• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Oleh Polresta Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Program Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat Oleh Polresta Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1.Implementasi

Implementasi menurut Ripley dan Frankin yang dikutip Winarno (2014) mengemukakan implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Menurut Setiawan (2004) dalam bukunya yang berjudul Implementasi dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya sebagai berikut implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.

Hanifah (Harsono, 2002) dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya yakni implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik kedalam administrasi.

(2)

kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

2.2.Model Implementasi Kebijakan

Model pendekatan mempengaruhi efektifitas keberhasilan implementasi suatu kebijakan. van Meter dan van Horn menawarkan satu model dasar yang mempunyai enam variabel yang membentuk hubungan (linkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). Model ini seperti yang diungkapkan oleh van Meter dan van Horn tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas (Winarno, 2014).

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan van Meter dan van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya

(3)

4. Sikap para pelaksana

5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan 6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

Variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut.

(4)

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal

(frustated) ketika para pelaksana (officials) tidak sepenuhnya menyadari terhadap

standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

2. Sumber –sumber Kebijakan

Disamping ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Sumber-sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif (Winarno, 2014).

(5)

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: ”New town study suggest that the limited supply of federal

incentives was a major contributor to the failure of the program”.

Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa:”sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan.”

3. Karakteristik organisasi pelaksana

(6)

Menurut Edward III, 2 (dua) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedur-prosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.

1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai

respon internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin menghambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).

2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. “fragmentation is the dispersion of

responsibility for a policy area among several organizational units.”

(7)

keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980).

Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi- organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. Van Meter dan van Horn yang dikutip Winarno (2014) mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan.

1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

2. Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana.

3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (Misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan ekskutif).

4. Vitalitas suatu organisasi.

5. Tingkat komunikasi-komunikasi terbuka yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi.

(8)

4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors) yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi.

Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif.

(9)

konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil dan demikian sebaliknya.

5. Disposisi atau sikap para pelaksana

Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006) ”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan”.

Sikap mereka dipengaruhi oleh pandangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan

(befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam

(10)

arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance,

neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan.

Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang “crucial”. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974).

Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik

(11)

Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.

Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:

Ukuran-ukuran

__________________________________________________________________ Dasar dan tujuan

Tujuan Komunikasi antar Organisasi dan

Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan Kebijaksanaan

Karakteristik –karak Kecendrungan

teristik dari badan- pelaksana- Kinerja Badan pelaksana pelaksana

Sumber- sumber

Kondisi-kondisi Ekonomi, sosial dan politik

__________________________________________________________________

Sumber: (Winarno, 2014)

Gambar 2.1. Model A Policy Implementation Process

(12)

diidentifikasi pada suatu waktu tidak harus diperpanjang secara kasual pada periode waktu lainnya.

2.3.Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas dari segala macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian ketertiban adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan berperan sesuai ketentuan yang ada. Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengertian Kamtibmas adalah keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainnya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat) pengertian dasar, yaitu:

1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;

2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;

3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan

(13)

Masalah ketertiban menjadi penting jika suatu bangsa sedang berusaha membangun guna mencapai suatu kesejahteraan. Keseimbangan dalam masyarakat dapat terjadi antara lain karena adanya ketertiban. Ketertiban mengandung unsur suatu keadaan antar pribadi-pribadi dalam masyarakat berjalan serta teratur dan keadaan itu menurut ukuran yang seharusnya (Sitompul, 2004). Menurut Soerjono yang dikutip Sitompul (2004), dalam suatu masyarakat ketertiban yang efektif dapat terjadi jika secara umum warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang diancam hukuman, tanpa memperhatikan motif-motif mengapa ia harus berlaku tertib.

2.4 Tinjauan Tentang Masyarakat

Masyarakat (society) adalah sekelom antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

(14)

masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga - warganya, 2) Adat istiadat, 3 ) Kontinuitas waktu, 4 ) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009)

Menurut Adam Smith yang dikutip Soekanto (2013) sebuah masyarakat dapat terdiri dari berbagai jenis manusia yang berbeda, yang memiliki fungsi yang berbeda (as among different merchants), yang terbentuk dan dilihat hanya dari segi fungsi bukan dari rasa suka maupun cinta dan sejenisnya, dan hanya rasa untuk saling menjaga agar tidak saling menyakiti "may subsist among different

men, as among different merchants, from a sense of its utility without any mutual

love or affection, if only they refrain from doing injury to each other."

2.5. Kepolisian

(15)

berjudul The Blind Eye of History yang dikutip Utomo (2005) mengemukakan pengertian polisi “came to mean of planning for improving ordering communal

existence”yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau susunan

kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal dari pemikiran, bahwa manusia adalah mahluk sosial, hidup berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati bersama.

Polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat (Raharjo,2009). Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Undang-undang ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang–undangan(Sadjijono, 2008)

Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:

(16)

menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

2.6. Polisi dan Profesionalisme

Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan polisi. Dalam sebuah masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil dengan pranata adatnya, mereka mampu mengatur keteraturan sosial sendiri, dan tidak memerlukan polisi. Tetapi pada masyarakat yang kompleks (pedesaan maupun kota) dimana pranata adat tidak fungsional lagi, maka untuk mengatur keteraturan sosial diperlukan institusi kepolisian untuk menangani dan mengatasi berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masalah keamanan (Suparlan 1999).

(17)

beban/gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan : 1999).

Untuk mewujudkan rasa aman itu, mustahil dapat dilakukan oleh polisi saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara pemolisian yang konvensional dengan melibatkan birokrasi yang rumit, dan mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Untuk mencapai hasil yang efektif diperlukan petugas kepolisian yang profesional. Profesionalisme Polri dapat dijelaskan dari kata profesi: bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu, yaitu ketrampilan, kejujuran, dan sebagainya.

Profesionalisme merupakan kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri mutu dari orang yang profesional. Profesionalisme Polri adalah sikap, cara berpikir, tindakan, dan perilku pelaksanaan pemolisiannya dilandasi ilmu kepolisian, yang diabdikan pada kemanusiaan atau melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset utama bangsa dalam wujud terpeliharanya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum. Tujuannya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesejahteraan hidup masyarakat, dan keberhasilannya adalah manakala tidak terjadi gangguan kemanan dan ketertiban serta tercipta atau terpeliharanya keteraturan sosial.

(18)

lembaga kepolisian mencakup dua hal yaitu Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban (Peace and order maintenance) dan Penegakan Hukum (law

enforcement). Dalam perkembangannya, tanggung-jawab “Pemeliharaan”

dipandang pasif sehingga tidak mampu menanggulangi kejahatan.Polisi kemudian dituntut untuk secara proaktif melakukan “pembinaan”, sehingga tidak hanya “menjaga” agar keamanan dan ketertiban terpelihara tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat, menggugah dan mengajak peran serta masyarakat dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban dan bahkan ikut memecahkan masalah-masalah sosial yang menjadi sumber kejahatan. Tugas-tugas ini dipersembahkan oleh polisi untuk membantu (to support) masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan rasa aman sehingga memungkinkan kebutuhannya akan rasa aman sehingga memungkinkan tercapainya kesejahteraan, disamping perannya sebagai penegak hukum (to control).

2.7. Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban Masyarakat

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah mewujudkan penyelenggaraan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga mampu melindungi seluruh warga masyarakat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(19)

ketertiban masyarakat yang mampu mendukung segenap komitmen/ kesepakatan nasional serta mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis.

Arah kebijakan program ini adalah menindaklanjuti validasi organisasi Polri, meningkatkan profesionalitas dan kesiapan Polri dalam mengungkap perkara serta pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan, memelihara dan membangun sarana dan prasarana, serta mengembangkan kekuatan dan kemampuan Polri sesuai ratio kebutuhan personil dengan jumlah penduduk. b. Pelaksanaan

1. Hasil yang Dicapai

(20)

dilakukan melalui peningkatan intake personil baru dan perpanjangan usia pensiun bagi personil Polri, serta meningkatkan fungsi PNS Polri sebagai komplemen yang mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang staf. Sasaran jumlah personil Polri yaitu perbandingan jumlah personil Polri terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 : 750 belum dapat terpenuhi. Sampai dengan triwulan kedua tahun 2004 perbandingan tersebut baru mencapai sekitar 1 : 900.

Pembangunan materil Polri dilakukan melalui pengadaan peralatan komunikasi, peralatan khusus dan sarana transportasi. Sementara itu, peningkatan kesiapan Polri khususnya berkaitan dengan gangguan kriminalitas, kerusuhan massal, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan baru mencukupi sebagian peralatan kepolisian seperti alat utama dan alat khusus, sarana mobilitas satuan berupa kendaraan bermotor dan kendaraan air (kapal/perahu kecil) Pesawat udara/ helicopter, berbagai ukuran untuk satuan Polisi Air, berbagai peralatan komunikasi, serta peralatan Dalmas/ PHH.

(21)

dalam negeri maupun pengiriman personil Polri ke luar negeri, memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas serta memberikan penghargaan dan sanksi (reward and punishment). Pembinaan kekuatan dilakukan pula melalui perbaikan/rehabilitasi beberapa fasilitas yang meliputi perbaikan rumah-rumah dinas, barak dan asrama. Guna mendukung tugas Polri, maka pengoptimalan terhadap sarana dan prasarana Polri dilakukan dengan meningkatkan upaya pemeliharaan beberapa peralatan maupun fasilitas yang relatif tua.

Dalam rangka operasional kepolisian telah dibentuk Baharkam. Baharkam Polri bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pemeliharaan keamanan yang mencakup upaya peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, guna mewujudkan keamanan dalam negeri. Dalam melaksanakan tugas, Baharkam Polri menyelenggarakan fungsi:

a) perumusan dan atau pengembangan sistem dan metode termasuk peraturan yang terkait dengan pemeliharaan keamanan;

b) pemantauan dan supervisi staf serta pemberian arahan guna menjamin terlaksananya fungsi pemeliharaan keamanan;

c) pemberian dukungan operasional terpadu terhadap pelaksanaan tugas kewilayahan;

d) pelaksanaan kerja sama baik dalam bentuk pelatihan maupun kegiatanyang berkaitan dengan lingkup tugas Baharkam;

(22)

f) perencanaan kebutuhan materil, logistik dan anggaran, pembinaan dan perawatan personel di dalam lingkungan Baharkam;

g) pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang berkaitan dengan sumber daya dan hasil kegiatan satuan fungsi pelaksana pemeliharaan keamanan;

h) pengkoordinasian dan pengendalian penyelenggaraan pembinaan fungsi kepolisian di bidang pemeliharaan keamanan.

Pelaksanaan Renstra Polri 2010-2014 sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 berjalan cukup baik. Hal ini ditandai dengan kondisi kamtibmas yang cenderung stabil dan terkendali serta dapat memberikan suasana kondusif dalam kehidupan masyarakat dan aktivitas pemerintahan. Meskipun dalam kurun waktu tersebut masih terjadi berbagai gangguan kamtibmas, khususnya konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah tertentu, yang memerlukan penanganan secara khusus dan penyelesaian secara komprehensif dengan instansi terkait, Polri secara umum telah dapat mencapai sasaran-sasaran stretegis yang telah direncanakan dalam Renstra Polri 2010-2014.

(23)

Polri ke depan akan menghadapi berbagai perkembangan gangguan Kamtibmas yang semakin komplek dan mengarah pada transnational crime

(kartel, bioterorism, narcoterorism, cyber crime). Perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi kamtibmas yang tentunya berdampak pada operasionalisasi tupoksi Polri di lapangan, sedangkan untuk menghadapi hal tersebut, kondisi peralatan Polri yang ada saat ini dirasakan belum mampu mengimbangi perkembangan tersebut. Masih adanya permasalahan-permasalahan sosial ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang berimbas kepada beberapa sektor kebijakan yang menimbulkan berpotensi konflik, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya gangguan kamtibmas di masyarakat. Selain itu, seiring perkembangan jaman, pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat yang begitu cepat ternyata juga berdampak terhadap berkembangnya gangguan kamtibmas.

(24)

batang, dan 862.671,5 tablet. Namun demikian keberhasilan penanggulangan penyalahgunaann dan pengedaran gelap narkoba bukan hanya ditentukan oleh kebijakan dan programnya, tetapi juga oleh kesadaran, komitmen, dan partisipasi semua pihak yang saat ini telah menampakkan kepeduliannya terhadap masalah narkoba.

2.8.Visi dan Misi Polda

Polri dalam melaksanakan tugas tidak lagi mendahulukan upaya-upaya represif tetapi preventif dan pre-emptif. Ini berarti polri harus mendahulukan upaya-upaya pengayom, pelindung, pelayan dan penegak hukum walaupun dalam UU dijelaskan bahwa polri bertugas sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat (Tabah, 2012).

1) Pengayom adalah upaya pre-emptif untuk penyadaran masyarakat dalam membentu law abiding citizen (masyarakat patuh hukum). 2) Pelindung dijabarkan dari tugas polri secara fisik manakala bahaya

dan ancaman yang akan menganggu masyarakat sudah mulai nyata (fisik). Hal ini disebut dengan upaya preventif.

3) Pelayan dikonotasikan pada fungsi kepolisian dalam masalah-masalah HAM yaitu melayani hak-hak masyarakat agar semua berjalan dengan tertib dan aman.

(25)

Visi Polri adalah “terwujudnya pelayanan kamtibmas yang unggul, terjalinnya kemitraan Polri dengan masyarakat, penegakan hukum efektif serta sinergi polisional yang proaktif dalam rangka memantapkan Kamdagri”.

Visi dan Misi Polresta Medan 1)Visi Polresta Medan

Terwujudnya stabilitas keamanan dan ketertiban di wilayah hukum Polresta Medan dengan melaksanakan kemitraan dan kerjasama dengan instansi terkait masyarakat kota Medan.

2)Misi Polresta Medan

a) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, tanggap dan tidak diskriminatif demi mewujudkan rasa aman melalui kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat kota Medan.

b) Memelihara keamanan kepada masyarakat sepanjang waktu di seluruh wilayah hukum Polresta Medan serta mengefektifkan fungsi Perpolisian masyarakat dan memelihara Kamtibmas di lingkungan masing-masing.

c) Memelihara keamanan dan ketertiban Lantas di wilayah hukum Polresta Medan untuk menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran arus orang dan barang.

(26)

e) Mengembangkan Perpolisian masyarakat (Polmas) di wilayah hukum Polresta Medan yang berbasis kepada masyarakat patuh hukum (Law

Abiding Citizen).

f) Menegakkan hukum di wilayah hukum Polresta Medan secara profesional, objektif, proporsional, transparan, dan akuntabel untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.

g) Mengelola sumber daya Polresta Medan secara profesional, transparan, akuntabel dan modern guna mendukung operasional Polresta Medan.

h) Membangun kemitraan dan kebersamaan (Partnership building) dengan seluruh potensi masyarakat dan instansi pemerintah dalam memelihara keamanan dan ketertiban di wilayah hukum Polresta Medan dengan meningkatkan koordinasi antar instansi di wilayah hukum Polresta Medan.

2.9. Polri Dalam Mewujudkan Good Governance

(27)

2002. Kedua instrumen hukum tersebut meletakkan kepolisian sebagai lembaga yang mengemban tugas untuk menjaga, memelihara, dan menciptakan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum bagi warga negara.

Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan, etika kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.

(28)

Kode Etik Kepolisian tersebut untuk dipedomani bagi setiap anggota Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, Kode Etik ini merupakan landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam menjalankan pemerintahan. Secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang bersih dan baik dalam rangka mewujudkan good governance. Permasalahannya mengapa Kode Etik Kepolisian telah diberlakukan tetapi masih banyak ditemukan penyalahgunaan wewenang, kekerasan dalam penyelenggaraan tugas kepolisian?. Hal ini dapat dijawab dengan menggali sejauh mana tingkat kesadaran dan moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang diamanatkan oleh masyarakat melalui Undang-undang. Hal yang mendasar dapat dicermati karena belum adanya pemahaman yang dalam bagi Polri tentang fungsi yang diembannya yakni harus berorientasi kepada masyarakat (public oriented) yang dilayani.

(29)

dengan asas- asas tersebut maka polisi akan menerima cercaan dan celaan dari masyarakat sehingga berpengaruh menjadikan pemerintahan yang buruk, yang secara kelembagaan akan memperburuk citra kepolisian dan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada polisi.

Penyelenggaraan tugas dan wewenang kepolisian pada era reformasi bertitik tolak pada tujuan dibentuknya kepolisian untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam negeri sebagai tuntutan dan harapan dari masyarakat, hal ini merupakan wujud adanya reformasi prosedur birokrasi dalam tubuh Polri.

Bagaimana mengukur kinerja Polri tentunya ukuran yang paling mudah dipahami adalah terwujudnya rasa aman masyarakat, orang-orang boleh merumuskan dengan berbagai macam pertanyaan- pertanyaan namun rasa aman ini bersifat universal yang harus diwujudkan dan dipelihara oleh Polri. Bibit S Rianto (2005) mengatakan bahwa rasa aman masyarakat memiliki 4 (empat) unsur atau komponen pendukungnya yaitu : terwujudnya kedamaian (peace), terwujudnya keamanan (secure), terwujudnya keselamatan (safety), terwujudnya kepastian hukum didalam kehidupan masyarakat.

2.10.Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Program Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban oleh Polri

(30)

petugas, 4)faktor kelelahan fisik si petugas, dan 5)faktor sikap perilaku dan si pelanggar hukum.

Berkaitan dengan faktor pendidikan, hal ini mencakup mata pelajaran yang diperoleh dari pendidikan (sekolah) kepolisian yang merupakan bekal dasar dari pelaksanaan tugas polisi. Bekal dasar tersebut selanjutnya dikembangkan dan diwarnai dengan pengalaman-pengalaman praktek petugas. Selanjutnya, tentang pengalaman polisi disebutkan bahwa pengalaman-pengalaman bertugas di lapangan yang cukup lama akan mempengaruhi keluwesan pengambilan kebijakan polisi dalam menghadapi pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh warga tertentu. Karena pada dasarnya, pengalaman dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak seorang petugas polisi di lapangan.

Faktor mental juga memiliki peranan penting terhadap tindakan yang dilakukan polisi. Kesulitan-kesulitan hidup yang dialami seorang polisi yang bertugas terutama di kota besar dapat mempengaruhi keseimbangan kepribadian seseorang yang tidak kuat mentalnya. Pola hidup konsumtif di kota besar dapat mempengaruhi kehidupan seseorang yang mempunyai mental yang kurang kuat, misalnya, menerima uang suap (melakukan pungli) untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga.

(31)

Disisi lain, hal ini juga dapat mempengaruhi emosi (kurang sabar) dalam melaksanakan tugas.

Sikap perilaku pelanggar hukum juga tidak terlepas dari masalah yang dihadapi polisi. Seseorang yang telah melakukan pelanggaran (misalnya, ketentuan rambu-rambu lalu lintas) dan tertangkap petugas, apabila menampilkan sikap perilaku sopan dan mengaku bersalah serta mengemukakan alasan-alasannya mengapa dia melanggar rambu lalu lintas, dan selanjutnya minta maaf dapat dimungkinkan oleh petugas memberi kebijaksanaan diskresi. Seandainya pelanggaran itu bersifat ringan, tentunya petugas dapat memberikan nasehat-nasehat terhadap si pelanggar.

Program-program pembaharuan di tubuh polri merupakan bagian dari reformasi birokrasi polri agar ke depannya polri menjadi sebuah institusi yang baik, bersih, transparan, akuntabel dan berwibawa. Yanuarsasi dkk (2013) menyebutkan faktor pendukung kinerja polri dalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut :

a. Kekuatan.

Postur kekuatan polri di Sumut telah terstruktur sesuai dengan pola kebutuhan dan keseimbangan organisasi dalam kompetensi utama yang profesional, bermoral dan modern guna mewujudkan polri yang dipercaya (trust building).

b. Sarana dan prasarana

(32)

c. Sambutan masyarakat.

Dalam pelaksanaan revitalisasi polri menuju pelayanan prima, sambutan masyarakat sangat baik. Masyarakat sangat mendukung adanya perubahan polri menuju lembaga kepolisian sipil, profesional, bermoral dan modern serta meningkatkan kerjasama dengan semua lapisan masyarakat yang lebih kondusif.

Selain dari faktor pendukung program implementasi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat oleh polri, juga ditemukan beberapa faktor penghambat dalam melaksanakan tugas, diantaranya.

a. Belum idealnya jumlah sumber daya manusia.

Jumlah anggota polri yang bertugas di Sumut dirasa masih kurang dari jumlah ideal. Pemberian pelayanan keamanan yang prima kepada masyarakat sulit dilakukan mengingat jumlah anggota yang masih terbatas. Penggelaran kekuatan polres yang telah terstruktur belum sesuai dengan postur polres besar dan polsek kuat, hal ini disebabkan belum terpenuhinya kekuatan personil terutama kesatuan kewilayahan tingkat polsek sehingga belum mampu memberikan pelayanan secara optimal. Tentu, apabila dengan memadainya jumlah anggota yang ada akan membantu pekerjaan menjadi lebih ringan.

b. Kurangnya dukungan anggaran.

(33)

program pengembangan sarana dan prasarana polri khususnya pembangunan gedung dan kendaraan dinas untuk melayani masyarakat. c. Kurangnya kesadaran masyarakat.

Pemahaman masyarakat tentang pentingnya himbauan polri dalam segala hal masih kurang. Hal ini wajar mengingat tingkat perbedaan pendidikan masyarakat yang dimiliki masyarakat.

Tabel 2.1 Sasaran Strategis, Indikator Kinerja Utama Polri No Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama

1 Terbangunnya standar

pelayanan publik yang prima

dalam rangka menyelenggarakan fungsi

kepolisian yang goog

governance dan Clean

Government

a.Prosentase kepuasan publik terhadap pelayanan Polri.

b.Prosentase implementasi standar Operasional Prosedur (SOP) untuk setiap bidang pelayanan kepolisian.

c.Prosentase meningkatnya pelayanan internal bagi anggota Polri dan HTCK di lingkungan Polri.

2 Terbangunnya Almatsus Polri berbasis teknologi yang menjunjung tinggi HAM dalam menghadapi berbagai trend kejahatan modern dan konflik sosial.

a.Prosentase pemenuhan kebutuhan almatsus Polri berbasis teknologi untuk mendukung tugas-tugas kepolisian. b.Prosentase kebutuhan almatsus Polri berbasis teknologi untuk mendukung tugas-tugas Kepolisian.

3. Terbangunnya budaya kerja yang efektif dan efisien dengan pengawasan internal yang transparan dan akuntable.

a.Prosentase penyelesaian tindak lanjut hasil temuan wastrik rutin.

b.Prosentase penyelesaian tindak lanjut temuan pemeriksaan BPK RI.

c.Prosentase menurunnya pelanggaran anggota Polri baik pelanggaran disiplin maupun profesi.

d.Prosentase peningkatan pemberian penghargaan kepada anggota Polri.

4. Tergelarnya personel Polri yang profesional sesuai dengan kompetensi dan jenjang pendidikan serta pengembangan.

(34)

dalam mendukung upaya mengelola keamanan dan ketertiban masyarakat.

7 Terbangunnya sinergi

Polisional yang produktif antar unsur pemerintahan dan organisasi

Bhabinkamtibmas di tiap desa/kelurahan dalam rangka menciptakan deteksi dini, responsif terhadap potensi gangguan keamanan dan gejala sosial masyarakat. 9 Meningkatkan pelayanan

prima dalam memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat dengan mengedepankan upaya preemptif yang didukung oleh penegakan hukum yang tegas.

10 Meningkatnya penyelesaian dan pengungkapan kasus terhadap 4 (empat) jenis kejahatan, yakni kejahatan konvensional, kejahatan terhadap kekayaan negara, kejahatan transnasional dan kejahatan yang berimplikasi kontinjensi dalam rangka menciptakan rasa aman. 11 Tertanggulanginya gangguan

keamanan dan ketertiban masyarakat berkadar tinggi, kerusuhan massa, kejahatan terorganisir bersenjata api dan bahan peledak.

(35)

ilmu pengetahuan dan teknologi.

13 Terwujudnya suatu sistem hukum kepolisian yang

kokoh dalam rangka akuntabilitas, legalitas dan

Gambar

Gambar 2.1. Model A Policy Implementation Process
Tabel 2.1  Sasaran  Strategis,  Indikator Kinerja Utama Polri

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Niela Putri (2012) yang menyatakan bahwa remaja yang berasal dari keluarga konservatif

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku belok sistem steering berdasarkan nilai indek understeer (K us ), radius belok, serta skid dan guling

Ini berdasarkan perhitungan lebar yang dibutuhkan untuk satu sepeda adalah 1,5 m dan lebar untuk dua orang pejalan kaki minimal 1,5 m dengan demikian jalur ini pada taman

 Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya indeks kelompok pengeluaran, yaitu: kelompok bahan makanan 1,84 persen; makanan jadi,

Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (5) Anggaran Dasar Perseroan, dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham yang menyetujui pengeluaran saham dalam simpanan dengan

Aplikasi penginapan sewa kamar hotel ini dilengkapi dengan fasilitas menu pilihan program check in, check out dan database, selain itu juga terdapat fasilitas penghitungan biaya

Thermometer Digital Berbantu Komputer adalah modul target yang terdiri dari bagian sensor yang berupa komponen analog yang dapat mengukur suhu, yang kemudian akan ditampilkan

disampaikan oleh Eksekutif. Setiap program harus betul-betul sesuai dengan proses perencanaan dari awal dan berorientasi pada kepentingan masyarakat Kabupaten Barru. Jika