• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. Budaya dan Kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. Budaya dan Kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

Budaya dan Kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan

A. Latar Belakang

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui legitimasi yang dimiliki oleh Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP dari mata pengurus partai di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Megawati telah kita kenal sebagai ketua umum PDIP—PDI sebelum berganti nama—sejak tahun 1993 hingga saat ini. Hal tersebut membuat PDIP menjadi satu-satunya partai di Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian ketua umum sejak orde baru runtuh.

Sebelum menjadi ketua umum, putri sang proklamator itu sebenarnya belum terlalu lama berkecimpung di dunia politik. Baru pada tahun 1987 ia bersama adiknya, Guruh Soekarnoputra, bergabung dengan PDI yang kala itu dipimpin Soerjadi. Walaupun begitu, karir politiknya terbilang menanjak dengan cepat. Dinamika yang terjadi dalam tubuh PDI membawa Megawati ke kursi ketua umum sejak tahun 1993.

Jabatannya sebagai ketua umum PDI bertahan hingga rezim orde baru runtuh di tahun 1998. Setelah reformasi terjadi, PDI di bawah pimpinannya berganti nama menjadi PDIP. Sejak saat itu juga sudah tiga kali PDIP menyelenggarakan kongres nasional partai. Dalam ketiga kongres tersebut nama Megawati Soekarnoputri selalu dipercaya sebagai ketua umum. Suatu hal yang ditemui dalam dunia politik Indonesia terjadi di tubuh PDIP.

(2)

Hingga tahun 2014 ini terhitung sudah 21 tahun Megawati memimpin PDIP, yang sebelumnya bernama PDI. Sudah cukup lama ia menjadi ketua umum partai politik. Apalagi jika kita coba bandingkan dengan ketua umum partai politik lain yang ada di Indonesia, tidak ada seorangpun yang menyamai lama waktu kepemimpinan mega di partainya masing-masing.

Kita bisa membandingkan posisi Megawati di PDIP dengan ketua umum partai lain di Indonesia. Partai Golkar misalnya, walaupun sudah berdiri cukup lama namun partai tersebut kerap mengalami pergantian posisi ketua umum ketika kongres nasional dilaksanakan. Sejak keruntuhan orde baru saja terhitung telah tiga kali pemimpin partai beringin tersebut berganti.1 Hal yang sama juga dialami

oleh partai Demokrat. Sejak berdiri pada tahun 2001 silam partai ini bahkan sudah empat kali mengalami pergantian ketua umum.2 Dari perbandingan tersebut kita

bisa melihat bahwa dalam segi waktu berkuasa, Megawati telah mengungguli lawan-lawan politiknya yang berada di partai lain.

Lamanya waktu kepemimpinan Megawati di PDIP tidak dapat dipisahkan dari faktor besarnya dukungan yang ia terima dari segenap kader PDIP di Indonesia. Hampir seluruh pengurus partai di daerah selalu memberikan dukungan terhadap Megawati—baik saat kongres nasional berlangsung maupun di luar moment tersebut. Kalaupun ada daerah yang tidak mendukung Megawati

1Tiga nama tersebut adalah Akbar Tanjung, Muhammad Jusuf Kalla, dan ketua umum partai

(3)

jumlahnya pun terlampau sedikit untuk membendung dukungan mayoritas pengurus daerah kepada putri sang proklamator tersebut.

Salah satu daerah yang dikenal selalu memberikan dukungan terhadap Megawati adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak pernah ditemui adanya berita yang mengabarkan bahwa pengurus PDIP di wilayah DIY menolak untuk mendukung Megawati. Ketika peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 terjadi saja kader-kader PDI di DIY dalam waktu yang singkat langsung membuat gerakan yang menunjukkan kesetiaannya terhadap Megawati selaku ketua umum partai.

Loyalitas pengurus PDIP di DIY terhadap Megawati tidak lepas dari besarnya dukungan masyarakat terhadap partai tersebut sejak orde baru runtuh di tahun 1998. Sejak pemilu 1999 hingga 2009 yang lalu PDIP selalu mendapatkan suara yang tinggi di DIY. Partai tersebut hampir selalu menjadi pemenang dalam setiap pemilu yang diselenggarakan di wilayah DIY. Hanya di pemilu 2009 saja perolehan suara partai tersebut kalah dengan perolehan partai Demokrat di wilayah DIY.

Besarnya dukungan yang berasal dari DIY semakin menambah ‘keistimewaan’ wilayah tersebut dalam konteks hubungannya dengan PDIP. Seperti yang kita ketahui bersama, Yogyakarta merupakan tanah kelahiran Megawati 67 tahun silam. Ternyata, selain sebagai tanah kelahiran sang ketua umum, DIY juga saat ini semakin dikenal sebagai daerah yang memiliki basis massa PDIP dengan jumlah besar.

(4)

Tingginya loyalitas kader dan anggota PDIP DIY terhadap Megawati, banyaknya massa pendukung PDIP, dan peran wilayah DIY dalam mempertahankan Megawati selaku ketua umum pasca peristiwa 27 Juli 1996 menjadi faktor yang menjadikan pilihan lokasi penelitian jatuh ke DIY. Dari sana kita dapat melihat sebab-sebab tingginya loyalitas kader PDIP terhadap sosok Megawati Soekarnoputri. Proses kemunculan loyalitas terhadap Megawati dalam diri masing-masing aktivis PDIP juga dapat diketahui dari wilayah DIY.

Sebelum melangkah lebih jauh, penulis ingin mengingatkan akan banyaknya anggapan yang mengatakan bahwa Megawati dapat bertahan sebagai ketua umum partai karena ia merupakan anak kandung Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia. Hal tersebut mungkin memiliki pengaruh terhadap keberadaan dirinya sebagai ketua umum PDIP. Namun, apakah faktor keturunan saja dapat membuat seseorang bertahan sebagai ketua selama lebih dari dua dekade?

Besarnya dukungan terhadap sosok Megawati Soekarnoputri dari para aktivis PDIP tentu dilatarbelakangi berbagai hal. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan adalah posisi sentral Megawati dalam menangani konflik di dalam tubuh partai. Menjadi sebuah kewajaran jika perpecahan—sekecil atau sebesar apapun itu—terjadi di dalam tubuh partai politik. Konflik tersebut mungkin dipandang oleh sebagian besar aktivis PDIP akan dapat ditangani oleh Megawati.

(5)

mengindahkan salah satu aspek, dan menganggap aspek tertentu yang paling benar dan tepat. Karena ada kemungkinan juga jika ternyata Megawati selalu mendapat dukungan yang besar karena adanya aspek-aspek lain yang belum orang banyak pikirkan.

Dalam konteks DIY misalnya, terbuka kemungkinan ada alasan-alasan lain yang dimiliki oleh aktivis PDIP dalam mempercayai Megawati sebagai ketua umum partai. Mungkin saja aspek keturunan memegang peran sentral dalam diri masing-masing kader PDIP di DIY dalam memilih ketua umum. Hal tersebut bisa menjadi kenyataan karena budaya politik yang berkembang di masyarakat DIY sangat dipengaruhi oleh kehadiran sistem kerajaan disana. Berbeda dengan masyarakat di daerah lain yang tidak hidup dalam kerangka sistem kerajaan di wilayahnya masing-masing.

Namun, selain dikenal sebagai daerah yang menggunakan sistem kerajaan dalam mengelola wilayahnya, DIY juga dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak orang-orang pintar di sana. Kehadiran beberapa perguruan tinggi di DIY menjadi sebab dari banyaknya akademisi dan cendekiawan yang berasal dari daerah tersebut. Jika demikian adanya, maka apakah aneh jika kita tetap menduga bahwa aspek keturunan menjadi salah satu, atau mungkin satu-satunya, hal yang dipertimbangkan oleh aktivis PDIP DIY dalam memilih ketua umum?

Penjelasan singkat di atas pada akhirnya memunculkan beberapa pertanyaan ke muka. Apa sajakah sumber legitimasi Megawati sebagai ketua umum PDIP? Bagaimana legitimasi tersebut dapat muncul dan bertahan hingga 21

(6)

tahun lamanya? Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Mengapa Megawati Soekarnoputri dipercaya oleh pengurus PDIP di wilayah DIY untuk menjadi ketua umum partai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sebab-sebab bertahannya Megawati sebagai ketua umum di PDIP sejak tahun 1993.

2. Membaca alasan dan penyebab munculnya pilihan untuk mendukung Megawati pada diri aktivis PDIP wilayah DIY.

3. Melihat pengaruh aspek kepemimpinan modern dan tradisional dalam diri aktivis PDIP wilayah DIY.

4. Menjelaskan kaitan antara temuan lapangan dengan proses institusionalisasi partai yang berjalan di dalam tubuh PDIP, dan partai politik secara umum di Indonesia.

D. Kerangka Teori

Penelitian ini dikerangkai oleh teori kekuasaan dan basis legitimasi kekuasaan. Kedua teori tersebut menjadi dasar untuk melihat sebab-sebab munculnya kuasa (power) dan penggunaannya dalam suatu organisasi. Kuasa tidak muncul dengan sendirinya. Ia hadir karena adanya sumber-sumber legitimasi yang melahirkan kekuasaan itu sendiri. Untuk mengetahui sebab-sebab

(7)

kepercayaan yang timbul terhadap seorang pemimpin, maka kajian terhadap teori kekuasaan dan sumber legitimasinya harus dilakukan.

D.1. Kekuasaan

Dalam bukunya yang berjudul “Political Power”, Charles E. Merriam menjelaskan konteks dan kondisi yang menyebabkan munculnya kekuasaan di antara manusia. Ia mengatakan bahwa definisi kekuasaan politik, beserta turunannya, sangat bergantung pada individu atau sekelompok masyarakat yang mengartikannya (1934 : 10). Kekuasaan di antara sekelompok, atau individu-individu, muncul sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan mereka (1934 : 17).

Kekuasaan yang telah hadir di tengah-tengah manusia kemudian digunakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat atau kelompok tertentu. Politik disini hadir sebagai jenis dari penggunaan kekuasaan yang ada. Kekuasaan politik pun muncul karena kuasa digunakan untuk melakukan perjuangan bagi sekelompok individu tertentu.

Menurut Merriam, terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya otoritas, atau kekuasaan, dalam masyarakat (1934 : 15):

1. Terdapat kebutuhan dalam suatu kelompok untuk melakukan aksi politik secara bersama.

2. Adanya personal—atau panutan—yang dapat dijadikan tolak ukur dalam kehidupan sehari-hari kelompok tersebut.

(8)

3. Adanya pemimpin yang mampu memanfaatkan kebutuhan kelompok terkait, dan di sisi yang lain juga mampu menjadikan dirinya sebagai panutan bagi anggota kelompok tersebut.

Kekuasaan muncul karena adanya kebutuhan yang sama dalam diri masing-masing individu di suatu kelompok. Pada akhirnya, kekuasaan dipegang oleh seseorang yang dianggap mampu memimpin kelompok tersebut untuk bergerak. Orang yang telah dipercaya tersebut akhirnya menjadi pemimpin, dan ia memiliki kekuasaan untuk—secara langsung maupun tidak langsung—mengatur kelompok tersebut.

Hak untuk mengatur kelompok tidak dimiliki oleh seorang pemimpin karena ia berbeda dengan anggota kelompok yang ia pimpin. Lebih daripada itu, pemimpin memiliki kuasa untuk mengatur karena ia dipandang memiliki kedekatan dengan anggota kelompok yang ia pimpin. Selain itu, kuasa juga diperoleh karena pemimpin bersangkutan dapat menampung dan menggabungkan aspirasi-aspirasi yang beragam dalam organisasi terkait (Merriam, 1934 : 36).

Dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda penjelasan mengenai kekuasaan juga dikemukakan oleh Angelo Panebianco. Dalam bukunya yang berjudul “Political Parties: Organization and Power”, Panebianco mengatakan bahwa kekuasaan sifatnya tidak pernah absolut (1988 : 22). Dalam organisasi, kekuasaan menjadi hal yang bisa didapatkan jika ada hubungan timbal balik antara si pemilik kuasa dengan para pengikutnya.

(9)

Jika dilihat, keuntungan yang didapatkan oleh pemimpin jauh lebih banyak dibandingkan apa yang diperoleh pengikutnya. Namun, secara sadar maupun tidak sadar, pemimpin sebagai orang yang memegang kuasa memiliki tugas yang tidak mudah. Stabilitas organisasi yang harus dijaga merupakan tugas dari pemimpin tersebut (Panebianco, 1988 : 44). Jika stabilitas sebuah organisasi terganggu, maka pemimpin merupakan orang yang paling bertanggungjawab dan harus menyelesaikan permasalahan yang ada di dalamnya.

D.2. Basis Legitimasi

Seorang pemimpin harus memiliki legitimasi jika ingin menjalankan kekuasaannya dengan baik. Sumber legitimasi tersebut secara garis besar telah dibagi oleh Weber menjadi tiga tipe, yaitu basis legitimasi rasional, tradisional, dan kharismatik. Perbedaan sumber legitimasi yang dimiliki seorang pemimpin dapat dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu ia berkuasa.

Ketiga tipe sumber legitimasi tersebut memiliki ciri dan karakter yang berbeda-beda. Basis legitimasi rasional dimiliki oleh seorang pemimpin jika ia diberikan kekuasaan dengan mempertimbangkan tata cara pemilihan yang jelas, kapabilitas dirinya untuk menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin, dan adanya sumber hukum yang jelas terhadap kekuasaan yang ia pegang. Sementara itu pemimpin dengan basis legitimasi tradisional umumnya mendapatkan kekuasaan karena ia menempati posisi yang sakral di masyarakat, dan hal tersebut harus dijaga untuk mempertahankan tradisi masyarakat setempat. Terakhir, basis legitimasi kharisma melekat pada diri seseorang jika ia dianggap memiliki mukjizat atau jasa yang besar terhadap hidup masyarakat yang ia pimpin (Weber,

(10)

1947 : 328). Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga basis legitimasi pemimpin menurut Weber dijabarkan di bawah ini.

D.2.1. Basis Legitimasi Tipe Rasional

Legitimasi pemimpin dapat dikatakan rasional ketika pemimpin tersebut dipilih dengan menggunakan sistem pemilihan yang demokratis dan tanpa mempertimbangkan posisinya di lingkungan sosial, kekayaannya, maupun kemampuannya untuk melakukan paksaan. Jadi, ketika pemimpin mendapatkan legitimasi dengan basis rasional, anak buahnya harus mematuhi perintah sang pimpinan tanpa menggunakan subjektifitasnya. Karena pemimpin itu sendiri melakukan koordinasi berdasarkan rancangan program maupun kegiatan yang telah dibuat sebelumnya melalui mekanisme demokrasi (Weber, 1947 : 329-332).

Jika basis legitimasinya bersifat rasional, maka seorang pemimpin tidak dapat memutuskan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu melakukan komunikasi dengan rekan-rekannya. Ia pun diharuskan untuk menjalankan kebijakan yang telah diatur sebelumnya dalam sebuah undang-undang misalnya. Jika langkah yang diambil oleh pemimpin dianggap tidak tepat, maka masyarakat berhak untuk tidak mengikuti langkah tersebut.

Pemimpin dengan basis legitimasi rasional juga dituntut untuk memiliki kompetensi pribadi agar mampu menjalankan kebijakan dan melakukan komunikasi yang efektif, baik itu dengan rekannya maupun bawahannya. Pemimpin terkait juga diharuskan menjaga kinerja anak buahnya, karena ia diberikan wewenang untuk itu dalam peraturan yang telah dibuat sebelumnya.

(11)

Penunjukkan tenaga ahli untuk membantu kerja pemimpin juga dilakukan dengan mempertimbangkan kompetensi masing-masing calon. Jika masih menggunakan subjektifitas dalam hal tersebut, maka pemimpin bersangkutan belum dapat dikatakan rasional (Weber, 1947 : 330-331).

D.2.2. Basis Legitimasi Tipe Tradisional

Pemimpin dikatakan memiliki basis legitimasi tradisional jika ia meraih kekuasaan karena klaim pribadi, dan masyarakat percaya bahwa kekuatan yang ia miliki akan selalu ada (Weber, 1947 : 341). Kepercayaan dalam masyarakat tersebut pada akhirnya menimbulkan kesakralan dalam diri sang pemimpin, maupun jabatan ketua itu sendiri. Karena kesakralan tersebut, maka kuasa yang dimiliki oleh pemimpin bisa sangat bebas, namun dapat juga tetap dibatasi oleh nilai-nilai tradisi yang berlaku.

Hubungan yang terbangun antara pemimpin dengan basis legitimasi tradisional terhadap bawahannya ataupun masyarakat yang dipimpin masih bersifat feodal. Kepatuhan harus diberikan kepada figur pemimpin, bukan terhadap peraturan yang berlaku (Weber, 1947 : 341). Setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin oleh karenanya tidak berhak ditolak oleh masyarakat. Pemegang kontrol terhadap pemimpin bukanlah rakyat, karena mereka hanya menjadi subjek bagi kebijakan yang dikeluarkan. Biasanya, pergantian aktor penguasa terjadi jika pemimpin terdahulu meninggal dunia.

Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin dapat mengangkat staff atau anak buah tanpa mempertimbangkan keahlian orang yang akan ia pilih. Umumnya

(12)

pemimpin dengan basis legitimasi tradisional mempekerjakan orang yang dianggap memiliki loyalitas terhadap dirinya. Kompetensi diri tidak diperhitungkan oleh pemimpin dengan basis legitimasi tradisional dalam mengangkat pegawai.

D.2.3. Basis Legitimasi Tipe Kharisma

Pemimpin dengan basis legitimasi kharisma dipandang oleh masyarakat sebagai individu yang berbeda dari orang-orang lainnya. Perbedaan tersebut muncul karena ia dianggap memiliki peran atau kekuatan yang istimewa. Pandangan tersebut memang sangat dipengaruhi oleh masyarakat di sekeliling pemimpin terkait. Sikap dan kemampuan seseorang yang mendapat kharisma dalam memimpin juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat yang menjadi pengikutnya (Weber, 1947 : 358-360).

Dalam masyarakat tradisional kharisma memang identik dengan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus seperti nabi, pemimpin perang, dan lainnya. Namun dalam kehidupan dewasa ini terminologi kharisma sudah tidak sesempit itu. Kharisma dapat dimiliki oleh seseorang jika orang terkait dipandang mampu memimpin masyarakat atau anggota suatu organisasi dengan baik.

Menurut Weber, pemanfaatan masa-masa krisis merupakan langkah yang efektif untuk memunculkan sosok kharismatik di tengah-tengah masyarakat. Reproduksi kharisma pada sosok terkait dapat dilakukan setelah orang itu menjadi pemimpin. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga kestabilan organisasi/masyarakat yang ia pimpin.

(13)

Kharisma dapat muncul dan menghilang secara tiba-tiba dari diri seseorang. Waktu dan jangkauan pengaruh yang tidak menentu menjadi ciri dari kekuasaan berbasiskan kharisma. Pemimpin yang berkharisma umumnya tidak bergantung pada harta yang ia miliki, kecakapan pribadi, ataupun berasal dari kelompok sosial yang diistimewakan di masyarakat. Ia hanya menggantungkan diri kepada kharisma yang dimiliki, selama itu masih ada dan diakui oleh masyarakat (Weber, 1947 : 362).

Konsep Weber mengenai basis legitimasi pemimpin telah dijelaskan secara singkat dan padat di atas. Namun, perlu untuk kita mengetahui bahwa ada beberapa ilmuwan politik yang menjelaskan sumber legitimasi yang berbeda dengan konsep Weber. Winters misalnya, pada waktu dan ruang yang berbeda pernah menyebutkan sumber-sumber kekuasaan individu yang lain. Kelima sumber tersebut yaitu (1) hak politik, (2) jabatan di pemerintahan, (3) kekuatan paksaan, (4) kemampuan me-mobilisasi massa, dan (5) harta/kekayaan pribadi (Winters, 2011 : 12).

Jika dilihat secara cermat, maka konsep yang utarakan Weber dan Winters tidak sama sekali berbeda. Sumber kekuasaan berdasarkan hak politik, kekuatan paksaan, dan kekayaan pribadi dapat dimiliki oleh pemimpin dengan basis legitimasi tradisional. Begitu juga kemampuan untuk memobilisasi massa menjadi ciri dari pemimpin dengan basis legitimasi kharisma. Jabatan di pemerintahan dapat menjadi salah satu bagian yang bisa dimiliki oleh pemimpin dengan basis legitimasi rasional.

(14)

E. Definisi Konseptual E.1. Kekuasaan

Merupakan sesuatu yang hadir di tengah-tengah masyarakat dan/atau kelompok untuk memperjuangkan kepentingan subjek yang terlibat di dalamnya. Kemunculan kekuasaan dalam suatu masyarakat atau kelompok dilatarbelangi oleh adanya kesamaan kepentingan, tujuan, dan metode untuk mencapainya. Wujud, bentuk, dan sifat kekuasaan sangat fleksibel, mengikuti konteks ruang dan waktu keberadaannya.

E.2. Basis Legitimasi

Adalah dasar munculnya kepercayaan terhadap diri seorang pemimpin yang berasal dari masyarakat. Basis legitimasi dimiliki oleh setiap pemimpin yang merasa dirinya memiliki legitimasi. Kepercayaan masyarakat terhadap sang pemimpin lahir karena faktor internal maupun eksternal dirinya. Basis legitimasi juga mempengaruhi corak pemerintahan atau pengorganisasian yang berjalan di suatu negara atau masyarakat.

F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri menuntut peneliti untuk melakukan interpretasi terhadap data yang didapatkan tanpa adanya jarak antara dirinya dengan sumber. Secara lebih spesifik, jenis penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus tipe single case study.

(15)

Eksplorasi dan penulisan secara deskriptif yang penulis lakukan menemui kecocokan dengan studi kasus sebagai salah satu metode penelitian kualitatif. Pertanyaan penelitian yang berbunyi “mengapa” juga menjadi sebab pemilihan studi kasus sebagai metode penelitian yang digunakan. Sebagai sebuah metode penelitian, studi kasus memiliki beberapa ciri dan komponen-komponen khusus yang berbeda dengan metode lain. Pertanyaan penelitian yang umum berbunyi “how” dan “why”, serta kapabilitasnya untuk digunakan sebagai instrumen dalam melakukan eksplorasi, eksplanasi, ataupun deskripsi, menjadi beberapa ciri khususnya (Yin, 2003 : 3-5).

Agar eksplorasi dalam penelitian ini berjalan lancar, maka penulis menggunakan pertanyaan “mengapa” dalam karya tulis ini. Penelitian yang telah dilakukan sendiri memiliki batasan dalam hal ruang dan waktu. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi ruang penelitian ini. Secara lebih khusus ruang yang diambil adalah organisasi PDIP, dalam hal ini DPD dan DPC, yang berada di wilayah Yogyakarta. Wawancara dan pengamatan dilakukan terhadap perwakilan pengurus DPD dan DPC PDIP di DIY.

Penulis membatasi objek penelitian dengan maksud agar waktu dan sumber daya yang dikeluarkan tidak terlalu banyak. Selain itu penulis juga menganggap bahwa pengurus DPD dan DPC PDIP wilayah DIY telah cukup mewakili pandangan kader-kader partai yang berada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, secara total penulis hanya melakukan wawancara mendalam terhadap enam orang pengurus PDIP wilayah DIY.

(16)

Dalam hal waktu penelitian ini juga memiliki batasannya sendiri. Rentang waktu yang diteliti berada dalam kisaran tahun 1993-2014. Pemilihan waktu tersebut sesuai dengan masa jabatan Megawati Soekarnoputri di PDIP sebagai ketua umum. Dalam rentang waktu tahun 1993-1999 PDIP memang belum ada dalam dunia politik nasional. Namun, embrio dari partai tersebut—PDI—ketika itu masih ada dan diketuai oleh Megawati. Alasan dan penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut dapat ditemui dalam bagian lain di karya tulis ini.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah single case study. Dalam jenis penelitian tersebut, peneliti tidak mengambil perbandingan dari kasus serupa yang terjadi di daerah-daerah lain. Fokus penelitian hanya terhadap fenomena yang diteliti saja. Oleh karena itu, pembuktian teori dan pemaknaan konsep yang dilakukan hanya berdasarkan pada satu fenomena yang spesifik menjadi tema dari penelitian ini.

Semua data yang dipaparkan dalam karya tulis ini didapatkan dengan cara wawancara dan penelusuran dokumen serta arsip-arsip. Untuk dokumen dan arsip pendukung penulis mendapatkannya melalui media internet serta pengurus DPD PDIP wilayah DIY. Beberapa berita yang sudah tidak dapat ditemukan dalam bentuk fisik, dan mendukung penelitian ini, penulis dapatkan dari situs-situs

online sumber berita terkait.

F.2. Teknik Pengumpulan Data

Penulis mengawali penelitian dengan melakukan wawancara terhadap sekretaris jendral DPD PDIP DIY. Setelah itu, penulis melakukan wawancara

(17)

terhadap pengurus partai di tingkat DPC wilayah Yogyakarta. Penelusuran dokumen penulis lakukan setelah wawancara. Teknik penelitian yang penulis lakukan dikenal dengan istilah snowball sampling.

Ketika wawancara dilakukan, peneliti pada awalnya menggunakan

interview guide sebagai acuan dan pembatas dalam melontarkan pertanyaan.

Namun wawancara tidak dilakukan terbatas pada apa yang tercantum dalam

interview guide tersebut. Penulis beberapa kali melemparkan pertanyaan dan

melakukan pembicaraan dengan hal-hal yang tidak ditulis dalam interview guide sebelumnya.

Narasumber penelitian ini terdiri dari enam orang pengurus DPD/DPC PDIP periode kepengurusan tahun 2010-2015 di wilayah DIY. Ke-enam orang tersebut adalah:

1. Bambang Praswanto : Sekretaris DPD PDIP DIY

2. I Made : Ketua Harian DPC PDIP Kota Yogyakarta

3. Danang Rudiatmoko : Sekretaris DPC PDIP Kota Yogyakarta

4. Aryunandi : Ketua DPC PDIP Kabupaten Bantul

5. Gunawan Hartono : Kader dan pengurus DPC PDIP Kota Yogyakarta

6. Toni : Ketua DPC PDIP Kabupaten Kulon Progo

Setelah wawancara dilakukan penulis mencari data berupa dokumen-dokumen pendukung melalui media online dan fisik. Dinamika kongres nasional

(18)

Megawati sebagai ketua umum PDIP selama ini menjadi hal yang penulis cari data-datanya. Telaah terhadap AD/ART PDIP juga dilakukan sebagai upaya untuk melihat kebenaran data yang telah didapatkan secara de jure.

F.3. Teknik Analisis Data

Data yang telah didapatkan kemudian penulis tafsirkan sendiri sebelum dituliskan. Langkah awal yang dilakukan setelah data terkumpul adalah menulis ulang hasil wawancara yang telah dilakukan. Setelah itu, pemetaan atas data-data yang didapatkan dari narasumber melalui wawancara dilakukan.

Data yang penulis dapat dari proses wawancara terbagi ke dalam dua bagian ketika dilakukan klasifikasi atasnya. Klasifikasi tersebut menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan cross check antara data yang satu dengan data yang lain. Setelah cross check dilakukan, maka penulisan hasil wawancara secara umum dilakukan oleh penulis.

Klasifikasi, atau kategorisasi, yang dibuat oleh penulis sesuai dengan ciri analisis data dalam metode penelitian studi kasus. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis maka kategorisasi data dapat dilakukan setelah penelitian dilakukan (Miles dan Huberman, 1994, dalam Yin, 2003 : 110-111). Kategorisasi juga dilakukan agar tidak ada kesalahan dalam penempatan data ketika analisa dan penulisan laporan dimulai.

Setelah klasifikasi dibuat, maka analisa mulai dilakukan. Dalam melakukan analisa, penggunaan data sekunder menjadi penting untuk mendukung

(19)

data primer yang telah ada. Analisa terhadap data primer dan sekunder dilakukan seiring dengan dimulainya proses penulisan laporan ini.

Setelah proses analisis selesai, maka kesimpulan dibuat oleh penulis. Penyajian interpretasi atas data secara holistic (umum) disampaikan pada bagian ini. Kesimpulan sendiri penulis buat hanya untuk menegaskan hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Pengulangan pemaparan data tidak banyak penulis lakukan dalam bagian ini.

G. Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini secara total terdiri dari lima bab. Susunan bab dalam laporan ini disusun secara runtut dan teratur. Bab pertama memuat penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, literature review, kerangka teori, definisi konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Memasuki bab kedua yang berjudul “Megawati Soekarnoputri dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan”, laporan mengenai sejarah kepemimpinan Megawati di PDI dan PDIP akan ditemui. Bab kedua berisi deskripsi mengenai hal-hal yang telah dilakukan oleh Megawati selama menjadi ketua umum. Selain itu, pembaca juga akan menemukan sejarah hidup Megawati dalam porsi yang kecil sebagai pelengkap deskripsi terhadap dirinya.

Bab ketiga yang berjudul “Megawati Sebagai Penengah Konflik Dalam PDI Perjuangan” memuat pemaparan mengenai peran Megawati selaku ketua umum dalam menangani konflik internal PDIP. Konflik yang dimaksud adalah

(20)

konflik yang berkembang di PDI sejak tahun 1993 hingga kondisi saat ini di PDIP.

Setelah itu, pembaca akan memasuki bab keempat yang berjudul “Megawati Sang Pemimpin Kharismatik di PDIP.” Bagian tersebut memuat penjelasan Megawati yang dipandang memiliki kharisma dalam dirinya. Pemaparan berdasarkan pada data yang didapat dari para kader PDIP DIY. Pembuktian ada-tidaknya kharisma dalam diri Megawati tidak menjadi konten bab tersebut. Namun, penjelasan akan lebih mengarah kepada sebab-sebab yang mendasari munculnya pandangan seperti itu dalam diri kader-kader PDIP DIY.

Penutup laporan penelitian ini ada dalam bab lima. Kesimpulan terbangun dari analisis dan uraian yang dilakukan sejak bab dua hingga bab empat. Setelah itu, daftar pustaka dan referensi akan menjadi pelengkap dari laporan penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Endapan bijih besi primer merupakan endapan bijih besi yang terbentuk akibat adanya proses dari tektonik lempeng sehingga terjadilah proses magmatisme yang

Bimbingan yang dilakukan guru dalam penanaman sikap bela negara ini adalah: (1) Membimbing siswa dalam kegiatan upacara, seperti membimbing siswa dalam latihan untuk

Alasan orang Indonesia menyukai tempe adalah harganya murah, selain itu tempe juga mudah dijumpai dimana-mana dan nutrisi yang dikandung oleh tempe juga baik untuk

Peneliti dengan mengucapkan terima kasih kepada Direktur Akademi Pariwisata Medan yang telah bekenan memberikan kesempatan dalam melaksanakan penelitian yang berjudul :

Identifikasi Dan Aplikasi Strain Azolla Asal Bondowoso Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah ( Oryza sativa L ) Fakultas Pertanian: Universitas Muhammadiyah

Pandangan MUI NTB yang tidak menyalahkan intervensi Pemerintah provinsi NTB melalui SE Gubernur yang mengatur tentang batas usia minimal menjadi 21 tahun syarat usia menikah

Pasien OA lutut Primer di Rumah Sakit PHC Surabaya periode bulan Maret 2015 hingga Juli 2016 lebih banyak memiliki IMT dengan kategori obesitas.. Pasien non-OA di

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan