• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dana Kampanye dan Karakteristik Organisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dana Kampanye dan Karakteristik Organisa"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Dana Kampanye dan Karakteristik Organisasi Partai Politik

1

Nico Harjanto2

“The flood of o ey that gushes i to politics today is a pollution of democracy (Theodore White)

Pendahuluan

Salah satu pertanyaan besar dalam era demokrasi electoral yang makin ko petitif adalah ho i po ta t is o e to the ele to al p o ess? 3

Kita semua sepertinya setuju bahwa dalam era demokrasi elektoral yang didasarkan pada prinsip suara terbanyak, tidak ayal lagi uang telah menjadi bahan bakar politik yang paling utama. Uang telah menggantikan sihir orasi dan teks ideologis, rasionalitas individu maupun kelompok, dan bahkan mengkerdilkan kerja-kerja politik sukarela yang dilakukan banyak pekerja partai. Dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin menuntut kecepatan dan rutinitas tampil untuk dapat dikenal dan disukai para pemilih, para politisi dan partai politik tidak punya pilihan lain untuk tidak menggunakan media massa sebagai alat pemasaran politiknya. Akibatnya tentu biaya politik yang menjadi semakin tinggi, dan ujung-ujungnya uang menjadi main currency

untuk memiliki pengaruh dan kekuasaan.

Pandangan tersebut sepertinya semakin mendapatkan pembenarannya. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi, petinggi partai, maupun pejabat pemerintahan untuk membiayai kegiatan politik mereka, khususnya dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan telah mewarnai kehidupan perpolitikan di Indonesia. Dalam rilisnya yang kontroversial pada 28 September 2012 yang lalu, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan bahwa Presiden SBY telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan pejabat dan anggota dewan yang terlibat kasus hukum. Dari jumlah tersebut, 36 persen untuk politisi dari Partai Golkar, 18 persen dari PDIP, 11

1 Disa paika pada pelu u a uku da diskusi Basa

-basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip

T a spa a si da Aku ta ilitas Pese ta Pe ilu, a g disele gga aka oleh Pe lude di Jaka ta, Ap il .

2

Pengajar tamu di Paramadina Graduate School of Diplomacy dan analis kebijakan publik di Rajawali Foundation. Alumni Ohio University dan Northern Illinois University. Kontak: oenic@yahoo.com

(2)

persen dari Partai Demokrat, dan sisanya dari partai-partai lain.4 Dalam banyak kasus korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat tersebut, ada banyak kaitan yang memang susah dibuktikan secara legal-formal antara praktek korupsi dengan upaya untuk mendanai kegiatan politik mereka. Di Eropa juga demikian, aitu fighti g political finance-related corruption is currently perceived as one of the biggest

halle ges fo a Eu opea de o a ies. 5

Kekuatiran mengenai makin dominannya peran uang dalam perpolitikan telah mendorong banyak pihak untuk melakukan reformasi pendanaan politik dan kepartaian secara umum. Namun, ini bukanlah hal yang mudah karena kewenangan legislasi ada di tangan anggota legislative dan pemerintah yang hampir semuanya berasal dari kalangan partai politik. Advokasi untuk memperketat aturan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan pendanaan politik (political financing), pendanaan kepartaian (party financing), dan dan juga pendanaan kampanye (campaign financing) telah dilakukan berulangkali setiap ada proses revisi undang-undang tentang partai politik maupun pemilihan umum.

Namun, sejauh ini bahkan regulatory framework yang mengatur tentang masalah yang paling bawah dalam hierarki pendanaan terkait politik, yaitu pendanaan kampanye, masih belum optimal untuk mewujudkan kampanye politik yang sehat dan kompetitif. Tentu muncul pertanyaan besar di sini, apa yang salah dengan beragam usulan tersebut, dan apakah memang mungkin partai politik didorong untuk mereformasi aspek transparansi dan akuntabilitas keuangan terkait dana kampanye?

Pengorganisasian Internal Kepartaian dan Dana Kampanye

Masalah keterkaitan uang dan politik elektoral di negara demokrasi mapan telah banyak dilakukan kajian yang beragam, mulai dari masalah pengeluaran kampanye, efektivitas iklan politik, hingga hubungan antara incumbency, kemampuan mengumpulkan dana kampanye, dan tingkat keterpilihan kembali ( re-election).6 Kajian Pastine and Pastine (2012) menunjukkan bahwa 94 persen anggota House of Representatives terpilih kembali di tahun 2008, dan rata-rata keterpilihan kembali para incumbents di US House of Representatives dari tahun 1968-2008

Fi a e, European University Institute Working Paper MWP No 2007/29 (2007): 2

6Pe iksa, isal a Ga Ja o so , The Effe ts of Ca paig “pe di g i Co g essio al Ele tio s,

American Political Science Review 72 (June 1978): 469-9 ; Ga Co a d Mi hael Thies, Ho Mu h Does

(3)

adalah 93 persen, sedangkan untuk anggota Senat rata-ratanya adalah 81 persen.7 Salah satu faktor yang membuat tingginya success rate para incumbents tentunya adalah tingginya efficiency in fundraising. Dengan kuasa dan pengaruh, maka semakin mudah untuk mengumpulkan dana kampanye, dan akhirnya mendapatkan kembali kekuasaan.

Namun, ada pula perspektif teoretis lain yang menarik untuk disimak. Studi Daniel Treisman (1998) misalnya, menawarkan argumen yang cukup provokatif untuk dipikirkan.8 Menurutnya, tidak arif jika kita berasumsi bahwa uang memiliki pengaruh yang sama antara di negara demokrasi mapan dengan di negara-negara demokrasi baru. Sebab, kebalikannya dengan negara-negara demokrasi mapan, negara demokrasi baru memiliki pasar-pasar politik yang poorly institutionalized. Di tatanan ekonomi yang terlembagakan, contracting commitment yang kredibel sangatlah mungkin. Namun, di pasar yang belum terlembagakan dengan baik, kontrak perjanjian adalah masalah rumit karena antara penjual dan pembeli memiliki sedikit jaminan bahwa klausul-klausul kontraknya akan dihormati dan dipenuhi.

Dalam konteks pendanaan kampanye, meneruskan argumen tersebut, David Samuels (2001) memberikan analogi bahwa:

i a poo l i stitutio alized politi al a ket o su e s of go e e tal services (potential campaign financiers) will not invest in potential p odu e s of go e e tal se i es a didates fo offi e e ause the a e relatively more uncertain that they will get what they pay for. 9

Implikasinya cukup jelas dalam konteks ini, yaitu hanya sedikit uang yang akan digelontorkan untuk kampanye-kampanye elektoral di negara-negara demokrasi baru.

Tentu saja, argumen dari Treisman tersebut disanggah oleh Samuels yang menawarkan cara pandang lain, yaitu bahwa pertama, the suppl of o e i

elections is a fu tio of the i e ti es di a a ko t i uto -kontributor potensial mesti mempengaruhi distribusi pelayanan-pelayanan pemerintahan. Kedua, bahwa tuntutan kebutuhan terhadap dana-dana kampanye merupakan fungsi dari derajat

inter- and intraparty competition. Terakhir, pertukaran pasar akan terjadi ketika sampai pada derajat dimana politisi mencoba membangun reputasi dan mengulang-ulang interaksi dengan pendonor, dan ketika para politisi dan pendonor telah sepakat e a gu uasi-i stitutio al sa tio i g e ha is s. 10

7I a Pasti e a d Tu a a Pasti e, I u e Ad a tage a d Politi al Ca paig “pe di g Li its,

Journal of Public Economics vol. 2 (2012): 20. 8

Da iel T eis a , Dolla s a d De o atizatio : The ‘ole a d Po e of Mo e i ‘ussia s T a sitio al Ele tio s, Comparative Politics 31 (October 1998): 1-21.

9

Samuels, ibid. p. 23. 10 Samuels,

(4)

Terlepas dari the nature of new electoral democracies yang terkadang membuka peluang korupsi politik di sistem pemilu tertentu11, pendanaan kampanye dan kepartaian menjadi semakin relevan untuk dipikirkan karena sangat mempengaruhi institutionalisasi kepartaian pada khususnya dan sistem kepartaian pada umumnya.12 Institutionalisasi kepartaian secara khusus seringkali sangat dipengaruhi oleh satu faktor utama di dalam pengorganisasian internal partai, yaitu derajat sentralisasi dan desentralisasi.13 Oleh karena itu, membicarakan model pendanaan kampanye dan kepartaian tidak mungkin dilepaskan dari konteks tersebut.

Secara umum, masalah sentralisasi dan desentralisasi kewenangan di internal partai biasanya meliputi seleksi kandidat, formulasi kebijakan dan keputusan, serta pengaturan-pengaturan khusus yang konstitusional untuk memilih para pemimpin partai. Hal-hal tersebut menjadi indikator-indikator penting pelembagaan partai karena, pertama, membantu melokasikan dimana kekuasaan berada di dalam organisasi partai, dan dengan demikian membantu mengidentifikasi pejabat-pejabat partai yang memegang kekuasaan riil. Kedua, hubungan organisasional antara partai di daerah dan di pusat sangat mungkin mengindikasikan struktur sistem politik yang ada, karena semua terkait secara integral. Ketiga, derajat sentralisasi-desentralisasi tersebut mempengaruhi kesempatan-kesempatan untuk pelibatan demokratis oleh anggota partai maupun masyarakat pada umumnya. Terakhir, di sistem politik dengan derajat ketegangan dan perbedaan regional yang tinggi, kemampuan partai untuk mengakomodasi perbedaan mungkin dipengaruhi oleh pola-pola sentralisasi di dalam organisasi kepartaiannya.14

Selanjutnya, Coletto, Jansen, and Young (2011) menambahkan satu aspek lagi yang berperan semakin penting dalam pelembagaan kepartaian, yaitu masalah aliran-aliran finansial (financial flow) internal partai politik. Hal ini terkait erat dengan masalah otonomi finansial dari tiga aktor utama dalam organisasi kepartaian, khususnya di Kanada yang menjadi studi kasusnya. Ketiga aktor utama ini adalah pengurus pusat partai, pengurus/asosiasi partai daerah (di Kanada disebut dengan electoral district association/EDA), dan para kandidat yang bertarung memperebutkan jabatan-jabatan politik. Interaksi ketiga aktor ini juga dalam banyak hal sangat problematik di konteks Indonesia, sehingga menarik untuk dilihat

11

Studi Eric C. C. Chang and Miriam Golde Ele to al “ ste s, Dist i t Mag itude, a d Co uptio ,

British Journal of Political Science vol. 1 (2007) misalnya menyatakan bahwa korupsi lebih rendah di negara-negara dengan Sistem PR terbuka dibandingkan dengan Sistem PR tertutup, tapi yang rata-rata district magnitude-nya di bawah 10 kursi. Sebaliknya, jika dengan district magnitude yang tinggi (di atas 20 kursi),

(5)

bagaimana interaksi teoretis yang tersedia untuk memahami lebih jauh masalah pendanaan kampanye dan pelembagaan kepartaian.

Menurut Coletto, Jansen, and Young (2011), model pendanaan kampanye yang cenderung ideal mestinya mengikuti peraturan yang ada dan juga norma-norma demokrasi yang umum. Untuk itu, pendanaan kampanye mestinya merupakan aliran kontribusi dari para anggota dan masyarakat umum yang diberikan sebagai kontribusi untuk partai di tingkat pusat, kontribusi untuk EDA, maupun kontribusi untuk para kandidat. Dengan kerangka basic model seperti Gambar 1, mereka mencoba menawarkan empat model pendanaan partai untuk kampanye sebagai berikut.15Pertama, branch model of party income seperti dalam Gambar 2. Di dalam model cabang ini, partai di daerah dan juga asosiasi-asosiasi elektoralnya berperan sebagai the primary generators of income. Aliran uang dengan demikian akan ke atas, dari level daerah dan kandidat ke pengurus pusat. Aliran uang antara pengurus daerah dengan kandidat sifatnya tidak langsung dan tidak struktural.

Gambar 1. Basic model Gambar 2. Branch model

Dalam model 2, yaitu stratarchical sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3, tampak bahwa pengurus EDAs maupun kandidat mampu untuk mengumpulkan dana yang mencukupi untuk menjaga aktivitas partai di daerah dan mengikuti kompetisi pemilu di tingkat daerah pemilihan. Sementara itu, pengurus partai nasional juga mampu mendapatkan pendapatan yang memadai baik dari sumber-sumber publik maupun swasta untuk memenuhi fungsi-fungsi yang diembannya dan menjalankan kampanye-kampanye pemilu nasional yang kompetitif. Aliran uang

15

(6)

dengan demikian tidak banyak berpindah antar tingkatan maupun aktor, dan interdependensi finansial tidak terjadi.

Kemudian, dalam model 3, yaitu centralized funding, partai di tingkat nasional memiliki kemampuan mengumpulkan pendanaan yang jauh lebih banyak dari pengurus di daerah maupun para kandidat. Akibatnya, aliran finansial terjadi secara

top-down, dan ini dapat menyebabkan perlakuan pengurus partai daerah sebagai subordinat dari para pengurus di pusat. Hal ini tentu tidak kondusif untuk pelembagaan partai untuk jangka panjang karena tiadanya kesetaraan politik. Terakhir, dalam model 4, yaitu state-dependent centralized fundraising, mirip dengan model sebelumnya, namun sumber dananya yang berbeda. Dalam model terakhir ini, sumber utama pendanaan kampanye yang diperoleh oleh partai di tingkat pusat adalah dari subsidi negara. Di sini ada ketergantungan partai terhadap negara, dan ini dapat memperparah hubungan dengan pengurus di daerah karena hanya pengurus partai di pusat yang berhak menerima atas nama partai, bantuan subsidi dari negara, dan mereka bisa merasa bahwa kedudukan merekalah yang membuat hidup partainya.

Gambar 3. Stratarchy model Gambar 4. Centralized fundraising

Dari uraian singkat mengenai model-model financial flow, tentu membantu kita semua untuk memahami bagaimana kompleksitas pendanaan kampanye di Indonesia, baik dari aspek legal-formal, akses ke pendanaan, hingga pengaturan tata-kelola (governance) internal partai untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Di sejumlah negara, pengaturan mengenai dana kampanye telah semakin detail dan penegakan aturannya juga telah melibatkan aparat-aparat penegak hukum negara yang semakin sophisticated dalam melacak, mengungkap, dan mengadili beragam

(7)

Pengaturan Dana Kampanye di Negara Demokrasi Maju

Pengaturan dana kampanye menjadi suatu agenda politik yang masih diperdebatkan di banyak negara maju. Amerika Serikat telah melalui serangkaian

campaign finance reform sejak adanya legislasi mengenai pendanaan kampanye di tahun 1867. Di tahun 1972, lahir the Federal Election Campaign Act (FECA) yang mewajibkan kandidat untuk membuka sumber-sumber kontribusi kampanye dan pengeluaran kampanyenya serta pembentukan the Federal Election Commission FEC a g salah satu fu gsi uta a a to ad i iste a d e fo e the FECA.16

Kemudian di tahun 2002 lahir the Bipartisan Campaign Reform Act (BCRA) atau yang le ih dike al se agai M Chai -Fei gold A t a g e e isi esa a do asi, aik dala e tuk ha d o e aupu soft o e .

Di Kanada, sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini merupakan ringkasan mengenai peraturan tentang partai dan pendanaan kampanye yang telah mengatur transparansi, batasan pengeluaran, hingga batasan sumbangan.

Tabel 1. Ringkasan Peraturan tentang Partai dan Pendanaan Pemilu di Kanada

Sumber: Coletto, Jansen, Young (2011: 116)

16

(8)

Di Inggris, The Corrupt and Illegal Practices Act (CIPA) telah disahkan pada tahun 1883 yang kemudian menjadi pondasi perkembangan demokrasi model Westminster karena mengintroduksi pembatasan pengeluaran kampanye yang diperbolehkan di setiap konstituensi. Selanjutnya, di tahun 2000 CIPA diperluas dan direvisi dalam Political Parties, Elections, and Referendum Act yang kemudian melahirkan peraturan-peraturan tentang pembatasan pengeluaran kampanye seperti terangkum dalam tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Aturan Pembatasan Kampanye di Inggris

Sumber: www.electoralcommission.org

Sementara itu, untuk konteks demokrasi transisional di Eropa Timur yang dulunya merupakan bagian dari negara komunis Uni Soviet, pengaturan mengenai pendanaan politik juga semakin menunjukkan kemajuan yang berarti seperti tampak pada tabel 4 di bawah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah semakin meluasnya cengkeraman para oligarchs, yaitu kaum super kaya baru, ke dalam kehidupan kepartaian dan pemerintahan. Sudah umum di negara Eropa Timur, partai politik dan pemerintah seringkali menjadi proxy atau kepanjangan tangan dari kepentingan para

(9)

Tabel 4. Regulasi Pendanaan Politik di Eropa Timur

Dari sejumlah contoh tersebut, tampak bahwa pengaturan masalah pendanaan kampanye dan partai politik perlu semakin detail, sehingga dari sisi penerimaan maupun pengeluaran dapat dilakukan audit yang dapat menjadi dasar untuk penegakan hukum selanjutnya. Tentu saja beragam pengaturan tersebut seringkali tidak mampu untuk mengimbangi perubahan dalam praktek transaksi antara pendonor dan politisi, dan karenanya skandal seringkali masih terjadi di negara-negara demokrasi maju sekalipun.

Transparansi dan Akuntabilitas di Politik: Tantangan Demokrasi Indonesia

Kekuatan dan pengaruh uang terhadap proses elektoral di Indonesia tampaknya semakin intrusif dan massif. Di hampir semua pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif dan presiden, sejumlah praktek-praktek money politics

(10)

tidak jarang seorang kandidat bisa menghabiskan dana ratusan juta hingga puluhan milyar rupiah.17

Dalam prakteknya, transparansi dan akuntabilitas keuangan partai maupun untuk kampanya masihlah terselimuti banyak misteri dan kejanggalan. Dari beberapa laporan audit keuangan partai politik seperti tampak di tabel 5 dan 6 untuk Partai Golkar, tampak betapa adanya suatu fluktuasi yang sangat luar biasa ketika tahun pemilu 2004. Dari sisi penerimaan, pada tahun-tahun bukan tahun pemilu, penerimaan dari donasi korporasi maupun individual tampak jauh sekali dibandingkan ketika tahun pemilu. Penting diingat, angka-angka ini adalah yang dilaporkan, dan bisa jadi penerimaan maupun pengeluaran aktualnya lebih dari sepuluh kali lipatnya, tergantung cara penghitungan dan komponen-komponen yang dihitungnya.

Tabel 5. Ringkasan Laporan Keuangan Partai Golkar

“u e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al

Untuk lebih detailnya lagi, pada tabel 6 di bawah ini adalah perincian yang dapat menggambarkan untuk apa saja pengeluaran Partai Golkar dalam kurun waktu 2004-5 yang laporan keuangannya telah disampaikan ke KPU. Tampak bahwa penggunaan anggaran terbesar pada tahun pemilu 2004 adalah untuk beban langsung departemen, dalam hal ini adalah untuk pemenangan pemilu. Sementara itu aliran finansial ke pengurus di daerah sangatlah kecil untuk tahun pemilu, dan ini jelas mengindikasikan adanya sentralisasi yang kuat dalam pendanaan dan pengeluaran dana kampanye di Partai Golkar ini.

17

Kajian Pramono Anung Wibowo misalnya menyebutkan rata-rata anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengeluarkan dana Rp 1,5-2 ilia sela a ka pa e sa pai de ga te pilih. Pe iksa, P a o o: Cegah

(11)

Tabel 6. Dana Teraudit Partai Golkar 2004-5

“u e : diolah da i Ha ja to, Politi al Pa t “u i al

Adanya fluktuasi penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang cukup fantastis juga dilaporkan partai-partai lain. Tabel 7 di bawah ini memberikan ringkasan mengenai jumlah asset, pendapatan, dan pengeluaran yang dilaporkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk kurun waktu tahun 2003 hingga 2005 dimana pengaturan dan pengawasan keuangan kepartaian masih lemah. Dari tabel ini tampak bahwa ada lonjakan penerimaan dan pengeluaran pada tahun pemilu, dengan perubahan nilai asset yang dimiliki yang cenderung tetap rendah. Ini tentu mengindikasikan bahwa partai-partai tersebut tidak memiliki upaya untuk meningkatkan endowment maupun valuasi asset supaya partai bisa semakin otonom secara finansial, tetapi masih beroperasi pada kebutuhan mendesak, yaitu untuk pemenangan pemilu maka penggalangan dana digeber dan dilakukan secara instan, dan ini tentunya membuka peluang korupsi maupun politik transaksional antara

(12)

Tabel 7. Ringkasan Keuangan Partai-partai di Indonesia

“u e : diolah da i Ha ja to, Politi a Pa t “u i al

Jika dilihat dari praktek singkat pelaporan keuangan kepartaian seperti tampak di tabel-tabel di atas, masalah transparansi dan akuntabilitas dana kampanye masihlah merupakan isu penting dalam upaya penyehatan demokrasi di Indonesia. Dari laporan keuangan yang diserahkan saja, dengan mudah dapat dibaca bahwa partai-partai politik di Indonesia kurang optimal dalam mendorong dirinya menjadi institusi demokrasi yang kredibel dan akuntabel karena tidak ada political will yang kuat untuk mengikuti prinsip tatakelola pemerintahan yang baik (good governance), khususnya terkait prinsip transparansi dan akuntabilitas. Padahal tanpa mengikuti kedua prinsip ini, pelembagaan partai akan selalu tersandera oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek para oligarki partai.

Penutup

Mengingat banyaknya persoalan terkait dana kampanye pada khususnya dan dana partai politik maupun dana politik pada umumnya, maka kajian yang terangkum dalam Buku Basa-Basi Dana Kampanye: Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu (2013) merupakan pengisi celah kekosongan kajian tentang hal ini. Dana kampanye merupakan isu sensitif dan sulit untuk dikaji karena minimnya ketersediaan data dan tertutupnya pengurus partai politik mengenai hal ini. Karena itu, buku ini perlu diapresiasi untuk sumbangannya yang penting dalam memberikan pemahaman mengenai persoalan dana kampanye di Indonesia dari aspek legal-formal, diskursus mengenai pengaturan dan pembatasan untuk penerimaan dan pengeluaran kampanye, serta sejumlah rekomendasi yang mestinya dimasukkan sebagai dalam daftar inventarisasi masalah untuk revisi undang-undang

(13)

tentang partai politik maupun pemilihan umum berikutnya. Sejumlah temuan dan rekomendasi dalam buku ini akan membantu tidak saja pengaturan dana kampanye supaya lebih transparan dan akuntabel, tapi jauh lebih penting lagi adalah untuk mewujudkan pelembagaan partai politik yang baik sehingga demokrasi semakin solid dan juga terlembagakan.

Akhirnya, campaign, party, and political financing adalah masalah demokrasi serius di semua negara, dan karenanya pembahasan untuk menuju perbaikan tata aturan dan tata kelola mengenai hal ini perlu terus didorong. Hal ini karena konteks masing-masing negara demokrasi yang sangat berbeda dan khas, sehingga sulit untuk mencari formulasi satu dan seragam mengenai detail aturan dan mekanisme terkait dana kampanye. Namun, tentu saja norma-norma universal yang telah diterima umum mengenai prinsip-prinsip tata kelola kepartaian dan juga penerimaan dan penggunaan dana publik senantiasa harus didorong untuk bisa menjadi bagian dari

internal values of political party. Sebab, pada akhirnya aturan tanpa dilandasi budaya maupun etika hanyalah akan melahirkan penyimpangan dan politisasi lebih jauh. * *

Gambar

Gambar 1. Basic model
Gambar 3. Stratarchy model
Tabel 1. Ringkasan Peraturan tentang Partai dan Pendanaan Pemilu di Kanada
Tabel 2. Aturan Pembatasan Kampanye di Inggris
+5

Referensi

Dokumen terkait

Adrianti, 2010, Optimasi hidrolisis enzimatik jerami padi menjadi glukosa untuk bahan baku biofuel menggunakan selulase dari Trichoderma ressei dan Aspergillus niger, Skripsi,

[r]

Biaya kualitas yang terjadi adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian kualitas dalam menjaga dan meningkatkan kualitas, serta

Unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat unit LPSE adalah unit yang melayani proses pengadaan Barang/Jasa secara elektronik di lingkungan Badan

Hasil ini mendukung teori dan penelitian Liang and Wang (2005), yang menyatakan bahwa perusahaan yang dapat memberikan economic content kepada nasabah dengan memberikan

Tujuan dari pendidikan dengan model sekolah asrama adalah untuk mendidik siswa agar hidup mandiri dan memiliki kehidupan yang harmonis dengan masyarakat.. Sekolah asrama

Barang bukti lain selain sampel narkotika yakni semua yang barang bawaan yang dimiliki oleh pelaku seperti kartu identitas penumpang, uang, handphone, dan segala

Perspektif yang penulis gunakan untuk mengkaji masalah pencapaian kompetensi mata pelajaran produktif teknik kendaraan ringan kelas XI adalah dari motivasi berprestasi,