TUGAS MATA KULIAH
MAKALAH MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGIANTI MIKROORGANISME DAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN MIKROORGANISME SECARA FISIK DAN KIMIA
Disusun oleh :
Nama: Alifa Zhul Annisaa
Prodi : S1 Farmasi / 3B
NIM : 201505048
Program Studi S1 Farmasi
2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar BelakangSejarah tentang mikroba dimulai dengan ditemukannya mikroskop oleh Leeuwenhoek (1633-1723). Mikroskop temuan tersebut masih sangat sederhana, dilengkapi satu lensa dengan jarak fokus yang sangat pendek, tetapi dapat menghasilkan bayangan jelas yang perbesarannya
antara 50-300 kali (Dwidjoseputro, 2003).
Masa perkembangan kemoterapi antimikroba sekarang dimulai pada tahun 1935, dengan penemuan sulfonamida. Pada tahun 1940, diperlihatkan bahwa penisilin, yang ditemukan pada tahun 1929, dapat dibuat menjadi zat kemoterapi yang efektif. Selama 25 tahun berikutnya, penelitian kemoterapi sebagain besar berpusat sekitar zat antimikroba yang berasal dari mikroorganisme, yang dinamakan antibiotika (Dwidjoseputro, 2003).
Mikroorganisme adalah makhluk hidup yang memiliki aktivitas yang berupa tumbuh dan berkembang. Kadang kala pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme ini terganggu. Hal ini dapat baik dari mikroba itu sendiri ataupun dari luar. Salah satu pengaruh yang paling
berkompoten adalah antimikroba.
Anti mikroba adalah senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme hidup. Senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik dan yang dapat membunuh bakteri disebut bakterisida. Atau dengan kata lain disebut juga antiboitika yaitu bahan-bahan yang bersumber hayati yang pada kadar rendah sudah menghambat pertumbuhan
mikroorganisme hidup (Pelczar, 1988).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Antimikroba (L, anti = lawan,mikro = kecil ) Adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan
bakteri,yang memiliki fungsi khasiat kuman,sedangkan toksistasnya bagi manusia relative kecil.Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi sintesis termasuk kelompok ini,begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri lazimnya disebut antibiotika (Ganiswarna, 1999). Kegiatan antibiosis untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr.Alexander Fleming (Inggris,1928,penisilin ).Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada permulaan perang Dunia II di tahun 1941,ketika obat-obat antibakteri sangat diperlukan untuk menaggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran (Dwidjoseputro, 2003). Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari AM sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamida dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotic (Pelczar,1988).
Banyak antibiotik yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Sugianto, 2012).
Antibiotik yang efektif bagi banyak spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiril, dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya, suatu antibotik yang hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antubiotik yang spektrumnya sempit. Penisilin hanya efektif untuk memberantas terutama jenis kokus, oleh karena itu penisilin dikatakan mempunyai spectrum yang sempit. Tetrasiclin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu. Oleh karena itu tetrasiclin dikatakan mempunyai spectrum luas (Dwidjoseputro,2003).
Aktivitas antimikroba yang dapat diamati secara langsung adalah perkembangbiakannya. Oleh karena itu antimikroba dibagi menjadi dua macam yaitu antibiotic dan disinfektan. Antibiotik adalah senyawa yang dihasilkan oleh microorganisme tertentu yang mempunyai kemapuan menghambat pertumbuhan bakteri atau bahkan membunuh bakteri walaupun dalam
konsentrasi yangrendah(Soekardjo,1995).
Suatu zat antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan bukan absolut; ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit (Dwidjoseputro, 2003) Menurut Dwidjoseputro (2003) antibiotika yang ideal sebagai obat harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic)
2. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme pathogen
3. Tidak menimbulkan pengaruh samping (side effect) yang buruk pada host, seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung, dan sebagainya
4. Tidak mengganggu keseimbangan flora yang normal dari host seperti flora usus atau
flora kulit.
Sedangkan menurut Pelczar (1988) Suatu zat antibiotik kemoterapeutik yang idealnya
hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Harus mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikroorganisme patogen spesifik.
2. Makin besar jumlah dan macam mikroorganisme yang dipengaruhi makin baik. 3. Tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resiten parasit.
4. Tidak menimbulkan efek sampingan yang tidak dikehendaki pada inang, seperti reaksi alergis, kerusakan pada saraf, iritasi pada ginjal atau saluran gastrointestin. 5. Tidak melenyapkan flora mikroba normal pada inang. Gangguan terhadap flora
normal dapat mengaucaukan ‘keseimbangan alamiah’ sehingga memungkinkan microbe yang biasanya nonpatogenik atau bentuk-bentuk patogenik yang semula dikendalikan oleh flora normal, untuk menimbulkan infeksi baru.
Antibiotik yang efektif bagi banyak spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiril,dikatakan mempunyai spektrum luas. Sebaliknya, suatu antibotik yang hanya efektif untuk spesies tertentu, disebut antibiotik yang spektrumnya sempit. Penisilin hanya efektif untuk memberantas terutama jenis kokus, oleh karena itu penisilin dikatakan mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiclin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu. Oleh karena itutetrasiclin dikatakan mempunyai
MEKANISME KERJA DAN AKSI MIKROORGANISME
Menurut Sugianto (2012) berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam
lima kelompok,yaitu:
1. Yang mengganggu metabolisme sel mikroba.
Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamide, trimetropim, asam p-aminosalisilat dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik.
2. Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin. Sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida. Yang mengganggu permeabilitas membran sel mikroba.
3. Yang menganggu permaebilitas membrane sel mikroba
Obat yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba
kemoterapeutik,umpanya antiseptic surface active agents.
4. Yang menghambat sintesis protein sel mikroba.
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah golongan aminoglikosit, makrolit, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya,sel mikroba perlu mensintetis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom,dengan bantuan mRNA dan tRNA.
5. Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, dan golongankuinolon.
Yang lainnya walaupun bersifat antimikroba, karena sifat sitotoksisitasnya,pada umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker; tetapi beberapa obat dalam kelompok
Macam-macam mekanisme kerja dan aksi mikroorganisme adalah sebagai berikut.
Menghambat sintesis dinding sel. Antibiotik yang memiliki kemampuan menghambat pembentukan dinding sel mikroorganisme antara lain penicillin, cephalosporin, cycloserine, vancomycin, dan bacitracin.
Menyebabkan kesalahan pembacaan kode m-RNA dan mengganggu permeabilitas. Kesalahan dalam pembacaan m-RNA dapat menyebabkan kesalahan dalam protein yang dibentuk mikroorganisme sehingga dapat mematikan mikroorganisme tersebut. Antibiotik yang memiliki kemampuan ini adalah streptomycin dan gentamicin.
Menghambat sintesis protein. Antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis protein mikroorganisme antara lain tetracycline, chloramphenicol, erythromycin, clindamycin, dan linezolid.
Menghambat DNA girase. DNA girase merupakan enzim yang berperan dalam replikasi (penggandaan) DNA eukariotik, gangguan dalam penggandaan DNA menyebabkan mikroorganisme tidak dapat memperbanyak diri. Antibiotik yang bekerja dengan cara ini antara lain ciprofloxacin.
Mengganggu fungsi DNA. Antibiotik yang bekerja dengan cara ini antara lain rifampin dan metronidazole.
Mengganggu sintesis DNA. Antibiotik yang mengganggu pembentukan DNA antara lain acyclovir dan zidovudine.
Mengganggu metabolisme. Antibiotik ini dapat menganggu metabolisme dan menyebabkan kematian mikroorganimse tersebut. Antibiotik yang memiliki aksi ini antara lain sulfonamides, sulfones, PAS, trimethoprim, pyrimethamine, dan ethambutol.
MEKANISME UJI DAYA MIKROORGANISME
Pada umumnya metode yang digunakan dalam uji sensivitivitas bakteri adalah metode difusi agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat pertumbuhan mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari daerah disekitar kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Zona hambta pertumbuhan inilah yang menunjukan sensivitas bakteri terhadap bahan antibaktri (Dwidjoseputro, 2005).
Berdasarkan daya kerjanya, senyawa antibakteri dibagi menjadi dua sifat, yaitu : A. Zat yang hanya bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dengan tidak membunuhnya. B. Zat yang dapat membunuh bakteri (Bacteriosidal) (Dwidjoseputro, 2005).
Kebanyakan antibiotik yang efektif kerjanya menggangu sintesis, penyusuhan atau fungsi komponen-komponen makromolekul sel. Seperti penghambtan pembentukan dinding sel oleh pelimiskin, penghambatan sintesis protein oleh kloramfenikol (Irianto, 2006).
terutama jenis kokus, oleh karena itu penisilin dikatakan mempunyai spektrum yang sempit. Tetrasiklin efektif bagi kokus, basil dan jenis spiril tertentu oleh karena tetrasiklin dikatakan mempunyai spektrum luas (Dwidjoseputro, 2005).
Zat yang dapat membunuh bakteri disebut desinfektan, germisida atau bakterisida. Apakah suatu kimia itu merupakan suatu antiseptik atau germisida, hal ini kebanyakan kali bergabtung kepada persenan konsentrasi dan lamanya kena zat tersebut (Dwidjoseputro, 2005).
Pada umumnya bakteri yang muda itu kurang daya tahannya terhadap desinfektan daripada bakteri yang tua. Pekat encernya konsentrasi, lamanya berada dibawah pengaruh desinfektan, merupakan factor-faktor yang masuk pertimbangan pula. Kenaikan temperatur menambah daya desinfektan, selanjutnya medium dapat juga menawar daya desinfektan susu, plasma darah, dan zat-zat lain yang serupa protein sering melindungi bakteri terhadap pengaruh desinfektan tertentu (Dwidjoseputro, 2005).
Diantara banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas antibiotik in vitro, hal-hal tersebut dibawah ini perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi hasil-hasil pengujian
a. pH lingkungan
b. Komponen-komponen medium c. Stabilitas obat
d. Takaran inakalum e. Lamanya inkubasi
f. Aktifitas metabolisme mikroorganisme (Irianto, 2006).
Daya kerja bakterisidal berbeda dengan bakteri ostatik. Bakteriostatik berjalan searah yaitu bakteri yang telah mati tidak dapat berkembangbiak lagi meskipun bahan antibakteri telah dihilangkan bakteriostatik mempunyai karakteristik bila bahan antibakterinya dihilangkan maka bakteri tersebut dapat tumbuh lagi (Lay,1992).
Istilah antibiotik pertama kali digunakan oleh Waksman (1945) sebagai nama dari suatu golongan substansi yang berasal dari bahan biologis yang kerjanya antagonistik terhadap mikroorganisme (Irianto,2006).
MEKANISME RESISTENSI
Resistensi mikroorganisme dapat dibedakan menjadi resistensi bawaan (primer), resistensi dapatan (sekunder), dan resistensi episomal. Resistensi primer (bawaan) merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini misalnya dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme dapat menguraikan antibiotik. Contohnya adalah Staphylococcusdan bakteri lainnya yang mempunyai enzim penisilinase yang dapat menguraikan penisilin dan sefalosporin. Mekanisme resistensi bawaan ini juga dapat berupa terdapatnya struktur khusus pada bakteri yang melindunginya dari paparan antimikroba, contohnya bakteri TB dan lepra memiliki kapsul pada dinding sel, sehingga
resisten terhadap obat-obat antimikroba.
Mekanisme resistensi sekunder (dapatan) diperoleh akibat kontak dengan agen antimikroba dalam waktu yang cukup lama dengan frekunsi yang tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya mutasi pada mikroorganisme. Terbentuknya mutan yang resisten terhadap obat antimikroba dapat secara cepat (resistensi satu tingkat) dan dapat pula terjadi dalam kurun waktu yang lama (resistensi multi tingkat). contoh resistensi satu tingkat adalah pada INH, streptomisin, dan tifampisin; dan contoh resistensi multitingkat adalah resistensi pada penisilin, eritromisin, dan tetrasiklin.terbentuknya mutan mikroorganisme yang resistan terhadap antimikroba ini dapat menimbulkan adanya ketergantungan (dependensi) mikroorganisme mutan tehadap agen antimikroba.
Gambar struktur penisilin aktif (a), dan tidak aktif (b).
Mekanisme resistensi dapatan juga dapat berlangsung akibat adanya mekanisme adaptasi atau penyesuaian aktivitas metabolisme mikroorganisme untuk melawan efek obat, contohnya dengan perubahan pola enzim. Dengan demikian, mikroorganisme dapat membentuk enzim yang menguraikan antibiotic. Misalnya pembentukan enzim penisilinase untuk menguraikan penisilin, enzim asetilase terhadap streptomisin, kanamisin, dan neomisin. Mekanisme resistensi dapatan yang lain adalah dengan memperkuat diding sel mikroorganisme sehingga menjadi impermeable terhadap obat, dan perubahan sisi perlekatan pada diding sel. Adapula mimroorganisme yang melepaskan diding selnya sehingga menjadi tidak peka lagi
terhadap penisilin, contohnya kuman berbentuk L.
Resistensi episomal disebabkan oleh faktor genetik di luar kromosom (episom=plasmid pada
secara konjugasi maupun transduksi. Contohnya Salmonella, Escherichia, Yersinia, Klebsiela, Serratia, Proteus.
Gambar transfer resistensi antibiotik
Pada tahun 1955 terjadi epidemik disentri bakterial dan ditemukan bakteri Shigella dysentriae yang resisten terhadap kloramfenikol, streptomisin, sulfanilamide, dan tetrasiklin. Gen yang bertanggung jawab atas resistensi terhadap antibiotik tersebut adalah plasmid faktor- R (faktor resistensi) dengan daerah resistence transfer factor (RTF) yang disambung dengan gen r yang mengkode enzim-enzim yang dapat menginaktivasi obat-obat yang spesifik. Plasmid faktor-R yang kecil tanpa daerah RTF biasanya hanya berperan dalam resistensi satu macam antibiotik. Ketergantungan (dependence) merupakan kejadian dimana pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada adanya antibiotik tertentu. Contohnya penisilin, streptomisin, INH, dan kloramfenikol dapat digunakan mikrooragnisme sebagai zat tumbuh. Sifat ini dapat terjadi pada
Dikenal juga resistensi silang (cross resistance) pada mikroorganisme, di mana mikroorganisme yang resisten terhadap suatu antibiotik juga diketahui memiliki resistensi terhadap semua derivate antibiotik tersebut. Contohnya, penisilin dam ampisilin, tetrasiklin, sulfonamide, rifamisin dan rifampisin, amoksisilin, dan sebagainya.
gambar mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik Macam-Macam Resistensi Antibiotik Terhadap Antibiotik Resistensi terhadap penisilin dan sefalosporin
Penisilin dan sefalosporin menghambat protein pengikat penisilin (penicillin-binding protein, PBP) yang merupakan enzim dalam membran plasma sel bakteri yang secara normal terlibat dalam penambahan asam amino yang berikatan silang dengan peptidoglikan dinding sel bakteri. Resistensin bakteri terhadap penisilin dapat timbul akibat adanya mutasi yang menyebabkan dihasilkannya produksi pengikat penisilin yang berbeda atau akibat bakteri memerlukan gen-gen protein pengiakt penisilin yang baru. Resistensi terhadap penisilin juga dapat muncul akibat bakteri memiliki sistem transfor membran luar (outer membrane) yang terbatas, yang mencegah penisilin mencapai membran sitoplasma (lokasi protein pengikat penisilin). Hal ini dapat terjadi akibat adanya mutasi yang mengubah porin yang etrlibat dalam transport melewati membrane luar. Hal lain yang memungkinkan terjadinya resistensi bakteri terhadap penisilin dan sefalosporin adalah apabila bakteri memiliki kemampuan untuk memproduksi β-laktamase, yang akan menghidrolisis ikatan pada cincin β-laktam molekul penisilin dan mengakibatkan inaktivasi antimikroba.
Resistensi mikroorganisme pathogen terhadap penisilin dan sefalosporin paling sering terjadi akibat bakteri memiliki gen pengkode β-laktamase. Terdapat 3 kelas besar β-laktamase, yaitu penisilinase, oksasilinase, dan karbenisilinase. Penisilinase memiliki kisaran aktivitas yang luas terhadap penisilin dan selafosporin , sedangkan oksasilinase dan karbenisilinase memiliki
Pada bakteri enteric (bakteri fakultatif anaerob gram negative yang terdapat dalam intestinal manusia), β-laktamase dihasilkan dalam konsentrasi rendah dan terikat pada membrane luar. Enzim ini mencegah antimikroba β-laktan untuk mencapai tapak target pada membrane sitoplasma dengan cara merusaknya saat antimikroba tersebut melewati membrane luar dan lapisan periplasma (periplasma space). Gen yang mengkode β-laktamase terdapat pada kromosom bakteri, pada bebrapa strain bakteri juga terdapat pada plasmid dan transposon. Sebagian besar bakteri resisten penisilinjuga memilki gen β-laktamase pada plasmid terutama plasmid R dan tranposon. Gen β-laktamase yang paling banyak terdapat secara luas adalah
TEM-1 yang terdapat pada transposon Tn4.
Staphylococci resisten-metisilin terjadi akibat produksi protein alami pengikat penisilin PBP 2a atau 2’ yang memiliki afinitas rendah pada pengikatan metisilin. Sifat resistensi dikode oleh gen kromosom bakteri (mecA) yang tidak ditemukan pada semua strainStaphylococcus aureus sensitive-metisilin. Gen ini nampaknya terbatas pada Staphylococci,namun gen lain pada Streptococci juga mengkode PBP yang memiliki afinitas rendah terhadap metisilin dan
antimikroba β-laktam lainnya.
Resistensi Terhadap Vankomisin
Resistensi vankomisin berkembang akibat adanya enzim pada sel bakteri yyang resisten, yang akan membuang residu alanin dari bagian peptida peptidoglikan. Vankomisin tidak dapat terikat pada peptide yang berubah, namun peptide yang berubah tersebut dapat tetap berfungsi dalam formasi ikatan silang selama sintesis peptidoglikan, sehingga bakteri resisten vankomisin
tetap dapat membuat dinding sel fungsional.
Resisten Terhadap Tetrasiklin
Resistensi bakteri terhadap tetrasiklin dapat muncul bila dihasilkan membran sitoplasma yang berbeda (bentuk perubahan) dan mencegah pengikatan tetrasiklin pada subunit 30S ribosom, sehingga sintesis protein dapat terus berlangsung. Mekanisme resistensi tetrasiklin lainnya adalah resistensi pompa eflux, didasarkan atas transpor tetrasiklin keluar sel secara cepat, sehingga mencegah akumulasi tetrasiklin pada dosis toksik, sehungga sintesis protein bakteri tidak terhambat. Hal ini terjadi akibat adanya mutasi pada gen yang menyebabkan protein eflux tetrasiklin.
Secara normal, pada saat tetrasiklin berdifusi melewati membran sitoplasma bakteri, tetrasiklin akan dikonversi dalam bentuk ionik. Hal ini membuat tetrasiklin tidak lagi dapat berdifusi melewati membran sehingga menyebabkan akumulasi tetrasiklin di dalam sel, yang akhirnya dapat menghambat sintesis protein bakteri dan menyebabkan kematian sel bakteri. Protein eflux tetrasiklin adalah protein membran sitoplasma yang mentranspor bentuk nondifusible tetrasiklin keluar sitoplasma. Pada sel bakteri yang resisten, tetrasiklin dikeluarkan dari sitoplasma secepat difusinya kedalam sel, sehingga mencegah akumulasi tetrasiklin yang
Resistensi Terhadap Aminoglikosida
Resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida muncul karena sel bakteri memproduksi enzim-enzim yang dapat menambah fosfat, asetat, atau gugus adenil pada berbagai macam tempat pada antibiotik aminoglikosida. Antibiotik aminoglikosida yang telah dimodifikasi tersebut nantinya tidak akan mampu terikat pada subunit 30S ribosom sehingga
tidak lagi dapat menghambat sintesis protein.
Pada dasarnya, satu macam enzim yang telah digunakan untuk memodifikasi aminoglikosida tidak akan mampu memodifikasi aminoglikosida yang lain. Hal ini mencegah penambahan mutasi yang akan meningkatkan kisara modifikasi aminoglikosida oleh enzim pemodifikasi aminoglikosida. Sebagai contoh, tapak ikatan yang dimodifikasi oleh suatu muatan resisten-sreptomisin mengubah suatu asam amino pada protein S12 pada subunit 30S ribosom bakteri. Turunan semisintetik dari aminoglikosida selanjutnya didesain untuk resisten terhadap enzim pemodifikasi aminoglikosida tersebut. Amikasin adalah salah satu aminoglikosida semisintetik yang sangat resisten terhadap modifikasi oleh enzim sehingga banyak bakteri sensitif terhadap
antibiotik ini.
Resistensi aminoglikosida juga muncul atas dasar penurunan aktivitas transpor antimikroba ke dalam sel bakteri. Aminoglikosida tidak ditranspor kedalam sel oleh spesies bakteri Bacteroides, sehingga Bacteroides resisten terhadap antimikroba ini. Escherichia coli juga lebih resisten terhadap aminoglikosida dalam kondisi anaerob seperti pada saluran pencernaan manusia.
Resistensi Terhadap Kloramfenikol
Resistensi kloramfenikol mayoritas disebabkan oleh adanya enzim yang menambahkan gugus asetil kedalam antibiotik. Kloramfenikol yang terasetilasi tidak akan dapat terikat pada submit 50S ribosom bakteri, sehingga tidak mampu menghambat sinetsis protein. Mayoritas bakteri yag resistensi terhadap kloramfenikol memiliki plasmid dengan sebuah gen yang mengkode kloramfenikol astiltransferase. Enzim ini menginaktivasi kloramfenikol yang telah melewati membran plasma dan memasuki sel. Kloramfenikol asetiltransfase diproduksi secara terus menerus oleh mayoritas Gram negatif, namun pada Staphylococcus aureus, sintesis
enzim ini diinduksi oleh kloramfenikol.
Resistensi Terhadap Makrolida
Eritromisin dan antibiotik golongan makrolida yang lain terikat pada subunit 50S ribosom bakteri dan mengeblok sintesis potein. Pada beberapa kasus, resistensi terhadap antibiotik makrolida terjadi akiat mutasi pada target antibiotik. Mekanisme utama resistensi makrolida adalah didasarkan atas enzim RNA metilase yang menambahkan gugus metil kedalam gugus adenin spesifik pada subunit 50S rRNA. Antibiotik makrolida termasuk eriromisin tidak
akn terikat pad rRNA yang termetilasi.
mengakibatkan penurunan afinitas eritromisin terhadap ribosom. PadaStaphylococcus aureus, resistensi eritromisin akibat dimetilasi residu adenin pada rRNA 23S.
Resistensi Terhadap Fluorokuinolon
Antibiotik golongan fluorokkuinolon seperti halnya siprofloksasin dan norfloksasin terikat pada subunit β enzim DNA girase, dan mengeblok aktivitas enzim yang essensial dalam menjaga supercoling DNA dan penting dalam proses replikasi DNA. Mutasi pda gen pengkode DNA girase menyebabkan diproduksinya enzim yang aktif namun tidak dapat diikat oleg fluorokuinolon.
Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin (rifampin) terikat pada subunit β-RNA polimerase bakteri dan menghambat fungsi enzim ini dalam transkripsi mRNA. Rifampisin memiliki afinitas terhadap RNA
polimerase bakteri yang lebih tinggi dibandingkan terhadap RNApolimerase mamalia, sehingga rifampisin dapat mengeblok transkripsi mRNA dan sintesis protein pada sel manusia. Resistensi terhadap rifampisi muncul akibat mutasi pada gen subunit RNA polimerase. RNA polimerase yang berubah akibat mutasi tersebut berfungsi secara normal, namun tidak dapat dihambat oleh rifampisin.
Resitensi Terhadap Sulfonamid Dan Trimetoprim
Sulfa drug (sulfonamid) dan trimetropin meghambat reaksi yang berbeda pada jalur metabolisme yang memproduksi asam tetrahidrofolat (tetrahydrofolic acid ), yang merupakan
kofaktor esensial dalam sintesis asam nukleat.
pemberian antibiotik hanya untuk penyakit infeksi yang parah dan penggunakan dosis yang benar dan sesuai aturan.
PENGENDALIAN PERTUMBUHAN MIKROORGANISME SECARA FISIKA DAN KIMIA
Kebutuhan oksigen, oksigen tidak mutlak diperlukan mikroorganisme karena ada juga kelompok yang tidak memerlukan oksigen bahkan oksigen merupakan racun bagi pertumbuhan. Mikroorganisme terbagi atas empat kelompok berdasarkan kebutuhan akan organisme, yaitu mikroorganisme aerob yang memerlukan oksigen sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi.
Mikroorganisme anaerob adalah mikroorganisme yang tidak memerlukan O2 karena oksigen akan membentuk H2O2 yang bersifat toksik dan meyebabkan kematian. Mikroorganisme anaerob tidak memiliki enzim katalase yang dapat menguraikan H2O2 menjadi air dan oksigen. Mikroorganisme fakultatif anaerob adalah mikroorganisme yang tetap tumbuh dalam lingkungan kelompok fakultatif anaerob. Mikroorganisme mikroaerofilik adalah mikroorganisme yang memerlukan oksigen dalam jumlah terbatas karena jumlah oksigen yang berlebih akan menghambat kerja enzim oksidatif dan menimbulkan kematian.
Kontrol terhadap pertumbuhan mikroorganisme dapat dilakukan dengan cara membunuh mikroorganisme, atau menghambat pertumbuhannya. Kontrol terhadap pertumbuhan dapat dilakukan secara :
1. Fisik
Secara fisik, menggunakan uap air panas dan tekanan tinggi, diperoleh panas
memerlukan suhu 1210C, tekanan 15 psi/1,5 kg/cm2, selama 15 menit. Sterilisasi fisik dapat juga dengan panas kering menggunakan oven1600C, 2 jam. Sterilisasi dengan oven untuk alat-alat gelas dan bahan yang tidak tembus air
2. Secara kimia
Penggunaan senyawa kimia untuk mengendalikan pertumbuha mikroorganisme , contoh : HgCl (0,1%), menyebabkan koagulasi protein
3. Secara mekanik
Bahan yang mudah rusak karena pemanasan, misalnya vitamin, enzim, serum, antibiotik. Contoh : filtrasi, menggunakan filter berupa membran dengan tebal tertentu, terbuat dari asbes, diatom, porselen, kaca berpori, selulosa. membran selulosa : diameter pori 0,01-10 μm Bahan/zat yang tidak dapat dipanaskan pada suhu lebih dari 1000C, dapat dilakukan pasteurisasi dan tindalisasi. Pasteurisasi memerlukan pemanasan 63-73 oC, digunakan untuk pengawetan air, susu, bir, anggur. Pasteurisasi dapat membunuh mikroorganisme pathogen (Mycobacterium, Salmonella, Coxiella) dan beberapa mikroorganisme normal.
Pengendalian mikroorganisme ditujukan untuk:
1. Pengendalian Mikroorganisme untuk Pencegahan Penyakit
Antibiotik dapat juga mengakibatkan terjadinya endolisis atau autolisis yaitu pecahnya sitoplasma suatu sel oleh enzim yang diikuti kematian yang mungkin disebabkan kekurangan hara, antibiotik ataupun kerusakan dinding sel. Dengan demikian berhasil tidaknya suatu organisma pengendali hayati sebagai agensia hayati bergantung pada kemampuan antibiotik yang dihasilkannya menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen tanaman (Baker dan Cook, 1982)
Kompetisi adalah suatu mekanisme penekanan aktivitas patogen oleh agensia hayati terhadap sumber-sumber terbatas seperti zat organik, zat anorganik, ruang dan faktor –faktor pertumbuhan lainnya. Salah satu contoh adalah persaingan akan ruang/tempat pada akar. Contoh ektomikoriza merupakan agensia yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati. Jamur tersebut mampu membungkus secara efektif seluruh akar dan menempati bagian rizosfer sehingga apabila ada mikroorganisme lain seperti misalnya Armilaria mellea atau Phytophthora spp, maka patogen tersebut tidak dapat lagi mengkolonisasi bagian tersebut.
2. Pengendalian mikroorganisme dalam Bahan Makanan
Pengendalian mikroorganisme dalam bahan makanan perlu dilakukan supaya bahan makan tersebut tidak cepat rusak atau busuk. Kerusakan bahan makanan oleh mikroorganisme terjadi karenamikroorganisme tersebut berkembangbiak dan bermetabolisme sedemikian rupa sehingga bahan makanan mengalami perubahan sedemikian rupa yang menyebabkan
Beberapa istilah dalam mengendalikan jumlah populasi mikroorganisme, diantaranya adalah sebagai berikut:
Cleaning dan Sanitasi sangat penting di dalam mengurangi jumlah populasi mikroorganisme pada suatu ruang/tempat. Prinsip cleaning dan sanitasi adalah menciptakan lingkungan yang tidak dapat menyediakan sumber nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sekaligus membunuh sebagian besar populasi mikroba.
2. Desinfeksi
Proses pengaplikasian bahan kimia (desinfektans) terhadap peralatan, lantai, dinding atau lainnya untuk membunuh sel vegetatif mikrobial. Desinfeksi diaplikasikan pada benda dan hanya berguna untuk membunuh sel vegetatif saja, tidak mampu membunuh spora.
3. Antiseptis
Merupakan aplikasi senyawa kimia yang bersifat antiseptis terhadap tubuh untuk melawan infeksi atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme dengan cara menghancurkan atau menghambat aktivitas mikroba.
4. Sterilisasi
Proses menghancurkan semua jenis kehidupan sehingga menjadi steril. Sterilisasi seringkali dilakukan dengan pengaplikasian udara.
BAB III PENUTUP Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Entjang, Indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. PT Citra Aditya Bakti : Bandung
Irianto, Koes. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Wyrama Widya : Bandung
Soekardjo, Siswandono B, 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Jakarta.