Ni Luh Aninda Feniasari Utami 145120207111005
Etika dan Filsafat Komunikasi A3
Fakta seringkali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah melaporkan pengalaman orang lain yang sesungguhnya . Dalam istilah keilmuan fakta adalah suatu hasil pengamatan yang obyektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun.Kebenaran ada kalau tidak ada fakta tapi fakta belum tentu benar.sedangkan kepercayaan itu benar tergantung pada suatu fakta yang berada di luar pengalamannya.
Dalam pengaplikasiannya di komunikasi seperti media,periklanan dan PR seperti Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Bayangkan jika informasi yang disampaikan jurnalis ke publiknya salah. Bisa karena kurang lengkap, bias, informasi bohong atau salah?
Kewajiban utama seorang jurnalis adalah pada kebenaran, bukan sekedar puas melaporkan fakta, karena fakta sering kali disodorkan ke depan jurnalis dengan agenda tertentu . Kewajiban jurnalis adalah mempertanyakan fakta itu. Kenapa saya harus percaya fakta ini? Siapa yang ingin agar saya mempercayai fakta ini? Pencarian soal “WHY” itu menjadi kunci menemukan kebenaran. Dalam konteks peliputan soal konflik atau perang yang menerapkan konsep Jurnalisme Damai (Peace Journalism), kegigihan seorang jurnalis mencari kebenaran ditekankan untuk menghindari kekuatiran ada pihak yang memanipulasi jurnalis dengan menyodorkan fakta.
Fakta tidak datang ke jurnalis secara ‘innocent’. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa “kebenaran jurnalistik” bukanlah kebenaran hukum. Kebenaran jurnalistik adalah kebenaran pada saat fakta itu disampaikan ke hadapan jurnalis. Ketika sebuah kecelakaan maut terjadi, laporan jurnalis soal korban tewas bisa berubah dari waktu ke waktu bergantung kepada informasi pihak yang berwenang.
Media dianggap terkooptasi oleh kepentingan pemiliknya, baik kepentingan bisnis, apalagi politik.
Sesungguhnya selain pemiliknya, media harus melayani beragam pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat/komunitas sekitar, pengiklan, pemerintah/regulator (terutama bagi media penyiaran), pemegang saham publik (untuk yang sudah tercatat di bursa saham).Esensi jurnalisme mewajibkan media menempatkan kepentingan publik/warga (citizen) di atas semua kepentingan lain Bisakah? Seringkali sulit, tetapi bukan tidak bisa dilakukan, terutama di era industri media. Kuncinya adalah kemauan membangun persepsi yang sama atas pentingnya menerapkan Kode Etik Jurnalistik atas semua produk jurnalistik, justru untuk kelangsungan bisnis media itu sendiri.
Sedangkan dalam Public relation Saat ini masih banyak public relations di Indonesia yang memanipulasi fakta untuk menanggapi sebuah krisis dari masing-masing lembaga yang dikendalikan.
Salah satu founder International Public Relations Association Elizabeth Goenawan Ananto mengatakan manipulasi fakta dan data itu lebih dikarenakan seorang public relations (PR) tidak tahu manajemen komunikasi serta kurangnya penguasaan sebuah produk massa.
Sebagai contoh lain dari kalangan pemerintahan, katanya, ekonomi Indonesia dengan sumber daya dan alam yang dimilikinya ternyata memiliki nilai ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan negara adidaya, Amerika Serikat.
Namun, komunikasi manajemen masih belum dapat diandalkan sehingga, potensi yang dimiliki Indonesia seakan tenggelam.
Akses informasi yang begitu terbuka, paparnya, dapat disalahgunakan dan disalahartikan sehingga perlu kebijakan, pengetahuan dan keterampilan khusus dalam mengatur alur komunikasi. Jadi, manipulasi itu hanya membuat orang tidak percaya lagi terhadap seorang PR. Jadi manipulasi yang disampaikan hanya akan membuat publik tidak percaya pada PR.
Saat ini seorang PR bukan hanya menjadi public speaker atau berfungsi promosi tetapi lebih pada manajemen. Hal itu mengingat tren dan tantangan komunikasi.
Untuk itu, jelasnya, perlu diadakannya up-grade praktik dan teori terkait keahlian dalam mengomunikasikan sebuah lembaga kepada publik.