• Tidak ada hasil yang ditemukan

BILINGUALISME KEDWIBAHASAAN pada masyarakat 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BILINGUALISME KEDWIBAHASAAN pada masyarakat 1"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BILINGUALISME (KEDWIBAHASAAN)1

Oleh: Abdullah Maulani A. Definisi Umum Bilingualisme (Kedwibahasaan)

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam Bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dan istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua Bahasa atau dua kode Bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualism diartikan sebagai penggunaan dua Bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua Bahasa tentunya seorang penutur haruslah menguasai kedua Bahasa itu. Pertama Bahasa ibunya sendiri atau Bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan Bahasa lain yang menjadi Bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua Bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam Bahasa Indonesia dwibahasawan). Sedangkan kemampuan mengunakan dua Bahasa disebut bilingualitas (kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualism dengan jabarannya ada juga istilah multilingualisme (keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua oleh seorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

B. Konsep-konsep Bilingualisme

Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah Bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas jika orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah:2

1. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut dengan seorang yang bilingual.

2. Apa yang dimaksud dengan Bahasa dalam bilingualism ini? Apakah Bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga termasuk sebuah dialek atau sosiolek. 3. Kapan seorang bilingual menggunakan kedua Bahasa itu secara bergantian? Kapan

dia harus mengguanakan B1-nya, dan kapan pula ia harus menggunakan B2-nya? Kapan pula ia bebas menggunakan B1 atau B2-nya?

4. Sejauh mana B1 dapat mempengaruhi B2-nya atau sebaliknya?

1 Makalah ini disampaikan pada perkuliahan Sosiolinguistik di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mei 2015

(2)

5. Apakah bilingualism itu berlaku pada perseorangna (seperti yang disebutkan dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, sejauhmana penguasaan seseorang terhadap B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan Bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual, menurut Bloomfield bilingualism adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua Bahasa dengan sama baiknya.3 Definisi menurut

Bloomfield ini lalu disempurnakan oleh Robert Lado (1964: 214) yang mengatakan bahwa bilingualism adalah kemampuan menggunakan Bahasa oleh seseorang dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah Bahasa bagaimanapun tingkatnya. Singkatnya menurut Lado, tidak mesti dua buah bahasa dikuasai dengan sama baiknya, salah satu pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua dua Bahasa atau lebih berarti bilingual. Lebih lanjut Haugen mengatakan bahwa seseorang tidak perlu secara aktif menggunakan kedua Bahasa tersebut namun cukup memahaminya saja dan mempelajari Bahasa kedua, apalagi Bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap Bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari B2, B1 akan tetap dominan.

Berkenaan dengan konsep bilingualism adalah kaitannya dengan menggunakan B2, Diebold (1968: 10) menyebutkan adalanya bilingualism pada tingkat awal (incipient bilingualism), yaitu bilingualisme yang dialami orang-orang terutama anak-anak yang sedang mempelajari Bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualism masih amat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualism selanjutnya.

Dari pembicaraan diatas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri ditambah tahu sedikit akan B2 dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan dimana saja seorang bilingual yang dapat menggunakan B2 sama baiknya dengan B1, oleh Halliday (dalam fishman 1968 :141) disebut umbilingual oleh Oksar (dalam

(3)

sebeok 1972 :481) disebut ekuilingual,dan oleh Diebold (dalam Hymes 1964 :496) disebut kordinat bilingual, Namun sudah disebutkan diatas, penutur bilingual yang semacam ini jarang ada. Yang ada dan biasa adalah para penutur bilingual yang sama-sama baik dalam dua bahasa, tetapi umumnya dalam ranah kebahasaan (inggris:language domain) yang berbeda misalnya, si A baik dalam bahsa tertentu dalam ranah ilmu sosial, tetapi kurang dalam ilmu kedokteran; Si B baik dalam ranah ilmu hukum tetapi kurang dalam ranah ilmu sastra, dan sebagainya.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan language, atau bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan kedua itu, baiklah terlebih dahulu kita telusuri pendapat para pakar.

Di atas kita sudah mengutip pendapat Bloomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah bahasa secara sama baiknya. Di tempat lain, Bloomfield (1933) juga mengatakan bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud dengan Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan language, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Seorang pakar lain, Mackey (1962:12), mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu kebahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahsa diperlukan penguasaan dua bahsa itu dengan tingkat yang sama jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan language. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada didalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahsa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukkan dua penguasaan dan dialek dari satu bahasa yang sama kedalam bilingualisme.Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang disebut dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga juga dua variasi bahasa.

(4)

juga dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.

Pertanyaan ketiga, mempermasalahkan kapan seorang penutur bilingual menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian, kapan harus menggunakan B1-nya, atau B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kalau disini masalahnya kita sempitkan hanya dalam penggunaan B1 dan B2 (masalah ragam ditangguhkan dulu) kembali kepertanyaan kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa” B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakan dengan para masyarakat anggota tutur yang sama bahasanya dengan penutur jika B1 si penutur adalah bahasa sunda, maka dia akan dan dapat menggunakan bahasa sunda dengan semua anggota masyarakat tutur yang berbahasa sunda, tentunya untuk keadaan dan situasi yang memang dapat dilakukakn dengan bahasa sunda itu, seperti dalam percakapan sehari-hari di di dalam keluarga dan untuk topik pembicaraan yang biasa. Tetapi di dalam pendidikan disekolah meskipun si guru dan si murid sama-sama ber B1 bahasa sunda, dia tidak dapat menggunakan bahasa sunda itu untuk alat interaksi selama jam pelajaran berlangsung. Dalam hal ini hanya bahasa indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa indonesia, yang juga menjadi B2 bagi guru dan murid-murid itu, adalah bahasa yang diberi fungsi untuk digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, seperti dalam proses belajar mengajar itu. Bagi seorang penutur bilingual yang B2-nya adalah bahasa indonesia adalah agak beruntung sebab dia dapat menggunakan B2-nya itu, secara teoretis, kepada semua orang indonesia. Tetapi bagi penutur bilingual yang B1-nya bahasa sunda dan B2-nya bahasa jawa hanya dapat menggunakan B2-nya itu kepada anggota masyarakat tutur bahasa jawa.

(5)

bahasa itu. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Montreal, kanada. Masyarakat tutur di Montreal merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa inggris dan bahasa prancis yang dapat digunakan secara bebas, sebab tampaknya dalam masyarakat Montreal itu tidak ada pembedaan fungsi kapan harus harus digunakan bahasa inggris dan kapan pula harus digunakan bahasa prancis. Oleh karena itu, dapat dikatakan masyarakat tutur bilingual di Montreal itu dapat secara bebas menggunakan kedua bahasa tersebut.Bangsa Belgia yang yang mengakui adanya dua bahasa negara, yaitu bahasa prancis dan bahasa belanda (dialek Vlam) tidak dapat menggunakan kedua bahasa itu secara bebas seeperti di Montreal, sebab kedua bahasa itu digunakan di wilayah yang berbbeda: Bahasa Prancis di wilayah Belgia Selatan, sedangkan Belanda di Belgia Utara. Bangsa Singapura yang mengakui mempunyai empat buah bahasa negara (Melayu, Mandarin, Hindi, dan Inggris) juga tidak menggunakan keempat bahasa itu secara bebas, sebab masing-masing bahasa tersebut merupakan B1 bagi etnis tertentu. Maka dalam praktiknya bahasa inggris lebih umum digunakan sebagai lingua franca antaretnis yang terdapat di negara kecil itu.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari inventarisasi terhadap padi-padi lokal adalah untuk memperoleh donor gen dalam perakitan varietas tahan terhadap cekaman biotik (hama dan penyakit)

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan melakukan penelitian

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana hUIUf a diatas, perlu ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Perikanan Pertanian dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas tentang

Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa selain kepercayaan, kepuasan juga merupakan factor penting dalam menentukan apakah konsumen akan

Puji syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, MADANI : Indonesian Journal of Civil Society untuk Edisi Agustus 2019 Volume 1 Nomor 1 telah terbit sesuai dengan waktu yang

Pihak KUA menjelaskan bahwa mereka harus mendatangi Pengadilan Agama untuk melakukan permohonan istbat nikah, dan tetapi pada saat yang sama mengatakan bahwa KUA dapat membantu

Daripada persoalan-persoalan tersebut, adakah dengan menggunakan konsep kerajaan perpaduan berteraskan Islam mampu membentuk kerjasama dalam kalangan parti