasi dan mendorong keanekaragaman (Tesoriero
& Ife, 2008: 264).
• Sosialisme Demokratis
Sejak awal kemunculannya, orientasi utama sosialisme adalah pada aspek
ekonomi dari kehidupan sosial manusia.dalam perkembangan lebih lanjut, muncul
pemikiran bahwa untuk mengatasi eksploitasi manusia atas manusia harus juga
memberi perhatian lebih besar kepada aspek politik. Sosialisme sebagai kekuatan
politik yang berkembang dalam masyarakat-masyarakat yang sudah mengalami
industrialisasi yang luas disebut sosialisme demokratis (Nur Indro, 2009: 110).
Suatu justifikasi ideologis yang lebih kuat datang dari arus pemikiran
sosialis demokratis, yang menekankan partisipasi dan pembangunan bottom-up dari
alternatif-alternatif sosialis. Hal ini berlawanan dengan posisi stalinis, yang
menekankan pemaksaan suatu ekonomi sosialis dari atas dan mendorong
perencanaan dan regulasi terpusat. Suatu arah yang lebih menguntungkan bagi
sosialis demokratis adalah masuk ke perjuangan politik yang lebih bersifat lokal.
Pada tingkat lokal, potensi untuk kontrol yang lebih demokratis lebih besar dan
pengaruh modal transnasional kurang merusak. Modal transnasional dapat
menahan pemerintahan untuk tebusan, dan dapat menuntut mereka untuk
mengikuti kebijakan-kebijakan tertentu, ia memiliki pengaruh langsung yang lebih
sedikit pada interaksi-interaksi lokal, bentuknya berupa kebiatan-kegiatan sosial,
pilihan-pilihan ekonomis individu dan rumah tangga, politik masyarakat, dan
Soetan Sjahrir sebagai tokoh sosialisme demokrasi yang ada di Indonesia
menjelaskan bahwa sosialisme demokrasi atau sosialisme kerakyatan (Asia)
menekankan perjuangan untuk mewujudakan kondisi kehidupan yang menjunjung
tinggi derajat manusia, menghormati hak-hak kemanusiaan dan membentuk
kesadaran sosial. Dengan kehidupan demokrasi yang bersemangantkan kerakyatan,
maka penindasan dan penguasaan terhadap kemanusiaan akan hilang tidak akan
terwujud (Nur Indro, 2009: 90).
Pengembangan struktur-struktur berbasis masyarakat yang kuat mewakili
suatu konteks yang lebih mirip bagi pencapaian suatu masyarakat sosialis
demokratis dibandingkan pendekatan parlementer (Shannon, 1991). Hal tersebut
menyediakan kemungkinan kepemilikan secara sosial ataupun komunal atas
alat-alat produksi, walaupun ini membutuhkan produksi yang lebih berbasis lokal.
Maka dari iru, desentralisasi dan lokalisasi ekonomi, struktur politik dan layanan
kemanusiaan mewakili suatu arah yang menjanjikan bagi kaum sosialis demokratis.
Kapitalisme dapat dilihat sebagai yang lebih mudah dikalahkan pada tingkat lokal
dibandingkan pada tingkat nasional atau tingkat transnasional, dan dari suatu
perspektif bottom-up ketimbang suatu pendekatan top-down konvensional,
alternatif-alternatif sosialis lebih mungkin berkembang (Tesoriero & Ife, 2008:
266).
• Anarkhisme
Anarkisme adalah teori
masyarakat tanpa
dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial.
melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah
kerjasama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau, dalam
tulisan Bakunin yang terkenal ialah kebebasan tanpa
ketidakadilan, da
Disisi lain, pandangan populer tentang anarkhisme sering sekali disamakan
dengan tidak adanya tanggung jawab, suatu kehancuran hubungan sosial, atau
bahkan terorisme, dan menolak untuk sejalan dengan pendirian suatu filosofi
politik yang terhormat dan sah, dalam kenyataannya tulisan anarkhis sangat jauh
dari stereotip (Ward, 1988; woodcock, 1977; Marshall, 1992; Carter, 1999).
Walaupun pemikiran anarkhis juga mungkin tidak dilihat sebagai telah menguasai
suatu posisi arus utama dalam pemikiran radikal abad XX, akan tetapi anarkhisme
mempunyai suatu sejarah panjang sebagai basis bagi oposisi terhadap orde mapan
(marshall, 1992). Dikarenakan teori anarkhis memiliki tradisi intelektual yang
solid, dan sepenuhnya konsisten dengan perspektif keadilan sosial dan hak azasi
manusia (Tesoriero & Ife, 2008: 266).
Dengan resiko penyederhanaan yang berlebihan, suatu posisi anarkhis
menentang hirarkhi, otoritas, dan intervensi negara dalam kehidupan rakyat.
Anarkhis bertahan bahwa dalam keadaan bebas dari dominasi yang demikan,
manusia akan cenderung berkooperasi secara sukarela dengan sesamanya,sebagai
kebalikan dari pandangan konvensional yang melihat otoritas dan dominasi sebagai
diperlukan untuk mempertahankan kontrol (Kropotkin, 1972). Jadi, keabsenan
terbentuknya suatu kontrak sosial yang efektif (Ward, 1977) dan bagi manusia
untuk mampu menjalani hidup yang lebih memuaskan dan lengkap. Pandangan ini
menjungkirbalikkan banyak dari kaerifan tentang disukainya struktur-struktur
terpusat yang terencana dan terkordinasi (negara/swasta) dan pembuatan kebijakan
terpusat (Tesoriero & Ife, 2008: 267).
Anarkhisme memeberikan suatu basis alamiah untuk mendukung
penegmbangan masyarakat akar rumput, karena anarkhisme dengan tegas
mununjuk kepada kesukaan akan otonomi lokal, desentralisasi dan pembangunan
yang dimulai pada tingkat akar rumput. Meskipun demikan, anarkhisme tetap
merupakan posisi radikal, karena ia menantang dengan cara mendasar, beberapa
asumsi yang paling dianggap biasa tentang politik, dan ia dengan kuat mengkritik
gagasan kekuasaan, kontrol politik, dan birokratis (Tesoriero & Ife, 2008: 268).
Oleh karena itu, anarkhisme adalah landasan ideologi yang penting bagi
pengembangan masyarakat.
• Post-kolonialisme
Post-kolonialisme mengacu pada badan pemikiran yang berupaya bergerak
lebih jauh dari penindasan kolonialis, untuk menemukan suara bagi mereka yang
telah dibungkam oleh penindasan tersebut, dan menentang pada pelanggaran
struktur-struktur dan wacana kolonialisme. Kolonialisme dikaitkan dengan
sikap-sikap dari bangsa-bangsa penjajah, yang menduduki tanah bangsa-bangsa lain dan
menjadikan bangsa yang dijajah sebagai sasaran dominasi untuk kepentingan
perluasan wilayah, keuntungan keuangan, dan keduanya. Tetapi terdapat suatu
bentuk penjajahan yang lebih luas yang terjadi dalam dunia kontemporer.
diciptakannya, hingga memaksakan penjajahan ekonomi dan kultural pada banyak
masyarakat diseluruh dunia.
Pemikiran post-kolonial adalah emansipatoris. Ia berupaya untuk mengakui
kegagalan kolonialisme, untuk mengesahkan suara-suara mereka yang terjajah dan
untuk mengenali dan untuk membalik pola-pola dominasi kolonialis. Pemikiran
post-kolonial dalam studi-studi kebudayaan telah berfungsi untuk membantah
bahwa bangsa itu tidak sekedar penerima pasif dari kekuatan-kekuatan yang sangat
kuat yang membentuk mereka menjadi boneka, konsumen, atau subjek kapitalisme.
Hal ini memiliki potensi yang sangat besar untuk mentransformasi identitas dan
perasaan kekuatan dari kaum terjajah. Lebih lanjut, ketika protes dari
kelompok-kelompok yang beragam dihubungkan, sekutu-sekutu baru menjadi mungkin dan
gerakan-gerakan sosial dapat terbentuk.
Teori post-kolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang
kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan.
Teori post-kolonialisme juga membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan
semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psikologis. Tidak kalah pentingnya
juga bahwa teori postkolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu
kesadaran itu sendiri
Oleh karena itu, post-kolonialisme berpotensi menjadi sebuah perspektif
yang sangat penting untuk memahami pengembangan masyarakat sebagai suatu
praktik emansipatoris dalam pengorganisasian masyarakat dan untuk menegaskan
suatu perspektif ‘perubahan dari bawah’ yang berupaya mengesahakan suara-suara
realitas mereka sendiri ketimbang didiktekan oleh sang penjajah (Tesoriero & Ife,
2008: 272).
• Post-Modernisme
Dengan berkembangnya kesadaran mengenai sisi suram modernitas dan
dengan meningkatnya kritik terhadap sifat anti-kemanusiaan yang ditimbulkannya.
Maka muncullah pandangan bahwa jalan yang dilalui masyarakat modern harus
dirubah secara radikal. Ada sejumlah pakar yang menyerukan untuk membangun
kembali kehidupan komunitas, pemakaian kembali ikatan sosial primordial,
menghidupkan kembali kelompok dan hubungan primer. Ada juga seruan untuk
menyelamatkan dan memulihkan lingkungan alam dan memerangi pencemaran,
kerusakan ekologi, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak
buruknya. Gagasan-gagasan tersebut menyediakan landasan untuk memicu gerakan
sosial yang kuat. Habermas menjelaskan suatu keyakinan bahwa kesenangan baru
ditakdirkan akan muncul dalam sejarah manusia setelah periode modern. Inilah
pandangan yang menganggap bahwa transformasi sosial tidak dapat dibalikkan
tetapi akan tetap bergerak menuju tipe masyarakat berkualitas baru yang lahir dari
abu modernitas. Seperti apa wujudnya, masih belum jelas tetapi sudah dipersiapkan
namanya, yaitu post-modern (Piotr Sztompka, 2004: 96).
Post-modernisme menekankan konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi
realitas majemuk dalam suatu dunia yang dicirikan oleh fragmentasi dan
keanekaragaman. Relevansi post-modernisme bagi perspektif bottom-up ialah
bahwa ia memberikan suatu argument yang kuat untuk mempertanyakan praktik
top-down, yang pada hakikatnya modernis, dan penghargaan post-modernise yang
masyarakat untuk disahkan dan untuk memunculkan dan melegitimasi suara-suara
alternatif. Post-modernisme memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada
pengembangan masyarakat, dan memang pengembangan masyarakat dapat dilihat
sebagai suatu proses memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
mengkonstruksi realitas mereka pada tingkat masyarakat dan terlibat dalam
pembangunan bottom-up (Tesoriero & Ife, 2008: 277).
• Feminisme
Feminisme adalah perspektif penting lainnya mengenai pengembangan
masyarakat untuk mentransformasikan perubahan dari bawah. Harcourt (1994)
menjelaskan bahwa pendekatan top-down, rasional dan manajerial merupakan cirri
sifat patriarkhal, dan dari suatu sudut pandang feminis ia melanggengkan
struktur-struktur dan wacana-wacana dominasi dan penindasan. Secara perspektif keadilan
sosial dan HAM dimana para penulis feminis telah menekankan betapa pentingnya
gender sebagai suatu dimensi yang mendasar dari penindasan, dan telah
memperlihatkan bahwa pencapaian keadilan sosial dan HAM akan tetap
merupakan mimpi yang mustahil kecuali jika isu gender ditangani secara cukup
sebagai bagian dari setiap proses perubahan (Tesoriero & Ife, 2008: 280).
Pentingnya feminisme adalah pada karakterisasi struktur-struktur
manajerial yang top-down sebagai patriarkhal, dan dengan demikian pada
identifikasinya yang dekat dengan suatu perspektif bottom-up atau perubahan dari
bawah. Feminisme post-modernisme memperkuat argument ini, dengan
menekankan validasi suara-suara kaum terpinggirkan dan mengaitkan ini kepada
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Dimana ide post-modernisme berpendapat bahwa
gender tidak bermakna identitas atau struktur sosia
pukul 20.45 WIB). Hal-hal ini merupakan bentuk-bentuk feminisme yang berupaya
mengubah struktur-struktur dan wacana-wacana dasar dari kekuasaan dan
penindasan yang berlandaskan gender, dan berupaya merombak patriarkhi yang
top-down sebagai landasan dari pengembangan masyarakat dengan perubahan dari
bawah dalam emansipasi gender.
2.3.Petani
Petani menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang
pekerjaannya bercocok tanam. Kehidupan petani identik dengan kehidupan
pedesaan. Amri Marzali membedakannya menjadi peladang atau pekebun, peisan
(dari bahasa Inggris Peasant), dan petani pengusaha atau farmer. Sebagian besar
petani yang ada di Indonesia merupakan peisan atau petani pemilik yang sekaligus
juga menggarap lahan pertanian yang mereka miliki.
Petani peladang atau pekebun menurut Dobby (1954), merupakan tahap
yang istimewa dalam evolusi dari berburu dan meramu sampai pada bercocok
tanam yang menetap. Keistimewaan itu kelihatannya terdiri dari ciri-ciri hampa
seperti tidak adanya hubungan dengan usaha pedesaan dan sangat sedikitnya
produksi yang mempunyai arti penting bagi perdagangan. Gourou (1956), secara
garis besar menguraikan empat ciri perladangan: (1) dijalankan di tanah tropis yang
kurang subur; (2) berupa teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan
alat-alat kecuali kampak; (3) kepadatan penduduk rendah; dan (4) menyangkut tingkat
ciri-cirinya juga ditandai dengan tidak adanya pembajakan, sedikitnya masukan tenaga
kerja dibandingkan dengan cara bercocok tanam yang lain, tidak menggunakan
tenaga hewan ataupun pemupukan, dan tidak adanya konsep pemilikan tanah
pribadi. Konsep mengenai peasant atau petani kecil sekurang-kurangnya mengacu
pada tiga pengertian yang berbeda. Konsep pertama mengacu pada pandangan
Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990), dan Paul Alexander dkk (1991), yang
menyatakan bahwa istilah peasant ditujukan kepada semua penduduk pedesaan
secara umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Konsep kedua mengacu pada
pandangan James C. Scott (1976) dan Wan Hashim (1984), yang menyatakan
bahwa peasant tidak mencakup seluruh pedesaan, tetapi hanya terbatas kepada
penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Konsep ketiga atau terakhir
mengacu pada pandangan Eric Wolf yang kemudian diikuti oleh Frank Ellis
(1988), yang menyatakan bahwa peasant ditujukan untuk menunjukkan golongan
yang lebih terbatas lagi, yaitu hanya kepada petani yang memiliki lahan pertanian,
yang menggarap sendiri lahan tersebut untuk mendapatkan hasil yang digunakan
untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk dijual, atau yang di Indonesia
biasa disebut sebagai petani pemilik penggarap (Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si
Konsep mengenai farmer atau petani kaya adalah petani-petani kaya yang
lebih mempunyai kecenderungan untuk menanamkan kembali modalnya didalam
kegiatan usaha tani (capital oriented). Mereka lebih mempunyai bentuk-bentuk
lembaga ekonomi yang lebih modern seperti bank koperasi desa, BUUD, dan
kecenderungan menumpuknya tanah kepada mereka dengan beli ataupun sewa
Peasant atau yang biasa juga disebut sebagai petani kecil, merupakan
golongan terbesar dalam kelompok petani di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Ciri-ciri petani yang tergolong sebagai peasant adalah sebagai mengusahakan
pertanian dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat, mempunyai
sumberdaya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang rendah, bergantung
seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten, kurang memperoleh
pelayanan kesehatan, pendidikan dab pelayanan lainnya (Soekartawi, 1986: 1).
Dari segi ekonomi, ciri yang sangat penting pada petani kecil ialah
terbatasnya sumberdaya dasar tempat ia mengusahakan pertanian. Pada umumnya
mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang disertai dengan
ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan
terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka mempunyai tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan kesehatan yang sangat rendah. Mereka sering terjerat oleh hutang
dan tidak terjangkau oleh lembaga kredit dan sarana produksi. Walaupun
petani-petani kecil mempunyai ciri yang sama, yaitu memiliki sumberdaya yang terbatas
dan pendapatan yang rendah, namun cara bekerjanya tidak sama. Cara bertani para
peternak di Afrika, peladang yang berpindah-pindah di daerah tropis, dan petani
kecil penghasil padi di Asia berbeda-beda. Demikian pula kebudayaan mereka
berbeda, baik antara negara dengan negara lain maupun antara satu daerah dengan
daerah lainnya dalam satu negara. Oleh karena itu, petani kecil tidak dapat
dipandang sebagai kelompok yang serba sama, walaupun mereka berada di suatu
Karl Marx punya pandangan mengenai kondisi sistem kepemilikan tanah
oleh petani, yakni Suatu pemilikan tanah oleh petani secara bebas adalah tingkat
transisi yang digerogoti oleh sewa diferensial dikalangan petani, yang dilakukan
oleh kompetisi pertanian kapitalis besar atau oleh perusahaan industri pedesaan dan
atau oleh pengambilalihan (perampokan) dari tanah bersama dan sebagainya.
Keadaan itu mempercepat pemiskinan penduduk pedesaan dan terjadilah
keterbelakangan kebudayaan dan inefisiensi. Marx menyatakan bahwa akan
tercipta suatu klas barbarian yang berada diluar masyarakat (Brewer, 1999: 274).
Maka apa yang dimaksud Marx ialah bahwa dampak liberalisasi pertanian yang
khususnya mengenai pemilikan tanah sebagai alat produksi pertanian hanya akan
menimbulkan persaingan dan akan ada yang menang dan kalah dalam persaingan
tersebut atas dasar kekuatan kapital.
Dalam teori tindakan moral, sebuah karyanya Scott, The Moral Economy of
the Peasant, digambarkan bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat
yang harmoni dan stabil. Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang
memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya.
Mereka ini adalah masyarakat yang ” mendahulukan selamat ” dimana akan
membantu mempersatukan satu struktur preferensi-preferensi yang riil (Scott, 1981
: 53). Suatu pilihan tindakan penolakan yang dikembangkan lagi oleh James Scott
(1983) dalam bukunya “ Weapons of The Weak ; Everyday Forms of Peasant
Resistance. Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah
dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para petani
melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karaena
merupakan perjuangan yang biasa biasa namun dilakukan terus menerus. Hal yang
menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak
bersifat kolektif. Ada 3 (tiga) kategori resistensi yaitu bisa dilakukan. Pertama,
bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi. Kedua, tujuan resistensi agar
ada reaksi dari pihak yang dilawan. Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau
mengarah pada resistensi simbolis, berbeda dengan perjuangan yang bersifat
frontal
2.4.Sosial Ekonomi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah sosial adalah berkenaan
dengan masyarakat. Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah
sekelompok
sebuah
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang
hidup bersama dalam satu
sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam
kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab,
musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan antar komunitas teratur.
Ekonomi merupakan salah sat
manusia yang berhubungan denga
(oikos) yang berarti
"peraturan, aturan,
dalam bekerj
dasarnya selalu menghadapi masalah ekonomi. Inti dari masalah ekonomi yang
dihadapi manusia adalah kenyataan bahw
terbatas, sedangk
faktor yang memengaruhi sehingga jumlah kebutuhan seseorang berbeda dengan
jumlah kebutuhan orang lain ialah faktor ekonomi, lingkungan sosial budaya, fisik,
pendidikan, dan moral
Pengertian kondisi sosial ekononomi adalah suatu keadaan atau kedudukan
yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi tertentu dalam
struktur masyarakat. Pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pembawa status. Tingkat sosial merupakan
faktor non ekonomis seperti budaya, pendidikan, umur dan jenis kelamin,
sedangkan tingklat ekonomi sepertik pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan dan
investasi. Manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik moral maupun
material. Kebutuhan pokok atau basic human needs dapat dijelaskan sebagai
kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia. Abraham
Maslow mengungkapkan kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan dasar
fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan
akan dihargai dan kebutuhan mengaktualisasikan diri
: 27/10/2012 pukul 21.52 WIB).
Salah satu faktor yang penting untuk membangun masyarakat yang
sejahtera adalah sebuah teori sosial ekonomi yang baik. Sepanjang sejarah,
dipergunakan dan dibagikan dengan baik. Tambahan pula, masyarakat memerlukan
suatu sistem pemerintahan yang dapat memenuhi semua kebutuhan anggotannya.
Jawaban masyarakat atas keperluan itu menggambarkan nilai-nilai sosial ekonomi
yang diikuti masyarakat pada realitasnya.
Berkaitan dengan permasalahan sosial ekonomi petani, Marx berpandangan
bahwa dalam ekonomi perbudakan, atau disuatu sistem dimana pemilik perkebunan
mengatur produksi dan membayar pekerja, keseluruhan produk lebih masuk pada
pemilik, tanpa pembagian laba dan sewa. Dalam konteks kapitalis, surplus dapat
dikatakan laba. Sedang di masyarakat-masyarakat sebeumnya, ia dianggap sebagai
sewa. Namun apapun yang dipakai, ia tidak berbeda. Secara alternatif, petani
memiliki tanah sendiri tanpa wajib membayar sewa seperti di zaman purba sesudah
surutnya feodalisme. Ketika kapitalisme masih terbelakang, harga-harga pasar
tidak akan dikontrol oleh harga produksi, sehingga unsur yang bermain terhadap
sewa dan laba untuk petani dapat saja tinggi atau rendah. Tentunya ada ekuivalensi
dari sewa-diferensial. Petani dengan tanah bagus dengan sendirinya lebih baik
hasilnya dari tanah yang gersang (Brewer, 1999: 273).
Dalam hal bentuk-bentuk hubungan ekonomi yang dialektis, Marx telah
meggambarkan bentuk hukum ekonomi pokok pada sistem ekonomi dalam setiap
periode masyarakat yang secara nyata dari bentuk-bentuk penghisapan yang
dilakukan kelas penguasa dalam menghisap dan menindas kelas yang dikuasainya,
sampai adanya bentuk perlawanan dari rakyat terhadap kelas penghisap. Adapun
hubungan produksi dalam setiap periode masyarakat yang dimaksud ialah
masyarakat primitif, masyarakat perbudakan, masyarakat feudal, masyarakat
2.5.Kesejahteraan Sosial
Banyak pengertian kesejateraan sosial yang dirumuskan, baik oleh para
pakar pekerjaan sosial maupun PBB dan badan-badan dibawahnya diantaranya:
(Adi Fahrudin, 2012: 9-10)
1. Friedlander (1980)
Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari
pelayanan-pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan
yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan
mereka dapat mengemban kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras
dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya.
2. Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kesejahteraan sosial merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dengan
tujuan membantu penyesuaian timbale balik antara individu-individudengan
lingkungan sosial mereka.
3. Undang-undang No.11 Tahun 2009
Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya. Akan tetapi, pada UU ini tidak terdapat seperti pernyataan bahwa
tetap menjunjung hak-hak asasi dan Pancasila dalam UU Nomor 6 Tahun 1974
mengenai kesejahteraan sosial yang telah digantikan UU No.11 Tahun 2009.
maslah yang dihadapi anggotanya. Sedangkan pada saat ini, kesejahteraan sosial
memiliki tujuan yaitu: (Adi Fahrudin, 2012: 10)
1. Kesejahteraan sosial untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti
tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan,
pangan, kesehatan, dan relasi-relasi sosial yang harmonis dengan
lingkungannya.
2. Kesejahteraan sosial untuk mencapai penyesuaian diri yang baik
khususnya dengan masyarakat dilingkungannya, misalnya dengan
menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf
hidup yang memuaskan.
Dalam kesejahteraan sosial memiliki fungsi-fungsi yang antara lain ialah:
(Adi Fahrudin, 2012: 12-13)
1. Fungsi pencegahan (Preventive)
Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga, dan
masyarakat supaya terhindar dari maslah-maslah sosial baru.
2. Fungsi Penyembuhan (Curative)
Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi
ketidakmampuan fisik, emosional, dan sosial agar orang yang mengalami
masalah tersebut dapat berfungsi kembali secara wajar dalam masyarakat.
Dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan (rehabilitasi).
3. Fungsi Pengembangan (Development)
Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung at
aupun tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan
4. Fungsi Penunjang (Supportive)
Fungsi ini mencakup kegiatan-kegiatan untuk membantu mencapai tujuan
sektor atau bidang pelayanan kesejahteraan sosial yang lain.
Sebagai pekerja sosial yang merupakan stakeholder dalam kesejahteraan
sosial, dan seperti apa juga yang disampaikan oleh the International Federation of
Social Workers (IFSW) dimana profesi pekerjaan sosial ialah berfungsi untuk
meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah, dalam hubungan-hubungan
manusia serta pemeberdayaan dan pembebasan orang untuk meningkatkan
kesejahteraan, dimana prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial
merupakan dasar bagi pekerja sosial (Adi Fahrudin, 2012: 62).
Dalam hubungan antara pekerja sosial dengan pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dimana Murray adalah seorang pekerja sosial yang
berkecimpung sebagian besar hidupnya di lingkungan masyarakat dan dia dalam
bukunya “CO Theory Principles and Practice”, berpendapat bahwa pekerja sosial
yang ada di masyarakat biasanya adalah pekerja sosial yang bekerja di
organisasi-organisasi kemasyarakatan dimana organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut bertujuan
memajukan/pengembangan kesejahteraan masyarakat dimana hal tersebut tidak
terlepas dari lingkungan yang ada (Agus Suriadi, 2005: 7).
2.5.1.Usaha-Usaha Kesejahteraan Sosial
Dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2009 dinyatakan usaha kesejahteraan
sosial itu merupakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yaitu upaya yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah,
setiap warga negara, yeng meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Cassidy seperti dikutip oleh Friedlander (1980) mengatakan bahwa usaha
kesejateraan sosial merupakan sebagai kegiatan-kegiatan terorganisasi yang
terutama dan secara langsung berhubungan dengan pemeliharaan, perlindungan,
dan penyempurnaan sumber-sumber manusia. Siporin (1974) juga menjelaskan
dalam usaha kesejahteraan sosial, pekerjaan sosial memegang peranan sentral yaitu
sebagai “metha-institution”. Hal ini berarti bahwa dalam usaha kesejahteraan
sosial, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat, baik langsung
maupun tidak langsung, maka profesi pekerjaan sosial merupakan profesi utama di
dalamnya (Adi Fahrudin, 2012: 14-15).
Dalam komponen-komponen kesejahteraan sosial, diantaranya secara
organisasi formal, dimana usaha kesejahteraan sosial terorganisasi secara formal
dan dilaksanakan oleh organisasi/ badan sosial yang formal pula. Kegiatan yang
dilaksanakan memperoleh pengakuan masyarakat karena memberikan pelayanan
secara teratur, dan pelayanan yang diberikan merupakan fungsi utamanya. Selain
itu juga secara peran-serta masyarakat, dimana usaha kesejahteraan sosial harus
melibatkan peranserta masyarakat agar dapat berhasil dan member manfaat kepada
masyarakat (Adi Fahrudin, 2012: 16-17).
Dalam usaha kesejahteraan sosial terdapat beberapa metode dalam
mengetasi masalah kesejahteraan sosial yaitu:
27/10/2012 pukul 22.46 WIB)
Metode bimbingan sosial individu yang ditujukan kepada penyandang
masalah kesejahteraan sosial bersifat individual yang dilakukan secara tatap muka
antara peksos dan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Bimbingan ini
dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menggali permasalahan yang bersifat
mendasar yang dapat menganggu terhambatnya proses pelayanan. Pada metode ini,
pekeja sosial dituntut untuk dapat mendorong penyandang masalah kesejahteraan
sosial uspaya mengungkapkan masalahnya baik yang bersifat individu, keluarga
maupun masalah lainnya. Selanjutnya dalam metode ini peksos juga dituntut untuk
dapat memfasilitasi para penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam
mencarikan alternatif atau solusi pemecahan masalah yang dihadapi oleh
penyandang masalah kesejahteraan sosial.
2. Bimbingan sosial atau terapi kelompok (social groub work)
Metode dalam peksos dengan menggunakan kelompok sebagai media terapi
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, dengan media ini penyandang
masalah kesejahteraan sosial akan mengalami perubahan perilaku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara pekerja sosial dengan penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Dalam metode ini pekerja sosial menciptakan berbagai
kelompok dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan penyandang
masalah kesejahteraan sosial. Pada proses kegiatan kelompok ini diharapkan
peksos mampu memberikan penguatan terhadap sikap dan perilaku penyandang
masalah kesejahteraan sosial secara positif untuk upaya memecahkan masalah.
Bimbingan sosial komunitas mengunakan metode kehidupan dan interaksi
komunitas yang menjadi lingkungan sosial para penyandang masalah kesejahteraan
sosial dalam proses pelayanan. Pelaksanaa metode ini menekankan peran peksos
untuk dapat menyiapkan lingkungan masyarakat yang kondusif agar dapat
menerima kehadiran dan permasalahan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Selain menyiapkan komunitas/masyarakat dalam menerima penyandang masalah
kesejahteraan sosial, pekerja sosial di tuntut menyiapkan juga penyandang masalah
kesejahteraan sosial untuk bisa hidup dan diterima dalam komunitasnya. Pada
metode bimbingsn ini menekankan pentingnya partisipasi seluruh komponen
masyarakat melalui tokoh kunci masyarakat dalam menangani permasalahan yang
dihadapi oleh penyandang masalah kesejahteraan sosial.
4. Aksi sosial (social action)
Metode ini diartikan sebagai tindakan dalam suatu pelaksanaan program
dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi
permasalahan. Selain itu metode ini bisa juga diartikan tindakan atau kegiatan
sekelompok individu dalam mempengaruhi kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Dalam metode ini diperlukan pendekatan-pendekatan persuasif dalam
melaksanakan atau melakukan tindakan aksi yang diperlukan.
5. Penilitian sosial (sosial research)
Penilitian sosial adalah suatu metode dalam kegiatan usaha kesejahteraan
sosial guna untuk menemukan, menggali dan mengkaji
kebutuhan untuk menjawab dan mencari alternatif pemecahan masalah terhadap
permasalahan yang terjadi.
6. Administrasi sosial (social adminintration)
Administrasi sasial adalah metode dalam kegiatan usaha kesejahteraan
sosial untuk melakukan perumusan, pengorganisasian, dan evaluasi terhadap
program dan kegiatan dalam pelayanan usaha kesejahteraan sosial.
2.6. Kerangka Pemikiran
Indonesia sebagai negara agraris, dimana sebagian besar dari penduduk
Indonesia bermata pencaharian dari hasil pertanian. Petani sangat bergantung pada
lahan tanah sebagai alat produksi utama petani, tetapi kondisinya dimana rata-rata
kepemilikan lahan oleh petani yaitu relatif sempit bahklan hanya menjadi buruh
tani, yang mengakibatkan sistem produksi yang beroperasi tidak akan ekonomis.
Hal tersebut disebabkan dari beberapa determisani yang diantaranya perampasan
tanah secara paksa maupun secara neoliberalisasi ekonomi pada sistem kapitalisme
yang diperaktekkan di Indonesia. kondisi tersebut harus dihentikkan dengan
mengenalkan tatanan kelembagaan yang dapat mengkonsolidasikan para petani
dalam suatu lembaga komunitas atau organisasi. Karena kelembagaan adalah
wadah , mekanisme yang mengorganisasikan dan mengatur pengelolaan sumber
daya agar memberi manfaat seperti yang dikehendaki.
Suatu organisasi massa/sosial juga harus melakukan pengembangan
terhadap anggota (kader) termasuk dalam hal sosial ekonomi mereka. Termasuk
petani yang pada kondisinya dalam suatu ketidakadilan secara sosial ekonomi yang
sebagai kaderisasi hingga pengembangan untuk penyelesaian permasalahan petani
dalam sistem produksi dari pertanian yang dimiliki petani.
Serikat Petani Indonesia (SPI) melaksanakan pola pengorganisasian untuk
kelompok-kelompok tani yang terkena imbas dari ketidakadilan dari sebuah sistem
yang ada khususnya di daerah-daerah yang menjadi tanggungjawabnya secara
organisatoris. Selain itu mampu memberikan kesadaran petani untuk melakukan
perjuangan secara kolektif, melakukan kaderisasi dan melakukan pengembangan
kondisi sosial ekonomi petani. Sehingga dengan suatu metode organisasi yang
dipakai mampu mewujudkan semangat perjuangan tani untuk menuju tatanan sosial
petani yang lebih ideal bagi petani, yang diantaranya berupa kedaulatan petani, hak
azasi petani, atanan agrarian yang adil dan beradab, kehi