• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan harapan dari setiap keluarga maupun bangsa, anak

disebut sebagai calon generasi penerus bangsa yang berperan amat penting

dalam perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang cerdas

menghasilkan anak-anak yang cerdas, anak-anak yang cerdas didukung oleh

faktor-faktor salah satunya faktor pelindung. Namun, zaman sekarang

sungguh memprihatinkan karena hak-hak atas anak sering sekali di

selewengkan. Anak sudah sering sekali menjadi korban utama dalam tindak

pidana kejahatan.

Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan,

tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal

mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dari orang tua,

keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, bila anak telah

menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami

mengenai apa yang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga,

masyarakat, bangsa, dan negara.1

Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan

bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi

yang baik antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak

tersebut. Setiap peserta bertanggung jawab atas pengadaan kesejahteraan anak.

1

(2)

Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib)

berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Adanya

kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang merata akan membawa

akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang

selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan dalam

masyarakat tersebut. Oleh sebab itu usaha pengadaan kesejahteraan anak

sebagai suatu segi perlindungan anak mutlak harus dikembangkan.2

Selayaknya, anak anak berada di bawah pengawasan dan perlindungan

orang-orang dewasa, selama mereka masih dikategorikan sebagai anak-anak

dibawah mur sudah seharusnya mereka mendapat perhatian, kasih-sayang,

cinta sebagai ajaran moralitas bagi mereka bukan malahan menjadi buronan

para pelaku kejahatan anak atas tindakan kekerasan dimana anak sebagai

sasarannya.

Kekerasan pada anak sudah banyak sekali, mulai dari hal perbudakan,

pembunuhan, dan kasus kekerasan pada anak yang marak menimpa anak atau

paling sering ialah kasus kekerasan seksual yang berorientasi pada anak

sebagai korban (Viktim).

Numerous explanations have been offered regarding why male abusers

sexually assault children. Explanation tend to be; physiological, focusing on

brain abnormalities for example, pointing to the importance of ealry

childhood experiece; sociological, stressing the central role of structural

factors such as power relations; ecletictic, combining sociological and

2

(3)

psychological thought. It is important to consider the theoretical context of

abuse as current policy, sentencing and treatment practice has largely evolved

from cognitive behavioural work.3 (Penjelasan yg akurat pernah dicetuskan

berhubungan dengan mengapa pria sebagai pelaku kekerasan seksual

menargetkan anak-anak dibawah umur. Penjelasannya mengarah kepada:

psikologi, contohnya, adanya gangguan berpikir atau abnormalitas pada otak,

lalau bisa dikarenakan pentingnya pengalaman para pelaku pada masa lalu

atau pada masa kekanak-kanaknya; secara sosiologis, lebih mengarah kepada

faktor struktural utama ; misalnya hubungan erat; sesuatu yang cocok dengan

pilihannya, kombinasi pemikiran sosiologis dan psikologis. Perlu di

pertimbangkan konteks pelecehan secara teoritis sebagai aturan sekarang ini,

hukuman dan praktek rehabilitasi telah ada peningkatan yang besar dari hasil

kerja kelakuan secara kognitif.)

Seksualitas merupakan objek yang kontroversial dalam kehidupan

masyarakat, banyak sekali masalah-masalah bahkan kasus-kasus hukum yang

terjadi dikarenakan permasalahan seksualitas. Kasus seksualitas dewasa ini

tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi menargetkan anak sebagai

sasaran korban seks. Ironisnya, hal-hal tersebut terjadi karena rendahnya

moralitas beberapa orang dewasa (pelaku) dalam memanfaatkan kepolosan

anak-anak yang masih dibawah umur, bukannya memberikan pengawasan,

perlindungan, cinta kasih maupun menjadi sosok panutan anak anak tersebut,

mereka justru menjadi perusak calon generasi penerus bangsa.

3

(4)

Anak pada zaman sekarang sering sekali dijadikan objek Eksploitasi

Seksual. Eksploitasi Seksual Komersial Anak disebut ESKA adalah

penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam

bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen dan pihak lain

yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut.4

Melihat banyaknya, penyelewengan yang terjadi terhadap hak atas

anak, seperti terjadinya kasus kasus kekerasan atau kasus pidana yang

berorientasi pada anak, sudah seharusnya masyarakat dan negara memberikan

pengawasan dan perlindungan lebih terhadap anak-anak di bawah umur

terlebih lagi memberikan Perlindungan Hukum.

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan

hukum terhadap berbagai kekebasan dan hak asasi anak (fundamental rights

and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan

dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan hukum bagi anak

mencakup lingkup yang sangat luas.5

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh

orang tua, keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 Ayat 1). Hak anak

adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan

dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (Ayat 2).6

4

Abdussalam dan Adri Dessafuryanto, SH, MH, Op. Cit, hlm. 7

5

Waluyadi, SH, MH, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2009), Hlm. 1

6

(5)

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari

berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik psikotropika dan zat adiktif lainnya.

(Pasal 65 dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentenag Hak Asasi

Manusia)7

Anak-Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang akan

menangis, mencintai, memiliki impian dan cita-cita dan membentuk watak

anak anak tersebut dan anak anak tersebut akan berinteraksi menjadi bagian

dari suatu komunitas tersebut. Seberapa besar impian dan ketertarikan mereka

pada kehidupan kelak, maka hal hal tersebut akan bergantung berdasarkan

pengaruh-pengaruh mereka maupun pengalaman-pengalaman mereka pada

masa kanak-kanaknya.8

Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual itu bukan hanya

menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah

umur (anak-anak). Kejahatan seksual ini juga tidak hanya berlangsung di

lingkungan perusahaan atau di tempat-tempat tertentu yang memberikan

peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun dapat

juga terjadi di lingkungan keluarga9

Anak sebagai sasaran dari kekerasan seksual tersebut dinyatakan

sebagai korban kejahatan dimana menurut Arif Gosita yang disebut dengan

korban, adalah:

7

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 65

8

Ian Broinowski, Child Care Social Policy and Economics, (Victoria: TAFE Publications, 1994), Hlm. 17

9

(6)

Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang

lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.10

Korban kejahatan diartikan sebagai seseorang yang telah menderita

kerugian akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa keadilannya secara

langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target

(sasaran) kejahatan.11

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tertentu

korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban.

Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan

bahwa korban berhak untuk:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksuan

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

Rena Yulia, Viktimologi Perlindugan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Hlm. 49

11

(7)

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapatkan identitas baru;

j. Mendapatkan kediaman baru;

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapat nasihat hukum, dan/atau;

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Mengenai perlindungan terhadap anak sebagai korban itu sendiripun,

telah diciptkannya Undang-Undang yang memberikan perlindungan terhadap

anak dibawah umur, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak yang pada

awalnya ialah Undang-Undang Perlidungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang

kemudian seiring berkembangnya waktu, terjadi beberapa perubahan sehingga

berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak.

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak pada 22 Oktober 2002 hingga dengan saat ini

(2014) tidak kurang dari 12 Tahun kekerasan seksual masih saja marak terjadi

di Indonesia. Fenomena inipun semakin marak dan menjadi sorotan

masyarakat Indonesia ketika media masa menyoroti kasus-kasus kekerasan

seksual yang terjadi pada anak seperti kejahatan pedofilia yang terjadi di

(8)

yang semakin membesar memunculkan kasus-kasus kekerasan seksual

terhadap anak di banyak tempat.12

Ketertarikan orang dewasa terhadap seks rekreasional yang

menempatkan anak sebagai objek perangsang dan pelampiasan libido dalam

KUHP dikategorikan sebagai tindakan yang terlarang dan diancam dengan

hukuman pidana.13

Dalam Viktimologi, masalah korban ini sebetulnya bukanlah masalah

yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan

diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang

sebenarnya secara dimensional, maka mau tidak mau kita harus

memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan.14

Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada

kejahatan tanpa menimbulkan adanya korban. Dengan demikian, Korban

adalah partisipan utama, meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa

korban, “crime without victim”, akan tetapi harus diartikan kejahatan yang

tidak menimbulkan korban dipihak lain, misalkan penyalahgunaan obat

terlarang, perjudian, aborsim dimana korban menyatu sebagai pelaku juga.

Dalam kasus kekerasan seksual dimana anak sebagai korban, bisa saja

korban tersebut menjadi faktor pendorong terjadinya suatu tindak pidana.

Misalnya saja kita katakana dewasa ini pergaulan sudah semakin luas,

anak-anak sudah dibiarkan bebas dalam hal pergaulan dan kurangnya pengawasan

12

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, (Jakarta: PT BUKU SERU, 2015), Hlm. 10

13

Ismantoro Dwi Yuwono, SH, Ibid, hlm. 16

14

(9)

orang tua mereka, mereka dibebaskan bergaul dengan siapa saja, pergi kemana

saja. Maka, dengan kepolosan mereka tersebut, mereka bisa terperangkap

dalam salah pergaulan dan dimanfaatkan oleh pihak pihak atau orang dewasa

yang tidak bertanggung jawab. Terkadang saja, kepolosan anak anak tersebut

dimanfaatkan dengan daya tipu seperti modus operandi.

Dengan modus operandi, anak-anak akan dengan mudahnya mengikuti

kemauan si pelaku kekerasa seksual atau tindak pidana, mereka akan dengan

mudah dan dibujuk ataupun berada dalam penguasaan si pelaku.

Pelaku kejahatan terhadap anak bisa saja orangtua (ayah dan/atau ibu),

anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak

hukum dan lain-lain). Kekerasan rawan terjadi terhadap anak karena

kedudukan anak yang kurang menguntungkan. Anak rawan (children of risk)

merupakan anak yang mempunyai resiko besar untuk mengalami gangguan

atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis (mental). Sosial

maupun fisik yang dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi

eksternalnya seperti anak dari keluarga miskin, anak di daerah terpencil, anak

cacat dan anak dari keluarga yang retak (broken home).15

Dalam keadaan demikian, masyarakat, aparat hukum bahkan Negara

sendiri haruslah lebih memperkirakan mengenai perlindungan dan

pengawasan terhadap anak, terlebih lagi dimana anak sebagai suatu korban

tindak pidana kekerasan seksual sungguh amat memperhatikan dan dapat

merusak sebagian masa depan dari calon generasi penerus bangsa.

15

(10)

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti

perlindungan anak korban menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

maupun pandangan aturan hukum pidana ataupun aturan hukum lainnya, serta

bagaimana bisa suatu tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak itu

terjadi beserta hal-hal apa saja yang mendasari terjadinya tindak pidana

tersebut. Penulis akan membahas bagaimana kebijakan hukum pidana kepada

anak dibawah anak sebagai korban atas suatu tindak pidana kekerasan seksual,

dengan judul,“Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi”. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka

permasalahan yang akan diangkat penulis, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai korban kekerasan seksual

terhadap anak di bawah umur?

2. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya korban

kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur?

3. Bagaimana kebijakan Hukum Pidana terhadap korban kekerasan

seksual terhadap anak di bawah umur?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan

dari penulisan ini ialah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai korban kekerasan

(11)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur sebagai korban.

3. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap anak

dibawah umur sebagai korban kekerasan seksual.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang manfaat dari penulisan ini ialah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat menjadi referensi

ataupun kajian untuk memberikan informasi-informasi dalam bidang

pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana pada khususnya

sekalipun dapat memberikan pengembangan suatu wawasan bagi

kalangan mahasiswa maupun kalangan akademis dan masyarakat serta

berguna bagi generasi penerus bangsa yang akan datang yang masih

belajar untuk memahami tentang perkembangan terhadap upaya

perlindungan serta pengawasan terhadap anak sebagai pencegahan

adanya tindak pidana yang berorientasi terhadap anak sebagai

korbannya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi pedoman

ataupun sumbangsih pemikiran serta untuk memberikan kontribusi

pemikiran bagi aparat penegak hukum serta masyarakat dalam menilai

(12)

perlindungan anak sebagai saksi ataupun korban dalam suatu tindak

pidana.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Analisis Hukum Terhadap

Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi

Kasus Putusan Nomor: 5/Pid. Sus/2012/PN. BTG)” belum pernah ditulis di

Fakultas Universitas Sumatera Utara.

Mengenai keaslian penulisan, karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh

penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur

maupun pengumpulan-pengumpulan data yang dihimpun dari berbagai

sumber, seperti buku-buku, kemudian juga melalui media elektronik seperti

internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri serta dengan adanya

bantuan dari berbagai pihak. Walaupun ada pendapat atau kutipan dalam

penulisan ini ialah semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan

pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk

penyempurnaan tulisan ini. Dalam rangka melengkapi Tugas Akhir dan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, dan penulis bertanggung jawab sepenuhnya

(13)

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlidungan Anak pada Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pengertian Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Tentang Kesejahteraan adalah mereka yang belum berusia 21 Tahun dan

berhak untuk memperoleh perlindungan baik secara mental dan fisik.

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Pasal 1

ayat(5) adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Pengertian anak berdasarkan undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap orang yang belum berusia

18(delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih berada

dalam kandungan, apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Anak,

bahwa anak adalah setiap orang yang berusia 18(delapan belas) tahun, kecuali

berdasarkan UU yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa

dicapai lebih awal.

Pengertian anak berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014

(14)

18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. (sama

seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

Mengenai batas usia anak sebenarnya secara umum telah dijelaskan

dalam uraian diatas. Penggolongan definisi “anak” pada umumnya selalu

dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun pembatasan anak

dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang

dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan

relatif16. Dalam hukum dan beberapa peraturan mungkin mengklasifikan anak

tergantung pada umur masing-masing individu. Tetapi, dalam ilmu psikologi

diketahui bahwa seseorang dikatakan anak bukan hanya saja karena hitungan

umurnya tetapi dari segi kemampuan. Ada beberapa orang yang umurnya

sudah dikatakan dewasa secara hukum tetapi memiliki kondisi psikologis

ataupun kemampuan seperti anak-anak (belum mampu dan dibawah

pengampuan). Jadi, mengenai batasan usia anak sendiri masih

bercabang-cabang karena batas usia anak menurut hukum dan psikologi terkadang tidak

sama.

Dalam pengklasifikasian batas usia anak menurut hukum yang berlaku

di negeri Indonesia, dapat kita tinjau sebagai berikut:

1. Menurut Ketentuan Hukum Pidana

Menurut Kitab Hukum Pidana, batas usia anak itu ialah sebagai

berikut:

16 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi

(15)

Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal

45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara

implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan

secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA

yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut Anak adalah mereka yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi mereka belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana.

2. Menurut Ketentuan Hukum Perdata:

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 330

KUHPerdata disebutkan bahwa anak belum dewasa apabila mereka

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah.

3. Menurut Ketentuan Hukum Adat

Menurut R. Soepomo pengklasifikasian batas usia anak secara hukum

adat yakni seseorang tersebut dapat dikatakan bukan lagi sebagai anak

namun ia telah dewasa apabila:

a. Dapat bekerja sendiri

b. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat

c. Mengurus harta kekayaan sendiri

d. Telah menikah

e. Telah berusia 21 tahun

Jadi, melihat bahwasannya menurut ketentuan hukum masing-masing

(16)

tersebut pun akan digunakan sesuai dengan ketentuan hukum mana yang

diperlukan atau akan digunakan.

Korban ialah berasal dari bahasa Inggris yaitu Victim. Definisi korban

menurut kamus Crime Dictionary oleh ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa

victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan

mental, kerugiaan harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau

usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya.17

Menurut Arif Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah

dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri

sendiria atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi

yang menderita.18

Dalam kajian viktimologi terdapat perspektif dimana korban bukan

saja bertanggung jawab dalam kejahatan itu sendiri tetapi juga memiliki

keterlibatan dalam terjadinya kejahatan.

Menurut Stephen Schafer19 ditinjau dari persfektif tanggung jawab

korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut :

1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si

pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari

aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;

17

Bambang Waluyo, Viktimologi, (Jakarta: Sinar Grafika 2014), Hlm. 9

18

Ibid

19

(17)

2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban

untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab

terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama;

3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat

mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di

Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus

dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek

ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;

4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan

fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)

merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek

pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah

setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang

tidak berdaya;

5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh

masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan

sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh

terletak pada penjahat atau masyarakat;

6. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri

(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya

sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku

(18)

7. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis,

korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan

konstelasi politik.

Pengertian anak sebagai korban adalah anak-anak sebagai korban

tindak pidana perdagangan orang dari tindakan yang bertentangan dengan

harkat dan martabat manusia serta melanggar HAM. Merupakan suatu

kewajiban negara untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak

sebagai korban tindak pidana khususnya perdagangan orang.20

Sungguh memprihatinkan apabila kita melihat kini anak menjadi

sasaran atau target (korban) dalam suatu tindak pidana. Terlebih lagi, dalam

kurun waktu beberapa tahun belakangan ini tindak pidana terhadap anak

sebagai korban yang semakin meluas ialah mengenai tindak pidana kekerasan

seksual pada anak. Tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban mulai

dari perdagangan anak, masalah narkotika, kemudian kekerasan seksual

terhadap anak di bawah umur.

Ketika terjadi tindak pidana yang melibatkan anak sebagai korban atas

tindak pidana tersebut, maka kewajiban aparat penegak hukum maupun

masyarakat dalam agar anak wajib memperoleh perlindungan khusus dalam

posisinya sebagai korban tindak pidana. Korban anak perlu mendapatkan

perhatian dan perlindungan khusus terutama penderitaan dan kedukaan yang

harus dialami korban karena kerentanannya anak jadi korban baik fisik,

maupun psikis.

20

(19)

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi manusia

(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan

yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan

hukum bagi anak mrencakup ruang lingkup yang luas.21

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat, dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 1 Ayat 2

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002). Maka, anaklah yang menjadi tujuan

dari perlindungan hukum tersebut.

Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaraan perlindungan anak, maka jawaban singkatnya adalah orang

tua, pemerintah, dan Negara22. Lalu, pada pasal 20 UU Nomor 23 Tahun

2002, menjelaskan secara lebih luas bahwa pertanggung jawaban atas

perlindungan terhadap anak, meliputi Negara, pemerintah, masyarakat,

keluargam dan orang tua.

Mengenai kewajiban dan tanggung jawab Negara dan pemerintah atas

anak, disebutkan dalam Pasal 21, Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan

Anak sebagai berikut:

21

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), Hlm. 39.

22

(20)

a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan

suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa,

status anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak.

c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang

secara hukum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi

pelanggaran perlindungan anak.

d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Hal-hal demikian tersebut diatas merupakan upaya dalam

perlindungan umum.

Adanya tugas dan kewajiban pemerintah dan Negara juga memberikan

perlindungan khusus terhadap anak dalam Pasal 59 UU Nomor. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, yakni sebagai berikut:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang diperdagangkan;

f. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkoholik,

(21)

g. Anak korban penculikkan, penjualan, dan perdagangan;

h. Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental;

i. Anak yang menyandang cacat;

j. Anak korban perlakuan salah dan penelantaraan.

Berhubungan dengan anak sebagai korban dari tindak pidana

kekerasan seksual, maka perlindungan hukum yang diberikan kepada anak

tersebut yakni merupakan perlindungan anak secara khusus, seperti yang

tertera pada bagian d dan h pada pasal 59 UU Perlindungan Anak tersebut.

Kata tindak pidana berasal dari istilah dalam hukum pidana belanda

yang dikenal, yaitu “strafbaar feit”. Lalu kemudian, para ahli hukum

Indonesia memberikan banyak definisi dari istilah strafbaar feit tersebut.23

a. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefiniskan

sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

disertai ancaman(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.

b. Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang menurut

sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang

dapat dihukum.

c. R. Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang

atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana

diadakan tindakan penghukuman.

23

(22)

Peristiwa Pidana “strafbaar feit” seringkali disinggung sebagai

“peristiwa pidana”, yang sering juga disebut “delik”.24

Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam kitab Undang- Undang

Hukum Pidana KUHP oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan

strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tidak meberikan penjelasan

lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu. Maka dari itu terhadap maksud dan

tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering digunakan oleh pakar hukum

pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta

delik. Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan

pelanggaran dimuat dalam buku III.25

Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang

oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan

dijatuhkan hukuman.26

Hukum pidana terbagi menjadi dua, yakni Hukum Pidana Umum dan

Hukum Pidana Khusus. Dimana secara definitif, Hukum Pidana Umum

sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku secara umum yang tercantum

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) serta seluruh

perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP.27

24

Mr Drs E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986). Hlm. 251

25

Moeljatno, KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), hal 43 dan 179.

26

Ibid, Hlmn. 253.

27

(23)

Kemudian mengenai Hukum Pidana Khusus yakni sebagai

peraturan-peraturan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak-tinak

pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP, baik

perundang-undangan yang bukan pidana maupun pidana tetapi memiliki

sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP).28

Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dikategorikan sebagai

tindak pidana yang khusus karena dalam hukum pidana khusus mengatur

mengenai tindak pidana terhadap anak-anak.

Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat

didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang

umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab

terhadap kesejahteraan anak-yang mana itu semua diindikasikan dengan

kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.29

Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak

di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk

rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau

menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari

hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk

anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual

terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam

konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin

anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti

28

Ibid

29

(24)

pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi

anak.30

Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasaan yang dapat berupa ajakan

secara paksa, menyiksa atau mengancam seseorang untuk melakukan

hubungan seksual. Sekarang kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh

orang yang tidak dikenal si korban melainkan malah orang terdekat yang telah

dikenal oleh si korban. Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan bujukan

kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas seksual terlepas

dari apakah seorang anak tersebut sadar atau tidak dengan apa yang sedang

terjadi. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai serangkaian hubungan atau

interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang

lebih berpengalaman atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau

orang yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak tersebut seperti

orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek

pemuas bagi kebutuhan seksual mereka. “kebutuhan seksual” yang tidak

terkendali dan tidak dapat dikendalikan sering digunakan sebagai alasan untuk

melakukan kekerasan seksual.31

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya

perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi

anak(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan

30

https://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak

31

(25)

yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Jadi, masalah perlindungan

hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.32

Perlindungan Hukum terhadap berbagai bentuk kejahatan terhadap

anak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Sebagaimana tertulis pada bagian “Menimbang”, salah satu

pembentukkan UU No. 23 Tahun 2002 adalah bahwa setiap anak perlu

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu

dilakukan upaya perlindungan sera untuk mewujjudkan kesejahteraaan anak

dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

perlakuan tanpa diskriminasi.33

Perlindungan Hukum mengenai Perlindungan Anak dapat lebih jelas

pengertiannya mengenai perlindungan anak berdasarkan UU No. 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak. Perlindungan anak adalah: segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Jadi, perlindungan anak yang hakiki ialah perlindungan terhadap anak

sebagai upaya untuk menghindarkan terjadinya penyelewengan hak dan

32

Prof. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. Cit, Hlm. 153

33

(26)

kewajiban anak atau melindungi hak-hak asasi anak dari tindakan-tindakan

yang akan merugikan anak tersebut.

2. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur

Kejahatan terhadap anak dalam bentuk tindak pidana seksual sudah

menjadi suatu kejahatan yang semakin lama semakin meluas. Anak kini

merupakan sasaran utama sebagai korban dalam tindak pidana, terlebih juga

dikarenakan anak-anak belum mampu seutuhnya melindungi diri mereka dari

bentuk-bentuk kejahatan.

Seiring bertambahnya aturan-aturan maupun perundang-undangan

mengenai perlindungan terhadap tindak pidana anak tersebut menunjukkan

jelas bahwa tindak pidana yang mengakibatkan anak sebagai korbannya justru

semakin meluas sehingga mendorong suatu Negara untuk mempersiapkan

upaya-upaya perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya suatu kejahatan

terhadap anak.

Mengenai kejahatan, dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Kejahatan secara praktis (Practical Interpretation) adalah suatu perbuatan

yang dilkaukan oleh seseorang yang melanggar ketentuan hukum atau

peraturan perundang-undangan dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi

pidana.

2. Kejahatan secara religious (Religious Interpretation) adalah suatu

(27)

religious itu merupakan sinonim. Berbuat jahat adalah dosa, sebaliknya

berbuat dosa adalah kejahatan.34

3. Kejahatan secara yuridis (Juridical Interpretation) adalah suatu perbuatan

yang melanggar hukum atau dilarang oleh undang-undang. Dalam

pengertian yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah

ditetapkan oleh Negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan

diancam dengan suatu sanksi.35

Adanya unsur-unsur kejahatan, yaitu:

1. Ada perbuatan yang menimbulkan kerugian (harm).

2. Kerugian yang ada tersebut telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). Contoh, misalnya orang dilarang mencuri, di

mana larangan yang menimbulkan kerugian tersebut telah diatur di dalam

pasal 362 KUHP (asas legalitas).

3. Harus ada perbuatan (criminal act).

4. Harus ada maksud jahat (criminal intent = mens rea).

5. Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.

6. Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP

dengan perbuatan.

7. Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut.

Studi kejahatan sejak era Lambroso sampai dengan perkembangan

studi kejahatan melalui perspektif dan paradigma Trikotomi ataupun Dikotomi

pada tahun 1970-an telah dilaksanakan oleh kriminolog. Secara yuridis,

34

G.W. Bawengan, Pengantar Pyscholohi Kriminal, (Jakarta: PT. Pradyna Paramita, 1997), Hlm. 5.

35

(28)

kejahatan adalah segala tingkah laku manusia yang bertentangan dengan

hukum, dapat dipidana yang diatur dalam hukum pidana. Sedangkan secara

sosiologis, kejahatan adalah tindakan atau perbuatan tertentu yang tidak

disetujui oleh masyarakat.36

Dalam terjadinya suatu kejahatan, korban-korban dalam kejahatan

tersebut akan mendapatkan dampak yang buruk, seperti luka-luka, trauma,

bahkan sampai mengakibatkan kematian (korban jiwa). Kejahatan biasanya

terjadi ketika si pelaku mendapati dorongan untuk melaksanakan aksi

perbuatannya tersebut, disamping itu adanya kesempatan untuk melakukan

kejahatan sampai dengan alasan-alasan tertentu mengapa ia melakukan

kejahatan tersebut. Hal-hal tersebut disebut juga dengan faktor-faktor atau

sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan.

Adapun faktor-faktor terjadinya suatu kejahatan, terdiri dari:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat pada individu seperti

Psychise, Sex, dan jenis kelamin, umur/usia, fisik, fleble minded/mental,

psyical handicaps, twin/anak kembar, ras, dan keluarga. Ataupun

aktor-faktor yang terdapat pada individu seperti umur, sex, kedudukan individu,

masalah rekreasi/liburan individu, agama individu.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar individu. Faktor

ini berpokok pangkal pada lingkungan individu, seperti pendidikan,

36

(29)

komunikasi, ekonomi, politik, social modern, peranan minoritas, dan

geografi juga bergantung pada waktu kejahatan, tempat kejahatan, keadaan

keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan, keadaan keluarga dalam

hubungannya dengan kejahatan. Jadi secara singkatnya, faktor eksternal

berasal dari luar diri si pelaku, seperti keadaan lingkungan yang

memungkinkan terjadinya suatu kejahatan.

Dalam hal mengetahui lebih lanjut mengenai sebab-sebab kejahatan,

dikenal adanya sebab-sebab dengan dasar-dasar kejahatan. Dalam ilmu

mengenai kejahatan tersebut juga terdapat Mazhab-Mazhab mengenai

sebab-sebab kejahatan tersebut, yaitu:

1. Mazhab Antropologi

2. Mazhab Lingkungan

3. Mazhab Bio-Sosiologi

4. Mazhab Spiritualis

5. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono37

Menurut Mazhab ini membagi kepada 5(lima) golongan antara lain:

a. Golongan Salahmu Sendiri (SS)

b. Golongan Tiada Yang Salah (TOS)

c. Golongan Salah-Lingkungan

d. Golongan Kombinasi

Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personality individu

terdapat 3 bagian:

37

(30)

a. Das Es = Id

b. Das Ich = Ego

c. Uber Ich = Super Ego

e. Golongan Dialog

3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur

Kebijakan hukum pidana pada hakekatnya merupakan usaha untuk

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana sesuai dengan keadaan

pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius

constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik

dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum

terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive)

hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum,

pembaharuan hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan,

juga mencakup pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.38

Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB telah

menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut:

1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil

(access to justice and fair treatment);

2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada

korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam

bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku

38

(31)

3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan

(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang

menjadi tanggungan korban;

4. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui

negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).

Kebijakan menurut David L.Sills menyatakan bahwa pengertian

Kebijakan (Policy) adalah menyatakan bahwa pengertian kebijakan (Policy)

adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan

dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau

melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.39

Bentuk perlindungan hukum yang ideal dalam memberikan

perlindungan terhadap anak sebagai korban perkosaan di masa depan

dilakukan secara preventif dan represif. Adapun upaya yang dilakukan dalam

mencegah terjadinya tindak pidana perkosaan (preventif) terhadap anak,

berupa: (1) Pengaturan dalam perspektif normatif yakni Peraturan

Perundang-Undangan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti (a) sanksi pidana,

dalam pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman

seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat harus diperhatikan pada motif

pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak

pidana dan motif korban. Artinya, kalau perkosaan tersebut dilakukan atas

kesalahan murni dari pelaku dengan adanya ancaman kekerasan ,maupun

kekerasan terhadap korban maka penjatuhan sanksi tersebut dapat diperberat.

39

(32)

Dan tipologi korban dalam hal ini adalah korban murni yang artinya mereka

menjadi korban yang sama sekali tidak bersalah, melainkan karena perbuatan

pelaku yang mengancam ataupun melakukan kekerasan untuk melakukan

persetubuhan dan itu dilakukan di luar perkawinan.40

Kebijakan menurut Budiardjo, kebijakan adalah sekumpulan

keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam

usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.41

Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang

sanksi atau hukuman dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

1. Pidana Pokok:

Jenis pidana yang pada umumnya, dicantumkan dalam perumusan

delik menurut pola KUHP ialah pidana pokok, dengan menggunakan sembilan

(33)

1. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara

tertentu

2. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu

3. Diancam dengan pidana penjara (tertentu)

4. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan

5. Diancam dengan pidana pernjara atau kurungan atau denda

6. Diancam dengan pidana penjara atau denda

7. Diancam dengan pidana kurungan

8. Diancam dengan pidana kurungan atau denda

Dalam penulisan skripsi ini, akan dibahas mengenai upaya-upaya atau

kebijakan hukum pidana terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak yang

menjadi korbannya, yaitu:

a. Kebijakan Penal

b. Kebijakan Non-Penal

Pada dasarnya penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan

represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy

lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak

pidana.43

G. Metodologi Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

42

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm 161

43

(34)

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan

analisa terhadap pasal–pasal dan peraturan perundang – undangan yang

mengatur permasalahan dalam skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah

penelitian hukum yang beertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif

tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan

dalam pratiknya (studi putusan).

Spesifikasi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang

dilakukan adalah metode penelitian hukum yang Yuridis Normatif dinamakan

juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal. Pada

penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat

merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :44

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum.

d. Penelitian terhadap sejarah hukum.

e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan berbagai literatur

yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini.

44

(35)

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis normatif.

3. Data dan Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

data sekunder, yakni data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan

namun diperoleh dari studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan

ilmiah dan berbagai sumber tulisan yang lainnya. Data Sekunder dibagi

menjadi tiga, yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan

perundang-undangan maupun undang-undang yang telah berlaku di Indonesia yang

mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak, yaitu

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, beserta dengan perubahannya

(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak).

2) Bahan Hukum Sekunder

Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun

arsip-arsip penelitian.

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan dan data dalam penelitian ini, maka metode

(36)

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan

tindak pidana kekerasan atau kejahatan seksual dimana anak sebagai korban

secara perspektif viktimologis

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengumpul dan pengambilan data yang digunakan dalam

penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu

dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh

konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan tindak

pidana kekerasan seksual yang dilakukan terhadap anak sebagai pelaku

kejahatan dalam perspektif viktimologis.

6. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah

dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu

diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang

diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pengumuman ini kami sampaikan dan bagi peserta pengadaan yang keberatan atas penetapan hasil kualifikasi dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada

Iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayarnya (Wajib Pajak) berdasarkan' undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali se~

(L.) Merril] sebagai Indikator Toleransi Cekaman Kekeringan pada Fase Perkecambahan dalam Larutan Polyethylene Glycol (PEG) ” dengan baik sebagai salah satu

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Kesimpulan yang dapat diambil adalah kita dapat mengetahui cara kerja sebuah web browser dan ternyata pembuatan aplikasi tersebut tidaklah terlalu sulit. Selaian itu kita pun

Pre-reading activities, students can prepare the concept, makes the reading easy and they can build a link between the new concepts with their prior knowledge. To improve

ALAT UKUR KAPASITAS VITAL PAKSA (KVP) BERBASIS MICROCONTROLLER ATMega16.

Aplikasi Multimedia Mengenai Info Musik Kelompok BARTENZ yang dibuat dengan menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 ini dapat memberi kemudahan kepada user yang ingin mengetahui