UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK DIWILAYAH
HUKUM KEPOLISIAN POLSEK RUMBAI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning Pekanbaru
Disusun Oleh :
NAMA : CINDY VANBORA S NPM 1674201107
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU
2020
TANDA PERSETUJUAN NAMA : CINDY VANBORA S
NPM 1674201107
JUDUL SKRIPSI : PELAKSANAAN DIVERSI SEBAGAI BENTUK PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN ANAK DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN POLSEK RUMBAI
DITERIMA DAN DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN DALAM UJIAN SKRIPSI
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Dr. Fahmi, S.H.,M.H) (Tatang Suprayoga.,S.H.,M.H) Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning
(Dr. Fahmi, S.H.,M.H) iii
mengedepankan pendekatan restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation). Berdasarkan uraian diatas ada beberapa pokok permasalahan yang muncul untuk dilakukan penelitian adalah Bagaimana Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai, hambatan yang dialami serta upaya mengatasi Bagaimana Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai. Jenis penelitian ini adalah metode penulisan Hukum Sosiologis adalah membahas tentang Bagaimana Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai. Adapun lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di Polsek Rumbai Kota Pekanbaru.
Kesimpulan dalam penelitian ini telah menjawab permasalahan yang muncul yaitu Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai belum berjalan maksimal karena penyidik dalam hal ini penegakan hukum tidak menemui titik terang sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang, seharusnya setiap anak yang dibawah umur yang melakukan kejahatan harus dilakukan diversi terlebih dahulu yang dilakukan penyidik sesuai dengan pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Hambatan Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai, yaitu: Budaya Hukum Masyarakat, Sulitnya Mènghadirkan Para Pihak Dalam Melakukan Diversi, dan Kurangnya Sarana Dan Prasarana Pendukung Untuk Melakukan Upaya Diversi. Upaya Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai Kota Pekanbaru, yaitu: Diperlukan Budaya Hukum Masyarakat yang Mengedepankan Perdamaian, Perlunya Kesadaran Para Pihak Dalam Melakukan Diversi, dan Diperlukan Sarana Dan Prasarana untuk Anak
Kata Kunci : Diversi, Pidana, Anak
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepolisian sebagai penegak hukum yang pertama dalam penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara pidana anak adalah melalui pendekatan restorative justice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi).
Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.1Restorative justice dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang. Karena masih tingginya angka anak yang berkonflik dengan hukum yang akhirnya berujung pada pemidanaan yang mana hal tersebut sudah tidak sesuai dengan tujuan dari konvensi hak anak yaitu kepentingan terbaik bagi anak.
Penangkapan, penahan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan proses penerapan diversi dalam peradilan pidana anak dari penyidikan kepolisian diberikan kewenangan yang disebut dengan diskresi (discretionary power).
1 Selamet Riadi, Peran Penyidik Polri dalam Penerapan Diversi terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (Studi di PPA Polres Lombok Barat), Jurnal IUS, Vol IV Nomor 2, Agustus 2016, hlm 127
1
Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal yang berikan oleh Undang- undang di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara pidana yang dilakukan oleh anak sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian peradilan pidana secara formal.
Hal ini telah diamanatkan dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberikan keleluasaan seluas mungkin dan dalam segala peningkatan pemeriksaan untuk melakukan diskresi;
wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya.2 Selain itu dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak khususnya Pasal 7 ayat (1) dinyatakan, bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.3 Demikian halnya di Kepolisian Daerah, dituntut mampu melakukan penerapan diversi dengan mengedepankan konsep restorative justice dalam menangani perkara tindak pidana anak.
Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.
Menurut Retnowulan Sutianto, perlindungan anak merupakan bagian dari Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hal ini tercermin pada hakekat
2 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
3 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.4
Bagir Manan, dalam tulisannya menguraikan tentang substansi restorative justice yang berisi prinsip-prinsip, antara lain: membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai stakeholders yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions). Terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan oleh anak, maka restorative justice system setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara penanganan orang dewasa, 5 yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.6
hlm 166
4 Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997),
5 DS. Dewi, Restorative justice, Diversionary Schemes and Special Children’s Courts in Indonesia. Artikel tidak diterbitkan, hlm 1
6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm 98
Sistem peradilan anak yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-UndangNomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamental yang ada antara lain digunakannya pendekatan restorative justice melalui sistem diversi.7 Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban para penegak hukum dalam mengupayakan diversi (penyelesaian melalui jalur non formal) pada seluruh tahapan proses hukum. Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.8 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:9
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
9 Pasal 5 ayat (1, 2 & 3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.10 Secara prinsipiil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengedepankan pendekatan restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu); kedua, menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus di atasi untuk mencapai perbaikan (in orderto achievereparation).11
Penerapan prinsip restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak walaupun secara yuridis formil telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, hal ini tentu akan memunculkan permasalahan bagi penyelesaian tindak pidana yang melibatkan anak. Anak yang melakukan tindak Pidana wajib
10 Pasal 1 butir (7) UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
11 Ivo Aertsen, et, al, Restorative Justice and the Active victim: Exploring the Concept of Empowerment, (Journal TEMIDA, 2011), hlm 8-9
dilakukan diversi terlebih dahulu, dengan menghadirkan korban, dan keluarga korban. Dengan demikian dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai ?
2. Bagaimana Hambatan Dalam Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai ?
3. Bagaimana Upaya Dalam mengatasi Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai
b. Untuk mengetahui Hambatan Dalam Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai
c. Untuk mengetahi Upaya Dalam mengatasi Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenaiPelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai
b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemahaman dan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan yaitu untuk memperkaya bahan bacaan dalam hal ilmu pengetahuan c. Untuk sumbangan masukan bagi instansi yang terkait dalam hal ini
mengenai Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai
D. Kerangka Teori
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi Anak.12
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 ayat
12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Kerja Tahun 1948 menentukan bahwa anak adalah seorang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah. Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan belum dewasa bilamana seseorang itu belum menikah dan belum terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum Islam menentukan bahwa anak dibawah umur adalah yang belum akil baligh. Batas umur seseorang belum atau sudah dewasa minderjarig), apabila ia belum berumur 15 (lima belas) tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh geslachtssrijp) tetapi tidak boleh kurang dari 9 (sembilan) tahun.13 Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.14
Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa, tidak berarti sanksi yang diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh orang dewasa. Konsekuensinya, reaksi terhadap anak tidak sama
13 Maidin Gutom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Rafika Aditama, 2008), hlm 31
14Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
dengan reaksi yang diberikan terhadap orang dewasa,yang lebih mengarah pada punitif.15
Proses pembuatan Undang-Undang Peradilan Anak melalui keputusan menteri sosial Nomor Huk.3-1-30/15 tahun 1970 yang pada 12- 13 Oktober 1970 diadakan workshop perundang-undangan tentang Anak dan Pemuda dengan penyelenggaranya BKN-KKA, salah satu Tim-yaitu Team Kerja A yang membidangi tentang hukum pidana dan acara pidana dalam salah satu Rekomendasinya menyarankan bahwa pengertian tindak pidana anak adalah semua perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-undangan pidana dan perbuatan-perbuatan lainnya yang pada hakikatnya merugikan perkembangan si anak sendiri serta merugikan masyarakat.16
R. Abdoel Djamali, mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundang- undangan lainnya.17
Menurut Prof. Moeljatno, S.H pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
15Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm 75
16Ibid, hlm.77-78.
17Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493.
tersebut.18 Menurut Prof. Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku.19
Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut :
1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.
2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.
Hukum pidana mempunyai azas-azas, yang menunjukkan sifat- sifat tertentu, sifat-sifat mana tidak tedapat dalam macam-macam hukum lainnya, yakni:
1. Sesuatu perbuatan itu boleh dihukum, jika berdasarkan peraturan pidana, yang telah ada terlebih dahulu (Pasal 1 ayat 1 KUHP).
2. Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata- kata, yang terdapat dalam peraturan pidana itu saja.
3. Tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan.
4. Hukum pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika dilanggar.
5. Yang dapat dihukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum dan binatang tidak.
18Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm 54
19C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 1994), hlm 106
Dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak ketika berhadapan dengan proses hukum yang dilakukan oleh pihak berwajib menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pada pasal 29 ayat:20
1. Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 hari setelah penyidikan dimulai.
2. Proses diversi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan paling lama 30 hari setelah dimulainya diversi.
3. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan
4. Dalam hal diversi gagal, penyidik wajib melanjutlkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke pununtut umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana materiil (Substantif), hukum pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga tiga bidang hukum pidana itu harus bersama sama diperbaharui Kaitannya dengan Hukum maka Pembaharuan Hukum bukan merupakan suatu usaha yang bersifat vast leggen van wat is (menetapkan apa yang sudah berlaku, tapi lebih merupakan suatu usaha vast leggen wat hoortte zijn (penetapan apa yang seharusnya atau sebaiknya berlaku). Maka pembaharuan
20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
hukum mengandung makna, membuat suatu hukum yang baru yang lebih baik untuk masa yang akan datang.
Berdasarkan ketentuan di atas dalam melaksanakan program pembangunan hukum terdapat beberapa sendi utama yang dijadikan acuan dalam pembangunan sistem hukum nasional antara lain:
a. Sendi Negara berdasarkan konstitusi dan negara berdasarkan hukum;
Negara berdasarkan konstitusi mengandung makna, pertama terdapat pengaturan mengenai batas-batas negara dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, kedua adanya jaminan akan perlindungan terhadap hak-hak warga Negara. Sendi ini melahirkan berbagai asas dan kaidah hukum yang membatasi kewenangan negara dan pemerintah di dalam pergaulan masyarakat serta asas dan kaidah hukum yang menjamin hak dan kewajiban warga negara.
b. Sendi kerakyatan dan demokrasi; Sendi kerakyatan mengandung makna perlunya keikutsertaan rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya dalam pembentukan hukum. Hal ini akan menjamin bahwa pembentukan hukum sesuai dengan tata nilai, pandangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
c. Sendi kesejahteraan sosial; Sendi kesejahteraan sosial berarti bahwa sistem hukum nasional dibangun untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini berarti pula bahwa penentuan dan pembentukan substansi hukum harus dapat mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia di segala bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Berkaitan dengan upaya melaksanakan pembaharuan hukum pidana menurut Richard Lange dalam buku kecilnya yang berjudul “Strafrechtsreform, Reform Im Dilemma” ada dua problema pokok yang selalu dihadapi yaitu bahwa di satu pihak ada keharusan untuk menserasikan hukum pidana dengan ilmu pengetahuan empiris dengan memperhatikan benar-benar kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya sedangkan di lain pihak hukum pidana harus diperbaharui sesuai tingkat kemajuan zaman.
Dari kedua permasalahan pokok dalam pembaharuan hukum pidana yang dikemukakan di atas mengandung makna bahwa ada keharusan untuk mengakomudasikan nilai-nilai sentral yang hidup di masyarakat kedalam hukum yang akan dicita-citakan sehingga dapat berlaku secara efektif di masyarakat.
Disamping itu pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan melihat kecenderungan-kecenderungan Internasional dan hukum pidana negara-negara lain sebagai bahan perbandingan yang diadaptasikan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam falsafah negara Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber Hukum sehingga hukum yang dicitacitakan dapat berlaku.
Adapun tujuan utama dari pembaharuan hukum pidana itu adalah penanggulangan kejahatan. Ketiga bidang hukum yang diperbaharui itu erat sekali hubungannya, namun dalam tulisan ini untuk selanjutnya perhatian semata mata ditujukan kepada pembaharuan hukum pidana materiil. Berkenaan dengan pembaharuan hukum pidana materiil (substantif), menurut Muladi mengemukakan
karakteristik operasional hukum pidana materiil di masa yang akan datang adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik yang pertama (adalah bahwa) hukum pidana Nasional mendatang dibentuk tidak hanya sekedar alasan sosiologis, politis dan praktis semata mata, namun secara sadar harus disusun dalam kerangka Ideologi Nasional Pancasila.
b. Karakteristik operasional yang kedua adalah bahwa hukum pidana pada masa datang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
c. Karakteristik yang ketiga adalah bahwa hukum pidana mendatamg harus dapat menyesuaikan diri kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab
d. Karakteristik yang ke empat adalah bahwa hukum pidana di masa mendatang harus memikirkan pula aspek- aspek yang bersifat preventif e. Karakteristik yang kelima adalah bahwa hukum pidana masa
mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan efektivitasnya di dalam masyarakat.
Dari karakteristik yang dikemukakan di atas dengan tegas dan jelas maknanya bahwa didalam pembaharuan hukum pidana materiil (substantif) harus mengakomudasi nilai-nilai sentral masyarakat dan juga tidak menutup diri terhadap nilai-nilai universal di dalam masyarakat beradab. Pembaharuan hukum seperti telah disebutkan di atas lebih popular dari istilah Pembinaan hukum,
walaupun kedua istilah tersebut mengandung makna dan arti yang sama, Pembinaan hukum dalam arti luas yaitu setiap tindakan yang berusaha menyelaraskan hukum dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.
Dengan demikian pembinaan itu meliputi kegiatan pembangunan hukum yaitu menetapkan ketentuan-ketentuan baru pengganti ketentuan-ketentuan lama yang berbau kolonial, sedang dalam arti sempit yaitu usaha menyesuaikan terus menerus hukum nasional yang telah ada sejak Proklamasi dengan kebutuhan yang terus berubah
Membicarakan sistem peradilan pidana tidak terlepas dari pembicaraan upaya penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan sarana penal ataupun sarana non penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yaitu upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana. Penggunaan sarana hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan, operasional bekerjanya lewat sistem peradilan pidana (criminal justice system).
Sistem peradilan pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan), yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output), berupa tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang dari sistem peradilan pidana. Tujuan jangka pendek sistem peradilan
pidana adalah resosialisasi pelaku tindak pidana, tujuan menengah adalah pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang adalah kesejahteraan sosial.21
Tujuan sistem peradilan pidana berupa resosialisasi pelaku, karena penyelenggaraan peradilan pidana berguna untuk pembinaan pelakusehingga ketika kembali kepada masyarakat sudah menjadi orang yang baik-baik.
Sedangkan tujuan pencegahan kejahatan, maksudnya dengan putusan pengadilan pidana tersebut dapatmencegah pelaku untuk berbuat kejahatan, baik mencegah secara nyata bagi pelaku, maupun dapat berfungsi preventif bagi masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah kesejahteraan social, karena penyelenggaraan peradilan pidana berfungsi untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan jahat yang sangat mengganggu masyarakat.
Dalam literatur hukum pidana, pakar hukum pidana menggunakan beberapa istilah yang berbeda dalam menyebutkan teori pemidanaan, tapi secara umum teori pemidanaan yang dikenal selama ini dapat dikelompokkan ke dalam empat teori besar, yaitu teori retribusi (retribution), penangkalan (deterrence), pelumpuhan (incapacitation) dan rehabilitasi (rehabilitation).
Retribusi merupakan teori pemidanaan tertua dalam sejarah peradaban manusia yang berlandaskan kepada pemberian ganjaran (pembalasan) yang setimpal kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Ide retribusi yang paling awal menggunakan konsep pembalasan pribadi (private revenge) di
21 Ibid, hlm vii
mana korban atau keluarganya memberi pembalasan yang sama kepada pelaku atau keluarganya atas kerugian yang diderita oleh korban atau keluarganya.
Sistem dalam kamus umum bahasa Indonesia mengandung dua arti yaitu seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, dan juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari pada pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula sistem itu metode.Dari pengertian Sistem di atas dapat ditarik suatu makna bahwa sebuah system mengandung keterpaduan atau integralitas beberapa unsur atau faktor sebagai pendukungnya sehingga menjadi sebuah system.
E. Metode Penelitian
Untuk menjelaskan penelitian secara benar dan terarah diperlukan suatu metode penelitian sehingga hasil penelitian dapat digunakan untuk menjawab hasil masalah yang ada dan menganalisis pokok permasalahannya.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah Penelitian Hukum Sosiologis.
Penelitian Hukum Sosiologis dalam tulisan ini membahas mengenai berlakunya hukum positif yaitu “Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai”.
2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di Wilayah Hukum Polsek Rumbai. Dimana alasan dipilih lokasi ini adalah karena di Polsek Rumbai belum terlaksana dengan baik mengenai Pelaksanaan Diversi Sebagai Bentuk
Penyelesaian Tindak Pidana Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Di Wilayah Hukum Kepolisian Polsek Rumbai.
3. Populasi dan Sampel a. Populasi
Populasi merupakan sekumpulan objek yang hendak diteliti. Sehubungan dengan judul penelitian yang dijadikan sebagai populasi dari penelitian ini adalah
1) Kanit Reskrim Polsek Rumbai 2) Anggota Penyidik
3) Pelaku Anak 4) Orang Tua Pelaku
b. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan dijadikan objek penelitian.
Metode penetapan sampel yang digunakan adalah Purposive. Maka untuk menimbang besarnya biaya dan waktu dalam hal ini penulis mengklasifikasikan populasi untuk dijadikan sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Populasi dan Sampel
No Responden Populasi Sampel Persentase 1 Kanit Reskrim Polsek Rumbai 1 orang 1 orang 100%
2 Anggota Penyidik 1 orang 1 orang 100%
3 Pelaku Anak 4 orang 2 orang 50%
4 Orang Tua Pelaku 4 orang 2 orang 50%
Jumlah 10 orang 6 orang Sumber : Data Primer, tahun 2020
4. Sumber Data
Dalam penelitian hukum sosiologis data bersumber dari data primer. Data primer dalam penelitian ini dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Data primer, Yaitu data yang diperoleh dari masyarakat yang ditetapkan sebagai responden dalam penelitian.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang berkaitan dengan penelitian dan bersifat mendukung data primer 3. Data tertier, yaitu data yang diperoleh dari kamus, ensiklopedia, dan
sejenisnya, yang berfungsi untuk mendukung data primer dan data sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga dapat memberikan gambaran permasalahan secara menyeluruh, maka dalam hal ini penulis menggunaan beberapa teknik pengumpulan data yaitu :
1. Observasi, yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian.
2. Wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara terstruktur dan non struktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang telah disiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaannya secara sistematis, sedangkan wawancara non struktur adalah wawancara yang tidak terikat dengan daftar pertanyaan.
3. Kajian Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari dan membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan.
6. Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif artinya data dianalisis tidak menggunakan angka-angka atau statistik, namun lebih kepada penjelasan dalam bentuk kalimat yang dipaparkan secara lugas. Sedangkan dalam menarik kesimpulannya penulis menerapkan metode induktif yaitu menyimpulkan dari pernyataan yang bersifat khusus ke dalam pernyataan yang bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
A. Hamid S. Attamina, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Jakarta: Disertasi UI
Amir Ilyas, 2012. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia
Bambang Waluyo, 2008. Pidana Dan Pemidanaan, Cetakan Ketiga, Jakarta:
Sinar Grafika
Bunani Hidayat, 2010. Pemidanaan Anak Dibawah Umur, Bandung: PT. Alumni C.S.T. Kansil,1994. Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Sinar
Grafika
Darji Darmodoharjo dan Sidharta, 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama M. Sudradjat Bassar, 1986. Tindak-tindak Pidana tertentu Di Dalam KUHP,
Bandung: Remaja Karva
Maidin Gutom, 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Rafika Aditama
Maidin Gultom, 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, Bandung: PT. Refika Aditama
Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers
P.A.F., Lamintang, 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Pekanbaru 2019
Sudarsono, 2007. Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: PT. Rineka Cipta Walyadi, 1991. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Mandar
Maju
Wigiati Soetodjo, 2010. Hukum Pidana Anak, Cetakan Ketiga, Bandung: PT.
Refika Aditama
Wirjono Prodjodikoro, 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: Refika Aditama
Wirjono Prodjodikoro, 2010. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Indonesia, Cetakan Ketiga, Bandung: Refka Aditama
Yesmil Anwar, dan Adang, 2010. Kriminologi, Bandung: Refika Aditama
Zainal Abidin Farid, 2007. Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika
B. Jurnal / Kamus / Makalah / Artikel lainnya
Meirina Fajarwati, Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Kekerasan Seksual pada Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Anak, Prodigy, Jurnal Perundang- Undangan Vol. 2 No, Desember 2014
Ni Komang Ratih Kumala Dewi : Perlindungan Hukum terhadap Dokter dalam Pelaksanaan Hukuman Kebiri Terhadap Terpidana Kejahatan Kekerasan
Seksual Pada Anak, Jurnal: Kertha Wicaksana Volume 21 No. 1 Januari 2017 IS SN: 0853-642 2
Politik Hukum Pemidanaan Kastrasi: Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal IUS Vol. V No. 3 Desember 2017: Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Redaksi Sinar Grafika, 2003. UU Kepolisian Negara RI No 2 Tahun 2002,
Jakarta: Sinar Grafika
Redaksi Teras Aksara, 2007. UUD 1945 & perubahannya teras aksara, Jakarta C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
D. Website
http://www.pekanbaru.go.id
Seksi Pemerintahan Kecamatan Rumbai