• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Diversi dalam Peradilan Pidana Anak"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Sistem Dan Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

1. Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

a. Pengertian dan Dasar Pemikiran Sistem Peradilan Pidana Anak

(2)

Keempat, adanya mekanisme kontrol yaitu menjalankan pengawasan sebagai respon terhadap penanggulangan kejahatan.55

Mardjono mengemukakan empat komponen sistem peradilan pidana yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu.56 Keempat komponen ini pun sangatlah penting di dalam sistem peradilan pidana anak secara khusunya.

Hadi Supeno mengatakan dalam tulisannya, bahwa:

“Penjara hanya tepat untuk orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak

tidak tepat masuk penjara karena akan mematikan harapan masa depannya. Anak adalah pribadi otonom yang sedang tumbuh, yang dibutuhkan adalah bantuan dan bimbingan. Peradilan yang tepat untuk pelaku delikuensi anak adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga. Hukuman maksimal yang

boleh mereka terima adalah pendidikan paksa.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma lama dari Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak bisa dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah kriminalisasi anak oleh negara dan masyarakat.57

Indonesia telah mengganti Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama dengan Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2012. Undang-Undang-Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak lahir untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kenyataannya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

55

Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2013, hal. 32

56 Ibid

(3)

hukum masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan hukum. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan anak yang berhadapan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.58 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak menggunakan terminologi “Peradilan Anak”, tidak diartikan sebagai badan

peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) UUD RI tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.59 Penjelasan UU sistem peradilan pidana anak, Peradilan anak merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum, sehingga batasan pengertian yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,

58

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 43

59 Abintoro Prakoso, Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika,

(4)

mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.60

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.61 Di dalam kata sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah kata

“anak” dalam frase “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, karena

untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa.62

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memuat ketentuan Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok yang dimuat antara lain:63

1. Pidana Peringatan; 2. Pidana dengan Syarat:

a. Pembinaan di luar lembaga; b. Pelayanan Masyarakat; atau c. Pengawasan;

3. Pelatihan Kerja;

4. Pembinaan dalam Lembaga; 5. Penjara.

60 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

61

Setya Wahyudi, Op.cit, hal. 35

62 M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 43

63 Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

(5)

Pidana Tambahan terdiri atas:64

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat

Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.65 Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Program ini pada awalnya dilakukan sebagai tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukum bagi anak pelaku yang kemudian akan menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memutus perkara ini. Program ini menganggap pelaku dan korban sama-sama mendapatkan manfaat yang sebaik-baiknya sehingga dapat mengurangi angka residivis di kalangan anak-anak pelaku tindak pidana serta memberikan rasa tanggung jawab bagi masing-masing pihak.66

Setiap pembentukan undang-undang yang baik, harus disertakan dasar-dasar pembentukan perundang-undangan berupa dasar-dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis. Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak,

64 Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

65 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

66 Allison Moriris & Gabriel Maxwel. Restorative Justice for Juvenile: Coferencing

(6)

disebutkan dasar-dasar pemikiran dalam pembentukan RUU tersebut, antara lain:67

1) Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.68

2) Dasar Sosiologis

Dasar sosiologis ini menyangkut mengenai keadaan sosial. Undang-Undang Pengadilan Anak yang lama tidak dapat melindungi anak dari penjatuhan sanksi pidana dan tidak memberikan perlindungan hukum dalam melindungi hak-hak yang dimiliki oleh anak. Dengan demikian, perlu ada peranan dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.69

67

Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, hal.7-9 dikutip dari: M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 51

(7)

3) Dasar Yuridis

Dasar yuridis berkaitan terhadap ketentuan hukum. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah 1990.70

4) Dasar Psikopolitik Masyarakat

Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam masyarakat mengenai tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu perundang-undangan. Tindak pidana yang dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam proses interaksi anak dengan lingkungannya, di mana anak belum mampu secara dewasa menyikapinya.71

Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:72 a. Perlindungan;

b. Keadilan;

c. Nondiskriminasi:

d. Kepentingan terbaik bagi Anak; e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;

h. Proporsional;

70 Ibid, hal. 53 71 Ibid, hal. 54

(8)

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j. Penghindaran pembalasan.

b. Tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak

Tujuan sistem peradilan pidana bagi anak menurut The Beijing Rules dimuat pada Rule 5.1 Aims of Juvenile Justice, adalah mengutamakan kesejahteraan anak dan akan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukumnya73.

Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Resolusi PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990, The United Nations for the Protection of Juvenile Deprived of Liberty adalah sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak anak dan keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental pada anak, serta hukuman penjara digunakan sebagai upaya terakhir.74

Tujuan sistem peradilan pidana anak menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dalam penjelasannya agar terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

2. Proses Peradilan Pidana Anak Di Indonesia

Prinsip tentang Perlindungan Anak terutama tentang prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan sehingga diperlukan penghargaan

(9)

terhadap anak.75 Non diskriminasi (non discrimination), artinya semua hak yang terkandung dalam Konvensi Hak-hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Kepentingan terbaik bagi anak (the best interests of the child), artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (survival and development), artinya dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.76

Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:77

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. Dipisahkan dari orang dewasa;

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. Melakukan kegiatan rekreasional;

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. Tidak dipublikasikan identitasnya;

j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. Memperoleh advokasi sosial; l. Memperoleh kehidupan pribadi;

m.Memperoleh aksesabilitas, terutama bagi anak cacat; n. Memperoleh pendidikan;

75 DS. Dewi Fatahilla dan A.syukur, Mediasi Penal: penerapan restorative justice di

pengaadilan anak indonesia, Indie Pre Publishing, Depok, 2011, hal. 13

76 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Cet.ke-4 (Edisi Revisi),

Bandung, 2013, hal. 130-131

(10)

o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap tingkatan peradilan wajib melaksanakan proses diversi baik itu penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan.78 Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana Anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.79

a. Tahap Penyidikan

Proses penyidikan mengandung arti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi, serta sekaligus menemukan tersangka atau pelaku tindak pidananya.80 Artinya bahwa penyidikan dalam perkara tindak pidana anak merupakan kegiatan penyidik anak untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana yang dilakukan anak.81

Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik Anak yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Kepolisian RI (KAPOLRI) atau pejabat lain yang ditunjuk oleh KAPOLRI. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik Anak:

1. Telah berpengalaman sebagai Penyidik;

78 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

79

Pasal 13 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

80 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan

Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 109

(11)

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.82 Apabila belum

ada Penyidik Anak, maka penyidikan terhadap Anak dilakukan oleh penyidik untuk orang dewasa.83

Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan84 setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak. Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dalam hal dianggap perlu, dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional85 atau tenaga kesejahteraan sosial86, dan tenaga ahli lainnya. Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi. Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.87

82 Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 173 83 Ibid, hal. 174

84

Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana lihat dalam: Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

85

Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

86 Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara

professional unuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

87 Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

(12)

Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam yang dapat ditempatkan di dalam ruang pelayanan khusus anak atau dititipkan di LPKS. Penahanan anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali/lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana kecuali anak tersebut telah berumur 14 (empat belas) tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau lebih.88

Adapun pelanggaran yang sering terjadi terhadap hak-hak anak dalam proses hukum di tingkat kepolisian seperti, proses penangkapan tidak dilengkapi surat penangkapan, tidak ada surat pemberitahuan ke pihak keluarga anak, proses pemeriksaan (interogasi) dengan kekerasan fisik atau mental anak (pemukulan, membentak, pemaksaan untuk mengakui dan lain-lain).89

Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan penyidik menyampaikan berita acara diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan, apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara penuntut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.90

88 Pasal 30 dan Pasal 32 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

89 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

Op.cit, hal. 144

(13)

b. Tahap Penuntutan

Definisi penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan cara yang diatur di dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan.91 Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke pengadilan anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim anak dalam persidangan anak.

Penuntutan terhadap Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum Anak:

1. Telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum;

2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.92 Apabila belum

ada Penuntut Umum Anak, maka penuntutan terhadap Anak dilakukan oleh Penuntut Umum bagi orang dewasa.93

Pada tahap penuntutan tindak pidana yang sering dilakukan penuntut yaitu lewatnya masa penahanan terhadap anak.94 Sama halnya dengan tahap penyidikan, setelah menerima berkas dari penyidik, penuntut umum anak wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Proses

91 Pasal 1 butir 7 KUHAP 92

Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 174

93 Ibid

94 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

(14)

diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan dan apabila dalam hal diversi gagal, penuntut umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.95

c. Tahap Pemeriksaan di Pengadilan Anak

Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.96 Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak:

1. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum; 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Apabila belum ada Hakim Anak, maka pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.97

Pada tahap persidangan hakim tidak mempertimbangkan hasil penelitian masyarakat (litmas) yang dibuat oleh Bapas. Hakim melaksanakan persidangan tanpa dihadiri penasihat hukum anak, tidak meminta tanggapan orang tua anak dalam proses memutuskan perkara anak dalam persidangan.98

95 Pasal 42 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 96

Wagiati Soetodjo, Op.cit, Cet.ke-4 (Edisi Revisi), hal. 174

97 Ibid, hal. 175

98 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

(15)

Pada proses pemeriksaan di pengadilan, ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas dari Penuntut Umum. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai hakim, diversi sebagaimana dimaksud dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri. Proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapannya, apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan maka perkara akan tetap dilanjutkan ke persidangan.99

Persidangan anak dilakukan di dalam ruang sidang khusus anak100 dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan oleh hakim.101 Anak harus didampingi oleh orang tua atau wali, advokat atau pemberi bantuan hukum serta pembimbing kemasyarakatan dalam persidangan sama halnya juga terhadap anak korban atau anak saksi. Pemeriksaan terhadap anak korban atau anak saksi dalam persidangan tidak diikuti oleh Anak (pelaku). Hakim juga memberi kesempatan kepada orang tua atau wali serta pendamping Anak untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak, dan dalam hal tertentu anak korban diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian

99

Pasal 52 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

100 Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

(16)

kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan.102

Laporan penelitian kemasyarakatan berisi:103

1. Data pribadi Anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; 2. Latar belakang dilakukannya tindak pidana;

3. Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;

4. Hal lain yang dianggap perlu; 5. Berita acara diversi; dan

6. Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya undang-undang ini, agar:104

1. Setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik Anak; 2. Setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum Anak; 3. Setiap pengadilan wajib memiliki Hakim Anak;

4. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun Bapas105 di kabupaten/kota;

5. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan

102

Pasal 55, pasal 58, dan pasal 60 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

103 Pasal 57 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 104 M.Nasir Djamil, Op.cit, hal. 185

105

(17)

6. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial wajib membangun Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

B. Sejarah Perkembangan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Indonesia telah meratifikasi Convention on The Rights of The Child atau Konvensi Hak-hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak, oleh karena itu Indonesia telah terikat baik secara yuridis, politis, maupun moral untuk mengimplementasikan konvensi tersebut.106 Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak, anak yang memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum.

Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian yang win win solution. Konsep diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. Dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap pelaku atas tindakan yang dilakukannnya,

(18)

sehingga lebih baik untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.107

Diversi atau diversion pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia (President Crime Commission) di Amerka Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning).108

Tahun 1970 dua bentuk besar diversi yang ada di Australia difokuskan bukan untuk membuat diversi kepada sebuah program alternatif, melainkan diversi untuk mengeluarkan sistem peradilan. Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap kehati-hatian dari polisi, dimana anak muda yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan terkecuali kalau anak tersebut melakukan pelanggaran selanjutnya (mengurangi) maka akan dilakukan proses lanjutan. Bentuk kedua yang dilaksanakan di Australia bagian selatan tahun 1964 dan Australia bagian barat tahun 1972 melibatkan sebuah pertemuan pelaku anak dan orangtuanya dengan polisi dan sebuah pekerja sosial Negara. Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke peradilan formal.

107

Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy: An Evaluation, Washington DC: US Departement of Justice, 1997, hal.1 dikutip dari: Marlina, Hukum Penitensier, Op.cit, hal.73

108 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

(19)

Pertemuan dilakukan dalam suasana relatif informal untuk memberikan peringatan dan konseling.109

Menurut catatan sejarah di Negara Inggris polisi telah lama melakukan diversi dan mengalihkan anak kepada proses non-formal seperti pada kasus penanganan terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang membahayakan orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk atas tindak pidananya adalah pada tahun 1883, yakni dengan melakukan proses informal di luar peradilan. Pemisahan peradilan untuk anak-anak di bawah umur diatur Children Act tahun 1908. Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesejahteraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk program diversi.110

Pada abad ke 19, dibuatlah program besar mengenai gerakan keselamatan anak yaitu untuk membuat peradilan yang bersifat informal, lebih memberi perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitikberatkan sifat pelanggaran yang dilakukannya. Selain itu untuk memindahkan tanggung jawab memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik untuk anak daripada keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan pada peradilan untuk menyatakan anak telah bersalah.111

109 Ibid 110

Ibid, hal. 24

111 Anthony M Platt. (1977). The Child Savers: The Invention of Delinquency. Chicago:

(20)

Di Inggris perkembangan pelaksanaan diversi terhadap anak terus dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke-19 yaitu Negara Inggris yang merupakan Negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan menggunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak.112 Konsep Diversi lahir didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.113

Sebelum lahirnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum awalnya didasari kewenangan diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapinya menurut pendapatnya sendiri.114 Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus pelaku tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara.115

Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Di dalam perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain “Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama proses pemeriksaan

112 Marlina, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

Op.cit, hal. 25

113

Marlina, Hukum Penitensier, Op.cit, hal. 73

114 JCT Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 38

115 Marlina, Disertasi Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam

(21)

di muka sidang.116 Ide diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvesional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan ide diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak. (persisten delinquent is the result of treating first-offenders ash they were become persistently delinquent. Juvenile justice system processing therefore does more harm than good.)117

C. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Diversi

1. Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara konseptual, diversi adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Diversi juga bermakna suatu upaya untuk mengalihkan anak dari proses yustisial menuju proses non-yustisial. Upaya untuk mengalihkan proses peradilan (pidana) anak menuju proses non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi.118

116 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.

201

117 Paulus Hadisoeprapto, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa

Datang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 230

118 Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangannya),

(22)

Pengalihan proses yustisial ke proses non-yustisial dalam penyelesaian perkara anak mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut:119

a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis, khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan menghindarkan anak dari dampak negatif karena terjadinya kontak antara anak dengan aparat penegak hukum dalam proses peradilan.

b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui mekanisme yang lebih elegan menurut perspektif anak. Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk membebaskan anak dari kemungkinan adanya pertanggungjawaban anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda. Di satu sisi anak terhindar dari berbagai dampak negatif akibat kontak dengan aparat penegak hukum, sementara di sisi lain anak tetap dapat mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya tanpa harus terjadi tekanan terhadap mental anak.

(23)

c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi terhadap penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan pidana termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.

d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologi, rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka diversi hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga merupakan proses depenalisasi dan sekaligus dekriminalisasi terhadap pelaku anak.

Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus seseorang, misalnya seorang anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi pada kasus seorang anak antara lain adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.120 Dalam pasal 6 UU SPPA, diversi memliki tujuan sebagai berikut:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

(24)

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Secara teoritis, penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi akan memberikan berbagai manfaat sebagai berikut:121

a. Memperbaiki kondisi anak demi masa depannya;

b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan anak; c. Meningkatkan peran dan kesadaran orang tua dan lingkungan keluarga

anak;

d. Mengurangi beban kerja pengadilan.

Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa dilaksanakan. Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi. Hal ini memang penting mengingat kalau

121

(25)

ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindakan pidana berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.122

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.123

Tugas Pembimbing Kemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah:124

a. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan termasuk kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;

b. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS125 dan LPKA;

122

M. Nasir Djamil, Op.cit. hal. 139

123 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

(26)

c. Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA126;

d. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi127, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.128 Menurut Pasal 8 ayat (3) UU SPPA, proses diversi wajib memperhatikan:

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan

125

Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung lihat dalam: Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

126 Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga

atau tempat Anak menjalani masa pidananya lihat dalam: Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

127

128 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

(27)

kategori tindak pidana, umur Anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.129 Pasal 9 ayat (2) UU SPPA, kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif. Kesepakatan diversi tersebut dapat dikecualikan untuk tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.130

Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:131 a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali pada orang tua/Wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.132

Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian

129 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

130

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(28)

korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat dan dapat berbentuk:133

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS134 paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

2. Menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum

Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

Menurut pasal 1 angka 6 PP No. 65 Tahun 2015, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan:135

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan

133 Pasal 10 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 134 Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS

adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

135 Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan

(29)

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib mengupayakan Diversi dalam pemeriksaan perkara Anak. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan/atau orangtua/walinya, korban atau Anak korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Proses diversi wajib memperhatikan:136 a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Jika proses diversi tidak berhasil proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. Proses diversi dikatakan tidak berhasil jika proses tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

136 Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman

Referensi

Dokumen terkait

BAB III PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PERADILAN PIDANA ANAK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. Pelaksanaan Diversi Dalam Peraturan

Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara

Unit PPA wajib menerapkan keadilan restoratif, Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA, berarti bahwa mekanisme pencapaian tujuan dalam sistem peradilan pidana anak yang mengutamakan keadilan restoratif tidak hanya

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA menyatakan : “Sistem Peradilan Pidana Anak mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. Keadilan Restoratif tidak menggunakan pembalasan

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.10 Secara prinsipiil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah

Pengaturan Penyelesaian Tindak Pidana KDRT Berdasarkan Restorative Justice Dalam Hukum Positif di Indonesia Restoratif Justice merupakan bagian dari sistem peradilan yang menekankan