• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDEKATKAN SISWA DENGAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL MELALUI IPS DI SEKOLAH DASAR. Oleh: Sekar Purbarini Kawuryan Dosen Jurusan PPSD FIP UNY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENDEKATKAN SISWA DENGAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL MELALUI IPS DI SEKOLAH DASAR. Oleh: Sekar Purbarini Kawuryan Dosen Jurusan PPSD FIP UNY"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MENDEKATKAN SISWA DENGAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL MELALUI IPS DI SEKOLAH DASAR

Oleh: Sekar Purbarini Kawuryan Dosen Jurusan PPSD FIP UNY Abstrak

Nilai-nilai kearifan budaya lokal jika tidak dijaga dan dipelihara, dikhawatirkan secara berangsur-angsur akan mengalami proses kepunahan karena pengaruh globalisasi. Salah satu upaya untuk menjaganya adalah melalui pemanfaatan budaya lokal dalam proses pembelajaran di sekolah. IPS sebagai pelajaran yang memegang peran signifikan untuk mengembangkan kebudayaan diharapkan dapat memberdayakan dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya budaya lokal yang tersedia. Pembelajaran IPS di sekolah dasar diharapkan dapat mengembangkan berbagai kemampuan pada diri siswa, khususnya kemampuan untuk hidup di tengah-tengah lingkungan atau masyarakat tempat siswa tinggal. Oleh karena itu, diperlukan tenaga guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat, disamping kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kata Kunci: Budaya lokal, IPS, sekolah dasar Abstract

Globalization impact could erode local culture wisdom if there weren’t any preservation from their community. Slowly but sure, the process will be pass through the extinction. One way to guard against globalization is using the utilization of local culture potentials in learning process on school. Social studies which hands on as a significant lesson to improve culture, hopefully could use local culture potentials as well as possible. Social studies in elementary school should develop all capability of students, especially how to keep up with society around they live. Because of that, there are necessary to prepare and have many teachers who possess sufficient comprehension about local culture, besides their responsibility in material lesson.

The values of cultural wisdom, if not guarded and maintained, it is feared will gradually undergo a process of extinction because of the impact of globalization. One effort to keep it is through the utilization of local culture in the learning process at school. IPS as a lesson that holds a significant role to develop the culture is expected to empower and utilize the best available local culture. Social learning in primary schools is expected to develop a range of

(2)

student abilities, especially the ability to live amidst the environment or community where students live. Therefore, it is necessary that teachers will have an adequate understanding of local cultural values, in addition to its ability understand the lesson which it is responsible.

Keyword: Local culture, social studies, elementary school

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan seni (IPTEKS) telah menghadirkan tantangan dan sekaligus peluang baru bagi umat manusia dalam segala dimensi kehidupannya. Globalisasi merupakan implikasi logis dari kemajuan IPTEKS. Dampak langsung dari kemajuan IPTEKS telah menghilangkan batasan-batasan region dan kewilayahan. Bagi masyarakat tertentu, kondisi ini harus disikapi dengan cepat dan komprehensif sehingga tidak kehilangan jati diri bangsa dan negaranya. Sementara itu, bagi bangsa Indonesia, kondisi tersebut merupakan realitas yang harus disikapi secara seksama dan sesegera mungkin. Hal ini penting, mengingat karakteristik geografis dan sosial-budaya yang dimiliki Indonesia sangat beragam.

Berbagai pengaruh global melalui berbagai media informasi, baik positif maupun negatif, masuk mempengaruhi masyarakat tanpa mampu dihambat. Jika dibiarkan tanpa kendali, maka nilai budaya setempat atau lokal akan tergerus hingga akhirnya hilang dari permukaan bumi. Hal yang harus dihindari dengan adanya globalisasi adalah ketercerabutan nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu masyarakat, yang bisa berdampak pada hilangnya identitas atau jati diri masyarakat tersebut. Globalisasi yang terjadi, baik pada masa sekarang maupun pada masa mendatang

(3)

harus disikapi secara lokal maupun mondial. Dalam hubungan inilah, masyarakat yang akan dibentuk melalui pendidikan IPS adalah masyarakat mendunia yang tetap berpijak pada keunggulan lokal. Keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat di mana siswa berada harus dijadikan pondasi dalam mengembangkan materi IPS. Keunggulan lokal dapat berupa kearifan lokal yang terbentuk dalam sistem budaya masyarakat. Salah satu fungsi basis lokal tersebut adalah untuk membangun jati diri. Dengan cara semacam ini, perubahan-perubahan global yang menembus berbagai sektor kehidupan siswa tidak akan mencerabut nilai-nilai lokal yang sudah lama hidup dalam lingkungan sosial di mana siswa tinggal. Pemaknaan lokal bukan disikapi dengan pelestarian, tetapi lebih pada pengembangan. Nilai-nilai budaya lokal perlu dikembangkan dan menjadi materi IPS yang ditempatkan pada kedudukan sejajar dengan nilai-nilai global.

Pelestarian Kebudayaan Melalui Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses menaburkan benih-benih budaya dan peradaban manusia yang hidup dan dihidupi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang dan dikembangkan dalam suatu masyarakat (Tilaar, 2002: 9). Pendidikan dan kebudayaan berkenaan dengan sesuatu hal yang sama, yaitu nilai-nilai. Pendidikan juga dapat dipandang sebagai proses transmisi kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan yang ditransmisi melalui pendidikan meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup, dan berbagai konsep hidup lainnya yang ada dalam masyarakat. Selain itu juga berbagai kebiasaan sosial, sikap, dan

(4)

tingkah laku yang digunakan dalam interaksi atau pergaulan para anggota dalam masyarakat tersebut. Pendidikan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat. Proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi dalam hubungan antarmanusia dalam suatu masyakat tertentu. Dengan demikian, tampak jelas betapa besar peranan pendidikan dalam perkembangan bahkan matinya suatu kebudayaan.

Pentingnya peran pendidikan dalam kebudayaan menurut pemikiran Ki Hadjar Dewantara (1954: 44) dapat dilihat dalam sistem among yang berisi mengajar dan mendidik. Tugas lembaga pendidikan seperti sekolah bukan hanya mengajar untuk menjadikan siswa pintar dan cerdas dalam hal pengetahuan, melainkan juga mendidik yang berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupannya. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan berbudaya. Artinya, manusia sanggup dan mampu mencipta segala sesuatu yang bercorak luhur dan indah, yang disebut kebudayaan.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk (Sultan Hamengku Buwono X, 2007: 21). Keanekaragaman Indonesia bukan saja karena terdiri dari sekitar 17.500 pulau yang dihubungkan oleh lautan, melainkan juga karena kekayaan etnis, suku, bahasa, budaya, agama, dan kebiasaan. Karena kemajemukan itu, Indonesia sering dikatakan sebagai negara yang multikultural. Keunikan dan kekhasan budaya tertentu merupakan potensi yang dapat diolah untuk menembus budaya global masa kini. Oleh karena itu, kekayaan kebudayaan Indonesia tersebut perlu digali dan diperkenalkan serta dikembangkan oleh setiap manusia Indonesia.

(5)

Peran pendidikan melalui sekolah menjadi penting untuk mengembangkan hal tersebut. Peranan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan untuk mengembangkan kebudayaan tidak perlu diragukan lagi. Nilai kearifan lokal tradisional dapat dihargai kalau nilai tersebut dikenali dengan baik. Nilai-nilai kearifan budaya lokal itu jika tidak dijaga dan dipelihara, dikhawatirkan secara berangsur-angsur akan mengalami proses kepunahan. Salah satu upaya untuk menjaganya adalah melalui pemanfaatan budaya lokal dalam proses pembelajaran di sekolah. Seperti yang dituliskan oleh Nasir & Hand (2006: 449) bahwa …”research on race, culture, and schooling has revealed many significant factors affecting school achievement and has articulated many details of how culture and learning intersect in daily school life”. Orientasi pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek kepribadian lainnya yang justru lebih penting, harus segera diubah. Dunia pendidikan perlu dipacu untuk secara terencana dan terarah melahirkan manusia-manusia budaya yang sadar, terdidik, dan berkualitas (Tilaar, 2002: 98).

Senada dengan pendapat tersebut, pelestarian nilai-nilai budaya daerah, dengan upaya mencari, menggali, dan mengkaji serta mengaktualisasikan kearifan budaya lokal merupakan modal dasar baru yang dapat digunakan untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa (Sultan Hamengku Buwono X, 2007: 21). Oleh karena itu, solidaritas sosial budaya yang saling menghargai sesama warga bangsa perlu diaktualisasikan kembali. Selain itu, pendidikan tanpa orientasi budaya akan memunculkan generasi yang kurang memiliki spiritualitas dan jauh dari nilai-nilai. Sementara di sisi yang lain, kebudayaan tanpa pendukung-pendukungnya yang sadar

(6)

dan terdidik pada akhirnya juga akan memudar sebagai sumber nilai. Dalam hubungan ini, menurut Suminto A. Sayuti, pendidikan hendaknya dimaknai sebagai suatu proses yang di dalamnya dimungkinkan terjadi transmisi dan pengembangan nilai-nilai budaya sekaligus sebagai proses pergelaran nilai-nilai budaya antargenerasi (Sumaryono, 2003: xix).

Peran IPS di SD dalam Pengembangan Kebudayaan

Salah satu mata pelajaran di sekolah dasar yang memegang peran signifikan untuk mengembangkan kebudayaan adalah pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Tujuan utama pembelajaran IPS di SD adalah menanamkan kesadaran akan posisi individu, baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas. Pembelajaran ini bersifat strategis. Artinya, keberhasilan pembelajaran IPS di SD akan mengantarkan siswa pada situasi sadar budaya. Mereka diharapkan memiliki kesadaran bahwa dirinya tidak bisa hidup terpisah dari jaringan kehidupan sosial-budaya yang lebih luas. Oleh karena itu, mereka juga harus memiliki kepribadian yang terpuji. Untuk mencapai hal itu, materi pembelajaran sudah seharusnya dikembangkan berdasarkan berbagai potensi yang tersedia di sekitar kehidupan mereka. Dengan kata lain, budaya lokal yang tersedia dan dekat dengan proses berlangsungnya pendidikan merupakan suatu hal yang layak diberdayakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pembelajaran IPS yang secara formal mulai diberlakukan dari jenjang sekolah dasar sampai SMA, dituntut untuk mampu memediasi pengembangan dan pelatihan

(7)

potensi siswa secara optimal, khususnya yang bertalian dengan transformasi nilai-nilai budaya dan norma sosial (Numan Somantri, 2001). Masih dengan makna yang sama NCSS (2008) menyatakan bahwa:

social studies aims to educate students to become caring, well informed citizens; realizing and connecting the social studies to one’s sense of freedom and everyday lifestyle; examining the “code of behavior” within one’s diverse society.

Melalui pembelajaran IPS yang pengertiannya disepadankan dengan social studies, siswa akan belajar memahami dan memahiri nilai-nilai dasar yang diperlukan untuk hidup secara mapan di masyarakat, yaitu nilai mengenai: awareness of stereotypes, bias, and point of view, awareness of multiple cultures, tolerance of cultural differences, and protecting individual right to difference (NCSS, 2008).

Mata pelajaran IPS di sekolah dasar sebagai salah satu mata pelajaran yang bertujuan meningkatkan dan menumbuhkan pengetahuan, kesadaran, dan sikap sebagai warga negara yang bertanggungjawab, menuntut pengelolaan pembelajaran secara dinamis dengan mendekatkan siswa kepada realitas objektif kehidupannya. Hal ini sudah disebutkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, bahwa kondisi sosial budaya masyarakat setempat menjadi satu hal yang harus diperhatikan sebagai acuan operasionalnya. Artinya, kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Sesuai dengan pendapat Nasir & Hand (2006: 450) berikut ini.

(8)

Sociocultural (or situative) approaches have increasingly been used to understand learning and development (of all students) in a way that takes culture as a core concern. These framework assume that social and cultural processes are central to learning and argue for the importance of local activity settings in children’s learning.

Hal tersebut perlu dilakukan agar proses berlangsungnya pembelajaran IPS di SD tidak hanya sebatas bersifat tekstual, yakni sebatas pada hal-hal yang sudah dituliskan dalam buku-buku pelajaran yang selama ini telah disediakan. Pembelajaran harus juga dilakukan secara kontekstual agar fungsi strategis pelajaran ini dapat terpenuhi. Penyimakan kembali terhadap materi-materi yang selama ini diajarkan secara tekstual perlu dilaksanakan melalui sebuah kajian ilmiah. Penyimakan tersebut dibarengi dengan penyimakan dan identifikasi potensi budaya lokal berikut kemungkinan pengembangannya sebagai materi pembelajaran IPS. Dengan cara semacam itu, siswa tidak tercerabut dari akar budayanya dan tidak menjadi asing dengan lingkungan kesehariannya. Dengan cara semacam itu pula, harapannya, semangat multikultural akan dapat ditanamkan sejak awal. Yang dimaksud semangat multikultural dalam hubungan ini adalah kesadaran bahwa sebagai bangsa kita bersifat plural. Karenanya, penghargaan terhadap liyan (yang lain, the other) perlu ditumbuhkan sejak awal. Nilai tenggang rasa, solidaritas, saling menghargai antarsesama, merupakan nilai-nilai hakiki dalam tatanan sosial yang multikultural.

(9)

Ada beberapa tujuan pembelajaran IPS di SD (Saucier, 1951: 325-327) sebagai berikut.

1) Mengembangkan intelegensi sosial.

Untuk mengembangkan kecerdasan sosial anak, cara dalam memperoleh suatu informasi lebih penting daripada jumlah informasi yang bisa mereka peroleh. IPS seharusnya melengkapi anak dengan berbagai macam pengalaman penting yang akan meningkatkan dan memperkaya bekal pemahaman mereka dan mengembangkan kebiasaan mereka untuk berpikir.

2) Mengembangkan sikap sosial.

Ketika anak mulai bersekolah, masing-masing anak memiliki sikap yang membedakan dirinya dengan orang lain. Sikap ini mengakar kuat sebagai karakternya, yang terbentuk oleh kehidupannya dalam keluarga dan masyarakatnya. Akan tetapi, tanpa menyadari hal ini, guru IPS seringkali mengorbankan sikap siswa hanya sekedar untuk menyampaikan informasi.

Dalam Standar Isi BSNP 2006 dituliskan bahwa pembelajaran IPS di sekolah dasar ditempuh dengan cara mengenalkan masalah-masalah sosial melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan kepekaan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan sosial tersebut. Permasalahan sosial menjadi semakin kompleks sejalan dengan arus globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Kaitannya dengan budaya, globalisasi menjadikan budaya lokal semakin terpinggirkan dan digantikan dengan budaya global. Oleh karena itu, pembelajaran IPS di sekolah dasar yang sebagian materinya berkaitan dengan kondisi sosial budaya

(10)

masyarakat setempat diharapkan dapat berperan untuk menjaga kelestarian dan eksistensi budaya lokal.

Seperti yang telah disebutkan di atas, dalam kehidupan sehari-hari, banyak masalah sosial yang luas dan kompleks yang segera membutuhkan penyelesaian. Tentu saja, anak-anak usia pendidikan dasar belum sampai pengetahuan dan tingkat pemecahannya untuk turut serta memecahkan masalah-masalah tersebut. Akan tetapi, mereka perlu memahami masyarakat dan kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan munculnya permasalahan tersebut.

Pembelajaran IPS di sekolah dasar diharapkan dapat mengembangkan berbagai kemampuan pada diri siswa, khususnya kemampuan untuk hidup di tengah-tengah lingkungan atau masyarakat tempat siswa tinggal. Seperti yang dituliskan oleh Knobloch (2008: 529) sebagai berikut.

Elementary students need authentic learning experiences with community-based topics to motivate them, help develop inquiry skills, apply academic content, and connect their learning beyond the context of the classroom. In particular, the study of food, agriculture, and natural resources in elementary classrooms can bring learning to life.

Selain itu, pembelajaran IPS di sekolah dasar diharapkan juga mampu mengantarkan anak menjadi warga negara yang baik, mengajar anak bagaimana berpikir, dan menyampaikan warisan kebudayaan kepada anak.

Pembelajaran IPS di SD dapat berlangsung efektif apabila siswa dapat berinteraksi langsung dengan obyek, peristiwa, situasi dan kondisi kehidupan sehari-hari melalui sumber belajar. Proses pembelajaran harus dapat memberi kesempatan

(11)

kepada siswa untuk mampu mengembangkan potensinya secara optimal, sehingga dalam proses pembelajaran terjadi transfer of learning, transfer of training, dan transfer of principles. Seperti yang dituliskan oleh Stafford (2006) berikut ini.

By expanding the learning laboratory to the schoolyard and community through service-learning projects, students connect classroom lessons to real life and learn about their own power as citizens to make an impact on their natural and social environments.

Bertolak dari fungsi dan tujuan pengajaran IPS tersebut, maka peran IPS adalah menggariskan komitmen untuk melakukan proses pembangunan karakter bangsa. Konsekuensinya, dalam melaksanakan proses pembelajaran, pendidik harus membantu siswa mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk menghadapi lingkungan hidupnya, baik fisik maupun sosial budaya yang menjadi tempat hidup siswa. Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan kombinasi antarvariabel pembelajaran, baik itu guru, karakteristik siswa, metode pembelajaran, sarana, dan lain sebagainya. Kemampuan guru dalam mengembangkan materi pelajaran IPS dan menentukan model pembelajaran, serta sistem evaluasinya, merupakan hal yang sangat penting agar materi pelajaran IPS dapat menarik, tidak membosankan, menyenangkan, dan mudah diterima oleh siswa. Untuk itu, guru IPS harus dapat mendesain kondisi (model) pembelajaran yang demokratif-kreatif, yang mampu melibatkan siswa secara langsung, baik sebagai subjek, maupun objek pembelajaran.

Lewat kegiatan pembelajaran IPS di sekolah dasar, sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya, siswa diajak masuk dalam dan sekaligus menghayati situasi sosial. Harapannya, siswa terpandu dengan baik untuk dapat aktif

(12)

berpengetahuan, siap menjadi manusia yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Dengan kata lain, mereka disiapkan agar mampu berfungsi dan berperan dalam menghadapi seluruh kehidupannya, dan mampu menjadi manusia yang berkarakter. Manusia yang berkarakter adalah manusia yang memiliki bobot memadai, baik ditinjau dari dimensi individual maupun sosial.

Mendekatkan Siswa dengan Kekhasan Budaya Lokal

Upaya mendekatkan siswa dengan kekhasan budaya lokal di tempat tinggalnya tidak akan berhasil dengan baik jika guru kurang bahkan tidak mampu menyampaikannya. Oleh karena itu, diperlukan tenaga guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat, disamping kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, pihak perguruan tinggi keguruan perlu mempersiapkan lulusannya agar mempunyai kompetensi tidak hanya kemampuan intelektual tetapi juga pemahaman akan nilai-nilai tradisional yang berlaku di masyarakat.

Selain itu, pemerintah daerah selaku pengelola pendidikan di daerahnya mempunyai kewajiban untuk memberikan pembekalan terhadap guru yang bertugas dan akan bertugas tentang nilai budaya lokal setempat dan itu perlu dilakukan secara berkelanjutan agar kemampuan guru mengintegrasikan nilai budaya lokal dapat terus terasah hingga pada akhirnya mampu mentransformasikan nilai-nilai tradisional yang luhur kepada anak didiknya. Jika itu berhasil diharapkan pengaruh budaya negatif yang datang dari luar dapat diminimalisasi.

(13)

Keberadaan masyarakat sebagai sumber nilai-nilai lokal-tradisional dapat dimanfaatkan untuk memperkaya materi yang sudah tertulis dalam buku. Nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan budaya tertentu yang menjadi keseharian masyarakat merupakan hal yang perlu diketahui dan dipelajari oleh siswa (Tilaar, 2002: 93). Implikasinya, kurikulum tidak boleh bersifat formal semata, tetapi society and cultural-based, dan terbuka terhadap berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Siswa perlu diajak melihat nilai budaya lain, agar mereka mengerti secara mendalam, dan akhirnya dapat menghargainya.

PENUTUP

Pembelajaran IPS di SD yang selama ini lebih banyak berpedoman pada sajian materi buku ajar tanpa diikuti oleh upaya pengembangan materi, seperti mengangkat nilai-nilai budaya lokal yang ada di masyarakat, perlu segera dikaji kembali. Budaya lokal yang tersedia dan dekat dengan proses berlangsungnya pendidikan merupakan suatu hal yang layak diberdayakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Materi pelajaran IPS yang disajikan oleh guru sudah seharusnya bersifat kontekstual. Apa yang terjadi dan dilihat oleh siswa sebagai pengalaman hidupnya sehar-hari, harus menjadi sumber

(14)

belajar utama. Model pembelajaran yang terlalu berorientasi pada buku ajar semata harus dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Knobloch, N. A. (2008). Factors of teacher beliefs related to integrating agriculture into elementary school classrooms [Versi elektronik]. Journal of Agricultural and Human Values Research, 4, 529-539.

Nasir, N. S., & Hand, V. M. (2006). Exploring sociocultural perspectives on race, culture, and learning. Review of Educational Research, 76, 449-475.

NCSS. (2003). Social studies definition. Diambil pada tanggal 20 Agustus 2008 dari http://faculty.plattsburgh.edu/susan.mody/432SumB04/NCSSdef.htm

Numan Somantri. (2001). Menggagas pembaharuan pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Saucier, W.A. (1951). Theory and practice in the elementary school. New York: Macmillan.

Sultan Hamengku Buwono X. (2007). Merajut kembali keIndonesiaan kita. Jakarta: Gramedia.

Sumaryono. (2003). Restorasi seni tari & transformasi budaya. Yogyakarta: ELKAPHI.

Stafford, S. H. (2006). Food for thought at a Vermont Elementary School. The Center for Public Education.

Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat madani. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

 Penentuan Lokasi dan Tapak yang digunakan dalam perencanaan dan perancangan mengacu pada tata guna lahan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota Semarang 2010- 2030.  Standar

Dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku yang diproksikan oleh sikap dalam pekerjaan, motivasi lingkungan kerja, persepsi diskriminasi dalam pekerjaan,

Peristiwa komunikasi dilakukan peserta yang terlibat dalam upacara me- minang yakni pihak si ujuang berperan sebagai tamu dalam hal ini adalah keluarga perempuan

Sedangkan Menurut Keown et al (2008 : 214), Perusahaan yang memiliki free cash flow dalam jumlah yang tinggi akan lebih baik dibagikan kepada pemegang saham dalam

The simula- tion estimators attempt to approximate the maximum likelihood estimator (cf. Example 1), since the simulated EM algorithm approximates the EM algorithm. The MLE based on

Spekulan membeli banyak obligasi pada saat harga murah (dana banyak dalam bentuk surat berharga dan uang tunai sedikit) dan menjual pada saat harga tinggi (dana dalam bentuk

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan menganalisis hubungan antara variabel independen (masa kerja, pendidikan, pengetahuan, sikap, sistem

Dalam kaitanya dengan penelitian skripsi yang berjudul “ Perang Koalisi VI: Suatu Kajian Mengenai Kekalahan Napoleon Dalam Pertempuran Di Rusia. (1812)” , interpretasi yang