• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINGKAT KEBANGKRUTAN PADA PT AT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS TINGKAT KEBANGKRUTAN PADA PT AT"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

89

ANALISIS TINGKAT KEBANGKRUTAN PADA PT ATLAS RESOURCES TBK YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

PERIODE 2011-2016

Rosy Armaini 1, Periansya 2, Ayu Bening Pangesti 3 Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Sriwijaya

E-mail: periansya@polsri.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kebangkrutan PT Atlas Resources Tbk dalam periode tahun 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016 dengan menggunakan Z-Scoremodel Altman. Peneliti memperoleh data melalui website www.idx.co.id. Sumber data yang digunakan peneliti adalah Data Sekunder yaitu data dari Bursa Efek Indonesia yang terdiri dari Sejarah berdirinya perusahaan, Struktur organisasi perusahaan, Laporan keuangan perusahaan yang berupa laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi tahun 2011 sampai dengan 2016 serta Laporan Tahunan (Annual Report). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil, yaitu tingkat kebangkrutan berdasarkan nilai Z-Score model Altman pada PT Atlas Resources Tbk pada tahun 2011 termasuk ke dalam kategori zona abu-abu.Tingkat kebangkrutan berdasarkan nilai Z-Scoremodel Altman pada PT Atlas Resources Tbk tahun 2012-2016 termasuk ke dalam zona berbahaya atau berpotensi mengalami kebangkrutan. Perusahaan mengalami kerugian selama lima tahun terakhir antara lain disebababkan oleh tingginya beban pokok produksi, tingginya total liabilitas perusahaan, menurunnya harga jual batubara, menurunnya tingkat penjualan batubara, serta menurunnya volume produksi batubara.

Kata Kunci: laporan keuangan, tingkat kebangkrutan, Z-Score model Altman dan liabilitas.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Setiap perusahaan umumnya mempunyai tujuan yang sama yaitu menjaga kelangsungan hidup perusahaan yakni dengan mencari laba sesuai dengan prinsip akuntansi going concern. Perusahaan berharap dengan adanya laba, maka kelangsungan hidup perusahaan dapat terjaga dan usaha yang dikelola akan semakin berkembang. Perkembangan dan kinerja perusahaan ini dapat terlihat pada laporan keuangan.

Selain menyajikan laba, laporan keuangan juga menyajikan jumlah aset dan liabilitas perusahaan.Hal ini akan terlihat perkembangan dan kinerja perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Melalui laporan keuangan dapat dipelajari hubungan dan tendensi atau kecenderungan mengenai posisi keuangan dan hasil operasi serta perkembangan perusahaan yang bersangkutan hal ini disebut dengan analisa laporan keuangan.

Analisa laporan keuangan ini antara lain menilai tingkat kebangkrutan

perusahaan. Perkembangan perekonomian tidak mampu menjadi jaminan bahwa tidak ada satu pun perusahaan yang terhindar dari resiko kebangkrutan.Tingginya tingkat kebangkrutaan perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam meminimalisir resiko kebangangkrutan.Model yang digunakan untuk menilai tingkat kebangkrutan yaitu Altman Z-Score. Rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam Z-Score model Altman , yakni WCTA (Working capital to total asset atau modal kerja dibagi total aset), RETA (Retained earning to total asset atau laba ditahan dibagi total aktiva), EBITTA (Earning before interest and taxes to total asset atau laba sebelum pajak dan bunga dibagi total aktiva), MVEBVL (Market value of equity to book value of liability atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku utang), dan STA (Sales to total asset atau penjualan dibagi total aktiva.

(2)

90 ini tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan mengalami kebangkrutan.Resiko kebangkrutan bagi perusahaan sebenarnya dapat dilihat dan diukur melalui laporan keuangan, dengan cara melakukan analisis rasio terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Prediksi kebangkrutan berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan atau tidak dimasa yang akan datang. Bagi pemilik perusahaan dapat digunakan untuk memutuskan apakah tetap mempertahankan kepemilikannya di perusahaan atau menjualnya dan kemudian menanamkan modalnya ditempat lain. Investor dan kreditor sebagai pihak yang berada diluar perusahaan dituntut mengetahui

perkembangan yang ada dalam perusahaan demi keamanan investasi modalnya sebagian ketidakmampuan untuk membaca sinyal-sinyal dalam kesulitan usaha akan mengakibatkan kerugian dalam investasi yang telah dilakukan.

PT Atlas Resources Tbk merupakan salah satu produsen batubara di Indonesia. PT Atlas Resources Tbk telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Setiap perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia tentunya akan semakin memaksimalkan laba perusahaannya. PT Atlas Resources Tbk tidak seperti perusahaan yang umumnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus

mengalami peningkatan kerugian. . .

Tabel 1

Laba Rugi PT Atlas Resources Tbk Periode 2011-2016

(disajikan dalam ribuan Dollar Amerika)

Keterangan 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Pendapatan 91.052 97.240 129.837 38.468 28.342 11.641

Beban 88.584 108.390 140.655 63.089 53.705 37.367

Laba / Rugi 2.468 (11.150) ( 10.818) (24.621) (25.363) (25.726) Sumber : PT Atlas Resources Tbk, tahun 2011-2016

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa total pendapatannya mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Tahun 2011 PT Atlas Resources Tbk sebesar 91.052, kemudian turun pada tahun 2012 sebesar 97.240, dan naik pada tahun 2013 sebesar 129.837, kemudian turun pada tahun 2014 menjadi 38.468, tahun 2015 turun menjadi 28.342 dan pada tahun 2016 turun kembali menjadi 11.641. Total bebannya pada tahun 2011 sebesar 88.584, tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 108.390, tahun 2013 naik sebesar 140.655, tahun 2014 turun menjadi 63.089, tahun 2015 total bebannya turun menjadi 53.705dan pada tahun 2016 total bebanya mengalami penurunan menjadi 37.367yang mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian selama lima tahun terakhir. Tahun 2011 perusahaan memperoleh keuntungan sebesar 2.468, tahun 2012 mengalami kerugian sebesar 11.150, tahun 2013 perusahaan mengalami kerugian sebesar 10.818, tahun 2014 perusahaan kembali

merugi sebesar 24.621, tahun 2015 kerugian perusahaan meningkat menjadi 25.363, dan pada tahun 2016 kerugian perusahaan kembali meningkat menjadi 25.736.

Berdasarkan uraian tersebut diatas peneliti tertarik untuk menggunakan Z-Scoremodel Altman ini sebagai alat untuk mengukur tingkat kebangkrutan bagi PT Atlas Resources Tbk. Data yang digunakan sebagai bahan analisis yakni laporan keuangan tahun 2011, 2012, 2013, 2014, 2015 dan 2016. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk menyusun penelitian dengan judul “Analisis Tingkat Kebangkrutan

pada PT Atlas Resources Tbk yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2016”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah,

yaitu “Bagaimana analisis tingkat

(3)

91 2011-2016jika diukur dengan menggunakan Z-Scoremodel Altman?”

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilaksanakan adalah untuk menganalisis tingkat kebangkrutan PT Atlas Resources Tbk dalam periode tahun 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016 dengan menggunakan Z-Scoremodel Altman.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Laporan Keuangan

Laporan keuangan menurut Hanafi dan Halim (2016:63) “Laporan keuangan adalah laporan yang diharapkan bisa memberi informasi mengenai perusahaan, dan digabungkan dengan informasi yang lain, seperti industri, kondisi ekonomi, bisa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai prospek dan risiko perusahaan.” 2.2 Tujuan Laporan Keuangan

Menurut Bahri (2016:134) “Laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi posisi keuangan perusahaan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada pihak manajemen.”

2.3 Pengertian Analisa Laporan Keuangan

Menurut Harahap (2011:35)“Analisa laporan keuangan adalah menguraikan pos-pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang mempunyai makna antara satu dengan yang lain, baik antara data kuantitatif maupun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui kondisi keuangan lebih dalam yang sangat penting dalam proses menghasilkan keputusan yang tepat.”

2.4 Tujuan Analisa Laporan Keuangan

Menurut Harahap (2011:31), kegunaan analisa laporan keuangan adalah “Analisis laporan keuangan juga dapat digunakan untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang disajikan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan, maka informasi yang dibaca dari

laporan keuangan akan menjadi lebih luas dan lebih dalam. Hubungan pos satu dengan pos yang lain dapat menjadi indikator tentang posisi dan prestasi laporan keuangan perusahaan serta menunjukkan bukti kebenaran penyusunan laporan keuangan. ”

2.5 Pengertian Kebangkrutan

Pengertian kebangkrutan menurut Menurut Pasal 1 butir 1 pada Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan atas Pembayaran Hutang sebagai berikut “Kebangkrutan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas”.

2.6 Faktor Penyebagian Kebangkrutan

Menurut Rudianto (2013:252), secara umum, penyebagian kegagalan sebuah perusahaan adalah manajemen yang kurang kompeten. Tetapi penyebagian umum kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lain yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Pada prinsipnya, penyebagian kegagalan suatu perusahaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

1. Faktor internal

Kurang kompetennya manajemen perusahaan akan berpengaruh terhadap kebijakan dan keputusan yang diambil. Kesalahan dalam mengambil keputusan akibat kurang kompetennya manajemen yang dapat menjadi penyebagian kegagalan perusahaan, meliputi faktor keuangan maupun nonkeuangan.

Menurut Rudianto (2013:252), kesalahan pengelolaan di bidang keuangan yang dapat menyebagiankan kegagalan perusahaan, meliputi :

a. Adanya utang terlalu besar sehingga memberikan beban tetap yang berat bagi perusahaan.

b. Adanya “current liabilities” yang terlalu besar di atas “current assets”. c. Lambatnya penagihan piutang atau

banyaknya “bad debts” (piutang tak tertagih).

d. Kesalahan dalam “dividend policy”. e. Tidak cukupnya dana-dana penyusutan.

(4)

92 dapat menyebagiankan kegagalan perusahaan, meliputi :

a. Kesalahan dalam pemilihan tempat kedudukan perusahaan

b. Kesalahan dalam penentuan produk yang dihasilkan

c. Kesalahan dalam penentuan besarnya perusahaan

d. Kurang baiknya struktur organisasi perusahaan

e. Kesalahan dalam pemilihan pimpinan perusahaan

f. Kesalahan dalam kebijakan pembelian g. Kesalahan dalam kebijakan produksi h. Kesalahan dalam kebijakan pemasaran i. Adanya ekspansi yang berlebih-lebihan

2. Faktor eksternal

Menurut Rudianto (2013:252), berbagai faktor eksternal dapat menjadi penyebagian kegagalan sebuah perusahaan. Penyebagian eksternal adalah berbagai hal yang timbul atau berasal dari luar perusahaan dan yang berada di luar kekuasaan atau kendali pimpinan perusahaan atau badan usaha, yaitu : a. Adanya perekonomian secara makro,

baik domestik maupun internasional

b. Adanya persaingan yang ketat

c. Berkurangnya permintaan terhadap produk yang dihasilkannya

d. Turunnya harga-harga dan sebagainya

2.7 Analisis Z- Score Model Altman

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji manfaat yang bisa dipetik dari analisis rasio keuangan Edward I Altman di New York University, adalah salah satu peneliti awal yang mengkaji pemanfaatan analisis rasio keuangan sebagai alat untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan Altman menghasilkan rumus yang disebut Z Score. Rumus ini adalah model rasio yang menggunakan multiple discriminate analysis (MDA) diperlukan lebih dari satu rasio keuangan yang berkaitan dengan kebangkrutan perusahaan untuk membentuk suatu model yang komprehensif. Penggunaan analisis diskriminan digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan berdasarkan rasio-rasio keuangan yang dipakai sebagai variabelnya.

Menurut Hanafi (2016:272) secara matematis persamaan Z-Score model Altman tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Dimana:

X1 = (Aset lancar-Utang lancar)/Total Aset X2 = Laba yang Ditahan/Total Aset

X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/Total Aset)

X4 = Nilai pasar saham bisasa dan preferen/Nilai buku total utang) X5 =Penjualan/Total Aset)

Menurut Hanafi (2016:273), Altman kemudian mengembangkan model alternatif dengan menggantikan variabel X4 (Nilai pasar saham preferen dan biasa /nilai buku total utang). Dengan cara demikian model

tersebut bisa dipakai dengan baik untuk perusahaan yang go public maupun yang tidak go public.

Berikut adalah persamaan model alternatif yang dikembangkan oleh Altman :

Dimana:

X1 = (Aset lancar-Utang lancar)/Total Aset X2 = Laba yang Ditahan/Total Aset

X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/Total Aset)

X4 = Nilai pasar saham bisasa dan preferen/Nilai buku total utang) X5 = Penjualan/Total Aset)

Zi = 1,2 X

1

+ 1,4 X

2

+ 3,3 X

3

+ 0,6 X

4

+ 1,0 X

5

(5)

93 Rasio-rasio yang digunakan dalam Z-Score dijelaskan lebih lanjut oleh (Sophia dalam Bahri, 2015:8-9) :

1. Rasio Modal Kerja terhadap Total Aktiva Rasio ini digunakan untuk mengukur likuiditas perusahaan. Aktiva likuid bersih atau modal kerja bersih adalah selisih antara total aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total

aktiva menyebagiankan rasio ini turun. Modal kerja bersih yang negatif, kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi kewajiban jangka pendeknya karena tidak tersedianya aktiva lancar yang cukup untuk menutupi kewajiban tersebut. Sebaliknya, perusahaan dengan modal kerja yang benilai positif jarang sekali menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajibannya.

2. Rasio Laba Ditahan terhadap Total Aktiva Rasio laba ditahan terhadap total aktiva merupakan rasio profitabilitas dalam menghasilkan laba selama masa operasi perusahaan. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi,

memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Semakin besar rasio ini menunjukkan semakin besarnya peranan laba ditahan dalam membentuk dana perusahaan. Sebaliknya semakin kecil rasio ini, menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang tidak sehat.

3. Rasio Laba Sebelum Bunga dan Pajak terhadap Total Aktiva

Rasio ini mengukur kemampuan laba, yaitu tingkat pengembalian aktiva yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak tahunan perusahaan

dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam.

4. Rasio Nilai Pasar Modal terhadap Total Hutang

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjang dari modal sendiri (saham biasa). Nilai pasar modal sendiri diperoleh dengan mengalikan

jumlah lembar saham biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar dengan kewajiban jangka panjang. Semakin kecil rasio ini, menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang tidak sehat.

Rasio Modal Kerja terhadap Total Aktiva

=

Rasio Laba Ditahan terhadap Total Aktiva

=

Rasio Laba Sebelum Bunga dan Pajak terhadap Total Aktiva

=

(6)

94 5. Rasio Penjualan terhadap total Aktiva

Rasio ini merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam meningkatkan volume penjualan. Rasio ini mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan keseluruhan aktiva perusahaan untuk

menghasilkan penjualan dan mendapatkan laba. Semakin rendah rasio ini, menunjukkan semakin rendah tingkat pendapatan perusahaan, sehingga menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang tidak sehat.

Menurut Rudianto (2013 : 257), setelah melakukan penelitian dengan objek berbagai perusahaan manufaktur dan menghasilkan 2 rumus pendeteksi kebangkrutan. Altman melakukan penelitian lagi mengenai potensi kebangkrutan perusahaan-perusahaan selain perusahaan manufaktur, baik yang go public maupun yang tidak, dan cocok digunakan di Negara berkembang seperti Indonesia.

Hasil penelitian tersebut menghasilkan rumus Z-Score ketiga untuk berbagai jenis perusahaan, sebagai berikut :

Di mana :

X1 : Modal Kerja / Total Aset X2 : Laba Ditahan / Total Aset X3 : EBIT / Total Aset

X4 : Nilai Buku Ekuitas / Nilai Buku Utang

Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Z-Score tersebut akan menghasilkan skor yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Skor

tersebut harus dibandingkan dengan standar penilaian berikut ini untuk menilai keberlangsungan hidup perusahaan :

Z > 2,6 = Zona Aman 1,1 < Z < 2,6 = Zona Abu-abu Z < 1,1 = Zona Berbahaya

Menurut Rudianto (2013:258), tiga penelitian yang dilakukan Altman dengan 3 objek penelitian yang berbeda menghasilkan tiga rumus pendeteksi kebangkrutan yang berbeda. Ketiga rumus tersebut juga menggunakan standar penilaian yang berbeda.

Tolak ukur dari ketiga rumus Z-Score yang digunakan untuk menilai keberlangsungan hidup berbagai kategori perusahaan, dapat diringkas sebagai berikut :

Tabel 2

Tolak Ukur Rumus Z-Score model Altman

Perusahaan manufaktur Go-Public

Perusahaan manufaktur Non Go-Public

Berbagai Jenis

Perusahaan Interpretasi

Z > 2,99 Z > 2,90 Z > 2,60 Zona Aman >>> Perusahaan dalam kondisi sehat sehingga kemungkinan kebangkrutan sangat kecil terjadi.

1,81 > Z > 2,99 1,23 > Z > 2,90 1,1 > Z > 2,60 Zona Abu-abu >>> Perusahaan dalam kondisi rawan (grey area).

Z = 6,56 X

1

+ 3,26 X

2

+ 6,72 X

3

+ 1,05 X

4

(7)

95

Pada kondisi ini, perusahaan mengalami masalah keuangan yang harus ditangani dengan cara yang tepat.

Z < 1,81 Z < 1,23 Z < 1,1 Zona Berbahaya >>> Perusahaan dalam kondisi bangkrut (kesulitan keuangan dan risiko yang tinggi) Sumber:Rudianto (2013:257)

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik dokumentasi, yaitu penggunaan data yang berasal dari data-data yang sudah ada.Metode dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan seluruh data sekunder berupa laporan keuangan perusahaan yang tedaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian.

3.2 Sumber Data

Peneliti memperoleh data melalui website www.idx.co.id. Sumber data yang digunakan peneliti adalah Data Sekunder yaitu data dari Bursa Efek Indonesia yang terdiri dari Sejarah berdirinya perusahaan, Struktur organisasi perusahaan, Laporan keuangan perusahaan yang berupa laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi tahun

2011, 2012, 2013, 2014, 2015 dan 2016 serta Laporan Tahunan (Annual Report).

4. PEMBAHASAN

4.1 Analisis Tingkat Kebangkrutan 4.1.1 Working Capital to Total Asset (X1)

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya. Rasio ini dihitung dengan membagi modal kerja bersih dengan total aktiva. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aktiva lancar dikurangi dengan kewajiban lancar. Modal kerja bersih yang bernilai positif jarang sekali menghadapi kesulitan dalam melunasi kewajibannya. Modal kerja bersih yang negatif kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi kewajiban jangka pendeknya karena tidak tersedianya aktiva lancar yang cukup untuk menutupi kewajiban tersebut.

Tabel 3

PT Atlas Resources Tbk

Working Capital to Total Asset Tahun 2011-2016

Sumber : Data yang diolah

Berdasarkan tabel 3 nilai rasio modal kerja terhadap total aset selama enam tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, tahun 2014 nilai rasio modal kerja terhadap total aset mengalami kenaikan namun kembali mengalami penurunan pada tahun 2015. Nilai rasio modal kerja terhadap total aset tertinggi selama enam tahun terakhir yakni pada tahun

2011 sebesar 0,10 atau 10%. Nilai rasio modal kerja terhadap total aset terendahselama enam tahun terakhir yakni pada tahun 2016 sebesar -0,51 atau -51%.

Nilai rasio modal kerja terhadap total aset tertinggi pada tahun 2011 sebesar 0,10 atau 10%, hal ini berarti setiap Rp 1.000 aset tetap yang dimiliki perusahaan hanya Tahun Modal Kerja (Rp)

(1)

Total Aset (Rp) (2)

Nilai X1 (1)/(2)

2011 26.834 256.651 0,10

2012 (91.671) 299.105 -0,31

2013 (125.197) 316.177 -0,40

2014 (99.107) 339.149 -0,29

2015 (155.149) 351.484 -0,44

(8)

96 menghasilkan modal kerja sebesar Rp 100. Peningkatan aset pada tahun 2011 sebesar 326,1% atau Rp 2.301.384 juta. Peningkatan aset tersebut disebagiankan oleh peningkatan kas dan setara kas, piutang usaha – pihak ketiga, uang muka dan pembayaran di muka, biaya eksplorasi dan pengembangan yang ditangguhkan, aset tetap – bersih, dan aset tak berwujud.

Tahun 2012 nilai rasio modal kerja terhadap total aset mengalami penurunan sebesar 0,41 menjadi -0,31 atau -31% hal ini berarti setiap Rp 1.000 aset tetap yang dimiliki perusahaan mengurangi modal kerja sebesar Rp 310 sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan modal kerja pada tahun tersebut bernilai negatif. Peningkatan total aset sebesar 16,54% di antaranya disebagiankan oleh peningkatan properti pertambangan sebesar 40,40% karena biaya pengembangan atas wilayah IUP terutama di Hub Muba, peningkatan aset tetap sebesar 65,26% terutama pada aset dalam penyelesaian berupa jalan dan fasilitas pelabuhan, persediaan batubara siap untuk dijual meningkat sebesar 73,3%, dan aset eksplorasi dan evaluasi yang mengalami peningkatan sangat signifikan sebesar 586,72%. Peningkatan total aset tersebut tidak sebanding dengan peningkatan modal kerjapada tahun 2012 sehingga nilai rasio modal kerja terhadap total aset menghasilkan nilai yang negatif.

Tahun 2013 nilai rasio modal kerja terhadap total aset kembali mengalami penurunan, yakni sebesar 0,09 menjadi -0,40 atau -40% hal ini berarti setiap Rp 1.000 aset tetap yang dimiliki perusahaan mengurangi modal kerja sebesar Rp 400sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan modal kerja pada tahun 2013 bernilai negatif. Peningkatan total aset sebesar 5,71% pada tahun 2013 terjadi di antaranya karena adanya peningkatan properti pertambangan sebesar 32,63%, aset tetap – bersih meningkat sebesar 6,07%, piutang nonusaha – pihak ketiga meningkat sebesar 540,11%, dan aset pajak tangguhan – bersih meningkat sebesar 154,83%. Total aset yang mengalami peningkatan cukup tinggi pada tahun 2013 namun tidak diiringi dengan peningkatan modal kerja yang justru mengalami penurunan mengakibatkan nilai

rasio modal kerja terhadap total aset menghasilkan nilai rasio yang negatif.

Tahun 2014 nilai rasio modal kerja terhadap total aset mengalami kenaikan sebesar 0,11 menjadi -0,29 atau -29% hal ini berarti setiap Rp 1.000 aset tetap yang dimiliki perusahaan mengurangi modal kerja sebesar Rp 290 sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan modal kerja pada tahun tersebut bernilai negatif. Peningkatan total aset sebesar 7,61% pada tahun 2014 terjadi karena meningkatnya aset lancar sebesar 17,27% dan meningkatnya aset tidak lancar sebesar 6,15%. Kenaikan total aset yang terjadi pada tahun 2014 tidak sebanding dengan kenaikan modal kerjanya sehingga nilai rasio modal kerja terhadap total aset menghasilkan nilai rasio yang negatif.

Tahun 2015 nilai rasio modal kerja terhadap total aset mengalami penurunan sebesar 0,15 menjadi -0,44 atau -44% hal ini berarti setiap Rp 1.000 aset tetap yang dimiliki perusahaan mengurangi modal kerja sebesar Rp 440 sehingga perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan modal kerja pada tahun tersebut bernilai negatif. Total aset pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 3,64% yang disebagiankan oleh meningkatnya aset lancar sebesar 17,33%, meningkatnya aset tidak lancar sebesar 7,14%. Peningkatan total aset yang tidak diiringi dengan peningkatan modal kerja pada tahun 2015 yang justru mengalami penurunan mengakibatkan nilai rasio modal kerja terhadap total aset bernilai negatif.

(9)

97 dan menyebagiankan nilai rasio modal kerja terhadap total aset bernilai negatif. Penurunan modal kerja yang terjadi selama enam tahun terakhir menyebagiankanmodal kerja bernilai negatif yang mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki oleh perusahaan.

4.1.2 Retained Earning to Total Asset (X2) Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada

para pemegang saham. Laba ditahan menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena para pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai dividen.Laba ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan tidak tersedia untuk pembayaran dividen atau yang lain.

Tabel 4

PT Atlas Resources Tbk

Retained Earning to Total Asset Tahun 2011-2016

Tahun Laba Ditahan (Rp) (1)

Total Aset (Rp) (2)

Nilai X2 (1)/(2)

2011 4.411 256.651 0,02

2012 (6.243) 299.105 -0,02

2013 (16.923) 316.177 -0,05

2014 (39.162) 339.149 -0,12

2015 (63.602) 351.484 -0,18

2016 (88.165) 330.115 -0,27

Sumber :Data yang diolah

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rasio laba ditahan terhadap total aset selama enam tahun terakhir terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Nilai rasio tertinggi sepanjang enam tahun terakhir yakni pada tahun 2011 sebesar 0,02 atau 2%. Nilai rasio terendah selama enam tahun terakhir yakni pada tahun 2016 sebesar -0,27 atau -27%.

Nilai rasio pada tahun 2011 sebesar 0,02 atau 2%, hal ini berarti setiap Rp 1.000 total aset hanya menghasilkan Rp 20 laba ditahan.Peningkatan aset pada tahun 2011 sebesar 326,1% atau Rp 2.301.384 juta. Peningkatan aset tersebut disebagiankan oleh peningkatan kas dan setara kas, piutang usaha – pihak ketiga, uang muka dan pembayaran di muka, biaya eksplorasidan pengembangan yang ditangguhkan, aset tetap – bersih, dan aset tak berwujud.

Tahun 2012 nilai rasio laba ditahan terhadap total aset mengalami penurunan sebesar 0,04 menjadi -0,02 atau -2% hal ini disebagiankan karena laba ditahan pada tahun 2012 yang bernilai negatif atau dengan kata lain dengan total aset sebesar Rp 299.105

perusahaan tidak mampu menghasilkan laba ditahan. Peningkatan total aset sebesar 16,54% di antaranya disebagiankan oleh peningkatan properti pertambangan sebesar 40,40% karena biaya pengembangan atas wilayah IUP terutama di Hub Muba, peningkatan aset tetap sebesar 65,26% terutama pada aset dalam penyelesaian berupa jalan dan fasilitas pelabuhan, persediaan batubara siap untuk dijual meningkat sebesar 73,3%, dan aset eksplorasi dan evaluasi yang mengalami peningkatan sangat signifikan sebesar 586,72%. Peningkatan total aset sebesar 16,54% tersebut tidak sebanding dengan laba ditahan pada tahun 2012 yang mengalami penurunan sebesar 241,53% dari tahun sebelumnya sehingga nilai rasio laba ditahan teradap total aset menghasilkan nilai yang negatif.

(10)

98 ditahan. Peningkatan total aset tersebut tidak sebanding dengan peningkatan modal kerja pada tahun 2012 sehingga nilai rasio modal kerja terhadap total aset menghasilkan nilai yang negatif. Tahun 2013 nilai rasio modal kerja terhadap total aset kembali mengalami penurunan, yakni sebesar 0,09 sehingga menjadi -0,40 atau -40% hal ini berarti berarti perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan laba ditahan pada tahun 2013 bernilai negatif. Peningkatan total aset sebesar 5,71% pada tahun 2013 terjadi di antaranya karena adanya peningkatan properti pertambangan sebesar 32,63%, aset tetap-bersih meningkat sebesar 6,07%, piutang non-usaha – pihak ketiga meningkat sebesar 540,11%, dan aset pajak tangguhan – bersih meningkat sebesar 154,83%. Total aset yang mengalami peningkatan sebesar 5,71% pada tahun 2013 namun tidak diiringi dengan peningkatan laba ditahan yang justru mengalami penurunan sebesar 371,07% dibandingkan tahun sebelumnya mengakibatkan nilai rasio laba ditahan terhadap total aset menghasilkan nilai rasio yang negatif.

Tahun 2014 nilai rasio laba ditahan terhadap total aset juga mengalami penurunan sebesar 0,07 sehingga menjadi 0,12 atau -12% hal ini disebagiankan karena laba ditahan pada tahun 2014 yang bernilai negatif atau dengan kata lain dengan total aset sebesar Rp 339.149 perusahaan tidak mampu menghasilkan laba ditahan. Peningkatan total aset sebesar 7,61% pada tahun 2014 terjadi karena meningkatnya aset lancar sebesar 17,27% karena adanya peningkatan kas dan setara kas, peningkatan piutang usaha pihak ketiga dan peningkatan uaang muka yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun, dan meningkatnya aset tidak lancar sebesar 6,15% karena adanya peningkatan properti pertambangan dan peningkatan aset pajak tangguhan – bersih. Kenaikan total aset yang terjadi pada tahun 2014 tidak sebanding dengan laba ditahan yang mengalami penurunan sebesar 131,41% sehingga nilai rasio modal kerja terhadap total aset menghasilkan nilai rasio yang negatif.

Tahun 2015 nilai rasio laba ditahan terhadap total aset kembali mengalami penurunan sebesar 0,06 sehingga menjadi -0,18 atau-18% hal ini disebagiankan karena laba ditahan pada tahun 2015 yang bernilai

negatif atau dengan kata lain dengan total aset sebesar Rp 351.484 perusahaan tidak mampu menghasilkan laba ditahan. Total aset pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 3,64% yang disebagiankan oleh menurunnya aset lancar sebesar 17,33% karena penurunan piutang usaha pihak ketiga dan uang muka yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun dan meningkatnya aset tidak lancar sebesar 7,14% karena adanya peningkatan aset tetap yakni pembangunan hauling road dan pelabuhan serta peningkatan properti pertambangan. Peningkatan total aset yang tidak diiringi dengan peningkatan laba ditahan pada tahun 2015 yang justru mengalami penurunan sebesar 62,40% yang mengakibatkan nilai rasio laba ditahan terhadap total aset bernilai negatif.

Tahun 2016 nilai rasio laba ditahan terhadap total aset mengalami penurunan, yaitu sebesar -0,27 atau -27% hal ini berarti perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, dikarenakan modal kerja pada tahun tersebut bernilai negatif. Total aset pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 6,08% yang disebagiankan oleh menurunnya aset lancar sebesar 9,08%, menurunnya aset tidak lancar sebesar 5,69%. Penurunan total aset yang diikuti dengan penurunanlaba ditahan sebesar 7,84% sehingga mengakibatkan modal kerja pada tahun 2016 yang justru mengalami penurunan dan menyebagiankan nilai rasio modal kerja terhadap total aset bernilai negatif. Penurunan nilai rasio yang terjadi selama enam tahun terakhir menghasilkan nilai rasio yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan selama lima tahun terakhir perusahaan mengalami kesulitan untuk menghasilkan nilai laba ditahan yang tinggi dan mengalami kerugian terus-menerus.

4.1.3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Asset (X3)

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aktivitas perusahaan, sebelum pembayaran pajak dan bunga.Rasio ini mengukur kemampuan laba, yaitu tingkat pengembalian aktiva yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana

(11)

99

Tabel 5

PT Atlas Resources Tbk

Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Asset Tahun 2011-2016

Tahun EBIT (Rp) (1)

Total Aset (Rp) (2)

Nilai X3 (1)/(2)

2011 27.135 256.651 0,11

2012 16.566 299.105 0,06

2013 ( 2.409) 316.177 -0,01

2014 ( 9.069) 339.149 -0,03

2015 ( 7.741) 351.484 -0,02

2016 (9.313) 330.115 -0,03

Sumber: Data yang diolah

Berdasarkan tabel 5 nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset selama enam tahun terakhir cenderung mengalami penurunan.Nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset tertinggi yakni pada tahun 2011 sebesar 0,11 atau 11%. Nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset terendah yakni pada tahun 2014 dan 2016 sebesar -0,03 atau -3%.

Nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset pada tahun 2011 sebesar 0,11 atau 11%, hal ini berarti setiap Rp 1.000 total aset yang dimiliki perusahaan hanya mampu menghasilkan Rp 110 laba sebelum bunga dan pajak. Hal ini disebagiankan oleh kenaikan biaya pertambangan, amortisasi dan penyusutan yang terjadi selama tahun 2011.

Tahun 2012 nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset turun sebesar 0,05 menjadi 0,06 atau 6% hal ini berarti setiap Rp 1.000 total aset yang dimiliki perusahaan hanya mampu menghasilkan Rp 60 laba sebelum bunga dan pajak, penurunan nilai tersebut terjadi karena laba sebelum pajak yang diperoleh perusahaan pada tahun 2012 mengalami penurunan karena peningkatan beban pokok pendapatan yang disebagiankan oleh meningkatnya harga bahan bakar solar sebesar 14,23% dan adanya perubahan titik penjualan dari FOB Barge menjadi FOB Vessel sehingga perusahaan harus membukukan biaya pengangkutan batubara dalam tongkang dari pelabuhan muat ke tanker pengangkut curah kering.

Tahun 2013 nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset mengalami penurunan sebesar 0,07 menjadi 0,01 atau -1% hal ini berarti pada tahun 2013 perusahaan tidak mampu menghasilkan laba sebelum pajak dengan total aset yang dimilikinya,

penurunan nilai tersebut terjadi karena laba sebelum pajak yang diperoleh perusahaan pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar Rp 18.975 sedangkan kenaikan total aset sebesar Rp 17.072. Hal ini disebagiankan karena beban pokok pendapatan mengalami peningkatan yang disebagiankan oleh peningkatan volume produksi sebesar 30,12% sehingga biaya pertambangan, biaya proses, dan biaya penyesuian persediaan batubara mengalami peningkatan.

Tahun 2014 nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset kembali mengalami penurunan, yakni sebesar 0,02 menjadi -0,03 atau -3% hal ini berarti perusahaan tidak mampu menghasilkan laba sebelum pajak dengan total aset yang dimilikinya, penurunan nilai tersebut terjadi karena laba sebelum pajak yang diperoleh perusahaan pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar Rp 6.660 dan kenaikan total asetnya sebesar Rp 22.972. Penurunan volume penjualan yang terjadi pada tahun 2014 juga mempengaruhi turunnya nilai rasio tersebut sehingga beban pokok pendapatan dan volume produksi turun sebesar 69%.

(12)

100 dan uang muka yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun dan meningkatnya aset tidak lancar sebesar 7,14% karena adanya peningkatan aset tetap yakni pembangunan hauling road dan pelabuhan serta peningkatan properti pertambangan.

Tahun 2016 nilai rasio laba sebelum pajak terhadap total aset turun sebesar 0,01 menjadi -0,03 atau -3% hal ini berarti perusahaan tidak mampu menghasilkan laba sebelum pajak dengan total aset yang dimilikinya, penurunan nilai tersebut terjadi karena laba sebelum pajak yang diperoleh perusahaan pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar Rp 1.572 dan diikuti dengan penurunan total asetnya sebesar Rp 21,36 juta. Pendapatan yang menurun sebesar 58,93% pada tahun 2016 disebagiankan oleh penurunan volume penjualan sebesar 58,31% sehingga beban pokok pendapatan juga ikut mengalami penurunan sebesar 41,93%.Penurunan nilai rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aset selama enam tahun terakhir terjadi karena laba

sebelum bunga dan pajak yang turun dan bernilai negatif atau dengan kata lain perusahaan mengalami kerugian dan kesulitan untuk menghasilkan nilai laba sebelum bunga dan pajak yang tinggi. Kenaikan nilai total aset setiap tahunnya tidak seimbang dengan nilai laba sebelum bunga dan pajak yang semakin menurun dan bernilai negatif.

4.1.4 Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities (X4)

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka panjang dari nilai buku modal. Nilai buku modal merupakan total dari keseluruhan modal. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar dengan kewajiban jangka panjang. Rasio ini membagi diperoleh dengan cara membagi nilai buku modal dengan nilai buku hutang. Semakin kecil rasio ini, menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang tidak sehat. Semakin besar rasio ini, menunjukkan kondisi keuangan perusahaan yang sehat. .

Tabel 6 PT Atlas Resources Tbk

Book Value of Equity to Book Value of Total Liabilities Tahun 2011-2016

Tahun Jumlah Ekuitas (Rp) (1)

Total Liabilitas (Rp) (2)

Nilai X4 (1)/(2)

2011 67.498 100.842 0,67

2012 67.498 154.799 0,44

2013 67.498 1.833.191 0,04

2014 67.498 231.793 0,29

2015 67.498 269.491 0,25

2016 67.498 273.848 0,25

Sumber: Data yang diolah

Berdasarkan tabel 6 nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang selama enam tahun terakhir cenderung mengalami penurunan. Nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang tertinggi pada tahun 2011 sebesar 0,67 atau 67%. Nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang terendah pada tahun 2015 dan 2016 sebesar 0,25 atau 25%.

Nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang pada tahun 2011 sebesar 0,67 atau 67%, hal ini berarti bahwa setiap Rp 1.000 utang dapat dijamin oleh Rp 670 total ekuitas. Tingginya total liabilitas dibandingkan dengan total ekuitas disebagiankan oleh pendapatan diterima

dimuka yang meningkat sebesar 135,1% pada tahun 2011 karena adanya pengiriman batubara yang tertunda menjelang akhir tahun dan pinjaman jangka panjang yang meningkat disebagiankan oleh penggunaan fasilitas pinjaman dari Bank Permata.

(13)

101 dibayar, dan pendapatan diterima di muka. Peningkatan pinjaman perusahaan terjadi dikarenakan perusahaan pada tahun 2012 memerlukan dana untuk mendanai kegiatan pertambangan di Hub Muba.

Tahun 2013 nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang mengalami penurunan drastis sebesar 0,40 menjadi 0,04 atau 4% hal ini berarti bahwa setiap Rp 1.000 utang dapat dijamin oleh Rp 40 total ekuitas dan penurunan drastis nilai rasio tersebut terjadi karena total utang pada tahun 2013 yang melonjak naik sebesar Rp 1.678.392 yang disebagiankan karena pada tahun 2013 perusahaanantara lain mengalami peningkatan utang usaha-pihak ketiga karena adanya peningkatan aktivitas pertambangan untuk meningkatkan volume produksi sepanjang tahun 2013, peningkatan beban yang harus dibayar karena peningkatan iuran eksploitasi dan biaya kontraktor pertambangan yang masih harus dibayar, dan peningkatan pinjaman jangka panjang karena adanya fasilitas kredit pinjaman dari Bank Sinarmas unruk mendanai kegiatan pertambangan di Hub Muba.

Tahun 2014 nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang mengalami kenaikan sebesar 0,25 menjadi 0,29 atau 29% hal ini berarti bahwa setiap Rp 1.000 utang dapat dijamin oleh Rp 290 total ekuitas dan kenaikan nilai rasio disebagiankan oleh total

utang yang mengalami penurunan sebesar Rp 1.601.398 karena pada tahun 2014

perusahaan antara lain mengalami penurunan liabilitas jangka pendek dan liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun.

Tahun 2015 nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang turun

sebesar 0,04 menjadi 0,25 atau 25% hal ini berarti bahwa setiap Rp 1.000 utang dapat dijamin oleh Rp 250 total ekuitas, penurunan nilai rasio ini terjadi karena kenaikan total liabilitas sebesar Rp 37.698. Kenaikan total liabilitas tahun 2015 disebagiankan adanya peningkatan liabilitas jangka pendek sebesar 32,49% karena utang lain-lain pihak ketiga dan pinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun mengalami kenaikan dan penurunan liabilitas jangka panjang sebesar 12,17% karena penurunan pinjaman jangka panjang setelah dikurangipinjaman jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun dan penurunan imbalan kerja jangka panjang.

Tahun 2016 nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang tetap sebesar 0,04 menjadi 0,25 atau 25% hal ini berarti bahwa setiap Rp 1.000 utang dapat dijamin oleh Rp 250 total ekuitas. Nilai rasio yang cenderung tetap tersebut antara lain disebagiankan oleh kenaikan utang lain-lain pihak ketiga dan liabilitas jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang terendah selama enam tahun terakhir adalah sebesar 0,04 yang merupakan nilai dari rasio nilai buku ekuitas terhadap nilai buku utang pada tahun 2013.

4.1.5 Nilai Z-Score Tahun 2011-2016

Perhitungan nilai Z-Score model Altmanpada PT Atlas Resources Tbk periode 2011-2016 menggunakan formula yang sama, yaitu Z = 6,56X1+ 3,26X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4. Berikut ini merupakan perhitungan nilai Z-Score model Altman untuk PT Atlas Resources Tbk periode 2011-2016 :

Tabel 7

Perhitungan Nilai Z-Score PT Atlas Resources Tbk Tahun 2011-2016

(14)

102

Perhitungan nilai Z-Score model Altman yang disajikan pada tabel 7 dapat menunjukkan kondisi perusahaan selama enam tahun terakhir. Kondisi perusahaan dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu zona aman, zona abu-abu, dan zona berbahaya beserta batasan-batasannya berdasarkan rumus Z-Score model Altman.

Tingkat kebangkrutan perusahaan dapat dilihat melalui tolak ukur nilai Z-Score model Altman.Berikut ini disajikan tabel tolak ukur nilai Z-Score model Altman:

Tabel 8

Tolak Ukur Nilai Z-Score Model Altman

Nilai Z-Score Kategori Z > 2,60 Zona Aman 1,1 > Z > 2,60 Zona Abu-abu

Z < 1,1 Zona Berbahaya Sumber : Rudianto, (2013:257)

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Z-Score model Altman pada tabel 4.6 di atas, maka

berikut ini disajikan tingkat kebangkrutan PT Atlas Resources Tbk tahun 2011-2016 :

Tabel 9

Tingkat Kebangkrutan PT Atlas Resources Tbk Periode 2011-2016

No Tahun X1 X2 X3 X4 Nilai

Z-Score Kategori Z-Score

1 2011 0,69 0,06 0,71 0,70 2,16 Zona Abu-abu

2 2012 -2,01 -0,07 0,37 0,46 -1,25 Zona Berbahaya 3 2013 -2,61 -0,17 -0,05 0,04 -2,80 Zona Berbahaya 4 2014 -1,92 -0,38 -0,18 0,31 -2,17 Zona Berbahaya 5 2015 -2,90 -0,59 -0,15 0,26 -3,38 Zona Berbahaya 6 2016 -0,87 -0,19 1,66 0,026 0,85 Zona Berbahaya Sumber : Data yang diolah

Berdasarkan tabel 9 tersebut, nilai Z-Score model Altman selama enam tahun terakhir cenderung berfluktuasi.Nilai Z-Score model Altman pada tahun 2014 mengalami kenaikan namun kembali mengalami penurunan pada tahun 2015 dan kembali mengalami kenaikan pada tahun 2016. Kenaikan nilai Z-Score model Altman yang terjadi selama enam tahun terakhir tidak berdampak signifikan karena nilai Z-Score model Altman tersebut tetap menunjukkan bahwa perusahaan berada pada zona berbahaya. Nilai Z-Score model Altman tertinggi selama enam tahun terakhir adalah 2,16 pada tahun 2011. Nilai Z-Score model Altman terendah selama enam tahun terakhir adalah-3,38 pada tahun 2015.

Nilai Z-Score model Altmanpada tahun 2011 sebesar 2,16, hal ini menunjukkan bahwa nilai Z-Score model Altmanberada di antara 1,1 dan 2,6 dan berarti bahwa pada tahun 2011 perusahaan mulai masuk ke zona abu-abu. Berdasarkan nilai Z-Score model

Altman tersebut perusahaan mulai memasuki wilayah rawan.

Tahun 2012 nilai Z-Score model Altman turun sebesar 3,41 menjadi -1,25, nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai Z-Score model Altman pada tahun 2012 berada di bawah 1,1 dan memasuki wilayah berbahaya. Tahun 2013 nilai Z-Score model Altman mengalami penurunan sebesar 1,55 menjadi -2,80, menurunnya nilai Z-Score model Altman tersebut menunjukkan bahwa nilai Z-Score model Altman pada tahun 2013 berada di bawah 1,1 dan memasuki wilayah berbahaya.

(15)

103 model Altman tersebut tidak terlalu signifikan.

Tahun 2015 nilai Z-Score model Altman turun sebesar 1,21 sehingga pada tahun 2015 nilai Z-Score model Altman menjadi -3,38 dan merupakan nilai Z-Score model Altman terendah selama lima tahun terakhir. Tahun 2016 nilai Z-Score model Altman naik sebesar 4,23 sehingga pada tahun 2016 nilai Z-Scor e model Altman menjadi 0,85.

Peningkatan nilai Z-Score model Altman pada tahun 2016 menjadi 0,85 tetap berada di bawah 1,1 hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memasuki wilayah yang sangat berbahaya danmendekati kebangkrutan, kondisi seperti ini menuntut manajemen untuk mampu mengatasi persoalan mengenai produktivitas dan inefisiensi yang berdampak pada masalah keuangan secara cepat dan tepat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada maka diperoleh simpulan, yaitu tingkat kebangkrutan berdasarkan nilai Z-Score model Altman pada PT Atlas Resources Tbk pada tahun 2011 termasuk ke dalam kategori zona abu-abu.Tingkat kebangkrutan berdasarkan nilai Z-Scoremodel Altman pada PT Atlas Resources Tbk tahun 2012-2016 termasuk ke dalam zona berbahaya atau berpotensi mengalami kebangkrutan. Perusahaan mengalami kerugian selama lima tahun terakhir antara lain disebabkan oleh tingginya beban pokok produksi, tingginya total liabilitas perusahaan, menurunnya harga jual batubara, menurunnya tingkat penjualan batubara, serta menurunnya volume produksi batubara.

5.2 Saran

Berikut ini saran yang dapat peneliti berikan untuk perusahaan sehubungan dengan analisis tingkat kebangkrutan pada PT Atlas Resources Tbk, yaitu seharusnya perusahaan mampu meningkatkan modal kerja perusahaan dengan mengelolanya secara efektif dan efisien. Perusahaan sebaiknya menggunakan aset secara produktif sehingga mampu menghasilkan laba ditahan dan laba sebelum bunga dan pajak yang bernilai tinggi. Peminjaman uang yang dilakukan oleh perusahaan seharusnya diusahakan untuk

tidak terlalu besar nilainya dan disesuiakan dengan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan sehingga perusahaan mampu memenuhi kewajibannya dengan total ekuitas yang dimiliki. Pembangunan yang dilakukan di Hub Muba sebaiknya seefisien mungkin, serta apabila biaya angkut melalui jalur air menyebagiankan tingginya beban pokok pendapatan sebaiknya pengangkutan hasil pertambangan dilakukan melalui jalur darat atau menggunakan transportasi altenatif yang lain yang dapat meminimalisir beban pokok produksi.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, Syaiful. 2016. Pengantar Akuntansi. Yogyakarta: Andi

Bahri, Syaiful. 2015. Analisis Prediksi Kebangkrutan pada Perusahaan yang Di-delisting di Bursa Efek Indonesia.Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen Volume 4 Nomor 8.

Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim. 2016. Analisis Laporan Keuangan. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Harahap, Sofyan Syafri. 2010. Teori Akuntansi Laporan Keuangan. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara.

Hery. 2015. Pengantar Akuntansi. Jakarta: Gramedia.

http://www.idx.co.id/id-id/beranda/perusahaantercatat/laporank euangandantahunan.aspx diakses pada tanggal 10 April 2017.

Kasmir. 2014. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: PR Rajagrafindo Persada.

Munawir, S. 2014. Analisa Laporan Keuangan. Edisi 4. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Rudianto. 2013. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Erlangga

(16)

104 Sofyan, Syafri Harahap. 2011. Analisis Kritis

Atas Laporan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Subramanyam, K.R. dan John J. Wild. 2013. Analisis Laporan Keuangan.Edisi 10. Jakarta : Salemba Empat.

Sujarweni, V. Wiratna. 2016. Pengantar Akuntansi. Yogyakarta: Putaka Baru Press.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D.Bandung : Penerbit Alfabeta.

Gambar

Tabel 3  PT Atlas Resources Tbk
Tabel 4  PT Atlas Resources Tbk
Tabel 5 PT Atlas Resources Tbk
Tabel 6 PT Atlas Resources Tbk
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada kelas proses pembelajaran kelas kontrol siswa juga diberi permasalahan tentang berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, akan tetapi pada kelas

Muatan nilai kearifan lokal yang terdapat di dalam sebuah novel merupakan aspek yang penting dalam pemilihan novel sebagai bahan ajar teks cerita fiksi.. Pendekatan analisis

Obrada bazirana na znanju (KBM) ... OSNOVNI POJMOVI ... Karakteristike reznog alata za obradu odvajanjem čestica ... Materijali reznog alata ... Osnovna geometrija reznog alata

Kelima rumusan masalah dari penelitian ini yaitu, (1) bagaimana latar sosio- historis Tere Liye sebagai pengarang novel Negeri di Ujung Tanduk ?, (2) bagaimana struktur

Metode penelitian dimulai dengan merumuskan masalah, menentukan tujuan dari penelitian, lalu mengumpulkan data historis perusahaan pada produk BS-PRC dan mengolah

Dalam tulisan ini, desain tata letak galangan kapal untuk tahap awal dilakukan untuk target galangan kapal yang baru direncanakan dengan metode terpadu yang

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul, ”Rancang Bangun Sistem Kontrol Pada Meja Mesin Planer

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian yang dilakukan pada kantor Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Selatan, maka