• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU DI INDONESI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU DI INDONESI (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

DI INDONESIA

Oleh: Alvian D. Putra

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(2)

Partai Politik Sebagai Penyelenggara dan Fasilitator

I.

Perkembangan Demokrasi dan Perkembangan Kepartaian

`

Memahami latar belakang perkembangan kehidupan kepartaian di Indonesia, secara singkat perlu dikemukakan sistem politik di Indonesia. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, termasuk kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota partai politik (parpol) merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang harus diakui dan dilindungi oleh negara. Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) 10 Desember 1948 (disebut DUHAM) dalam Pasal 20 menyatakan (1) Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association; (2) No one may be compelled to belong to an Association. Hal itu kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 22 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Tahun 1966 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005.

Indonesia dengan sistem demokrasi memberikan ruang kepada masyarakat untuk berserikat baik berkumpul, mendirikan dan bergabung ke dalam partai politik. Akan tetapi, implementasinya dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan, prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut, khususnya kebebasan untuk mendirikan partai politik di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan dinamika sistem ketatanegaraan dan sistem politik yang berlaku. Semakin demokratis sistem politik semakin longgar pendirian parpol, dan semakin otoriter akan semakin ketat pembentukan parpol, yang berarti pula terjadinya pergerseran dalam tafsir prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul (Arief Hidayat, Disertasi UNDIP, 2006).

(3)

II.

Penjelasan Sistem Kepartaian

Maurice Duverger menggolongkan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai dan sistem banyak partai1. Namun dalam perkembangannya,

konsepsi sistem partai tunggal masih dapat digolongkan kembali berdasarkan jumlahnya, yaitu partai tunggal totaliter dengan satu partai yang berkuasa penuh seperti yang diterapkan pada negara komunis ataupun fasis, partai tunggal dominan yang didalamnya terdapat lebih dari satu partai tetapi ada satu partai besar yang menguasai secara dominan seperti di Jepang, serta yang terakhir adalah bentuk sistem partai tunggal yang tanpa partai sebagaimana diterapkan dalam sistem politik Otokrasi Tradisional seperti di Brunei Darussalam dan Arab Saudi2.

Sistem dwipartai bersaing merupakan suatu sistem kepartaian yang didalamnya terdapat dua partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Dalam sistem kepartaian ini, pembagian fungsi diantara kedua partai dibagi secara jelas, yaitu partai yang memenangkan pemilu akan mendapatkan kewenangan memerintah dalam pemerintahan sedangkan yang kalah menjadi oposisi dalam pemerintahan3. Sistem banyak partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas

lebih dari dua partai yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun secara sosial ekonomi4.

Selain pembagian sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai yang ada, Giovanni Sartori kemudian memiliki klasifikasi sistem kepartaian tersendiri berdasarkan atas jarak ideologi antar partai yang ada. Menurut Giovanni Sartori, sistem kepartaian dapat dipilah menjadi 4 sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada, yaitu: 1. Pluralisme sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal

seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.

2. Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil, bipolar dengan tiga atau empat partai sebagai basis, dan sentripetal seperti sistem banyak partai di Belanda.

3. Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar, multipolar dengan banyak partai, dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di Italia.

4. Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat besar, terdiri atas partai dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam sistem ini, sejumlah partai diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan

1 Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. hlm. 158.

2Ibid, hlm. 159.

3Ibid, hlm. 160.

(4)

untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni seperti ketika masa Orde Baru di Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat itu nyaris tidak tersentuh oleh partai politik lain.5

III.

Pengertian Partai Politik

Partai politik (parpol) merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, parpol secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifka dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan secara maksimal kepemimpinan politik secara sah (legitimate) dan damai (Amal, 1988: xi).

Dalam pengertian modern, parpol adalah “suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat, sehingga dapat mengatasi atau memengaruhi tindakan-tindakan pemerintah”. Menurut pandangan Mark N. Hugopian, “Partai politik adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip dan kepentingan ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan”. Sedangakn menurut pandangan Neumann (Budiardjo, 1981: 14), “Partai politik adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan berbeda-beda. Dengan demikian parpol merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas”.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka basis sosiologis parpol adalah ideologi dan

kepentingan yang diarahkan sebagai usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa kedua elemen tersebut parpol tidak akan mampu mengidentifikasikan dirinya dengan para pendukungnya. Dengan demikian menunjukkan kedudukan parpol sebagai:

a) Salah satu wadah atau sarana partisipasi politik rakyat.

b) Perantara antara kekuatan-kekuatan sosial dengan pemetintah.

IV.

Peranan dan Fungsi Partai Politik

(5)

Setelah memahami definisi-definisi partai politik dapat dihubungkan dengan peran dan fungsi partai politik (parpol). Menurut James Rosnau (1969) lebih menekankan kepada fungsi parpol sebagai sarana penghubung antara berbagai macam kepentingan dalam suatu sistem politik. Dalam hal ini menurutnya ada dua peranan penting parpol dalam linkage

politik, yakni:

a) Sebagai institusi yang berfungsi penetratif (penetrative linkage), dalam arti sebagai lembaga yang ikut memainkan peranan dalam proses pembentukan kebijakan negara; b) Sebagai “reactive linkage”, yaitu lembaga yang melakukan reaksi atas kebijakan yang

dikeluarkan oleh negara.

Dengan demikian, dalam negara demokrasi modern fungsi parpol secara umum adalah6:

1. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu di satu pihak merumuskan kepentingan (interest articulation) dan menggabungkan atau menyalurkan kepentingan (interet aggregation) masyarakat untuk disampaikan dan diperjuangkan kepada pemerintah, sedangkan di pihak lain juga berfungsi menjelaskan dan menyebarluaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat (khususnya anggota parpol yang bersangkutan.

2. Sebagai sarana sosialisasi politik, yaitu proses dimana seseorang memperoleh pandangan, orientasi dan nilai-nilai dari masyarakat di mana dia berada. Proses tersebut juga mencakup proses di mana masyarakat mewariskan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

3. Sebagai sarana rekrutmen politik (instrument of political recruitment), yakni proses melalui mana partai mencari anggota baru dan mengajak orang yang berbakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rekrutmen politik akan menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, dan sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi para calon pimpinan partai atau pemimpin bangsa.

4. Sebagai sarana pengatur konflik, yakni bahwa dalam negara demokratis yang masyarakatnya terbuka dan plural, perbedaan dan persaingan pendapat sangatlah wajar, akan tetapi sering menimbulkan konflik sosial yang sangat luas. Oleh karena itu, konflik harus bisa dikendalikan atau dijinakan agar tidak berlarut-larut yang bisa menggoyahkan dan membahayakan eksistensi bangsa. Dalam hal ini, parpol dapat berperan menekan konflik seminimal mungkin.

(6)

V.

Analisa Peran Partai Politik dalam Melakukan Mobilisasi Massa

dengan Menggunakan Instrumen Social Cleavage.

Secara umum, partai politik memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik serta sarana pengatur konflik7. Dari fungsi umum tersebut dapat digambarkan bahwa objek utama dari fungsi partai

politik tersebut adalah masyarakat sebagai konstituen dalam perpolitikan. Masyarakat atau kelompoknya yang biasa disebut dengan massa, tentu merupakan sasaran utama partai politik untuk meraih dukungan dalam sebuah penyelenggaraan kegiatan politik. Dukungan inilah yang nantinya akan membuat partai politik mengerahkan segenap kemampuannya untuk memobilisasi massa agar dapat meraih dukungan tersebut.

Salah satu instrumen yang digunakan oleh partai politik untuk dapat memobilisasi massa adalah dengan social cleavage atau pembilahan sosial dimana partai politik dengan sengaja “membelah diri” demi mendapatkan dukungan dari massa yang memang menjadi basis utama dukungan mereka. Adanya pembilahan ini sah-sah saja untuk dilakukan karena memang sistem demokrasi mengijinkan hal tersebut untuk terjadi. Apalagi jika melihat dari kultur masyarakat Indonesia yang lebih cenderung hidup berkelompok sehingga upaya pemilahan ini juga secara tidak langsung mendapat dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu agar kelompok mereka dapat memiliki perwakilan di parlemen maupun pemerintahan yang nantinya juga akan dapat memperjuangkan kepentingan mereka.

Jika melihat dari sejarah partai politik Indonesia, sudah puluhan bahkan ratusan partai politik yang melakukan pembilahan. Contohnya pada partai yang berbasis nasionalis di Indonesia, tercatat lebih dari 30 partai politik yang memiliki afiliasi ideologi nasionalis. Mulai dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno hingga melakukan pembilahan sedemikian rupa yang membentuk partai-partai berbasis nasionalis lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hingga PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaenis, dan lain sebagainya.

Pembilahan partai politik ini tentu bukannya tanpa sebab, PDIP yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri sebagai putri kandung Ir. Soekarno memiliki basis massa yang besar serta dukungan yang kuat, bahkan ada kesan bahwa PDIP merupakan partainya “trah Soekarno” dimana saat ini ketika kharisma seorang Megawati perlahan mulai memudar, justru Puan Maharani yang notabene anak kandungnya yang terkesan dipersiapkan untuk menggantikan dirinya saat memundurkan pensiun dari panggung politik nanti.

(7)

Hal inilah yang menyebabkan beberpa kelompok dalam internal partai menganggap peluangnya tipis untuk berkembang sehingga mereka memutuskan untuk lebih baik mengundurkan diri dan membentuk partai baru dengan basis ideologi yang sama-sama nasionalis namun memiliki perbedaan dalam golongan massa yang dimobilisasi dalam partai. Perpektif pembilahan partai ini juga hampir serupa terjadi pada partai-partai yang berbasis massa Islam.

Dalam sejarahnya, partai berbasis massa Islam memiliki banyak afiliasi politik pada tahapan awal pemilu di Indonesia seperti Masyumi, Partai NU, PSII, dan lain-lain. Namun ketika masa orde baru, partai-partai ini kemudian digabungkan kedalam Partai Persatuan Pembangunan. Barulah ketika masa reformasi, partai-partai Islam kembali melakukan pembilahan karena merasa keterwakilan golongannya masih kurang apabila hanya terdapat satu partai berbasis Islam. Dalam pemilu 2014 nanti saja ada setidaknya ada 4 partai berbasis Islam yang berkompetisi, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Motif pembilahan partai politik hampir semuanya sama, yaitu untuk memobilisasi massa yang mewakili golongannya. Seperti PKB yang memiliki basis massa kaum Nadhatul Ulama (NU). Bahkan PKB sendiri pernah mengalami gejolak yang berawal dari perebutan kekuasaan partai yang sah antara Muhaimin Iskandar dan Yenni Wahid yang merupakan putri dari KH. Abdulrachman Wahid atau Gus Dur. Hingga akhirnya Yenni Wahid mengundurkan diri dari PKB dan mendirikan partai baru yaitu Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) namun partai ini gagal ikut pemilu 2014 karena tidak lolos verifikasi oleh KPU.

Dari contoh-contoh diatas, jelas dapat dikatakan bahwa pembilahan dalam partai politik cenderung memiliki motif untuk meraih kekuasaan atas keterwakilan golongan atau massa tertentu sehingga yang terjadi saat ini adalah banyaknya partai politik yang ada di Indonesia tidak menunjukkan bahwa ada bnyak ideologi yang tertanam dalam partai-partai tersebut, tetapi lebih mengarah kepada golongan atau kelompok massa siapa yang berkuasa di dalam partai tersebut.

VI.

Partai Politik Sebagai Penyelenggara

(8)

1. Pluralisme sederhana yang tidak terpolarisasi, bipolar (dua partai) dan sentripetal seperti sistem dua partai di Amerika Serikat.

2. Pluralisme moderat yang memiliki polaritas kecil, bipolar dengan tiga atau empat partai sebagai basis, dan sentripetal seperti sistem banyak partai di Belanda.

3. Pluralisme ekstrim yang memiliki polaritas besar, multipolar dengan banyak partai, dan sentrifugal seperti sistem kepartaian di Italia.

4. Sistem kepartaian hegemoni yang memiliki polaritas sangat besar, terdiri atas partai dengan jumlah sangat banyak, dan sentrifugal. Dalam sistem ini, sejumlah partai diizinkan ada tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan untuk berkompetisi bebas dengan partai hegemoni seperti ketika masa Orde Baru di Indonesia dimana kekuasaan Golkar pada saat itu nyaris tidak tersentuh oleh partai politik lain8.

Berdasarkan penjelasan diatas, Giovanni Sartori yang membagi sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi jika dianalisa pembagiannya berhubungan erat dengan pembentukan stabilitas sistem pemerintahan. Jika suatu negara menganut sistem pluralisme sederhana dengan tidak terpolarisasi serta bipolar dimana negara penganut sistem kepartaian ini hanya memiliki tumpuan kepartaian pada dua kutub ideologi yang meskipun dalam penerapannya terdapat lebih dari dua partai politik. Ciri lain dari sistem pluralisme sederhana adalah sifatnya yang sentripetal yaitu arah perilaku politik setiap partai mengarah kepada integrasi nasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kepartaian pluralisme sederhana dapat menjamin adanya stabilitas pemerintahan dengan adanya subsistem-subsistem yang telah dijelaskan diatas.

Sistem kepartaian pluralisme moderat juga memiliki penjabaran subsistem yang hampir sama persis dengan sistem pemerintahan pluralisme sederhana. Bedanya mungkin hanya terletak pada jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilihan umum. Jika pluralisme sederhana cenderung menggunakan sistem dwipartai seperti yang terjadi di Amerika Serikat, sistem pluralisme moderat menggunakan sistem multipartai sebagaimana penerapannya di Belanda. Namun sistem pluralisme moderat ini juga menawarkan stabilitas pemerintahan yang lebih terjamin karena polaritas ideologi yang kecil serta bersifat sentripetal yang mengarah kepada integrasi nasional sehingga meskipun terdiri atas banyak partai namun untuk membentuk sebuah koalisi partai-partai dalam pemerintahan tidaklah sulit dikarenakan polaritas yang kecil itu tadi dan pada akhirnya memudahkan pemerintah untuk menstabilkan pemerintahannya.

(9)

Sistem kepartaian selanjutnya adalah sistem kepartaian pluralisme ekstrim dimana dalam sistem kepartaian ini, partai-partai yang ada (multipartai lebih dari 2 partai) memiliki polaritas yang besar dan jamak (multipolar) sehingga perilaku partai cenderung mengembangkan sistem tersendiri dan menjauhi integrasi nasional. Seperti penerapannya di Italia, sistem kepartaian ini menciptakan sistem pemerintahan yang cenderung kurang stabil mengingat polaritas yang besar antarpartai sehingga menyulitkan terciptanya integrasi diantara partai-partai yang ada dan kemudian partai yang berkuasa tidak memiliki koalisi yang kuat dalam pemerintahan sehingga pemerintahannya menjadi tidak stabil.

Sistem kepartaian yang terakhir adalah sistem kepartaian hegemoni yang ciri-cirinya hampir sama dengan sistem kepartaian pluralisme ekstrim yang bercirikan banyak partai dengan polaritas besar dan multipolar serta partai memiliki perilaku cenderung menjauhi integrasi nasional. Bedanya adalah jika dalam pluralisme ekstrim, partai-partai yang ada dibiarkan dalam kompetisi yang bebas dalam meraih kekuasaan, namun dalam sistem kepartaian hegemoni hanya ada satu partai yang menguasai pemerintahan meskipun partai yang lain tetap diizinkan untuk ikut berpartisipasi. Sebagai contoh dalam pemerintahan masa orde baru di Indonesia, hanya Golkar yang mampu berkuasa selama kurang lebih 32 tahun pemerintahannya. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintahan cenderung stabil karena memang oposisi ditekan seminimal mungkin keberadaannya sehingga pemerintahan yang ada menjadi stabil. Namun ketika masyarakat mulai bosan dengan hegemoni partai yang ada, hal dapat menciptakan sebuah goncangan yang hebat dalam pemerintahan sebagaimana tercermin dalam peristiwa di tahun 1998.

DAFTAR PUSTAKA

(10)

Referensi

Dokumen terkait

This study analyzes the key determinants of investment in Nigeria using a co-integration model of gross fixed capital formation, industrial performance, infrastructural

Pada hakekatnya, penyelenggaraan upacara tradisional mengandung suatu ajaran yang diwujudkan dalam bentuk simbol atau lambang yang mana lambang tersebut mempunyai

Perhitungan rasio keuangan ini meliputi beberapa rasio, yaitu rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio profitabilitas, dan rasio hutang dengan menggunakan pendekatan

Setelah menyimak video pembelajaran tentang makna dari sila pertama Pancasila, siswa mampu memberikan contoh pengamalan dari sila pertama dalam kehidupan sehari-hari dengan

Dalam rangka pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Kabupaten Kepahiang, sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,

Konfirmasi hasil penandaan dilakukan dengan metode kromatografi kertas menaik dengan fase diam Whatman 3MM dan fase gerak aseton serta NaCl fisiologis Hasil

Untuk meningkatkan kualitas Muamalah, yang pertama kali dilakukan adalah dengan mengevaluasi dan mengintrospeksi diri sendiri sehingga dapat mengetahui sudah sejauh

Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm.. datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan