• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Hukum Kasus Prostitusi Online

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketentuan Hukum Kasus Prostitusi Online"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Kasus Prostitusi Online Nikita Mirzani dan Putty Revita

Issue / Permasalahan : Ketentuan hukum yang dapat dikenakan terhadap kasus prostitusi online yang melibatkan artis Nikita Mirzani dan Putty revita

Rulles / Dasar Hukum:

1. Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3. Pasal 2 jo. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

4. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Analyze / Analisa :

1. Delik tindak pidana perbuatan cabul dalam Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP

Pasal 296 yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Merujuk pada substansi Pasal 296 KUHP tersebut, unsur-unsur yang harus dipenuhi:

a. Barang siapa, berarti setiap orang / orang perseorangan yang melakukan tindak pidana. cabul yang keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar norma kesusilaan, dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

e. Oleh orang lain dan orang lain, berarti orang ini merupakan perantara (mucikari) antara dua orang yang ingin melakukan perbuatan cabul.

(2)

Lebih lanjut prostitusi juga diatur dalam Pasal 506 KUHP “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”. Unsur-unsur yang harus dipenuhi:

a. Barang siapa, berarti setiap orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana.

b. Mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, berarti ada sebuah nilai materiil yang didapatkan oleh orang tersebut sehingga dapat dianggap sebagai pekerjaannya.

Ketentuan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP yang merupakan delik tindak pidana perbuatan cabul ini hanya dapat dikenakan kepada si perantara yakni tersangka berinisial O dan F. Sedangkan terhadap artis Nikita Mirzani dan Putty Revita keduanya tidak dapat dikenakan pasal ini karena unsur pidana pada kedua pasal ini sama sekali tidak berisi substansi perbuatan si artis, seperti dijelaskan diatas mengenai unsur oleh orang lain dan orang lain.

2. Delik tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjata paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Merujuk pada ketentuan ini, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi antara lain:

(3)

b. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan utang, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

c. Dilakukannya di dalam negara maupun antar negara.

d. Untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Pasal 2 ayat (2): “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Ketentuan ini melengkapi ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) manakala si korban (kedua artis tersebut) dikategorikan tereksploitasi. Ukuran eksploitasi tersebut termaktub dalam Ketentuan Pasal 1 poin 7 yaitu “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun imateriil”.

Ketentuan hukum pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (UU TPPO) ini juga dapat dikenakan terhadap perantara/mucikari prostitusi. Yang membedakannya dengan ketentuan Pasal 296 dan 506 KUHP adalah pasal ini mengandung unsur paksaan atau ancaman kekerasan terhadap sesorang untuk dieksploitasi sedangkan dalam Pasal 296 dan 506 KUHP tidak mengatur adanya ancaman kekerasan/paksaan. Secara keseluruhan antara Pasal 2 jo Pasal 26 UU TPPO dan Pasal 296,506 KUHP hanya dapat dikenakan kepada perantara/mucikari.

(4)

penyidik mengenai apakah delik tindak pidana tersebut sudah selesai atau belum, mengingat jika penyidik menggunakan Pasal 296 atau 506 KUHP ada kemungkinan penyidik belum memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk membuktikan adanya delik selesai (unsur adanya perbuatan cabul).

3. Dasar hukum Nikita Mirzani dan Putty Revita ditetapkan sebagai korban menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Berdasarkan pemberitaan di media, terjadi perdebatan mengenai ditetapkannya Nikita Mirzani dan Putty Revita sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Kualifikasi korban dalam UU TPPO dijelaskan pada Pasal 1 poin 3 yaitu “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang”. Nikita Mirzani dan Putty Revita harus memenuhi kualifikasi tersebut untuk dapat ditetapkan sebagai korban, misalnya untuk membuktikan apakah keduanya telah mengalami penderitaan psikis, penyidik perlu memperoleh hasil pemeriksaan ahli dari keduanya.

4. Ketentuan Hukum Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 dapat menjerat pemakai jasa prostitusi dan pelaku prostitusi

Mengingat locus delictie penangkapan tersangka beserta kedua artis terjadi di Hotel Indonesia Kempenski, Jakarta berlaku pula

Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 mengatur: “Setiap orang dilarang:

a. menjadi penjaja seks komersial; (penjelasan: kegiatan menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial pada umumnya dikenal sebagai germo. Pada umumnya penjaja seks komersial dilakukan oleh penyandang masalah tuna susila baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dikenal masyarakat umum dengan sebutan Wanita Tuna Susila (WTS), Pria Tuna Susila (gigolo), Waria Tuna Susila, yang melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah untuk mendapatkan imbalan baik berupa uang, materi maupun jasa.

b. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial;

(5)

Referensi

Dokumen terkait

amar putusan sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) UU. PTPPO, bahwa setiap korban tindak

Sebagai contoh, Undang- Undang TPPO didalamnya hanya mengatur mengenai sanksi pidana terhadap mucikari sebagai pelaku perdagangan orang dan konsumen sebagai pihak

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung.. ______________, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber

Dalam UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 merumuskan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap orang yang melakukan

Perbuatan yang dikriminalisasi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan bentuk penanggulangan tindak pidana penipuan online yaitu untuk mengatur perbuatan yang

Ditinjau dari aspek hukum, prostitusi dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah hukum pidana. Tindak pidana yang terkait dengan prostitusi

Mengenai tindak pidana ringan, dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam

Adapun di dalam UU Perdagangan pengaturan mengenai larangan sekaligus ancaman terhadap pelaku tindak pidana penimbunan pangan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat