• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Batasan Konsep 1. Agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Batasan Konsep 1. Agama"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Batasan Konsep

1. Agama

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainyadan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya (Hendropuspito, 1984:34)

Dalam pengertian yang lebih konkret, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Agama disebut jenis sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa

agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan pada tujuan tertentu.

b. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-“huni” oleh kekuatan-kekuatan-kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah roh-roh dan Roh Tertinggi.

c. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia

(2)

sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian (Hendropuspito, 1984:34)

Dalam UUD 1945 pasal 29 (2) dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk berbadat menurut agamanya dan kepercayaannya” ini berarti bahwa seluruh penduduk Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya dan menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya.

Berikut adalah macam fungsi agama: a. Fungsi Edukatif

Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari instansi (institusi profan) agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoriatif, bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan petugas-petugasnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi), pendalaman rohani dan lain – lain (Hendropuspito, 1984:38)

b. Fungsi Penyelamatan

Setiap manusia menginginkan berkeselamatan baik dalam hidup sekarang maupun sesudah mati. Jaminan untuk mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang terakhir, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas kekuatan manusia (Hendropuspito, 1984:39)

(3)

Pada umumnya manusia, entah dari zaman bahari entah dari zaman modern mempunyai keyakinan yang sama. Bahwa kesejahteraan kelompok sosial khususnya dan masyarakat besar umumnya tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan kelompok atau masyarakat itu kepada kaidah – kaidah susila dan hukum – hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau masyarakat itu (Hendropuspito, 1984:44)

d. Fungsi Memupuk Persaudaraan

Memupuk persaudaraan karena baik agama Kisten maupun Islam masing-masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan kebudayaannnya dalam satu keluarga besar dimana mereka menemukan ketentraman dan kedamaian. Bahwa manusia mendambakan persaudaraan dan perdamaian atau sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya. Tidak perlu dibuktikan secara sosiologis ataupun filosofis. Dunia tidak menginginkan perpecahan dan permusuhan melainkan persatuan dan perdamaian (Hendropuspito, 1998:50)

Agama-agama dan keterangannya: a. Islam:

1. Nama kitab suci: Al Qur’an. 2. Nama pembawa: Muhammad Saw. 3. Permulaan: Sekitar 1.400 tahun lalu. 4. Nama tempat peribadatan: Masjid.

5. Hari besar keagamaan: Muharram, Asyura, Maulid Nabi, Isra’ Miraj, Nuzulul Qur’an, Idhul Fitri, Idhul Adha, dan Tahun Baru Hijriah.

b. Kristen Protestan:

1. Nama kitab suci: Injil atau Al Kitab. 2. Nama pembawa: Isa/Yesus Kristus 3. Nama tempat peribadatan: Gereja.

(4)

4. Hari besar keagamaan: Natal, Paskah, Kenaikan Isa Almasih, dan Pentakosta. Pembaruan/protes oleh Martin Luther dan Calvin. c. Katholik:

1. Nama kitab suci: Bibel (Al Kitab)

2. Nama pembawa: Yesus Kristus/Isa Almasih. 3. Nama tempat peribadatan: Gereja.

4. Hari besar keagamaan: Natal, Jum’at agung, Paskah, Kenaikan Isa Almasih, dan Pentakosta. Berkembang sejak 2 abad silam.

d. Budha:

1. Nama kitab suci: Tri Pitaka.

2. Nama pembawa: Sidharta Gautama. 3. Permulaan: sekitar 2.500 tahun lalu. 4. Nama tempat peribadatan: Wihara.

5. Hari besar keagamaan: Waisak dan Katina. e. Hindu:

1. Nama kitab suci: Weda.

2. Permulaan: Masa prasejarah atau sekitar 4.000 Sm. 3. Nama tempat peribadatan: Pura.

4. Hari besar keagamaan: Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, Galungan dan Kuningan.

f. Konghucu:

1. Nama kitab suci: Su Si, Ngo King. 2. Nama pembawa: Kongchu.

3. Nama tempat peribadatan: Klenteng.

4. Hari besar keagamaan: Imlek, Cap go meh. Berkembang sejak abad ke 23 Sm.

2. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Untuk menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia, didirikanlah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang berada di bawah otoritas Kementrian Agama.Forum ini didirikan dalam rangka mengapresiasi terbitnya

(5)

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 8/9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat. Ia bersifat independen meskipun dalam realitasnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan dibiayai oleh APBN/APBD (Biografi FKUB D.I.Y, 2010:1)

FKUB memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam berperan serta membangun daerah masing-masing ditengah krisis multidimensional yang tengah terjadi. Disadari bahwa krisiss multidimensional telah membawa dampak yang bersifat multidimensional pula. Krisis ekonomi, politik dan moral, berimplikasi pada ketegangan sosial, stress sosial, merenggangnya kohesi sosial bahkan prustasi sosial, begitupun terhadap dekadensi moral (Wisnumurti, 2010:1)

Untuk itu ada dua peran yang paralel yang dapat dilakukan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama :

a. Forum hendaknya dapat menjadi jembatan penghubung di Internal umat masing-masing. Artinya, masing-masing agama secara vertical memiliki keyakinan, cara, etika, susila yang dimiliki dan bersifat hakiki. Hal ini merupakan pembeda antara agama yang satu dengan yang lainnya yang harus dihormati. Oleh karena itu FKUB melalui perwakilan di masing-masing agama harus dapat menularkan kerukunan di internal umat, dan menjaga aspek sakralisasi pelaksanaan tradisi keberagamaan masing-masing dengan tetap berpegang pada kaidah agama.

b. Secara horizontal, disamping di intern, maka dalam perspektif sosiologi agama, hubungan yang bersifat sosial dengan umat beragama lainnya perlu dijaga dan dikembangkan.

Dalam konteks inilah FKUB dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai :

(6)

1) Sebagai wahana komunikasi, interaksi antara satu dengan yang lainnya dalam memberikan informasi terhadap tafsir agama masing-masing, sehingga tercipta suasana saling memahami dan saling menghormati;

2) Sebagai wahana mediasi setiap persoalan yang mengarah pada terjadinya konflik baik yang bersifat laten maupun manifest; 3) Sebagai media harmonisasi hubungan satu dengan yang lain

dalam mengkomunikasikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan;

4) Melakukan sosialisasi kepada masing-masing umat beragama agar dalam kehidupan sosial tidak bersifat eksklusif sehingga dapat terbangun kohesi sosial dikalangan umat beragama; 5) Membantu pemerintah daerah dalam menyukseskan

program-program pembangunan;

6) Bersama-sama pemerintah dan aparat kemanan ikut menjaga iklim sosial dan politik yang kondusif;

7) Dan tentunya banyak hal lagi yang dapat dikerjakan dengan selalu bersinergi dengan kekuatan-kekuatan sosial yang ada didaerah.

(Wisnumurti, 2010:1)

3. Kerukunan

Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan,

(7)

dan pemberdayaan umat beragama. (Pasal 1 dan 2 Peraturan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 9 dan 8 tahun 2006).

Untuk mencegah terjadinya konflik agama yang dapat menyebabkan keretakan antar umat beragama diperlukan cara-cara seperti berikut ini:

a. Pihak pemerintah mengusulkan disamping perlunya dibentuk Badan Kontak Antar Agama juga perlu ditandatangani bersama suatu piagam yang isinya menerima anjuran presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sarana penyebaran agama lain (Hilman Hadikusuma, 1993:272-273)

b. Dialog antar umat beragama merupakan jalan yang paling sesuai untuk diambil sebagai langkah pertama menuju kerukunan dan perdamaian (Hendropuspito, 1984:173). Suatu upaya baru untuk menciptakan kerukunan beragama, yaitu gagasan dialog antar agama, sebagai upaya untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam suatu percakapan bebas dan terus terang tentang berbagai masalah kemasyarakatan yang menjadi kepentingan bersama di samping yang menyangkut perbedaan dalam bidang teologi (Hilman Hadikusuma, 1993:274). Langkah-langkah inovatif seperti itu masih sangat terbatas, kebanyakan upaya yang berlaku bersifat klasik dengan melaksanakan dialog antar agama yang sasarannya hanya sampai pada saling memahami salah satu cara untuk itu adalah menyelenggarakan seminar antar agama (Hilman Hadikusuma, 1993:276)

c. Sikap kedewasaan. H. Carrier dalam menyoroti masalah kedewasaan iman mengetengahkan beberapa keterangan yang cukup menarik, 1). Sikap agama bertalian erat dengan kelompok primer (keluarga,

teman-teman, tradisi, kebudayaan).

2). Sikap religius yang lengkap merangkum semua sikap lain, mempersatukan dan mensentralisir nilai-nilai pribadi tersebut dalam suatu sintesis pribadi yang khas.

(8)

3). Sikap religius yang dilembagakan mendorong seorang warga kepada identifikasi (penyamaan diri) dengan kelompok institusi yang melahirkan kepercayaannya (Jalaluddin, 2009:103)

4. Evaluasi

Dwidjowijoto mendefinisikan evaluasi sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap suatu kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dengan “kenyataan" (Dwidjowijoto, 2003:183)

Meskipun demikian, tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan untuk selanjutnya mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut (Dwidjowijoto, 2003:184)

Dalam arti yang spesifik, Dunn menyebutkan evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat kebijakan (Dunn, 1999:608). Sementara itu, Jones menyebutkan evaluasi kebijakan publik merupakan suatu aktifitas yang dirancang untuk menilai hasil-hasil kebijakan yang sangat penting dalam spesifikasi objeknya, teknik-teknik pengukurannya, dan metode analisisnya (Jones dalam Joko Widodo, 2006:114).

Thomas Dye menyatakan bahwa evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai (Dye dalam Parson, 2005:347). Anderson mengungkapkan bahwa secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak (Anderson dalam Winarno, 2008:226). Sedangkan menurut Lester dan Steward evaluasi dapat dibedakan kedalam dua tugas yang berbeda. Pertama, menentukan konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara

(9)

menggambarkannya. Kedua, menilai keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan berdasarkan standard atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Lester dan Steward dalam Winarno, 2008:226)

Weiss menyatakan riset evaluasi bertujuan untuk mengukur dampak dari suatu program yang mengarah pada pencapaian dari serangkaian tujuan yang telah ditetapkan dan sebagai sarana untuk memberikan kotribusi (rekomendasi) dalam membuat keputusan dan perbaikan program pada masa mendatang (Weiss dalam Joko Widodo, 2006:114).

Evaluasi kebijakan kiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu; a. Proses pembuatan kebijakan

b. Proses implementasi c. Konsekuensi kebijakan

d. Efektifitas dampak kebijakan (Wibawa, 1994:9)

Bertumpu pada uraian tersebut, evaluasi kebijakan publik menurut Weiss mengandung beberapa unsur penting, yaitu sebagai berikut;

a. Untuk mengukur dampak (to meaure the effects) dengan bertumpu pada metodologi riset yang digunakan.

b. Dampak (effects) tadi menekankan pada suatu hasil (outcomes) dari efisiensi, kejujuran, moral yang melekat pada aturan-aturan atau standar. c. Perbandingan antara dampak (effects) dengan tujuan (goals) menekankan

pada penggunaan criteria (criteria) yang jelas dalam menilai bagaimana suatu kebijakan telah dilaksanakan dengan baik.

d. Memberikan kontribusi pada pembuatan keputusan selanjutnya dan perbaikan kebijakan pada masa mendatang sebagai tujuan social (the social purpose) dari evaluasi.

(10)

Evaluasi kebijakan sangat berperan dalam menentukan masa depan kebijakan. Salah satu tujuan sosial dilakukannya evaluasi kebijakan adalah memberikan rekomendasi pada pembuat keputusan agar didapat sebuah perbaikan program di masa yang akan datang. Artinya, evaluasi kebijakan mempunyai peran penting terhadap masa depan kebijakan.

Weiss mengemukakan setidaknya 6 keputusan tentang masa depan kebijakan setelah dilakukannya evaluasi, yaitu;

a. To continue or discontinue the program (meneruskan atau mengakhiri program)

b. To improve its practices and procedures (memperbaiki praktek dan prosedur administrasi).

c. To add or drop specific rogram strategies and techniques (menambah atau mengurangi strategi dan teknik implementasi).

d. To institute similar programs elsewhere (melembagakan program ke tempat lain).

e. To allocate resources among competing programs (mengalokaskan sumber daya ke program lain).

f. To accept or reject a program approach or theory (menerima atau menolak pendekatan/teori yang dipakai sebagai asumsi dari program itu (Weiss dalam Joko Widodo, 2006:115) (Weiss dalam Samodra Wibawa, 1994:12)

5. Dampak

Dalam memantau hasil kebijakan Dunn membedakan dua jenis akibat: keluaran (outputs) dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau sumberdaya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima (beneficiaries). Sedangkan dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan tersebut (Dunn, 1999:513). Dampak juga diartikan sebagai akibat lebih jauh pada

(11)

masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan (Subarsono, 2005:122)

Leo Agustino menyebutkan dampak dari kebijakan mempunyai beberapa dimensi, yaitu;

a. Pengaruhnya pada persoalan masyarakat yang berhubungan dan melibatkan masyarakat. Lebih jauh lagi, kebijakan dapat mempunyai akibat yang diharapkan atau yang tidak diharapkan, atau bahkan keduanya.

b. Kebijakan dapat mempunyai dampak pada situasi dan kelompok lain; atau dapat disebut juga dengan eksternalitas atau spillover effect.

c. Kebijakan dapat mempunyai pengaruh dimasa mendatang seperti pengaruhnya pada kondisi yang ada saat ini.

d. Kebijakan dapat mempunyai dampak yang tidak langsung atau yang merupakan pengalaman dari suatu komunitas atau beberapa anggota diantaranya.

(Agustino, 2008:191-192)

Sementara itu, Budi Winarno membahas dimensi dampak ke dalam 5 hal, yaitu;

a. Dampak kebijakan pada masalah-masalah dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat.

b. Kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok di luar sasaran atau tujuan kebijakan.

c. Kebijakan mungkin akan mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan yang akan datang.

d. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik.

e. Dan yang terakhir, menyangkut biaya-biaya tidak langsung yang ditangung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

(12)

(Winarno, 2008:232-235)

6. Program

Program dapat diartikan sebagai kegiatan yang disusun secara terencana dan memiliki tujuan, sasaran, isi dan jenis kegiatan, pelaksana kegiatan, proses kegiatan, waktu, fasilitas, alat-alat biaya, dan sumber-sumber pendukung lainnya. Secara lebih luas, program yaitu kegiatan yang memiliki komponen, proses dan tujuan program (Sudjana, 2006 : 4)

Djuju Sudjana menambahkan bahwa pengertian program adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh perorangan, lembaga, institusi dengan dukungan sarana dan prasarana yang diorganisasi dan dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia (Sudjana, 2006 : 313)

Program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Dengan program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan (Jones, 1994: 296). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam progrma tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:

a. Adanya tujuan yang ingin dicapai

b. Adanya kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pencapaian tujuan itu.

c. Adanya aturan-aturan yang dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

d. Adanya perkiraan anggran yang dibutuhkan.

e. Adanya strategi dalam pelaksanaan (Jones, 1994:296).

Unsur lain yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program ialah adanya kelompok orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang tersebut merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan dan adanya perubahan serta peningkatan dalam kehidupannya. Tanpa memberikan

(13)

manfaat pada kelompok orang,boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. Berhasiltidaknya suatu program dilaksanakan tergantung dari unsur pelaksanaanya. Unsur pelaksanaan itu merupakan unsur ketiga. Pelaksana adalah hal penting dalam mempertanggungjawabkan pengolahan maupun pengawasan dalam pelaksanaan, baik itu organisasi ataupun perorangan (Jones, 1994: 298).

7. Dialog Antar Umat Beragama

FKUB D.I.Y mengartikan Dialog Antar Umat Beragama sebagai “pertemuan hati dan pikiran antara sejumlah penganut atau umat berbeda agama, dalam jalinan komunikasi dan kerjasama langsung, menuju arah pengukuhan keyakinan terhadap kebenaran sendiri yang sudah dimiliki masing-masing sambil memperkaya dan memperluas wawasan keagamaan bersama” (Arti Penting Dialog Antar Umat Beragama FKUB D.I.Y, 2010:1)

Dialog Antar Umat Beragama yang diselenggarakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga terinspirasi dari adanya pertemuan pemuka-pemuka agama-agama besar dunia dalam sebuah Forum Dialog Global Antar Umat Beragama dengan nama World’s Parliament of Religions di Chicago. Ini dicatat sejarah sebagai dialog perintis dan pemerkasa dialog-dialog antar agama sesudahnya, baik tingkat global, regional, nasional, ataupun lokal, dimana saja, termasuk di Indonesia. Terdapat enam kategori dialog yang telah tertradisikan, tentu saja dengan berbagai variasi yang menyertainya, yaitu:

a. Dialog gaya Parliamentary (parliament style of dialogue), ini merujuk pada apa yang dilakukan di Chicago tahun 1893.

b. Dialog terlembagakan (institutional dialogue), seperti pertemuan-pertemuan reguler antara wakil-wakil dari Vatican dan Komite Yahudi internasional, dalam rangka konsultasi lintas agama mereka.

c. Dialog Teologi (theological dialogue), yang diselenggarakan secara sungguh-sungguh membicarakan hal-hal dan tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh penganut agama atau kepercayaan lain.

(14)

d. Dialog dalam masyarakat (dialogue in community), yang juga disebut dialogue of life, maksudnya dialog untuk menata hubungan yang baik dalam kehidupan bersama sehari-hari.

e. Dialog spiritual (spiritual dialogue), merupakan usaha belajar berbagai tradisi dari agama lain, seperti sembahyang, meditasi, dan lain sebagainya.

f. Inner dialogue, yaitu dialog dengan diri sendiri, berbicara dengan hati sanubari sambil merenungkan tentang sampai dimana kemampuan diri memenuhi tuntutan keyakinan yang menjadi pegangan hidup yang bersangkutan

(Arti Penting Dialog Antar Umat Beragama FKUB D.I.Y, 2010:1)

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini mengutip beberapa jurnal penelitian-penelitian terdahulu yang juga telah membahas perihal tentang kerukunan antar umat beragama di dalam negeri maupun di luar negeri yakni 3 jurnal dari penelitian dalam negeri dan 3 jurnal penelitian dari luar negeri. Adapun di Sub-bab terakhir menjelaskan tentang perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu agar dapat menambah khazanah pengetahuan dengan disajikannya berbagai temuan/hasil penelitian dan fokus berbagai penelitian yang sama-sama berkecimpung dalam topik kerukunan antar umat beragama.

1. The Inter-Religious Tolerance Of The Albanian Multi-Religious Society.

Facts And Misconceptions, 2013 edition vol.9, No.11, Tonin Gjuraj.

Penelitian ini adalah laporan penelitian yang ditulis oleh Tonin Gjuraj, penelitian ini mengulas tentang fungsi tradisi budaya dan hukum adat dalam mencegah konflik antar umat beragama. Di Albania, setiap masyarakat tampaknya memiliki beberapa bentuk agama. Dimana masyarakat berbeda dari satu sama lain. Pengelompokan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok keagamaan yang

(15)

berbeda adalah Karakteristik Albania, dengan beberapa kelompok-kelompok yang lebih besar daripada yang lain. Intervensi dan isolasi untuk hampir lima puluh tahun yang dibuat Albania melestarikan sistem nilai mereka yang hampir tidak berubah selama beberapa abad sampai hari ini.

Prinsip dasar ini adalah organisasi sosial yang kaku, yaitu sistem kekeluargaan, selalu menjadi sangat kuat. Struktur sosial dan keluarga mereka sendiri hampir sama, dan ditandai dengan kebiasaan kuno dan adat istiadat. Sistem sosial ini pada dasarnya satu patriarkal, meskipun di Selatan Albania itu lebih fleksibel. Katholik dan Muslim dataran tinggi, tinggal di suku dan masyarakat yang sama. Kegiatan mereka sehari-hari diatur oleh hukum adat. Reaksi mereka terhadap tradisi budaya Albania tidak didasarkan pada perbedaan agama, tetapi pada dominan patriotik perasaan.

Sistem sosial semacam ini memiliki beberapa persyaratan yang kuat seperti:menghormati, berjanji dengan firman (bessa), iman dan kesetiaan. Ini secara permanen didukung dan jelas dikenal pasti di Albania dalam suku dan keluarga. Terlepas dari adanya tiga keagamaan yang berbeda yaitu; Muslim, ortodoks, dan Katolik, Albania adalah multimasyarakat keagamaan yang menikmati keselarasan agama. Sepanjang sejarahnya tercatat, negara ini belum pernah mengalami konflik agama.

2. Kebijakan Pemerintah Kota Medan Terhadap Kerukunan Umat Beragama, 2012, Mahmuddin Sirait.

Laporan penelitian yang ditulis oleh Mahmuddin Sirait berdasarkan skripsinya pada tahun 2012, penelitian ini berisi tentang segala upaya atau kebijakan yang diterapkan pemerintah kota Medan dalam menjaga kerukunan umat beragama. Kerukunan yang tercipta di kota Medan dikarenakan tingkat pengalaman yang sudah mulai tinggi, artinya keragaman agama yang ada tidak menjadikan umat beragama bersifat fanatik, ekslusif, tetapi saling memahami.

(16)

Untuk mempersatukan masyarakat kota Medan yang beragam ini tentunya banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota Medan sehingga tercipta kerukunan.

Kebijakan tersebut dapat dilakukan pemerintah kota Medan dengan selalu menyampaikan pidato kerukunan, memberikan bantuan finansial, dan berlaku adil sebagai pemerintah. Selain kebijakan yang telah disebutkan, untuk mewujudkan kerukunan umat beragama pemerintah kota Medan mempunyai perpanjangan tangan terhadap kerukunan yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Adapun tujuan dari forum ini ialah sebagai tempat dimusyawarahkannya berbagai masalah keagamaan sehingga kerukunan tetap terjalin harmonis dan rukun. Masalah konflik agama di kota Medan bisa dikatakan jarang terjadi, kalaupun ada masih bisa diminimalisir. Masyarakat kota Medan menyadari bahwa pebedaan itu adalah kehendak Tuhan. Perbedaan dijadikan sebagai alat pemersatu kota Medan.

3. Kearifan Lokal Sebagai Resolusi Konflik Keagamaan, 2013.Volume 21. Nomor 2, Wasisto Raharjo Jati.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kearifan lokal sebagai resolusi konflik keagamaan di masyarakat pasca konflik Maluku. Dalam kasus konflik Maluku, agama bukanlah sumber utama, namun rivalitas antar elemen masyarakat dalam memperebutkan sumber daya ekonomi-politik dan birokrasi yang menjadi permasalahannya. Agama hanya menjadi faktor pendukung yang menyediakan adanya legitimasi moral dan identitas politik untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain. Sejarah konflik Maluku ditandai dengan relasi subordinasi dan dominasi yang menghasilkan adanya diskriminasi dan marjinalisasi di tengah masyarakat.

Jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1999 dapat dikatakan sebagai puncak konflik Maluku yang telah membunuh jutaan nyawa manusia tidak bersalah.

(17)

Konflik Maluku telah diselesaikan melalui perjanjian damai Malino tahun 2002 dan 2003, namun demikian potensi konflik di akar masyarakat dapat dikurangi melalui nilai-nilai kearifan lokal. Pela gandong sebagai kearifan lokal mempunyai peran penting dalam rekonsiliasi dengan menyatukan kembali solidaritas masyarakat yang terpecah selama konflik. Selain halnya kearifan lokal, representasi dalam birokrasi juga memegang peran utama dalam mereduksi kesenjangan sosial antara elemen masyarakat di Maluku.

4. Religious Tolerance in Malaysia: Problems and Challenges, 2013. Vol. 3, Nomor 81, Nur Farhana Abdul Rahman & Khadijah Mohd Khambali.

Setiap agama biasanya dirasakan dari diri mereka sendiri cenderung ke arah eksklusivitas dengan mengklaim bahwa agama mereka adalah agama yang hanya benar, menawarkan “wahyu sejati” dan cara keselamatan yang benar. Ini mulai menunjukkan eksklusivitas, keinginan untuk mengetahui agama, status atau kebenaran posisi agama lain. Pertanyaan di mana agama adalah agama yang ideal dan akhirnya yang paling benar selalu mengangkat dan dirundingkan antara orang-orang dari agama. Polemik ini dapat menjadi benih banyak konflik dan perselisihan antara agama di banyak bagian dunia, termasuk Malaysia sebagai Negara multiagama. Ini adalah awal belajar upaya untuk menjelajahi masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang berkaitan dengan toleransi beragama sebagai yang dipraktekkan di Malaysia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan data yang berkumpul dari berbagai sumber, termasuk buku-buku, jurnal, majalah, Surat Kabar, Artikel dan sumber-sumber internet yang terkait dengan topik serta di kedalaman wawancara dengan orang berkualitas.

Data kemudian dapat dianalisis menggunakan metode analisis dokumen. Menunjukkan hasil bahwa toleransi beragama di negara ini terlihat bekerja di bawah berbagai dan pemahaman yang khas. Tantangan utama mempraktekkan agama, toleransi di Malaysia muncul dari tidak ada bimbingan modul untuk

(18)

berlatih toleransi agama terutama yang keterbatasan dan aturan toleransi beragama berlaku dalam konteks Malaysia dan kurangnya pemahaman tentang toleransi beragama diperlukan dalam penganut agama yang menyebabkan prasangka terhadap penganut-penganut agama-agama.

5. Pesantren Responses to Religious Tolerance, Pluralism and Democracy in

Indonesia, 2014, Vol. 2, No. 1, Nurrohman Nurrohman.

Pesantren (Islamic boarding school) adalah lembaga Islam tertua di Indonesia yang sering berafiliasi dengan organisasi massa Muslim terbesar Nahdlatul Ulama. Organisasi ini terkenal untuk pendirian mereka untuk menegakkan moderat, toleransi Islam dan menerima pluralistik negara berdasarkan Pancasila. Pesantren juga sering disebut sebagai barometer untuk memahami cara berpikir akar rumput Muslim di Indonesia karena banyak tokoh-tokoh Islam di desa Indonesia alumni pesantren.

Ada perdebatan diantara para sarjana, apakah kekerasan agama memiliki akar dalam doktrin agama atau itu disebabkan oleh faktor-faktor di luar agama seperti kemiskinan atau ketidakadilan. Dengan asumsi bahwa di dalam dan di luar faktor memiliki kontribusi signifikan terhadap kekerasan atau radikalisme studi ini akan membahas doktrin yang berpotensi dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan dan intoleransi dengan meninjau pendapat pimpinan pesantren di Jawa Barat pada jihad, kekerasan atau intoleransi dan kekuasaan. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa apakah komitmen para pemimpin Muslim di tingkat nasional pada demokrasi dan pluraliti ini didukung oleh akar rumput terutama dari pemimpin pesantren.

Secara keseluruhan studi menemukan bahwa meskipun mereka setuju bahwa demokrasi compatible dengan Islam, studi ini mengungkapkan bahwa penerimaan mereka dengan pluralisme masih dipertanyakan sebagaimana dibuktikan oleh hampir setengah dari mereka didukung teokratik Khilafah melaksanakan oleh kelompok radikal. Meskipun banyak berpendapat bahwa

(19)

pesantren mempromosikan toleransi dan pluralisme, namun studi ini menunjukkan bahwa beberapa pengajaran mereka secara diam-diam didukung undang-undang kekerasan dari nama agama yang akan menodai upaya Indonesia untuk menyinkronkan Islam, demokrasi dan modernitas. Itu berarti bahwa banyak dari mereka benar-benar tidak sepenuh hati diterima demokrasi dan pluralisme.

6. Spirituality and Religious Tolerance, 2013, Vol 16, No 1.Philip Hughes.

Klaim kepemilikan eksklusif kebenaran dalam kekristenan Barat sering telah dikaitkan dengan intoleransi agama lain. Selama 40 tahun, peningkatan jumlah orang di seluruh dunia telah menggambarkan diri mereka sebagai "spiritual" bukan sebagai "agama". Seperti beberapa bentuk spiritualitas tidak melibatkan penerimaan doktrin-doktrin tertentu sebagai kebenaran, itu mungkin diharapkan bahwa rohani mungkin lebih toleran terhadap berbagai perspektif agama dari orang-orang yang berkomitmen untuk agama tertentu.

Sebuah analisis dari data dari 40 negara di seluruh dunia, berkumpul di International survei sosial Program (2008), menunjukkan bahwa apakah mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai rohani yang lebih toleran daripada mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai agama, atau orang-orang yang mengatakan mereka tidak rohani atau religius yang lebih toleran, bervariasi dari satu negara ke yang lain.

Data menunjukkan bahwa "spiritualitas" kadang-kadang dikaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan, kadang-kadang tidak. Di sejumlah negara mana spiritualitas itu bukan banyak terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan, spiritualitas adalah dikaitkan dengan besar toleransi beragama. Namun, di beberapa negara dimana spiritualitas itu terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan, mereka yang menggambarkan diri mereka sebagai agama maupun rohani adalah yang paling toleran. Data menunjukkan sifat bervariasi "spiritualitas" dan "agama" dan menunjukkan bahwa tingkat toleransi sebagian tergantung pada konteks di mana ekspresi dari agama dan spiritualitas telah dikembangkan.

(20)

7. Perbedaan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana yang telah penulis kutip adalah penelitian ini merupakan penelitian evaluasi yang lebih berfokus pada dampak kegiatan-kegiatan ataupun praktik-praktik sosial yang bertujuan untuk menemukan pertautan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Jadi tidak hanya berfokus pada lembaga/institusi/pemerintah saja, akan tetapi juga berfokus pada sudut pandang masyarakat yang diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat yang hadir pada dialog antar umat beragama yang diselenggarakan FKUB Kabupaten Sleman.

Tidak seperti penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan fokus pemerintah saja ataupun masyarakat keagamaan saja, akan tetapi penelitian ini menekankan bahwa pemerintah dan masyarakat merupakan dua pihak yang harus sama-sama mengontrol kegiatan-kegiatan, aturan-aturan maupun regulasi-regulasi yang berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut berbagai aspek keagamaan. Mengingat bahwa sejarah Indonesia mencatat bahwa semasa orde baru, aturan-aturan tentang keagamaan segala sesuatunya bersifat sentralistik, yaitu dominannya pemerintah pusat dalam menangani urusan-urusan keagamaan seperti regulasi pendirian rumah ibadah yang dari dulu selalu menjadi tempat yang rawan konflik.

Adanya sifat kesalingcurigaan antara pemerintah dengan masyarakat dilatarbelakangi bahwa dulu semasa orde baru pihak yang mengurusi aturan-aturan keagamaan merupakan Departemen Agama yang didalamnya diisi oleh orang-orang yang beragama 'mayoritas'. Maka dari itu, FKUB hadir sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat agar prasangka-prasangka buruk tentang hal pendirian rumah ibadah yang masih peneliti temukan di lapangan sampai penelitian ini ditulis dapat diminimalisir sehingga mengurangi potensi-potensi hal-hal yang bersifat provokatif yang dapat merusak harmonisnya hubungan antar umat beragama di Kabupaten Sleman.

(21)

C. Landasan Teori

1. Inti Teori Strukturasi

Inti teori strukturasi Giddens, dengan fokusnya pada praktik-praktik sosial, adalah suatu teori mengenai hubungan antara agensi dan struktur. Menurut Richard J. Bernstein: “Inti persis teori strukturasi dimaksudkan untuk menjelaskan dualitas dan pengaruh-memengaruhi dialektis antara agensi dan struktur”. Oleh karena itu, agensi dan struktur tidak dapat dianggap sebagai bagian dari satu sama lain; mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Di dalam istilah Giddens, mereka adalah suatu dualitas. Semua tindakan sosial meliputi struktur, dan semua struktur meliputi tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin tidak terpisahkan di dalam kegiatan atau praktik-praktik manusia yang berkelanjutan (Ritzer, 2012:889).

Seperti ditunjukkan sebelumnya, titik tolak analisis Giddens adalah praktik-praktik manusia, tetapi dia menegaskan bahwa mereka dapat dilihat sebagai hal yang berulang. Yakni, kegiatan-kegiatan yang “tidak diciptakan oleh aktor-aktor sosial, tetapi senantiasa diciptakan kembali oleh mereka melalui cara-cara yang sama yang mereka gunakan untuk mengungkapkan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui kegiatan-kegiatan mereka para agen menghasilkan kondisi-kondisi yang memungkinkan kegiatan-kegiatan itu” (Giddens, 1984:2). Dengan demikian, kegiatan-kegiatan tidak dihasilkan oleh kesadaran, melalui konstruksi sosial atas realitas, juga tidak dihasilkan melalui struktur sosial. Lebih tepatnya, di dalam mengungkapkan diri sebagai aktor, orang-orang sedang terlibat di dalam praktik, dan melalui praktik itulah dihasilkan kesadaran maupun struktur. Berfokus pada sifat struktur yang berulang, Held dan Thompson berargumen bahwa” struktur direproduksi di dalam dan melalui rangkaian praktik yang diletakkan yang diaturnya” (Ritzer, 2012:890).

Hal yang sama dapat dikatakan tentang kesadaran, atau refleksivitas. Akan tetapi, dalam bersikap refleksif, aktor manusia tidak hanya sadar diri, tetapi juga ikut dalam pemantauan aliran terus-menerus kegiatan-kegiatan dan

(22)

kondisi-kondisi struktural. Bernstein berargumen bahwa “agensi itu sendiri disiratkan secara reflektif dan dekursif di dalam struktur-struktur sosial”. Secara lebih umum, dapat diargumenkan bahwa Giddens memerhatikan proses dialektis ketika praktik, struktur, dan kesadaran dihasilkan. Dengan demikian, Giddens membahas isu agensi-struktur dengan cara yang historis, prosesual, dan dinamis (Ritzer, 2012:890).

Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. Aktivias-aktivitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam yang berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen mereproduksi kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu. Namun demikian, jenis ‘daya pengetahuan’ (knowledge ability) yang ditampilkan di alam dalam bentuk program-program berkode sangatlah berbeda dari keterampilan-keterampilan kognitif yang diperlihatkan oleh para agen manusia. Dalam konseptualisasi daya pengetahuan manusia dan keterlibatannya dalam tindakan inilah saya berusaha memanfaatkan sejumlah kontribusi utama dari sosiologi interpretatif (Giddens, 2011:3)

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya. Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku sosial tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya,

(23)

agen-agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu. Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4)

Inti konseptual teori strukturasi terletak pada ide-ide mengenai struktur, sistem, dan dualitas struktur itu. Struktur didefinisikan sebagai “sifat-sifat penyusun (aturan-aturan dan sumber-sumber daya… sifat-sifat yang memungkinkan adanya praktik-praktik sosial yang serupa yang dapat dilihat membentang rentang waktu dan ruang dan yang member bentuk sistemik pada mereka”. Struktur dimungkinkan oleh adanya aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya. Struktur-struktur itu sendiri tidak ada di dalam ruang dan waktu. Lebih tepatnya fenomena sosial mempunyai kapasitas untuk menjadi terstruktur. Giddens berpendapat bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui kegiatan-kegiatan agen-agen manusia”. Oleh karena itu, Giddens memberikan suatu definisi struktur yang sangat tidak lazim yang tidak mengikuti pola Durkheimian yang memandang struktur-struktur sebagai hal yang eksternal dan memaksa bagi para aktor. Dia berhati-hati untuk menghindari kesan bahwa struktur adalah “di luar” atau “eksternal” bagi tindakan manusia. “Dalam pemakaian saya, struktur adalah apa yang member forma dan bentuk itu”. Seperti yang dinyatakan Held dan Thompson, bagi Giddens, struktur bukanlah suatu kerangka kerja “seperti balok-balok penopang suatu bangunan atau kerangka sebuah tubuh” (Ritzer, 2012:892).

Giddens tidak menolak fakta bahwa struktur dapat membatasi tindakan, tetapi dia merasa bahwa para sosiolog telah melebih-lebihkan pentingnya pembatas itu. Selanjutnya, mereka telah gagal menekankan fakta bahwa struktur “selalu bersifat membatasi dan memungkinkan”. Struktur sering mengizinkan para agen untuk melakukan hal-hal yang tidak akan mampu mereka lakukan jika struktur tidak ada. Meskipun Giddens mengurangi tekanan pada paksaan struktural, dia tidak mengakui bahwa para aktor dapat kehilangan kendali atas “sifat-sifat sistem-sistem sosial yang terstruktur” sewaktu mereka terentang jauh di dalam waktu dan ruang. Akan tetapi, dia berhati-hati untuk menghindari

(24)

pencitraan kerangkeng besi Weberian dan mencatat bahwa kehilangan kendali demikian bukan tidak terhindarkan (Ritzer, 2012:893)

Pandangan bahwa agen itu bebas dalam arti tidak ditentukan tidak dapat dipertahankan karena dua alasan:

1. Terdiri dari apa saja tindakan manusia yang tidak ditentukan atau tidak dipengaruhi? Tindakan seperti ini ialah sesuatu yang diciptakan secara spontan dari ketiadaan suatu bentuk metafisis dan mistis ciptaan orisinal. 2. Subjek ditentukan, dipengaruhi dan diproduksi, oleh kekuatan sosial yang

ada di luar dirinya sendiri sebagai individu. Giddens menyebutnya sebagai Dualitas Struktur (Barker, 2011: 191).

Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang digambarkan pada skema berikut; Monitoring refleksif aktivitas merupakan ciri terus menerus tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga perilaku orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tempat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya (Giddens, 2011:6)

Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam

(25)

perilaku sehari-hari bahwa aktor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud-maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar pemikiran tertentu, kendati jarang disadari baik oleh pelaku seperti itu atau orang lain yang menyaksikannya (Giddens, 2011:7)

Akan tetapi, motivasi tidaklah secara langsung dibatasi oleh kesinambungan tidakan-tindakan seperti halnya rasionalisasi atau monitoring refleksifnya. Motivasi mengacu pada potensi tindakan bukan pada model pelaksanaan tindakan secara terus menerus oleh agen yang bersangkutan. Motif-motif cenderung memiliki perolehan langsung atas tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tak biasa, situasisituasi yang dalam beberapa sisi terputus dari rutinitas. Kebanyakan motif-motif memasok seluruh rencana atau program ‘proyek-proyek’ dalam istilah Schutz, tempat dilakukannya gugusan perilaku. Kebanyakan perilaku sehari-hari tidak dimotivasi secara langsung (Giddens, 2011: 7)

Menginduksi pernyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa sifat-sifat khusus agen ialah sebagai berikut:

1. Agen tidak hanya memonitor terus menerus aliran dan aktivitas-aktivitas mereka dan mengharapkan pihak lain bertindak seperti dirinya. Mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek fisik dan sosial dari konteks tempat mereka bergerak.

(26)

2. Dengan rasionaliasi tindakan secara rutin dan berlalu tanpa tumpang tindih, maka hal itu mengukuhkan pemahaman teoritis secara terus menerus dari landasan aktivitas mereka. Aktor selalu mampu menjelaskan banyak hal dari apa yang mereka lakukan, jika mereka bertanya.

3. Pertanyaan sering menjadi tujuan dan alasan filosof yang biasanya untuk membantu menjelaskan bagi aktor awam yang tengah menghadapi beberapa situasi yang membingungkan atau ketika ada semacam perubahan atau keretakan kompetensi yang mungkin secara nyata menjadi sesuatu yang diharapkan.

4. Monitoring refleksif dan rasionalisasi tindakan dibedakan bedasarkan motivasi

(Susilo, 2008: 415-416)

Guna memfokuskan klarifikasi mengenai agensi, perlulah sekiranya dibuat batasan mengenai agensi manusia yang diluruskan di bawah ini:

1. Agensi manusia menekankan hubungan antara aktor dan kekuasaan. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk membuat sebuah perbedaan dari kondisi peristiwa atau tingkatan-tingkatan kejadian sebelumnya. Seorang agen akan berhenti menjadi agen jika ia kehilangan kemampuan untuk membuat sebuah perbedaan dalam melatih beberapa jenis kekuasaan. Banyak kasus yang menarik dari analisis sosial yang terfokus pada margin yang dapat kita artikan sebagai tindakan, yaitu saat kekuasaan individu dibatasi oleh jarak keadaan-keadaan khusus. Tetapi ini menjadi kepentingan pertama untuk mengenali keadaankeadaan pengekangan sosial yang membuat individu tidak memiliki pilihan yang tidak sama dengan disintegrasi tindakan. Tidak memiliki pilihan bukan berarti bahwa tindakan telah digantikan oleh reaksi (yang membuat seseorang mengambik taktik ketika gerakan teratur dibuat di depan mata sendiri).

(27)

2. Sebagian aliran teori sosial terkemuka tidak mengenal pembedaan, utamanya yang berhubungan dengan objektivitisme dan structural. Mereka menyatakan bahwa kekangan beroperasi seperti kekuatan alam, seolah-olah tidak memiliki pilihan yang sama dengan yang digerakkan tanpa perlawanan dan tidak mampu dipahami oleh tekanan-tekanan mekanis.

3. Agen tidak bebas untuk memilih bagaimana membentuk dunia sosial, tetapi dibatasi oleh pengekangan posisi historis yang mereka tidak pilih.

4. Baik tindakan aktor maupun struktur akan melibatkan tiga aspek yakni makna, norma dan kekuasaan (Susilo, 2008: 416)

Lagi, kata Giddens setiap manusia merupakan agen yang betujuan (purposive agent) karena sebagai individu, ia memiliki dua kencenderungan, yakni memiliki alasan-alasan untuk tindakan-tindakannya dan kemudian mengelaborasi alasan-alasan ini secara terus menerus sebagai bertujuan, bermaksud dan bermotif (Susilo, 2008: 413). Sedangkan agensi mengacu pada perbuatan, kemampuan atau tindakan otonom untuk melakukan apa pun.

2. Unsur-unsur Teori Strukturasi

Giddens memandang agen yang senantiasa memantau pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan mereka sendiri dan juga konteks fisik dan sosialnya. Para aktor merasionalisasi dunia mereka dalam usaha mereka mendapat rasa aman. Yang dimaksud Giddens dengan rasionalisasi ialah perkembangan rutinitas yang tidak hanya member rasa aman bagi aktor, tetapi juga memampukan mereka menangani kehidupan sosialnya secara efisien. Para aktor juga mempunyai motivasi untuk bertindak, dan motivasi-motivasi itu meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong tindakan. Oleh karena itu, meskipun rasionalisasi dan refleksivitas senantiasa terlibat di dalam tindakan, motivasi-motivasi lebih tepat dianggap sebagai potensi untuk tindakan. Motivasi-motivasi-motivasi memberi rencana menyeluruh untuk tindakan, tetapi sebagian besar tindakan kita,

(28)

dalam pandangan Giddens, tidak dimotivasi secara langsung. Meskipun tindakan demikian tidak dimotivasi dan motivasi-motivasi kita pada umumnya tidak sadar, motivasi memainkan suatu yang signifikan di dalam perilaku manusia (Ritzer, 2012:890).

Seorang agen harus mampu menggunakan (secara terus-menerus di dalam kehidupan sehari-hari) sederet kekuasaan kausal, termasuk memengaruhi kekuasaan–kekuasaan yang dijalankan orang lain. Tindakan bergantung pada kemampuan individu untuk ‘memengaruhi’ keadaan urusan atau rangkaian peristiwa yang telah ada sebelumnya. Seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘memengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Banyak kasus menarik bagi analisis sosial berpusat di sekitar batasan-batasan dari apa yang dipandang sebagai tindakan, saat ketika kekuasaan seseorang dibatasi oleh sederet keadaan tertentu. Akan tetapi, yang pertama penting untuk diketahui adalah bahwa keadaan-keadaan dari pembatas sosial yang membuat para individu ‘tidak memiliki pilihan’ tidak boleh disamakan dengan terputusnya tindakan seperti itu. ‘Tidak memiliki pilihan’ bukan berarti bahwa tindakan telah tergantikan oleh reaksi (Giddens, 2011:23).

Giddens memandang struktur merujuk pada kelengkapan-kelengkapan penstrukturan yang memungkinkan “pengikatan” waktu-ruang dalam sistem-sistem sosial. Kelengkapan-kelengkapan itu memungkinkan keberadaan praktik-praktik sosial serupa dalam rentang waktu dan ruang yang sangat beragam sekaligus memberikan praktik-praktik sosial itu suatu bentuk ‘sistemik’. Mengatakan bahwa struktur adalah ‘tatanan sesungguhnya’ dari relasi-relasi transformative berarti bahwa sistem sosial, sebagai praktik-praktik sosial yang direproduksi, tidaklah memiliki ‘struktur’, melainkan tepatnya menampilkan ‘kelengkapan-kelengkapan struktural’. Hal ini juga berarti bahwa struktur itu ada, sebagai kehadiran ruang waktu, hanya dalam perwujudannya dalam praktik-praktik tersebut dan sebagai jejak-jejak ingatan yang berorientasi pada perilaku-perilaku para agen manusia yang pintar (Giddens, 2011:27)

(29)

Konsepsi ini bukan berarti kita tidak boleh menganggap kelengkapan-kelengkapan struktural terorganisasi secara hierarkis menurut perluasan ruang-waktu dari praktik-praktik yang diorganisasi itu. Bagi kelengkapan-kelengkapan struktural yang mengakar paling kuat dan terlibat dalam reproduksi totalitas kemasyarakatan, Giddens menyebutnya sebagai ‘dasar-dasar struktural’ (structural principles). Sementara praktik-praktik yang memiliki perluasan ruang-waktu terbesar di dalam totalitas seperti itu bisa disebut dengan institusi-institusi (institusions). Membicarakan struktur sebagai ‘aturan-aturan’ dan sumber daya-sumber daya, dan struktur sebagai seperangkat aturan dan daya-sumber daya terpisah berisiko melahirkan mis-interpretasi karena dominasi penggunaan istilah ‘aturan-aturan’ tertentu dalam literatur filosofis (Giddens, 2011:28).

3. Beberapa mis-interpretasi yang dikarenakan dominannya penggunaan istilah ‘aturan-aturan’ tertentu dalam literatur filosofis

Aturan-aturan kerap kali dipahami terkait dengan permainan, sebagai ketentuan-ketentuan formal. Aturan-aturan yang berlaku dalam reproduksi sistem sosial secara umum tidaklah seperti ini. Bahkan, aturan-aturan yang dikodifikasikan sebagai hukum-hukum pada hakikatnya jauh lebih terbuka bagi berbagai kontestasi jika dibandingkan aturan-aturan permainan. Sekalipun penggunaan aturan-aturan permainan seperti catur dan sebagainya yang menjadi prototype kelengkapan-kelengkapan sistem sosial yang terikat pada aturan seringkali dikaitkan dengan Wittgenstein, lebih relevan di sini adalah ketika dia menjadikan permainan anak-anak sebagai contoh bagi rutinitas kehidupan sosial (Giddens, 2011:28)

Aturan-aturan sering kali dipahami dalam bentuknya yang tunggal, seolah-olah bisa dikaitkan dengan bentuk atau bagian tertentu dari tindakan. Padahal sama sekali keliru jika aturan-aturan disamakan dengan proses berjalannya kehidupan sosial saat ketika praktik-praktik dipertahankan bersamaan dengan perangkat-perangkat yang tidak terlalu terorganisasi (Giddens, 2011:28). Aturan-aturan tidak dapat dikonseptualisasikan terpisah dari sumber daya, yang

(30)

merujuk pada cara-cara (modes) bagaimana relasi-relasi transformative sebenarnya terlibat dalam proses produksi dan reproduksi praktik-praktik sosial. Oleh karena itu, kelengkapan-kelengkapan struktural memperlihatkan bentuk-bentuk dominasi (domination) dan kekuasaan (power) (Giddens, 2011:29)

Aturan-aturan mengandaikan ‘prosedur-prosedur metodis’ interaksi sosial, sebagaimana telah dijelaskan terutama oleh Garfinkel. Aturan-aturan terutama bersinggungan dengan praktik-praktik sosial dalam kontekstualitas suatu perjumpaan tertentu: lingkup pertimbangan-pertimbangan ‘ad-hoc’ hasil identifikasi si agen secara teratur berhubungan dengan instansiasi aturan-aturan dan sangatlah penting bagi bentuk-aturan-aturan tersebut. Mesti ditambahkan disini bahwa setiap aktor sosial yang cakap merupakan ipso facto bagi seorang ahli teori sosial pada tingkatan kesadaran diskursif dan bagi seorang ‘ahli metodologi’ pada tingkatan kesadaran praktis maupun kesadaran diskursif (Giddens, 2011:29).

Bagi mereka, aturan-aturan memiliki dua aspek dan penting untuk membedakan keduanya secara konseptual, karena sejumlah penulis filsafat (seperti Winch) cenderung menggabungkan kedua aspek itu. Aturan-aturan berhubungan dengan pemberian makna (meaning) di satu sisi dan pemberian sanksi (sanctioning) terhadap cara-cara perilaku sosial di sisi lain (Giddens, 2011:29)

4. Ranah Kesadaran

Di dalam ranah kesadaran pun, Giddens membuat pembedaan (yang dapat menyerap) di antara kesadaran diskursif dan praktis. Kesadaran diskursif mengandung kemampuan untuk melukiskan tindakan-tindakan kita dengan kata-kata. Kesadaran praktis meliputi tindakan-tindakan yang diterima begitu saja oleh para aktor, tanpa mampu mengungkapkan dalam kata-kata apa yang sedang mereka lakukan. Tipe belakangan kesadaran itulah yang secara khusus penting

(31)

bagi teori strukturasi, yang mencerminkan perhatian utama kepada apa yang dilakukan ketimbang apa yang dikatakan (Ritzer, 2012:891)

Karena fokus pada kesadaran praktis tersebut, kita membuat suatu peralihan yang mulus dari para agen menuju agensi, hal-hal yang benar-benar dilakukan para agen: “Agensi memerhatikan peristiwa-peristiwa ketika individu adalah seorang pelaku kejahatan… Apa pun yang terjadi tidak akan terjadi jika individu tidak campur tangan”. Dengan demikian, Giddens memberi bobot yang besar kepada pentingnya agensi. Giddens berhati-hati memisahkan agensi dari maksud karena dia ingin berpendapat bahwa tindakan-tindakan sering berakhir sebagai hal yang berbeda dari apa yang dimaksudkan; dengan kata lain, tindakan-tindakan sengaja sering mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja. Ide mengenai konsekuensi-konsekuensi yang tidak disengaja mempunyai peran yang besar di dalam teori Giddens dan secara khusus penting dalam mengantar kita dari agensi menuju level sistem sosial (Ritzer, 2012:891)

Konsisten dengan penekanannya pada agensi, Giddens member kekuasaan yang besar pada sang agen. Dengan kata lain, para agen Giddens mempunyai kemampuan untuk membuat suatu perbedaan di dalam dunia sosial. Bahkan lebih kuat lagi, para agen tidak bermakna tanpa kekuasaan; yakni, seorang aktor berhenti menjadi seorang agen jika dia kehilangan kecakapan untuk membuat suatu perbedaan, Giddens tentu saja mengakui bahwa ada pembatas-pembatas untuk para aktor, tetapi hal itu tidak berarti bahwa para aktor tidak mempunyai pilihan-pilihan dan tidak membuat perbedaan. Bagi Giddens, kekuasaan secara logis lebih dahulu daripada subjektivitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Dengan demikian, teori strukturasi Giddens memberi kekuasaan kepada aktor dan tindakan dan berlawanan dengan teori-teori yang tidak suka dengan orientasi demikian dan sebagai gantinya memberi nilai penting kepada maksud sang aktor (fenomenologi) atau kepada struktur eksternal (fungsionalisme-struktural). (Ritzer, 2012:891)

(32)

D. Kerangka Berpikir

Bagan 2.1: Kerangka Berpikir

Pada awalnya, sebelum ada praktik sosial yaitu adanya FKUB beserta programnya, ada hubungan saling mendeterminasi antara pemerintah dengan masyarakat yaitu masyarakat beragama khususnya yang tentunya berkaitan dengan masalah-masalah regulasi atau aturan tentang keagamaan seperti pendirian rumah ibadah.

Hal tersebut menimbulkan kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat soal aturan-aturan yang berkaitan tentang keagamaan. Akan tetapi, setelah adanya FKUB membuat segalanya berubah. Masyarakat menyalurkan aspirasi-aspirasinya tentang permasalahan-permasalahan keagamaan melalui FKUB. Pemerintah pun tidak berhadapan langsung dengan masyarakat dalam mensosialisasikan program-programnya. FKUB hadir di tengah-tengah masyarakat yang plural dan banyak pandangan. Dampak Program Kondisi Awal Dampak Program Praktik Sosial Program Praktik Sosial FKUB Tidak ada Praktik Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan karena banyak fakta-fakta di lapangan yang memunculkan berbagai macam bentuk mainan(toys) dan permainan(game) yang berasal dari luar negeri yang

Tentang berapa jumlah hakam yang ideal, Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak menentukan secara rinci, hanya menyebut

1. Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa nanti.. Fungsi Sosialisasi

Kesimpulan yang dapat diambil adalah Undang undang No.12 tahun 2006 mengatur tentang pengaturan kewarganegaraan, pemberian kewarganegraan, hilangnya kewarganegaraan, tata cara

Penelitian yang dilakukan oleh Asih (2012) yang berjudul Analisis Penentuan Harga Pokok Produksi Berdasarkan Activity Based Costing (ABC) Pada Pabrik Roti “Sami

Pembelajaran merupakan kumpulan dari kegiatan guru dan siswa yang disengaja atau dimaksudkan guna terwujudnya tujuan pembelajaran. Pembelajaran bertujuan agar siswa

disimpulkan bahwa semua variabel yaitu kepercayaan, tingkat pengembalian hasil, kesesuaian hukum syariah dan promosi dapat membedakan (discriminator) secara signifikan

Pada komponen afektif, individu yang terlibat dalam perilaku bullying tidak mampu merasakan kondisi emosional individu lain yang menjadi sasaran, pelaku bullying tidak