72
BETON RENDAH SEMEN DENGAN KONSEP KEPADATAN PARTIKEL
Erianto Hardi1, Ricky Darius Tandean2 dan Antoni3
ABSTRAK : Pemakaian semen dipengaruhi antara lain oleh particle packing agregat, dimana semakin padat kombinasi partikel agregat dengan ukuran yang berbeda, maka pemakaian semen akan semakin minim. Secara teoritis, volume pasta (Vp) sepenuhnya mengisi volume void (Vv) di antara agregat dalam beton, atau (Vp/Vv) sebesar 100%. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk meningkatkan rasio Vp/Vv pada campuran beton yang belum jadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan mix design
yang memaksimalkan metode particle packing untuk meminimalkan pemakaian semen dengan mempertimbangkan rasio volume pasta dan volume void (Vp/Vv) serta pemakaian superplasticizer
sebagai variabel yang menentukan workability beton.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa pemakaian agregat kasar dengan ukuran yang beragam (multi-sized) menghasilkan void ratio terkecil sebesar 23.5% . Dengan metoda particle packing, perhitungan kebutuhan jumlah semen terendah secara teoritis berada pada w/c 0.5, yaitu sebesar 287 kg/m3. Namun setelah pengecoran, hasil yang didapatkan masih memiliki kebutuhan semen yang kurang lebih sama dengan penggunaan semen minimum pada beton konvensional (±310 kg/m3). Pemakaian superplasticizer dapat menyebabkan terjadinya bleeding dan tidak meningkatkan
workability beton dengan kadar semen yang rendah. Penggantian semen dengan fly ash sebesar 50% sebagai binder dapat meningkatkan workability beton dan mengurangi pemakaian semen hingga di bawah standar penggunaan semen minimum.
KATA KUNCI: particle packing, void ratio, superplasticizer, Vp/Vv, workability, fly ash
1. PENDAHULUAN
Pemakaian semen yang tinggi pada pembuatan beton menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan karena emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan oleh proses produksi semen dalam jumlah yang besar. Secara konvensial, beton memiliki persyaratan minimum pemakaian semen, yang ditinjau berdasarkan ukuran maksimum agregat yang digunakan (ACI Committee 302, 1997). Persyaratan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Proporsi Semen Minimum Berdasarkan Ukuran Maksimum Agregat yang Digunakan (ACI Committee 302, 1997)
Nominal maximum size of aggregate, mm Cementitious content, kg/m3
37.5 280
25 310
19 320
12.5 350
9.5 360
Dalam penelitian ini akan dilakukan sebuah metoda yang disebut konsep kepadatan partikel (particle packing). Particle Packing bertujuan untuk mengombinasikan agregat-agregat dengan ukuran yang
73 berbeda-beda untuk mencapai kondisi yang padat, yang akan menyebabkan volume rongga kosong menjadi sekecil mungkin (Kwan & Wong, 2005). Jika agregat-agregat yang dicampurkan semakin padat, maka semakin rendah nilai void ratio yang dihasilkan. Hal ini akan menyebabkan jumlah pasta semen yang dibutuhkan juga akan berkurang. Penggantian semen dengan fly ash juga dapat menurunkan pemakaian semen karena fly ash bisa berfungsi sebagai pengikat (binder). Fly ash juga dapat meningkatkan workability pada beton karena memiliki bentuk partikel yang bulat dan lebih halus dari pada semen (Sankaralingam, Roy, & Pandev, 2010).
2. STUDI LITERATUR 2.1. Beton Rendah Semen
Beton rendah semen (Low Cement Concrete atau LCC)adalah beton yang memanfaatkan semen dengan jumlah yang sedikit. Dengan proporsi semen yang sedikit, retak (crack) pada beton akan berkurang karena susut (shrinkage) yang terjadi juga sedikit (Wassermann, Katz, & Bentur, 2009). Pemakaian bahan kimia pembantu (admixture) seperti superplasticizer mungkin tidak akan membantu meningkatkan workability pada beton dengan semen yang rendah (Yurdakul, 2010).
2.2. Kepadatan Partikel
Kepadatan partikel yang juga sering disebut sebagai particle packing menjelaskan hubungan antara partikel dalam mengisi rongga yang terdapat pada beton. Partikel yang dimaksud adalah agregat halus dan kasar yang akan mengisi rongga pada beton.. Pengertian particle packing diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Particle Packing (Kwan & Wong, 2005)
3. METODA PENELITIAN
Dalam penelitian ini, hal pertama yang dilakukan adalah menganalisa void ratio pada kombinasi agregat kasar dan agregat halus. Untuk mencari nilai void ratio pada kombinasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Perhitungan Mencari Nilai Void Ratio (1) Berat
Agregat Kasar dan Agregat Halus dalam keadaan SSD
74 Tabel 3. Perhitungan Mencari Nilai Void Ratio (2)
Berat Tabung
Setelah mendapatkan nilai void ratio, dilakukan analisa penggunaan jumlah semen terhadap void ratio
yang didapatkan secara teoritis. Secara teoritis, volume pasta mengisi volume rongga. Pasta terdiri dari air dan semen sehingga variabel yang berperan adalah faktor air-semen (w/c) dalam menentukan penggunaan jumlah semen. Untuk kebutuhan semen dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Kebutuhan Semen berdasarkan w/c dan Volume Rongga secara Teoritis
Untuk komposisi campuran beton yang pertama dilakukan analisa komposisi campuran beton dengan variasi w/c. Variabel yang berperan dalam komposisi campuran beton adalah rasio volume pasta terhadap volume rongga pada agregat (Vp/Vv) dan penggunaan superplasticizer. Berdasarkan teoritis, volume pasta mengisi volume rongga dengan persentase 100%, namun ada kemungkinan terjadinya penambahan pasta akibat pencampuran beton yang masih belum tercampur dengan baik (terlihat kering). Pada komposisi campuran beton yang kedua dilakukan analisa penambahan Vp/Vv dan kontrol
superplasticizer pada ukuran maksimum agregat yang berbeda terhadap workability beton. Pada komposisi campuran beton yang ketiga dilakukan analisa pengaruh penggantian semen dengan fly ash
terhadap workability beton. Fly ash yang digunakan merupakan fly ash tipe C dari PLTU Paiton, Jawa Timur, Indonesia dan semen yang digunakan adalah semen PPC (Portland Pozzolan Cement) yang diproduksi oleh PT. Semen Gresik.
4. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Analisa Void Ratio pada Agregat Kasar dan Halus
75 Gambar 3. Perbandingan Kombinasi Agregat Kasar dan Agregat Halus
4.2. Hasil Analisa Kebutuhan Semen terhadap Void Ratio Secara Teoritis
Pada Gambar 4, kebutuhan semen yang paling minimum diperoleh bila menggunakan agregat kasar berukuran 25 mm–12.5 mm, yaitu dengan kebutuhan semen 287 kg/m3 pada w/c 0.5. Kebutuhan semen ini cukup rendah jika dibandingkan dengan persyaratan kadar semen minimum menurut ACI Committee 302 (1997), yaitu 310 kg/m3 untuk agregat dengan ukuran maksimum 25 mm. Namun kebutuhan semen tersebut hanya secara teoritis diperoleh pada nilai w/c yang cukup tinggi, sehingga akan mengurangi kekuatan tekan beton karena porositas yang makin meningkat (Mindess, Young, & Darwin, 2003).
Gambar 4. Kebutuhan Semen berdasarkan w/cdan Volume Rongga yang didapatkan secara Teoritis
4.3. Hasil Analisa Penggunaan Jumlah Semen Terhadap Variasi W/C pada Beton
Dengan hasil analisa kebutuhan pasta terhadap volume rongga yang didapatkan secara teoritis, ditentukan komposisi campuran beton pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Campuran Beton (1) Ukuran
Agregat Kasar (mm)
Kode Semen (kg/m3)
Air
(kg/m3) w/c
Agg. Halus (kg/m3)
Agg. Kasar (kg/m3)
Vp/Vv (%)
25 – 12.5
T1 287 144 0.50 950 1127 100
T2 328 131 0.40 950 1127 100
T3 352 123 0.35 950 1127 100
T4 381 114 0.30 950 1127 100
Pada saat proses pengecoran, kontrol kadar pasta dan superplasticizer dilakukan agar beton segar dapat tercampur dengan baik dan dapat menghindarkan terjadinya bleeding dan segregasi akibat penggunaan
76 tidak workable (slump = 0). Hasil yang didapatkan ini mirip dengan percobaan yang dilakukan oleh Yurdakul (2010). Dengan penggunaan semen yang rendah dengan w/c 0.4 dan menggunakan water reducing agent, hasil slump yang didapatkan juga nol sehingga Yurdakul (2010) menyimpulkan ada kemungkinan bahwa penambahan water reducing agent tidak meningkatkan workability pada beton dengan semen yang rendah. Hasil tersebut diperlihatkan pada Gambar 5(b). Dari hasil percobaan tersebut, peneliti mengindikasikan bahwa kontrol pemakaian superplasticizer sangatlah sulit untuk dilakukan pada beton dengan semen yang rendah (<310 kg/m3) sesuai ketentuan ACI Committee 302 (1997) untuk ukuran agregat maksimum 25 mm. Selain itu, Yurdakul (2010) mengatakan bahwa penggunaan semen yang rendah dengan dosis water reducing agent yang tinggi hanya akan mengurangi
cohesiveness dari beton segar dan menyebabkan honeycombing. Hasil beton yang dicetak dapat dilihat pada Gambar 5(c). Selain itu, peneliti juga menduga bahwa bleeding dipengaruhi oleh penambahan
superplasticizer secara langsung tanpa bertahap. Dengan penambahan superplasticizer secara bertahap, resiko terjadinya bleeding pada beton segar dapat diminimalisir. Lalu, peneliti mencoba menambahkan volume pasta terhadap volume rongga (Vp/Vv) sebesar 10% menjadi 110%. Beton segar yang dihasilkan nampak tercampur dengan baik, walaupun slump yang dihasilkan masih rendah, sehingga tidak
workable. Hasil pengujian slump beton diperlihatkan pada Gambar 6. Dari hasil percobaan tersebut, peneliti mengindikasikan bahwa penambahan Vp/Vv dapat meningkatkan workability beton segar. Namun, dengan penambahan Vp/Vv, penggunaan semen meningkat dan komposisi campuran beton berubah, sehingga diperlukan faktor koreksi untuk komposisi campuran betonnya.
(a) (b) (c)
Gambar 5. Hasil Pencampuran Beton dengan w/c 0.5 dan Vp/Vv 100% (a) Hasil Pencampuran Beton dengan w/c 0.5, Vp/Vv 100%, dan SP 0.2 % (b) Hasil Cetakan Beton dengan w/c 0.5, Vp/Vv 100%, dan SP
0.2 % (c)
Gambar 6. Hasil Pengukuran Slump Beton dengan w/c 0.5 dan Vp/Vv 110 %
Pada w/c 0.4, 0.35, dan 0.3, penambahan superplasticizer dan Vp/Vv dilakukan secara perlahan sampai beton segar telah tercampur dengan baik. Hasil mix design aktual setelah penambahan superplasticizer
77 minimum yang direkomendasikan oleh ACI Committee 302 (1997). Pemakaian superplasticizer juga dibatasi untuk menghindari bleeding. Hasil slump yang didapatkan juga masih rendah, yaitu dibawah 8±2 cm. Terlihat juga pada Tabel 5, dengan w/c 0.3, penambahan superplasticizer kurang berpengaruh terhadap workability beton jika dibandingkan dengan w/c 0.35. Pada percobaan ini, pemakaian
superplasticizer tidak bisa maksimal dikarenakan resiko bleeding tersebut. Tabel 5.HasilKomposisi Campuran BetonAktual(1)
Kode Semen
4.4. Hasil Analisa Penambahan Vp/Vv dan Superplasticizer pada Penggunaan Ukuran Maksmum Agregat yang Berbeda Terhadap Workability Beton
Untuk analisa penambahan Vp/Vv dan superplasticizer pada penggunaan ukuran maksimum agregat yang berbeda terhadap workability beton, digunakan komposisi campuran beton pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Campuran Betondengan Ukuran Maksimum Agregat yang Berbeda (2) Ukuran Agregat
Dilakukan juga analisa penambahan Vp/Vv pada beton dengan fly ash 50% (High Volume Fly Ash atau
HVFA) dikarenakan penggunaan semen yang masih tinggi pada komposisi campuran beton dengan w/b 0.35. Yang dimaksud dengan w/b adalah perbandingan massa air dengan binder, yaitu kombinasi semen dengan fly ash.Komposisi campuran beton dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi Campuran Beton (3)
Ukuran Agregat dibandingkan dengan semen yang dipakai oleh beton dengan ukuran agregat kasar 25 mm–12.5 mm. Dengan menggantikan semen sebesar 50% dengan fly ash, workability pada beton meningkat pesat. Dapat dilihat pada Gambar 7(a) bahwa slump pada komposisi campuran beton dnegan menggunakan
fly ash 50% bisa mencapai lebih dari 15 cm, sehingga pada saat penambahan Vp/Vv, pemakaian
78 (a) (b)
Gambar 7. Hubungan Vp/Vv dan Slump (a) Hubungan SP dan Slump (b)
4.5. Hasil Kuat Tekan
Pada Gambar 9(a) dan Gambar 9(b) terlihat bahwa semakin tinggi penggunaan cementitious material
dan Vp/Vv, maka semakin tinggi kuat tekan beton untuk agregat dengan ukuran 25 mm-12.5 mm dengan penggunaan 100% semen (sampel A). Untuk penggantian semen dengan fly ash 50% (sampel C), semakin tinggi penggunaan cementitious material dan Vp/Vv maka kuat tekan yang dihasilkan juga semakin rendah. Selain itu, dengan penggantian semen dengan fly ash 50% dapat menurunkan kebutuhan semen hingga di bawah standar penggunan semen minimum yang direkomendasikan oleh ACI Committee 302 (1997) dan kuat tekan tertinggi yang dihasilkan adalah 44.14 MPa dengan mix design w/c 0.35 dan penggunaan semen sebesar 198 kg/m3 dan fly ash 198 kg/m3. Jika dibandingan dengan penggunaan semen 100% dengan ukuran agregat yang sama, hasil kuat tekan yang dihasilkan oleh mix design dengan menggantikan semen dengan fly ash 50% lebih tinggi (44.14 MPa) dibandingkan dengan mix design dengan penggunaan semen 100% (40.74 MPa). Pada penggunaan ukuran agregat 12.5mm-4.75 mm (sampel B), terlihat tidak adanya hubungan antara penambahan cementitious material
dan Vp/Vv terhadap kuat tekan yang dihasilkan. Hal ini memungkinkan bahwa dengan penambahan
cementitious material dan Vp/Vv belum tentu menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi. Pada Gambar 10(a) dapat dilihat bahwa dengan penambahan cementitous material, berat beton yang dihasilkan semakin tinggi. Untuk Gambar 10(b), terlihat pada sampel A, semakin tinggi berat beton maka kuat tekan yang dihasilkan semakin tinggi, sedangkan pada sampel C semakin tinggi berat beton maka semakin rendah kuat tekan yang dihasilkan. Untuk sampel B tidak terlihat adanya hubungan antara kuat tekan dengan berat beton yang dihasilkan. Hal ini memungkinkan semakin berat beton yang dihasilkan belum tentu menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi.
(a) (b)
79 (a) (b)
Gambar 10. Hubungan Kebutuhan Cementitious dengan Berat Beton (w/c 0.35) (a) Hubungan Berat Beton dengan Kuat Tekan Beton (w/c 0.35) (b)
5. KESIMPULAN
Dengan nilai void ratio terkecil (23.5%), menghasilkan kebutuhan semen terendah sebesar 287 kg/m3 secara teoritis dengan w/c 0.5. Setelah dilakukan pengecoran, kebutuhan semen meningkat hingga mencapai 309 kg/m3 dan mendekati standar ACI 302 (310 kg/m3) sehingga belum dapat dikatakan rendah semen. Hasil kuat tekan yang didapatkan juga masih rendah, yaitu 15.3 MPa. Penggantian semen dengan fly ash sebesar 50% dapat mengurangi penggunaan semen hingga dibawah standar kebutuhan semen minimum dari ACI 302 (310 kg/m3). Selain itu, mutu beton yang dihasilkan juga lebih lebih tinggi (44.14 MPa) dari pada beton dengan tanpa penggunaan fly ash (40.74 MPa). Penambahan
superplasticizer pada beton dengan semen yang rendah (287 kg/m3) tidak memberikan bantuan dalam meningkatkan workability dan menyebabkan bleeding. Sedangkan penambahan Vp/Vv tidak selalu meningkatkan kuat tekan pada beton.
6. DAFTAR REFERENSI
ACI Committee 302. (1997). Guide for Concrete Floor and Slab Construction. America n Concrete Institute (22p).
Kwan, K. H. A., & Wong, H. C. H. (2005). Packing Density:A Key Concept for MixDesign of High Performance Concrete. Department of Civil Engineering, The University of Hong Kong, Hong Kong, 2–3,13.
Mindess, S., Young, J. F., & Darwin, D. (2003). Concrete. 2nd Ed. In Prentice Hall, Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, NJ 07458.
Sankaralingam, P., Roy, C., & Pandev, S. N. (2010). Fly Ash For Cement Concrete. NTPC Limited
(p.8).
Wassermann, R., Katz, A., & Bentur, A. (2009). Minimum Cement Content Requirements : A Must or A Myth? Materials and structures, (42), 973.