HASIL DAN PEMBAHASAN
mengukur turbiditas dari pengenceran 1:1, 1:2, 1:4, 1:8, 1:16, sedangkan hitungan cawan dengan menyebar inokulum pada pengenceran 10-6, 10-8, 10-9, 10-10.
Hasil
Isolasi Bacillus sp. dari Rizosfer. Hasil isolasi Bacillus sp. dari 11 lokasi pengambilan sampel tanah diperoleh sebanyak 63 isolat yang berpotensi sebagai penghasil AIA (Tabel 1). Pemanasan sampel tanah bertujuan sebagai seleksi awal isolasi.
Bacillus sp. akan tahan terhadap pemanasan
karena memiliki struktur endospora, sedangkan bakteri lain akan mati. Isolat-isolat tersebut kemudian diamati karakter koloninya secara visual.
Uji Pelarutan Fosfat. Dua belas isolat
bakteri terpilih diuji kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Isolat-isolat tersebut ditumbuhkan dengan cara ditotol pada media agar yang mengandung trikalsium fosfat, yang merupakan modifikasi dari media Pikovskaya (Rao & Sinha 1962) dengan komposisi glukosa 10 g, Ca3HO13P3 5 g, (NH4)2SO4 0.5 g, KCl 0.2 g, MgSO4·7H2O 0.1 g, ekstrak khamir 0.5 g, MnSO4 25 mg, dan FeSO4 25 mg, serta agar-agar 15 g dalam 1 L akuades. Setelah inkubasi selama 7 hari, zona bening yang terdapat di sekeliling koloni diamati dan diukur indeks pelarutan fosfatnya berdasarkan rumus:
Karakterisasi Fisiologi Secara Parsial.
Hasil pewarnaan Gram dan spora menunjukkan sel bakteri bersifat Gram positif, berbentuk batang dengan ukuran dan penataan yang berbeda-beda, dan memiliki endospora dengan bentuk dan letak yang bervariasi (Gambar 1). Uji katalase memperlihatkan hasil positif untuk seluruh isolat, kecuali isolat HI-9, SI-2 dan PI-8. Indeks pelarutan fosfat =
koloni diameter koloni diameter bening zona diameter −
Uji Perkecambahan Biji Kedelai.
Perkecambahan biji dilakukan untuk melihat respon AIA yang disintesis bakteri terhadap pertumbuhan kecambah biji. Uji perkecambahan biji menggunakan kedelai varietas Tanggamus sebagai model. Biji kedelai Tanggamus disterilisasi permukaannya dengan cara direndam dalam etanol 95% selama 10 detik, kemudian direndam dalam H2O2 5% selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 7 kali untuk menghilangkan residu peroksida.
1 µm 2 µm
Gambar 1 Hasil pewarnaan Gram isolat HI-2 menunjukan bakteri Gram positif berbentuk batang dengan perbesaran 2000x (A), dan endospora isolat PI-4 dengan perbesaran 1000x, ditunjukkan dengan tanda panah (B).
A B
Biji yang telah steril diletakkan pada cawan yang dialasi kertas saring yang telah dibasahi dengan akuades steril, kemudian diletakkan di ruang gelap. Setelah 24 jam, setiap biji yang telah mulai berkecambah ditetesi dengan 100 μl kultur bakteri (± 8x109 sel/ml). Isolat yang digunakan ialah HI-2, mewakili isolat yang menghasilkan AIA dengan konsentrasi tinggi, dan BY-1 mewakili isolat yang menghasilkan AIA dengan konsentrasi rendah, serta media kosong sebagai kontrol. Cawan tersebut diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang dalam kondisi gelap. Kemudian dilakukan pengukuran panjang batang, panjang akar primer, dan jumlah akar lateral. Setiap perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan dan setiap ulangan menggunakan sepuluh biji kedelai. Hasil pengukuran dianalisis secara statistik dengan one-way
Analysis of Variance (ANOVA)
menggunakan program SPSS.
Analisis Produksi Asam Indol Asetat (AIA). Dari 61 isolat yang memproduksi
AIA, isolat HI-2 menghasilkan konsentrasi AIA tertinggi yaitu 67.2 ppm pada media yang ditambah L-trp dan 47.6 ppm pada media tanpa L-trp. Isolat TG-1 juga memiliki konsentrasi yang sama dengan HI-2 pada media yang ditambah L-trp, tetapi pada media tanpa L-trp lebih rendah dari HI-2, yaitu sebesar 38.9 ppm. Pengukuran AIA dilakukan berdasarkan perubahan warna supernatan setelah ditambah reagen Salkowski menjadi warna merah muda (Gambar 2). Konsentrasi AIA pada kultur bakteri yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan L-trp umumnya lebih tinggi daripada konsentrasi AIA pada kultur yang dtumbuhkan pada media tanpa L-trp.
Tabel 1 Produksi asam indol asetat (AIA) dari isolat-isolat Bacillus sp. yang berhasil diisolasi No Lokasi Pengambilan
Sampel Asal Tanah
Kode Isolat
Konsentrasi AIA tanpa triptofan
(ppm)
Konsentrasi AIA dengan triptofan 0.5 mM (ppm) 1 GI-1 5.5 4.5 2 GI-2 37.5 46.3 3 GI-3 5.8 1.9 4 GI-4 5.8 31.7 5 GI-5 0.0 4.9 6 Ds. Kedung Dawa, Kec. Gabus Wetan,
Indramayu Rizosfer padi
GI-6 5.3 4.5 7 HI-1 29.8 39.1 8 HI-2 47.6 67.2 9 HI-3 0.5 5.82 10 HI-4 3.9 11.0 11 HI-5 8.6 10.8 12 HI-6 3.9 8.7 13 HI-7 1.7 6.0 14 HI-8 4.1 6.3 15 Ds. Sidadadi, Kec. Haurgeulis, Indramayu Rizosfer padi HI-9 0.0 0.0 16 PI-1 6.0 4.0 17 PI-2 9.1 2.0 18 PI-3 4.1 3.3 19 PI-4 32.1 53.6 20 PI-5 5.3 4.0 21 PI-6 7.4 6.1 22 PI-7 3.3 4.0 23 PI-8 0.0 0.0 24 PI-9 9.5 9.8 25
Patrol, Indramayu Rizosfer padi
PI-10 3.9 3.6 26 SI-1 7.0 10.3 27 SI-2 4.5 3.6 28 SI-3 5.3 7.7 29 SI-4 4.5 6.5 30 SI-5 7.4 7.5 31 Ds. Mekar Gading, Kec. Sliyeg, Indramayu Rizosfer padi SI-6 4.7 8.5 32 LI-1 5.8 7.7 33 LI-2 5.3 6.3 34 LI-3 1.8 2.5 35 Ds. Santi, Kec.
Losarang, Indramayu Rizosfer padi
LI-4 5.8 3.3 36 TK-1 8.3 8.3 37 TK-2 8.3 11.1 38 TK-3 8.6 10.8 39 TK-4 29.7 34.9 40 Ds. Cariumulya Kec. Telaga Sari,
Karawang Rizosfer padi
TK-5 3.7 7.6 41 TG-1 38.9 67.2 42 TG-2 1.7 1.2 43 TG-3 6.6 3.3 44 TG-4 3.3 7.0 45 TG-5 5.3 6.0 46
Tegal Rizosfer padi
TG-6 6.4 7.0 47 DM-1 28.6 37.2 48 DM-2 5.3 5.9 49 Sawah DM-3 4.1 4.9 50 DM-4 5.8 14.5 51 DM-5 5.0 9.1 52 DM-6 6.6 7.0 53 Demak
Rizosfer kacang dan bahan organik DM-7 6.2 7.2 54 KB-1 22.7 20.9 55 Rizosfer padi KB-2 9.3 6.3 56 Kebumen
Rizosfer kacang tanah KB-3 8.8 8.8
57 BY-1 6.2 7.0
58 BY-2 6.0 6.3
59 BY-3 11.2 6.2
60
Boyolali Rizosfer kacang tanah
BY-4 11.0 11.3
61 RB-1 3.6 6.4
62 RB-2 3.0 2.8
63
Rembang Pupuk kompos
5.9 6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 Waktu (jam) Log sel -5 5 15 25 35 45 55 65 Konsentrasi AIA (ppm)
Pertumbuhan HI-2 dalam media dengan penambahan triptofan Pertumbuhan HI-2 dalam media tanpa penambahan triptofan Produksi AIA dengan penambahan triptofan
Produksi AIA tanpa penambahan triptofan
Gambar 2 Pengukuran konsentrasi AIA pada isolat TG-1, (A) media kosong (kontrol 1), (B) kultur pada media tanpa L-trp, (C) kultur pada media dengan L-trp, (D) media kosong yang ditambah L-trp (kontrol 2).
Kurva Pertumbuhan dan Penentuan Sintesis AIA. Pertumbuhan isolat HI-2
cenderung tidak dipengaruhi oleh penambahan triptofan (Gambar 3). Isolat HI-2 mulai memproduksi AIA pada jam ke-8, baik pada media dengan penambahan L-trp maupun media tanpa L-trp. Konsentrasi AIA pada media dengan L-trp terus meningkat dan mencapai konsentrasi tertinggi pada jam ke-31, yaitu 61.2 ppm dengan jumlah sel 8.3x109 sel/ml. Pada media tanpa L-trp, konsentrasi AIA mencapai puncak pada jam ke-43, yaitu sebesar 53.9 ppm dengan jumlah sel 8.3x109 sel/ml.
Gambar 3 Kurva pertumbuhan dan sintesis AIA dari isolat HI-2 yang diproduksi pada media LB.
Uji Pengecambahan Biji Kedelai.
Pemberian inokulasi bakteri penghasil AIA tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pemanjangan batang, tetapi memberikan pengaruh terhadap perkembangan akar primer dan akar lateral kecambah kedelai (Tabel 3). Akar primer kecambah yang diinokulasi dengan Bacillus sp. penghasil AIA lebih pendek dibandingkan dengan kontrol (Gambar 5). Tetapi jumlah akar lateral kecambah yang diberi perlakuan bakteri cenderung lebih
Uji Pelarutan Fosfat. Uji pelarutan
fosfat dilakukan terhadap 12 isolat yang menghasilkan AIA tertinggi. Dari 12 isolat yang diuji, diperoleh 11 isolat yang
menunjukkan kemampuan melarutkan fosfat. Aktivitas pelarutan fosfat ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri (Gambar 4). Berdasarkan hasil uji pelarutan P, indeks pelarutan P terbesar dihasilkan oleh isolat DM-4 yaitu 55.6, kemudian disusul isolat TK-4 (50) dan HI-4 (42.9) (Tabel 2). Isolat HI-2 dan TG-1 yang menghasilkan AIA tertinggi memiliki indeks pelarutan P masing-masing sebesar 16.7 dan 25. Sedangkan pada isolat KB-1 tidak menunjukkan adanya pelarutan fosfat. A B C D
Gambar 4 Zona bening yang terbentuk pada media Pikovskaya menandakan trikalsium fosfat yang telah terlarut (ditunjukkan dengan tanda panah).
Tabel 2 Hasil pengujian pelarutan fosfat dari 12 isolat Bacillus sp.
Kode Isolat Pelarutan Fosfat Indeks Pelarutan Fosfat
HI-2 + 16.7 TG-1 + 25 PI-4 + 16.7 GI-2 + 12.5 HI-1 + 11.1 DM-1 + 28.6 TK-4 + 50.0 GI-4 + 6.3 KB-1 - - DM-4 + 55.6 HI-4 + 42.9 BY-4 + 3.9
banyak dibandingkan dengan kontrol. Isolat BY-1 yang menghasilkan AIA rendah menginduksi pertumbuhan akar lateral lebih banyak daripada isolat HI-2 yang menghasilkan konsentrasi AIA tinggi.
Tabel 3 Pengaruh inokulasi Bacillus sp. penghasil AIA terhadap perkecambahan biji kedelai
Perlakuan Panjang batang (cm) Panjang akar primer (cm) Jumlah akar lateral Kontrol 4.4a 3.7a 35.9a BY-1 4.0a 0.9b 41.7b
HI-2 3.9a 1.3b 36.9ab
Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan
Gambar 5 Hasil perkecambahan kedelai, (a) kontrol, (B) kecambah yang diinokulasi dengan isolat BY-1, (C) kecambah yang diinokulasi dengan isolat HI-2.
Pembahasan
Asam indol asetat (AIA) adalah jenis auksin yang penting bagi pertumbuhan tanaman. AIA terlibat dalam berbagai proses fisiologi tumbuhan seperti inisiasi akar, pemanjangan sel, diferensiasi jaringan pembuluh, dan proses pembungaan (Husen & Saraswati 2003). Sebanyak 63 isolat
Bacillus berhasil diisolasi dari 11 lokasi
pengambilan sampel. Hasil karakterisasi fisiologis menunjukkan sel Bacillus berbentuk batang, bersifat Gram positif, memiliki endospora, dan pada umumnya bersifat katalase positif, kecuali untuk isolat HI-9, SI-2, dan PI-8 bersifat katalase negatif. Dari 63 isolat yang diuji, diperoleh sebanyak 61 isolat yang dapat mensintesis AIA. Dua isolat yang menghasilkan AIA dengan konsentrasi tertinggi adalah isolat HI-2 dan TG-1. Namun pada media tanpa penambahan L-trp, isolat TG-1 menghasilkan AIA lebih rendah dibandingkan dengan isolat HI-2. Isolat HI-2
memiliki karakter koloni bundar dengan tepian rata, berwarna krem kecoklatan, berlendir, dan elevasinya cembung. Sedangkan isolat TG-1 memiliki karakter koloni bundar dengan tepian rata, warna putih krem, berlendir dan elevasinya cembung (Lampiran 3). Beberapa spesies
Bacillus yang telah diketahui berperan
sebagai PGPB adalah B. subtilis, B.
pumilus, B. cereus, B. brevis, B. polymyxa, B. pasteurii, B. amyloliquifaciens (Ryu et al.
2004; Shishido et al. 1996)
Reagen Salkowski yang digunakan dalam pengukuran AIA dapat bereaksi dengan asam indol piruvat yang terakumulasi dalam filtrat yang diuji sehingga menyebabkan terbentuknya warna merah. Asam indol piruvat merupakan produk dari katalisis triptofan yang dilakukan triptofan transaminase. Katalisis oleh enzim ini merupakan langkah awal dalam lintasan biosintesis AIA (Patten & Glick 2002). Glickmann dan Dessaux (1995) juga melaporkan bahwa Salkowski dapat mendeteksi keberadaan senyawa-senyawa antara dalam sintesis AIA, seperti triptofan, indol etanolamin (triptamin), indol etanol (triptofol), asam indol piruvat, asam indol laktat (ILA) dan indol asetamida (IAM). A B C
Hasil pengukuran AIA dari isolat
Bacillus yang diperoleh memperlihatkan
bahwa sebagian besar isolat yang ditumbuhkan pada media yang ditambah dengan triptofan menunjukkan konsentrasi AIA yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi AIA pada media tanpa penambahan triptofan. Hal ini terjadi karena L-triptofan (L-trp) merupakan prekursor pada biosintesis AIA. Biosintesis AIA baik pada tumbuhan maupun pada bakteri dapat terjadi melalui lintasan yang bergantung L-trp (tryptophan-dependent pathway) atau tidak bergantung L-trp
(tryptophan-independent pathway). Lintasan yang tidak
bergantung L-trp menggunakan indol sebagai prekursor dalam sintesis auksin. Pada bakteri patogen tanaman, seperti
Agrobacterium tumefaciens dan Pseudomonas syringae, AIA dihasilkan dari
L-trp melalui lintasan indol asetamida yang memiliki keterlibatan dalam menginduksi tumor tanaman. Sedangkan pada bakteri nonpatogen, seperti PGPB, sintesis AIA umumnya terjadi melalui lintasan asam indol piruvat yang tergantung L-trp (Patten & Glick 2002).
AIA dapat dideteksi pada isolat yang ditumbuhkan pada media tanpa penambahan
L-trp, sehingga dapat diindikasikan bahwa
Bacillus mampu mensintesis AIA tanpa
keberadaan L-trp. Bacillus sp. juga diketahui dapat membentuk L-trp di dalam selnya. Regulasi gen yang terlibat dalam biosintesis L-trp telah dipelajari secara ekstensif pada
B. subtilis, B. pumilus, B. halodurans, dan B. stearothermophilus. B. subtilis memiliki
operon trpEDCFBA yang mengandung 6 dari 7 gen yang diperlukan dalam biosintesis triptofan dari asam khorismat (prekursor kelompok asam amino) (Szigeti et al. 2004). Sedangkan beberapa kelompok bakteri seperti Azospirillum sp. tidak dapat mensintesis AIA tanpa keberadaan L-trp dalam media tumbuhnya. Di tanah, bakteri rizosfer memperoleh L-trp untuk mensintesis AIA dari eksudat akar atau sel-sel organisme yang rusak.
Pola produksi AIA sejalan dengan pertumbuhan sel bakteri. Dari kurva pertumbuhan dan penentuan sintesis AIA dapat dilihat bahwa AIA mulai disintesis pada awal fase log meskipun dalam jumlah yang sedikit. AIA diproduksi secara signifikan pada akhir fase logaritma, yaitu pada jam ke-8. Pada media dengan penambahan L-trp, saat sel mulai memasuki fase stasioner, yaitu pada jam ke-10, produksi AIA meningkat dengan pesat (27.1 ppm), kemudian terus meningkat hingga mencapai puncak pada jam ke-31 (61.2 ppm). Sedangkan dalam media tanpa penambahan L-trp, konsentrasi AIA mencapai puncak pada jam ke-43 (53.7 ppm). Memasuki fase kematian, produksi AIA sedikit demi sedikit mengalami penurunan.
Produksi AIA pada isolat HI-2 yang ditumbuhkan dalam media tanpa L-trp lebih rendah dibanding produksi AIA oleh isolat HI-2 dalam media yang ditambah L-trp. Konsentrasi AIA yang dihasilkan tergantung aktivitas dan jumlah sel, ketersediaan nutrisi dalam media dan substrat L-trp. Gambar 3 menunjukkan bahwa penambahan L-trp sangat berpengaruh terhadap produksi AIA, tetapi cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan sel isolat HI-2. Dari hasil tersebut dapat diduga bahwa AIA yang disintesis bakteri merupakan senyawa metabolit sekunder, namun perlu analisis lebih lanjut fase pertumbuhan dihasilkannya enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis AIA. Metabolit sekunder biasanya dihasilkan saat sel kekurangan nutrisi atau dalam kondisi pertumbuhan suboptimal, adanya biosintesis atau penambahan induser,
atau penurunan rata-rata pertumbuhan sel bakteri (Somers et al. 2005).
Bacillus termasuk kelompok bakteri
pelarut fosfat yang sudah banyak dipelajari. Spesies Bacillus yang dilaporkan dapat melarutkan fosfat antara lain B. brevis, B.
cereus, B. circulans, B. firmus, B.
licheniformis, B. megaterium, B.
mesentricus, B. mycoides, B. polymyxa, B. pumilis, B. pulvifaciens dan B. subtilis (Tilak et al. 2005). Uji pelarutan fosfat
menunjukkan bahwa isolat DM-4 memiliki indeks zona bening pelarutan fosfat yang paling tinggi, yaitu sebesar 55.6. Indeks zona bening berkorelasi dengan kemampuan melarutkan fosfat.
Peranan mikrob dalam melarutkan senyawa fosfat terkait dengan asam organik yang dihasilkan dari aktivitas mikrob (Premono 1998). Asam alifatik dengan β-hidroksil dan α-β-hidroksil seperti sitrat dan oksalat sangat efektif dalam melarutkan batuan fosfat. Premono (1998) mengungkapkan beberapa teori yang berhubungan erat dengan pelarutan P karena aktivitas mikrob, diantaranya (i) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam-organik, (ii) persaingan anion organik dan ortofosfat pada tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, (iii) perubahan muatan tapak jerapan oleh ligan organik. Berdasarkan Idriss et al. (2002), pelarutan fosfat oleh bakteri, misalnya pada B. subtilis
dan B. amyloliquifaciens, juga terjadi karena
aktivitas fosfatase dan fitase (enzim yang menghidrolisis fosfat organik sukar larut/fitat).
AIA yang disekresikan bakteri meningkatkan pertumbuhan akar tanaman secara langsung dengan menstimulasi pemanjangan atau pembelahan sel. Kemampuan produksi AIA dari dua isolat bakteri, yaitu isolat BY-1 dan HI-2 dikaji potensinya dalam meningkatkan pertumbuhan kecambah kacang kedelai. Kedelai kultivar Tanggamus digunakan sebagai model tanaman dalam rangka mengembangkan potensi galur-galur kedelai tahan asam yang dapat diaplikasikan pada lahan asam. Kedelai Tanggamus memiliki kandungan protein paling tinggi, yaitu sebesar 44.5% namun produktivitasnya relatif rendah dan ukuran bijinya kecil (Yulianti 2006).
Pengaruh perlakuan bakteri tidak berbeda nyata terhadap pemanjangan batang kecambah kedelai, tetapi memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap pemanjangan akar primer dan perkembangan akar lateral kecambah biji. Akar primer kecambah yang diinokulasi dengan Bacillus sp. penghasil AIA lebih pendek dan memiliki percabangan akar lateral yang lebih banyak dibandingkan dengan kontrol, terutama isolat BY-1. Patten & Glick (2002) menyebutkan bahwa konsentrasi AIA yang rendah, yaitu sekitar 10-9–10-12 M, akan menstimulasi pemanjangan akar lateral, sedangkan konsentrasi AIA yang tinggi yang dihasilkan oleh inokulum dengan kepadatan tinggi menstimulasi pembentukan akar lateral dan adventif. Tetapi pada penelitian ini, inokulasi kecambah baik menggunakan isolat HI-2 maupun BY-1 menunjukkan adanya penghambatan pemanjangan akar primer. Hal ini dapat disebabkan konsentrasi AIA pada kultur yang diinokulasikan masih tergolong taraf yang tinggi (± 10-5-10-3 M). Nilai tersebut diperkirakan dari jumlah bakteri pada kultur sel. Aryantha et al. (2004) menyatakan kecambah kacang hijau yang ditumbuhkan secara hidroponik dengan produk cair dari aktinomiset galur LC (36.4 µg AIA/ml media) dan Bacillus galur D3 (52.5 µg AIA/ml media) mampu meningkatkan jumlah akar lateral dan panjang kecambah pada pengenceran 20 kali. Sedangkan kultur aktinomiset galur LC pada pengenceran 40 dan 60 kali telah memberikan efek peningkatan panjang kecambah yang optimum. Hasil tersebut sesuai dengan sifat hormon tumbuh yang efektif dalam jumlah yang sangat rendah (Aryantha et al. 2004).
Glick (1995) melaporkan mekanisme terjadinya penghambatan pertumbuhan tanaman akibat produksi AIA yang berlebihan. AIA eksogenus dalam jumlah yang tinggi akan meningkatkan transkripsi dan aktivitas aminosiklopropana-1-karboksilat (ACC) sintase. Enzim ini akan mengkatalisis produksi ACC di tanaman. Senyawa ACC merupakan prekursor dari hormon tumbuhan etilen, sehingga konsentrasi etilen di tanaman meningkat. Etilen berperan sebagai modulator fitohormon lain dan mencegah terjadinya pertumbuhan yang berlebihan (overgrowth). Etilen juga berfungsi menghambat elongasi akar pada proses perkecambahan. Beberapa PGPB menstimulasi elongasi akar secara tidak langsung dengan menghasilkan aktivitas ACC deaminase yang dapat
menginaktivasi ACC di tanaman (Patten & Glick 2002).
Produksi AIA sebagai hormon tanaman oleh bakteri tidak berfungsi sebagai hormon pada sel bakteri itu sendiri, namun lebih mengarah kepada perkembangan hubungan interaksi antara bakteri dengan tanaman. Keuntungannya bagi bakteri yang berasosiasi dengan akar yaitu meningkatnya suplai nutrisi berupa produk metabolit hasil fiksasi karbon yang dilakukan tanaman. Produk metabolit tersebut dilepaskan ke rizosfer melalui akar sebagai eksudat, lisat dan getah (Patten & Glick 2002). Pada
Azospirillum brasilense, biosintesis AIA dari
L-trp diduga bertujuan untuk mereduksi tingkat toksisitas L-trp (Bar & Okon 1992). Sedangkan Dosselaere et al. (1997) menyebutkan bahwa AIA memiliki peranan fisiologi tertentu di dalam bakteri, dan bukan hanya merupakan produk akhir dari proses detoksifikasi. Hal ini karena gen ipdC yang diklon dari A. brasilense dinduksi oleh AIA, bukan oleh L-trp. Gen ipdC merupakan salah satu dari dua gen yang terlibat dalam keseluruhan sintesis AIA.
SIMPULAN DAN SARAN
SimpulanSejumlah 61 isolat Bacillus sp. yang diperoleh dari 11 lokasi pengambilan sampel tanah rizosfer diketahui dapat mensintesis AIA. Isolat HI-2 dan TG-1 menghasilkan konsentrasi AIA tertinggi, yaitu sebesar 67.2 ppm pada media dengan penambahan triptofan, sedangkan pada media tanpa penambahan triptofan sebesar 47.6 ppm dan 38.9 ppm masing-masing untuk isolat HI-2 dan TG-1. AIA mulai disintesis oleh isolat HI-2 pada jam ke-8 dan mencapai puncak pada fase stasioner. Pada uji pelarutan P, isolat DM-4 memiliki indeks pelarutan P tertinggi yaitu 55.6. Inokulasi dengan
Bacillus penghasil AIA dapat meningkatkan
jumlah akar lateral kecambah kedelai.
Saran
Perlu dilakukan optimasi umur dan jumlah inokulan, serta konsentrasi AIA yang diberikan untuk mendapatkan respon tanaman yang lebih baik. Karakterisasi fisiologis lainnya seperti analisis produksi giberelin, sitokinin, kitinase, β-1,3-glukanase, siderofor, antibiotik, dan deteksi ACC deaminase juga perlu dilakukan untuk mencari galur yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan tanaman.