• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan landasan pemungutan pajak guna menghimpun penerimaan negara. Peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum era reformasi perpajakan tahun 1983 merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada saat itu dibuat semata-mata untuk menghimpun dana bagi Pemerintah penjajahan dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di Indonesia.1

Sesuai dengan asas legal, sebuah peraturan dibidang pajak harus mempunyai referensi dalam undang-undang. Hal tersebut secara jelas tertera dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Pasal ini selain memberikan dasar hukum bagi pemungutan pajak oleh Negara terhadap rakyat, sekaligus juga mengandung dasar falsafah pajak. Dengan adanya syarat bahwa yang menjadi dasar hukum pemungutan pajak adalah undang-undang maka dengan sendirinya disyaratkan pula adanya persetujuan dari rakyat terhadap pemungutan pajak tersebut.2 Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak

1.Gunadi, Dkk. Perpajakan, Buku I, Yayasan dan Pengkajian Perpajakan Bekerjasama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Jakarta, 1998, hal 3

2 Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Terbaru, Penerbit Andi, Yogyakarta,

2009, hal 47.

(2)

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3

Sumber hukum pajak yang bersifat tertulis terdiri dari Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berbagai Undang-undang perpajakan baik yang memuat ketentuan material maupun ketentuan formal beserta semua peraturan perundang-undangan pada hirarki dibawahnya sebagaimana dimaksudkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyangkut bidang perpajakan. Sumber hukum pajak yang bersifat tertulis lainnya adalah Perjanjian Perpajakan, Yurisprudensi Perpajakan, dan Doktrin Perpajakan.

Pajak dapat dikelompokkan menggunakan kriteria tertentu, salah satunya adalah berdasarkan kewenangan pemungutannya. Dengan mendasarkan kepada kewenangan pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).4

Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, antara lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), dan Bea Meterai, sedangkan Pajak

3 Pasal 1 butir 1, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Tata Perpajakan.

4Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Edisi Terbaru, Penerbit Andi, Yogyakarta,

(3)

Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik itu Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pajak Provinsi terbagi dalam beberapa jenis pajak yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan jenis-jenis pajak yang merupakan pajak daerah Kabupaten/Kota adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan PerKotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.5

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diberlakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara, terutama untuk meningkatkan penerimaan daerah yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan nasional. Hal tersebut yang menjadi dasar pemikiran bahwa subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan ekonomis dari kepemilikan tanah dan bangunan, sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Meskipun demikian pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah.6

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan pajak properti yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

5

Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

6Marihot Pahala Siahaan,Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek,

(4)

Retribusi Daerah, maka sejak tahun 2011 kewenangan memungut BPHTB dialihkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota.

Pengalihan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Indonesia dalam penataan sistem perpajakan nasional. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan, namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga daerah Kabupaten atau Kota benar-benar dapat melakukan pemungutan BPHTB secara optimal dan pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan. Dalam pelaksanaan pengalihan suatu jenis pajak, terlebih lagi apabila jenis pajak tersebut merupakan jenis pajak baru daerah Kabupaten atau Kota seperti BPHTB, akan terdapat sejumlah permasalahan yang mencakup berbagai aspek, seperti aspek kebijakan, aspek legal, dan aspek administrasi. Salah satu pemasalahan yang masih timbul adalah bagaimana sistem atau teknik pemungutan yang seharusnya digunakan dalam memungut BPHTB. Permasalahan yang timbul ini perlu mendapat penanganan segera dan dicarikan pemecahannya untuk kelancaran pemungutan BPHTB.7

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Jenis pajak tersebut sebagai pajak pusat mulai dipungut oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1997 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah mengalami perubahan, terakhir dengan

7 Bastari M, Seminar BPHTB Pasca Pengalihan Dari Pajak Pusat Menjadi Pajak Daerah,

(5)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Undang-Undang BPHTB). Penerimaan BPHTB sebagai pajak pusat, dibagihasilkan ke daerah dengan pola distribusi 16% (enambelas persen) untuk provinsi, 64% (enampuluh empat persen) untuk daerah Kabupaten/Kota, dan 20% (duapuluh persen) merupakan bagian pemerintah pusat tetapi dibagikan kepada seluruh Kabupaten/Kota dengan porsi yang sama, dengan demikian seluruh penerimaan BPHTB yang dipungut oleh pemerintah pusat pada dasarnya diserahkan kepada daerah melalui mekanisme bagi hasil.

Dasar pertimbangan kebijakan pengalihan BPHTB yang semula merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah antara lain BPHTB kebih layak sebagai pajak daerah karena jenis pajak ini memenuhi kriteria serta prinsip-prinsip pajak daerah yang baik, seperti objek pajaknya terdapat di daerah dan tidak berpindah-pindah serta ada hubungnan yang erat antara pembayar pajak dengan pihak yang menikmati hasil pajaknya, dan pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan pendapatan daerah yang bersumber dari daerah itu sendiri. Berbeda halnya dengan BPHTB sebagai pajak pusat, meskipun penerimaannya kemudian diserahkan ke daerah, tidak termasuk ke dalam kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan tetapi sebagai penerimaan dana perimbangan atau dana bagi hasil.8

Dasar pertimbangan lainnya adalah peningkatan akuntabilitas daerah, dimana dengan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah maka kebijakan BPHTB seperti penetapan objek pajak, subjek pajak, tarif pajak dan dasar pengenaan pajak, akan ditentukan oleh daerah dan disesuaikan dengan kondisi serta tujuan pembangunan

(6)

daerah. Pemungutan BPHTB sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah, sehingga optimalitas pemungutannya tergantung pada kemauan serta kemampuan daerah. Penggunaan hasil penerimaan BPHTB ditetapkan oleh daerah melalui mekanisme belanja dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), sehingga dengan demikian daerah mempertanggungjawabkan segala sesuatunya yang terkait dengan pemungutan BPHTB kepada masyarakat di daerahnya dan masyarakat mempunyai akses untuk turut serta dalam pengawasan penggunaan hasil pemungutan BPHTB tersebut.

Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang besar antara ketentuan mengenai BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (BPHTB sebagai pajak pusat) dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 (BPHTB sebagai Pajak Daerah Kabupaten atau Kota). Perbedaan yang pokok terletak padafleksibilitas yang diberikan pada daerah dalam merumuskan kebijakan BPHTB untuk memberi ruang kepada daerah Kabupaten atau Kota menetapkan kebijakan perpajakan yang sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.

(7)

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Daerah yang secarahirarkis berada diatasnya.

Adapun kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu pasal 95 ayat 3 bahwa Peraturan Daerah atau Qanun tentang pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai nama, objek, dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa pajak, penetapan tata cara pembayaran dan penagihan, kadaluwarsa, sanksi administratif dan tanggal mulai berlakunya.

Pemungutan pajak merupakan tujuan utama administrasi pajak dan yang menjadi alasan adanya administrasi pajak. Dalam memungut pajak terdapat tiga sistem yang secara teoritis dapat digunakan yaitu :9

1. Self Assessment System : dalamself assessment system, wajib pajak diberikan wewenang untuk menentukan sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, dimana wajib pajak sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan, serta melaporkan pajak yang terutang, sedangkan fiskus berkewajiban untuk memberi pelayanan, melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap wajib pajak. Fungsi pengawasan dan pembinaan dari fiskus merupakan konsekuensi logis dari pemberian kepercayaan kepada wajib pajak dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Official Assessment System : berbeda halnya dengan self assessment system, dalamofficial assessment system, fiskusdiberi kewenangan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak lebih bersifat pasif, menunggu dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak baru bisa diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak dan berdasarkan surat ketetapan pajak yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh fiskus, maka wajib pajak membayar pajak yang terutang tersebut.

3. Withholding/Hybrid System : sistem ini memberikan kewenangan kepada pihak ketiga sebagai withholding agent yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak terutang atas wajib pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penunjukan pihak ketiga sebagai pemungut pajak dapat dilakukan dengan Undang-Undang dan peraturan

(8)

undangan pelaksanaannya untuk memotong, memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang, dan fungsi Fiskus dalam sistem ini hanya pengawasan dan pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak ketiga.

Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pajak yang dapat dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak dan ketentuan lainnya berkaitan dengan pemungutan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan untuk melaksanakan ketentuan pasal 98 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tersebut, maka diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak. Berdasarkan pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tersebut ditetapkan bahwa pemungutan BPHTB dilakukan dengan cara dibayar sendiri oleh wajib pajak, dengan demikian jelas bahwa sistem pemungutan BPHTB sebagai pajak daerah Kabupaten atau Kota adalah memakai self assessment system yang mekanismenya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah. Wajib pajak BPHTB diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri BPHTB yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), dan melaporkannya kepadafiskusmelalui mekanisme Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPPD).

(9)

kewajiban PPAT dalam pembuatan akta itu adalah memastikan bahwa pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang sudah dilunasi oleh Wajib Pajak dengan memperlihatkan bukti Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).10

Kabupaten/Kota tersebut dapat mengatur serta menambah pundi pendapatan fiskalnya. Bila dilihat salah satu Kota yaitu Kota Lhokseumawe yang mana pada Kota ini telah mengelola dan melaksanakan pemungutan BPHTB oleh pemerintah, dan aturan yang mengatur BPHTB tersebut juga telah dikeluarkan yaitu Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota Nomor 30 Tahun 2013 tentang Sistem Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe.

Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa pembayaran pajak yang terutang harus dilakukan sekaligus atau lunas, akan tetapi dalam ayat (3) pasal 13 tersebut yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, ukuran, tata cara pembayaran dan penyampaian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) serta penelitian Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.11 Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah Kota Lhokseumawe mengeluarkan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kota Lhokseumawe. Pada pasal 7 ayat (1) Peraturan Walikota Nomor 30

10

Wilson Saktisila Widjono, Tesis,Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi DaerahDi Kota Medan,

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal.6.

(10)

Tahun 2013 dinyatakan bahwa setiap pembayaran BPHTB wajib diteliti oleh Fungsi Pelayanan. Hal ini sejalan dengan pasal 13 ayat (3) Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010, akan tetapi pasal 13 ayat (3) Qanun Nomor 04 Tahun 2010 tersebut bertolak belakang dengan sistem pemungutan BPHTB yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak.

Kedudukan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah dalam hirarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Peraturan Walikota yang merupakan pelaksanaan daripada Qanun (Peraturan Daerah). Hal tersebut yang melatarbelakangi pentingnya untuk dilakukan penelitian dengan judul “Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB”.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Lhokseumawe Menurut Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB?

2. Bagaimana kedudukan hukum Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB di Kota Lhokseumawe?

(11)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian terhadap kedua permasalahan dimaksud di atas adalah:

1. Untuk mengetahui sistem pemungutan dan cara pembayaran BPHTB di Kota Lhokseumawe menurut Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010 tentang BPHTB.

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapai di dalam pemungutan BPHTB menurut Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010 tentang BPHTB di Kota Lhokseumawe.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Secara teoritis bermanfaat bagi kalangan akademisi sebagai bahan kajian penelitian dan pengkajian lebih lanjut serta menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang pelaksanaan pemungutan BPHTB di Kota Lhokseumawe dan cara pembayaran BPHTB di Kota Lhokseumawe.

(12)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Program Studi Magister Kenotariatan, belum ada Penelitian sebelumnya yang berjudul “Aspek Legal Pemungutan BPHTB Berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB” terutama dalam permasalahan yang sama. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan masalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang pernah ditulis sebelumnya, antara lain :

1. Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam transaksi jual beli tanah dan bangunan di Kota Tanjung Balai”, oleh Chairumi, NIM: 117011056, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara. Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :

a. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan di Kota Tanjung Balai?

b. Bagaimana Kepastian Hukum terhadap transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan di Tanjung Balai dengan adanya verifikasi oleh Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tanjung Balai? c. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan BPHTB terutang di

Kota Tanjung Balai?

(13)

Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, oleh Henry Sinaga, NIM: 117011144, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :

a. Bagaimana Kewenangan Pemerintah Kota Pematangsiantar Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?

b. Bagaimana Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Pematangsiantar Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?

c. Bagaimana Status Hukum Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Yang Dikembalikan Kepada Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Akibat Surat Walikota Pematangsiantar Sebagai Dasar Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Yang Bertentangan Dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah?

(14)

a. Bagaimana fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh PPAT/Notaris terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB atas pengalihan hak atas Tanah dan Bangunan di Kota Medan?

b. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Medan?

c. Bagaimana kepastian hukum atas pembayaran BPHTB Terutang yang akta pengalihan hak atas tanah dan bangunannya telah dibuat oleh PPAT/Notaris di Kota Medan?

4. Penelitian dengan judul “Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Status Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah Terkait dengan Terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”, oleh Elissa, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, NIM : 0906497683. Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :

a. Bagaimana penerapan BPHTB dan implikasinya sebelum lahirnya Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Walikota/Bupati?

b. Apakah PemerintahDaerah yang tidak menetapkan Peraturan Daerah tentang BPHTB kehilangan hak untuk memungut BPHTB?

(15)

yaitu kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai pula dengan implikasi etis dari prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori hukum merupakan salah satu alat bantu di dalam hukum, untuk dapat menganalisis sebuah kelayakan atas suatu perbuatan, dimana perbuatan tersebut telah bersesuaian dengan hukum atau perbuatan menjadi sebaliknya, dimana perbuatan tersebut bisa saja bertentangan dengan hukum yang ada.

Sehingga keberadaan teori hukum sangatlah penting demi pengembangan hukum tersebut. penelitian-penelitian hukum yang berusaha untuk menggali hukum tersebut, ataupun hanya sebatas pengembangan dari hukum itu.

Dalam teori konvensional, tujuan hukum adalah “mewujudkan keadilan (rechtgerchtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).” Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).12

Kepastian Hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur jelas dan logis. Jelas dalam artian

12Wilson Saktisila Widjono, Tesis,

Kajian Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Di Kota Medan,

(16)

tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.13

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.14Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).15 Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi.16 Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan

13 Afner Juwono, Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Dalam Hukum,

www.afnerjuwoNomorblogspot.com/2013/07/kepastian-dan-kemanfaatan.html, diakses 21 September 2014.

14 Cst Kansil, Christine S.t Kansil, Engelien R,palandeng dan Godlieb N mamahit, Kamus

Istilah Hukum, (Jakarta,Jala Permata Aksara,2009) hlm, 385.

15

Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,(Bandung: PT. Revika Aditama,2006), hlm.79-80.

16 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim Hs,Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum,

(17)

makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang.Ubi jus incertum, ibi jus nullum(dimana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).17

Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid)hukum dalam hal-hal yang konkret, artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara, ke dua, kepastian hukum berarti keamanan hukum, artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.18

Menurut Jan Michael Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, Otto ingin memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh, untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;

b) Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

17

Ibid, hlm 82.

18 L.J van Apeldoorn dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka

(18)

d) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;

e) Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.19

Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang disertai tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasanasocial disorganizationatau kekacauan sosial.20

Kepastian hukum adalah “zekerheid des Rechts selbst”(kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches recht).Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

19

Jan Michael Otto terjemahan Tristam Moeliono dalam Shidarta,Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir,(Bandung, PT. Revika Aditama,2006), hlm 85.

20M. Yahya harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP Penyidikan dan

(19)

pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.21

Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (zekerheid des rechts).22

Berdasarkan teori-teori tersebut maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah stufenbau teori, yang menganalisis hubungan antara peraturan perundangan-undangan, dimana hubungan peraturan perundang-undangan tertinggi atau superiori dengan undang-undang yang inferiori.

Teori Stufenbauadalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (groundnorm).

Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang diintrodusir Hans Kelsen tersebut dapat dimaknai sebagai berikut: 1) peraturan perundangan yang lebih

(20)

rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2) isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.23

Dimana bila dihubungkan dengan penelitian ini, maka teori hukum tersebut berusaha, untuk menganalisis hubungan atau korelasi antara Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Peraturan Daerah Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe.

Dalam hubungan yang konkrit antara peraturan-peraturan tersebut, seberapa besar Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk dapat mengelola dan memungut BPHTB secara langsung, dan menuangkan kewenangan tersebut, ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Daerah (Perda) yang dibuat Kepala Daerah beserta dengan Dewan Perwakilan Daerah, serta peraturan Kepala Daerah itu sendiri.

23 Muhammad Egi Prayoga,

Teori HansKelsen/Hans Nawiaski,

(21)

Konsep stufenbau teori ini, di Indonesia tertuang di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang telah diganti melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undang.

Esensi terpenting di dalam hirarki perundang-undangan ini adalah bahwa peraturan yang terendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang ada diatasnya. Di Indonesia peraturan tertinggi adalah Konstitusi, dimana konstitusi berdasarkan Groundnorm yang bersifat abstrak tetapi hidup ditengah masyarakat, yaitu Pancasila. Dan dibawah konstitusi yang dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945, adalah Undang-undang, sementara peraturan terendah adalah Peraturan Desa.

Kedudukan peraturan daerah Kabupaten/Kota dalam sistem hirarki perundang-undang Indonesia adalah langsung diatas peraturan desa, dari kedudukan peraturan daerah tersebut, maka sudah jelas menurut asas perundang-undang yaitu Lex Superiori derogat Lex Inferiori, hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah, atau hubungan yang lain, hukum yang lebih rendah harus menyesuaikan dan tunduk kepada hukum yang lebih tinggi.

(22)

2010 tentang BPHTB dan Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 tahun 2013 tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, dari segi delegasi kewenangan.

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional dalam penelitian ini sebagai pedoman konseptual dengan tujuan untuk menghindari pemahaman atau penafsiran yang berbeda dari konsep-konsep yang digunakan antara lain:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.24

2. Pemerintah Daerah Kota yang selanjutnya disebut Pemerintahan Kota adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kota yang terdiri atas Walikota dan Perangkat Daerah Kota.25

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.26

4. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.27

24Waluyo,Perpajakan Indonesia,Edisi 10 Buku 1, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2011,

hal 23.

25

Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir nomor 4.

26 Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Tentang Pajak Daerah dan

(23)

5. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengolahan, beserta bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang bidang pertanahan dan bangunan.28

6. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penetuan besarnya pajak yang terhutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetoran.29

7. Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di provinsi Aceh. Di Aceh, Qanun terbagi atas 2 bagian yaitu:

a. Qanun Aceh yang berlaku diseluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur Aceh setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

b. Qanun Kabupaten/Kota, yang berlaku di Kabupaten/Kota tersebut, Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Dewan Perwakilan Rakyat Kota).

8. Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan dan tanggunjawab kepada wajib pajak untuk

27Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir

nomor 9.

28

Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir nomor 10.

29Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur

(24)

menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.30

9. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang wajib dibayar oleh wajib pajak.31

10. Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah urutan sistematis peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi hingga terendah. Peraturan yang lebih tinggi menjadi sumber dan dasar peraturan-peraturan dibawahnya. Setiap peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.

11. Verifikasi adalah pemeriksaan tentang kebenaran laporan, perhitungan uang, dan sebagainya,32atau proses pengecekan atau pemeriksaan data apakah sudah sesuai dengan aturan atau tidak, apakah sesuai dengan data yang ada atau berbeda. 12. Surat Setoran Pajak Daerah (SPPD) adalah bukti pembayaran atau penyetoran

pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.33

13. Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan

30 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia,

Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal.177.

31Ibit,hal.177. 32

Suharso dan Ana Retnoningsih,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi Lux, Widya Karya, Semarang, 2014, hal.629.

33Qanun (Perda) Kota Lhokseumawe Nomor 4 Tahun 2010 Tentang BPHTB, Pasal 1, butir

(25)

pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke Kas Daerah atau tempat lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.34

14. Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) adalah Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Lhokseumawe.35

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pemungutan BPHTB oleh pemerintah Kota Lhokseumawe-Aceh berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB.36Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang dilakukan bersifat analisis deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematis maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.37

34 Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur

Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, Pasal 1 butir 18.

35 Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur

Pemungutan BPHTB Kota Lhokseumawe, Pasal 1 butir 6.

36

Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 86

37 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Raja Grafindo

(26)

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.38

2. Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari :

a) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, Qanun (Peraturan Daerah) Kota Lhokseumawe Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta Peraturan Walikota Lhokseumawe Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Kota Lhokseumawe.

(27)

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan–bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan ahli hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah Pemungutan BPHTB yang berdasarkan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 04 tahun 2010 tentang BPHTB.

c) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopedia yang berhubungan atau berkaitan dengan materi penelitian. Untuk mendukung data sekunder, akan digunakan juga data primer berupa hasil wawancara dengan para informan.

3. Teknik Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain:

a. Studi Kepustakaan (Library Research).

Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.39

39Muis, Pedoman Penulisan Skripsi Dan Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum

(28)

b. Wawancara.

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tatap muka atara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara. Sehingga penelitian ini berusaha menggali informasi dari informan yang berkaitan dengan penelitian ini. Pengumpulan data penunjang atau data tambahan yang diperoleh dengan mengadakan wawancara dengan informan seperti 3 (tiga) orang Notaris di Kota Lhokseumawe, dan 1 (satu) orang pegawai Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kota Lhokseumawe, dimana wawancara ini dilakukan secara langsung.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni mengumpulkan data, mensistematisasikan data, menganalisis data hingga menarik kesimpulan.40 Data tersebut dianalisis berdasarkan teori-teori, asas-asas, norma-norma, kaidah-kaidah, doktrin-doktrin yang relevan kemudian dikaitkan dengan Qanun Nomor 04 Tahun 2010 Tentang BPHTB. Memberikan argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini, memberikan penilaian benar atau salah atau apa dan bagaimana yang semestinya menurut asas, norma-norma hukum, kaidah, dan doktrin. Teori-teori digunakan sebagai alat untuk menganalisis masalah secara tajam dan mendalam.

Data yang dianalisis kemudian diungkap secara deduktif dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar berbagai jenis data sehingga permasalahan dalam penelitian ini dapat dipecahkan, mengenai Pemungutan BPHTB oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe berdasarkan Qanun Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB.

Referensi

Dokumen terkait

$etika timbul ge#ala (mayoritas infeksi orolabial primer tidak menun#ukkan ge#ala)" infeksi primer herpes orolabial biasanya hadir sebagai gingivostomatitis pada

Sebagai contohnya, Nek Kiah tidak suka akan menantunya Embong dan cucu- cucunya kerana hidup dalam kemiskinan sedangkan anak-anaknya yang lain berjaya dalam kehidupan..

Karena f-hitung>f-tabel (4.732>3.195) dan signifikansi 0.013<0,05, maka dapat dinyatakan bahwa terpaan informasi tentang performance film dan kredibilitas selebriti

Komponen cover berupa multi-layered cover , yang terdiri dari layer resapan yang juga berfungsi sebagai layer proteksi biologis berupa vegetasi dengan tanah,

Pengaruh temperatur karbonisasi terhadap nilai kalor ( calorifc value ) camouran cangkang biji karet dan kulit kacang tanah Pada gambar 5. dapat dilihat semakin tinggi

Jika jam bisnis normal dari pelanggan anda adalah dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore, akan lebih sesuai jika pelayanan yang diberikan dapat mendukung proses- proses bisnis juga

EVALUASI KELAYAKAN BISNIS BERBASIS ASPEK PEMASARAN D AN FINANSIAL PAD A USAHA CAFÉ ROEMAH SEBELAH.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Konsentrasi tween 80 berpengaruh terhadap respon kimia yaitu analisis kadar air dan analisis total antosianin dimana semakin meningkat konsentrasi tween 80 maka kadar air