• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI CAMPURAN KPPU SEBAGAI LEMBAGA QUASI-PERADILAN 1. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FUNGSI CAMPURAN KPPU SEBAGAI LEMBAGA QUASI-PERADILAN 1. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

FUNGSI CAMPURAN KPPU SEBAGAI LEMBAGA QUASI-PERADILAN1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.2

A. DIFERENSIASI STRUKTURAL FUNGSI KEKUASAAN

Mulai akhir tahun 1960-an, muncul kesadaran baru mengenai tidak efisiennya birokrasi banyak pemerintahan di dunia. Seorang sarjana psikologi sosial, Warren G. Bennis, misalnya, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” pada tahun 1966 bahwa dunia menghadapi gejala kematian birokrasi pemerintahan. Luasnya ketelibatan pemerintahan ke dalam pelbagai aspek dinamika kehidupan bermasyarakat sebagai akibat berkembangnya pengaruh paham sosialisme juga mulai mendapatkan kritik yang tajam. Bahkan, dalam bentuknya yang paling ekstrim paham sosialisme itu berkembang luas menjadi paham komunisme yang membawa organisasi negara ke dalam praktik-praktik yang sangat intervensionis ke dalam peri kehidupan masyarakat.

Kesadaran baru itu lah yang turut mendorong berkembangnya kritik kepada doktrin negara kesejahteraan (welfare state) yang membenarkan intervensionisme negara ke dalam dinamika masyarakat. Bahkan kesadaran demikian itu juga lah yang menimbulkan perlawanan yang luas terhadap paham komunisme sebagai bentuk ekstrim dari paham sosialisme. Karena itu, sesudah komunisme dan negara-negara komunis mengalami keruntuhan dimana-mana, maka sejak tahun 1970-an berkembang pandangan yang kembali mengidealkan prinsip yang pernah berlaku di masa sebelum berkembangnya sosialisme, yaitu doktrin “the best government is the least goverment”. Pemerintahan yang dipandang paling baik adalah peerintahan yang paling sedikit memerintah atau paling sedikit ikut campur dalam urusan-urusan masyarakat.

Gejala inilah yang mendorong terjadinya pengurangan peran negara di mana-mana. Pengurangan peran negara itu di bidang politik tercermin dengan berkembangnya gelombang demokratisasi dan hak asasi manusia pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke 20, sedangkan di bidangg ekonomi tercermin dalam gelombang kebijakan deregulasi, debirokratisasi, dan privatisasi di mana-mana di seluruh dunia. Kekuasaan negara yang semula terpusat dan terkonsentrasi mulai mengendorkan kendalinya menjadi semakin terdesentralisasi dan terdekonsentrasi. Fungsi-fungsi yang semula ditangani oleh pemerintah secara kaku, dikendorkan menjadi ditangani secara independen di luar kendali pemerintah. Karena itu, muncul banyak lembaga-lembaga, badan-badan, komisi-komisi negara yang baru dengan maksud mengurangi tumpukan kekuasaan pemerintahan di satu tangan yang

1

Untuk bacaan lebih lanjut, lihat buku-buku saya, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Gramedia, Jakarta, 2007; Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010; dan Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2006.

2

Guru Besar HTN Universitas Indonesia, Penasihat Komnasham, pendiri dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2003-2008) dan mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

(2)

2

dapat menyebabkan terjadi inefisiensi pelayanan atau pun penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat otoritas yang menumpuk di satu tangan.

Pada awal abad ke-21, gelombang demokratisasi, deregulasi, diberokratisasi, dan privatisasi itu terus berkembang karena kemenangan aliran neo-liberalisme tanpa kekuatan pengimbang. Kekuatan neo-liberalisme itu semakin merajalela pula karena dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang menyebabkan dunia makin mengalami globalisasi. Paham neo-liberal terus mempengaruhi cara berpikir para penentu kebijakan pemerintahan yang berusaha untuk semakin mengendurkan kendali kekuasaan pemerintahan menjadi semakin terdesentralisasi ke daerah-daerah serta semakin terdekonsentrasi dan terdistribusi ke banyak struktur baru. Sebagaii akibatnya, muncul lah ide untuk membentuk banyak sekali lembaga-lembaga baru dengan melembagakan tersendiri fungsi-fungsi tertentu dari lembaga lama atau melembagakan fungsi-fungsi baru yang sebelumnya belum pernah dalam kegiatan pemerintahan sebelumnya.

B. PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN PERADILAN

1. Tradisi Eropah Kontinental

Perkembangan kebutuhan untuk memperluaskan bidang-bidang hukum yang perlu diselesaikan melalui peradilan, direspons secara berbeda dalam tradisi ‘common law’ di Inggeris dan Amerika Serikat dengan tradisi ‘civil law’ di Eropah Kontinental. Di Eropah, karena kebiasaan diadopsinya ide-ide baru ke dalam rumusan-rumusan teks undang-undang tertulis hasil perdebatan di forum-forum parlemen, maka fungsi-fungsi baru peradilan itu diidealkan untuk dilembagakan dalam struktur peradilan yang tersendiri. Karena itu, dalam perkembangan sejarah peradilan, misalnya, di Jerman, muncul 5 puncak peradilan secara bertahap.

Pada mulanya, di Jerman, hanya terdapat lembaga peradilan pidana dan peradilan perdata yang berpuncak kepada Mahkamah Agung. Semakin berkembangnya gerakan liberalisasi dan demokratisasi yang memberikan tempat makin kuat kepada otonomi individu rakyat, maka berkembang pula ide untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Negara yang dianggap merugikan warga Negara. Dari ide inilah muncul ide pembentukan pengadilan administrasi Negara yang pada abad ke-19 dipandang sebagai pilar keempat dari konsepsi ‘rechtsstaat’ dalam arti klasik (ref. Julis Stahl tentang 4 ciri ‘rechtsstaat’). Sampai sekarang, lembaga pengadilan administrasi itu, baik di Jerman, di Perancis, maupun di Austria mempunyai puncak mahkamahnya tersendiri.

Karena itu, sejarah peradilan di Austria berkembang dimulai dari dibentuknya Mahkamah Agung di bidang pidana dan perdata, Mahkamah Hukum Administrasi Negara (Verwaltungsgericht), dan terakhir pada tahun 1920 terbentuk pula Mahkamah Konstitusi (Verfassungsgerichtshoft). Di Perancis, di samping adanya “Cour d’Cassation” di bidang pidana dan perdata, ada pula “Conseil d’Etat” di bidang hukum administrasi Negara, dan “Conseil Constitutionnell” di bidang peradilan konstitusi. Sedangkan di Jerman puncak peradilan terdiri atas lima mahkamah tertinggi, yaitu (i) Mahkamah Agung di bidang

(3)

3

pidana dan perdata, (ii) Mahkamah Administrasi Negara, (iii) Mahkamah Industrial Perburuhan, (iv) Mahkamah Sosial dan Keluarga, serta (v) Mahkamah Konstitusi (Verfassunggericht).

2. Tradisi Common Law

Berbeda dari praktik di Eropah Kontinental, tradisi common law di Inggeris dan Amerika Serikat mempunyai pengalaman yang lain. Struktur lembaga-lembaga peradilan di Inggeris dan Amerika Serikat relatif tidak banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kebutuhan-kebutuhan akan fungsi-fungsi peradilan yang baru tidak berakibat kepada pembentukan struktur baru, melainkan cukup dibebankan kepada struktur lembaga peradilan yang sudah ada. Misalnya, diterimanya ide untuk melakukan judicial review atas konstitusionalitas sesuatu produk undang-undang, maka hal itu dikembangkan saja secara alamiah menjadi tambahan kewenangan badan peradilan yang sudah ada yang berpuncak di Mahkamah Agung. Bahkan, inovasi atau penemuan hukum pertama praktek judicial review terhadap undang-undang justru dimulai oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marburry vs Madison (1803) di bawah kepemimpinan Chief Justice John Marshall yang kemudian dilanjutkan oleh hakim-hakim yang terkemudian. Bahkan, dalam sistem peradlan di Amerika Serikat tidak dikenal adanya lembaga peradilan administrasi negara yang khusus seperti di Jerman, Austra, dan Perancis.

Sebagai akibatnya, kebutuhan-kebutuhan baru untuk melembagakan pelbagai fungsi baru di bidang peradilan hukum administrasi negara memunculkan ide untuk mengembangkan fungsi-fungsi penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau sebelum pengadilan, sehingga beban pengadilan tidak melampaui kemampuan. Bersamaan dengan itu, berkembang pula gagasan untuk membentuk komisi-komisi negara yang bersifat independen. Di Amerika Serikat, sejak pertengahan abad ke-20, banyak sekali komisi-komisi independen yang dibentuk dengan fungsi yang bersifat campuran antara fungsi regulasi, administrasi, dan juga semi-judisial.

Lembaga-lembaga independen yang dianggap utama di Amerika Serikat dewasa ini antara lain adalah:

(1) Central Intellligence Agency (CIA); (2) Environmental Protection Agency (EFA); (3) General Services Administration (GSA);

(4) Commodity Futures Trading Commission (CFTC); (5) Federal Communication Commission (FCC); (6) Federal Trade Commission (FTC);

(7) Federal Maritime Commission (FMC);

(8) United States International Trade Commission (USITC); (9) Consumer Product Safety Commission (CPSC);

(10) Equal Employment Opportunity Commission (EEOC); (11) Postal Rate Commission (PRC);

(12) National Capital Planning Commission (NCPC); (13) Office of Government Ethics (OGE);

(4)

4 (14) Nuclear Regulatory Commission (NRC);

(15) Federal Mine Safety and Health Review Commission; (16) Civil Righhts Commission (CRC);

(17) Dan lain-lain sebagainya.

Lembaga-lembaga independen tersebut hampir semuanya menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat campuran, yaitu fungsi regulasi, fungsi administrasi, dan fungsi semi-peradilan sekaligus. Ada yang hanya menjalankan fungsi regulasi dan administrasi, ada pula yang hanya menjalankan fungsi regulasi dan judisial sekaligus. Dalam hal, komisi-komisi independen itu mempunyai fungsi semi-yudisial, maka pada umumnya apabila pihak-pihak tidak puas dengan putusannya, putusan tersebut baru diajukan ke badan pengadilan sebagaimana mestinya. Namun, seringkali putusan semi-yudisial oleh komisi negara itu dirasakan sudah cukup adil sehingga penyelesaiannya tidak berlanjut ke pengadilan. Dengan demikian, banyak masalah hukum yang dapat diselesaikan dengan cara yang lebih cepat dan efisien tanpa harus membebani pengadilan.

Pembentukan lembaga-lembaga independen yang berfungsi semi-yudisial berkembang cukup populer dewasa ini, dan bahkan banyak ditiru juga di kalangan negera-negara Eropah Kontinental yang mempunyai tradisi ‘civil law’. Apalagi, dinamika perkembangan dunia usaha yang berkembang sangat pesat banyak sekali dipengaruhi oleh praktik-praktik yang terjadi di Amerika Serikat, sehingga sistem larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat seperti di Amerika Serkat juga berkembang di Eropah Barat. Bahkan, ide pembentukan komisi-komisi pengawas persaingan usaha di Eropah Barat juga berkembang luas. Karena itu, ide pembentukan komisi pengawas persaingan usaha di Indonesia yang – seperti negara-negara Eropah Barat menganut tradisi civil law -- juga menjadi suatu kebutuhan yang rasional.

C. SISTEM DAN STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA 1. Empat Lingkungan Peradilan

Konsep tentang Lingkungan Peradilan diatur oleh UU No. XIV/1970, yang membedakan antara: (i) Lingkungan peradilan umum;

(ii) Lingkungan peradilan agama;

(iii) Lingkungan peradilan tata usaha Negara; dan (iv) Lingkungan peradilan militer.

Lingkungan peradilan militer dianggap setara dengan ketiga lingkungan lainnya, karena dalam kenyataannya di akhir dasawarsa 60-an, peranan mahkamah militer luiar biasa (Mahmilub) sangat menonjol dalam menyelesaikan pelbagai kasus yang diakibatkan oleh terjadinya pemberontakan PKI. UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. XIV/1970 dibentuk oleh pemerintahan Jenderal Soeharto pada masa awal Orde Baru.

(5)

5

Konsepsi peradilan umum dan peradilan agama yang dibedakan satu sama lain sebagai produk sejarah di masa penjajahan. Keberadaan Landraad dan Priesterraad di masa Hindia Belanda secara praktis dilanjutkan di masa kemerdekaan dengan diterjemahkan menjadi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Yang dapat dikatakan baru dalam konsep UU No. XIV/1970 itu adalah pengadilan tata usaha negara yang dikategorikan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri. Ide pembentukan badan peradilan tata usaha negara ini dinilai sangat penting karena sampai pertengahan abad ke-20, berkembang pandangan yang luas bahwa keberadaan lembaga peradilan tata usaha negara merupakan ciri pokok dari suatu negara hukum (rechtsstaat) menurut tradisi Eropah Kontinental (civil law) yang sangat berpengaruh dalam hukum Indonesia.

Pembentukan pengadilan tata usaha negara berdasarkan UUD No.XIV Tahun 1970 itu sendiri di Indonesia baru terrealisasikan pada tahun 1982. Sejak itu lengkaplah pilar-pilar struktur peradilan kita ke dalam 4 lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer sebagaimana diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut. Keempat lingungan peradilan itu bahkan diadopsikan ke dalam rumusan Pasal 24 ayat (2) baru UUD 1945, ketika Perubahan Ketiga UUD 1945 disahkan pada tahun 2001.

2. Peradilan Khusus

Sekarang, sesudah reformasi, banyak sekali muncul ide-ide baru berkenaan dengan pelembagaan fungsi-fungsi peradilan ini. Dewasa ini setidaknya telah berdiri 11 jenis peradilan khusus dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu:

(i) Pengadilan HAM;

(ii) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); (iii) Pengadilan Niaga;

(iv) Pengadilan Perikanan;

(v) Pengadilan Hubungan Industrial; (vi) Pengadilan Pajak;

(vii) Pengadilan Anak; (viii) Pengadilan Pelayaran; (ix) Pengadilan Syar’iyah; (x) Pengadilan Adat; dan (xi) Pengadilan Tilang.

Kesembilan pengadilan khusus tersebut pada pokoknya dikelompokkan dalam salah satu dari 4 lingkungan peradilan yang ditentukan berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, yaitu lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, atau peradilan militer. Namun demikian, dalam praktik seringkali tidak mudah mengelompokkan pengadilan-pengadilan baru itu ke dalam salah satu dari keempat lingkungan itu. Setidaknya, pengelompokan lembaga-lembaga peradilan baru itu tidak seimbang antara satu lingkungan dengan lingkungan peradilan yang lain. Di pihak lain, di tiap-tiap sector pemerintahan terus berkembang pula keinginan untuk membentuk lembaga-lembaga peradilan baru.

(6)

6

Dalam rangka pembahasan pelbagai rancangan undang-undang baru, biasa muncul ide-ide baru untuk membentuk badan-badan peradilan khusus lain lagi, seperti misalnya Pengadilan Pemilu dan Pengadilan Kehutanan, dan sebagainya. Ada pula lembaga peradilan yang bersifat internal untuk menyelesaikan perselisihan internal partai politik yang disebut sebagai Mahkamah Partai Politik. Pendek kata, mudah sekali bermunculan ide-ide yang sebenarnya masuk akal untuk membentuk badan-badan baru dan badan peradilan baru. Akan tetapi rangkaian ide demi ide itu jikalau dilihat dalam potret yang menyeluruh, niscaya akan menimbulkan pertanyaan besar berkenaan dengan inefisiensi dan kekacauan sistemik yang ditimbulkannya.

Untuk itu, pelembagaan semua badan peradilan tersebut secara konstitusional haruslah dilihat dalam konteks keempat lingkungan peradilan yang telah ditentukan oleh Pasal 24 UUD 1945 tersebut di atas. Di samping itu, pengertian peradilan juga harus diperluas ke dalam makna yang lebih substantive dan luas. Proses peradilan tidak hanya dilakukan melalui proses di pengadilan (in-court), tetapi dapat pula dilakukan di luar pengadilan (out of court). Karena itu, sejalan dengan perkembangan praktik peradilan di seluruh dunia dewasa ini, di Indonesia juga berkembang ide-ide untuk melembagakan mekanisme alternative penyelesaian sengketa yang dikenal dengan istilah ADR (alternative despute resolution).

Dalam perspektif demikian, berkembang ide mengenai hakim perdamaian dan juga mengenai mediasi berdasarkan ketentuan UU. Sekarang bahkan telah dibentuk Asosiasi Mediator Indonesia yang dikukuhkan oleh Mahkamah Agung. Demikian pula lembaga arbitrase juga terus dikembangkan berdasarkan ketentuan undang-undang.

Semua proses penyelesaian konflik hukum dan perasaan ketidakadilan itu dapat kita sebut sebagai proses peradilan dalam arti yang luas. Karena itu, meskipun tidak secara eksplisit sebagai lembaga pengadilan, lembaga-lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga dapat kita lihat dalam konteks penyelesaian masalah-masalah hukum di bidang persaingan usaha yang sehat yang dikembangkan secara luas sejak dibentuknya UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat3.

D. KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) 1. Lembaga Independen Campur-Sari

Menurut Pasal 30 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 itu, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dibentuk dalam rangka mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu. Sebagai lembaga yang bersifat campur-sari, KPPU ditentukan oleh ayat (2)nya merupakan lembaga independen dari pengaruh pemerintah dan pihak lainnya. Karena itu, keberadaannya dibentuk tersendiri dan dikeluarkan dari tugas dan tanggungjawab pemerintahan sehari-hari. Meskipun demikian, menurut ayat (3)-nya, komisi ini tetap bertanggungjawab

3

(7)

7

secara langsung kepada Presiden. Artinya, keberadaan lembaga ini tetap berada dalam ranah pemerintahan eksekutif, meskipun dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan pokoknya dijamin bersifat independen dari pengaruh fungsi-fungsi pemerintahan sehari-hari.

Di samping itu, meskipun KPPU ditentukan harus bertanggungjawa kepada Presiden dan karena itu secara strktural berada dalam ranah kekuasaan pemerintahan eksekutif, tetapi proses penetapan para komisionernya melibatan peran DPR. Pasal 31 ayat (2) UU No.5/1999 menentukan bahwa anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Artinya, DPR mempunyai hak konfirmasi (the right to confirm) atas pengangkatan ataupun pemberhentian anggota KPPU. Dengan demikian, terdapat hubungann ‘checks and balances’ antara pemerintah dan DPR dalam proses penentuan para anggota KPPU.

Dengan demikian, independensi dan netralitas lembaga KPPU ini cukup dijamin oleh UU. Baik secara struktural dan apalagi secara fungsional, KPPU bersifat independen. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya KPUU tidak dapat diintervensi atau dipenngaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan yang lain. KPPU tidak boleh diintervensi untuk kepentingan politik ataupun untuk kepentinga bisnis pihak-pihak yang terkait. Meskipun demikian, dalam rangka prinsip ‘checks and balances’, banyak pihak yang dilibatkan dalam proses pembentukan atau penngangkatan anggotanya, yaitu Presiden dan DPR. Bahkan, jika diperlukan di masa depan, pelaksanaan ‘code of ethics’ dan ‘code of conduct’ KPPU ini dapat pula dikaitkan dengan peran Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas perilaku hakim, asalkan ditegaskan dalam UU yang masih harus disempurnakan di masa yang akan datang yaitu, bahwa para komisioner anggota KPPU, karena jabatannya, dapat digolongkan ke dalam pengertian hakim menurut UUD 1945.

2. KPPU Sebagai Badan Quasi-Peradilan

UU No. 5/1999 sama sekali tidak menyebut KPPU sebagai lembaga pengadilan. Tugas dan kerwenangannya juga tidak dikaitkan dengan tugas mengadili seperti halnya badan-badan peradilan yang resmi. Meskipun demikian, KPPU secara teoritis pada hakikatnya tetap merupakan lembaga semi-yudisial atau quasi-semi-yudisial. Jika dikaitkan dengan teori ‘trias politica’ Montesquieu, KPPU itu lebih tepat dapat dipandang sebagai lembaga yang berfungsi campuran, tidak hanya eksekutif, tetapi juga yudikatif. Bahkan, sebagai lembaga quasi-peradian, jenis perkara yang ditangani oleh KPPU ini tidak hanya menyangkut urusan-urusan bisnis keperdataan, tetapi juga berkaitan dengan hukum administrasi negara dan bahkan hukum pidana yang masing-masing diatur menurut bidang hukum yang berbeda-beda, tetapi untuk kepentingan praktik perlu diintegrasikan dalam satu kesatuan sistem penanganan perkara melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Beberapa ketentuan yang menegaskan kedudukannya sebagai lembaga peradilan dalam arti luas misalnya dapat dilihat dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangannya untuk (i) memeriksa, (ii) memberikan penilaian, (iii) memutuskan dan menetapkan kerugian, dan (iv) memberikan sanksi berupakan tindakan administrasi (administrative treatment) dalam proses pembuktian kasus-kasus dugaan pelanggaran larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 35 (a), (b), (c), dan (d) serta Pasal 36 (c), (d), (e), (f), dan (h) UU No.5/1999.

(8)

8

Pasal 35 menentukan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), (a) melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; (b) melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; (c) melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; dan (d) mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36.

Pasal 36 menentukan © “melakukan … pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat … atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi”; (d) “meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan … pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar undang-undang ini”; (e) “… menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna … pemeriksaan”; (f) memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyafakat”; dan (h) “menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrative kepala pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini”.

Mengenai hukum acara penanganan perkara di KPPU, diatur cukup rinci dalam Bab VII tentang Tatacara Penanganan Perkara. Dalam pemeriksaan, KPPU menilai alat-alat bukti yang menurut Pasal 42 UU No. 5/1999 dapat terdiri atas (i) keterangan saksi, (ii) keterangan ahli, (iii) surat atau dokumen, (iv) petunjuk, dan (v) keterangan pelaku usaha. Proses pembuktian dalam pemeriksaan tidak ubahnya seperti pembuktian dalam proses peradilan pada umumnya.

Dari contoh-contoh rumusan tugas dan wewenang KPPU seperti tersebut di atas, jelas bahwa pada hakikatnya KPPU adalah lembaga peradilan dalam arti yang luas, atau setidaknya dapat disebut sebagai lembaga semi-peradilan. Sebagai lembaga peradilan yang bersifat administratif, fungsi KPPU dapat digolongkan ke dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, tetapi apabila dilihat dari bidang sengketa hak yang diselesaikannya, komisi ini dapat juga dikategorikan berada dalam lingkungan peradilan umum. Oleh sebab itu, menurut Pasal 46 ayat (2), eksekusi putusan KPPU dimintakan penetapannya kepada Pengadilan Negeri. Jika atas putusan KPPU itu, pihak yang dikalahkan merasa keberatan, maka penyelesaian selanjutnya dilakukan melalui proses peradilan di Pengadilan Negeri (Pasal 44 ayat 2). Pihak yang berkeberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 45 ayat 3).

Sebagai lembaga semi-peradilan atau quasi-peradilan, sanksi yang berupa tindakan administrasi dan sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada pihak yang melanggar UU No. 5/1999 adalah sebagaimana diatur dalam Bab VIII Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49. Sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan adalah (a) penetapan pembatalan perjanjian, (b) perintah menghentikan integrasi vertikal, (c) perintah penghentian kegiatan, (d) perintah penghentian penyalahgunaan posisi dominan, (e) penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan dan pengambil-alihan saham, (f) penetapan pembayaran ganti rugi, dan (g) pengenaan denda. Sedangkan ketentuan pidana ditentukan terdiri atas

(9)

9

pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dan pidana tambahan sebagaimana diatur dala pasal 49 berupa (a) pencabutan izin usaha, (b) larangan menduduki jabatan direksi atau komisaris dalam batas waktu tertentu, dan (c) penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

3. Komisioner sebagai Hakim

Oleh karena Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan lembaga yang menjalankan fungsi semi-peradilan atau quasi-peradilan, maka tentu para anggotanya atau para komisioner mempunyai kedudukan juga sebagai semi-hakim atau quasi-hakim. Dengan demikian, para komisioner KPPU haruslah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip umum (universal) yang berlaku bagi para hakim, misalnya termasuk mengenai standar-standar etika (code of ethics) dan kode perilaku (code of conduct). Bagi para hakim dewasa ini berlaku prinsip-prinsip yang dikenal sebagai “The Bangalore Principles of Judicial Conduct” yang diakui di seluruh dunia.

Dalam Judicial Conduct itu disepakati adanya prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan oleh setiap hakim di seluruh dunia, yaitu prinsip-prinsip (i) independence (kemandirian), (ii) impartiality (netralitas atau ketidakberpihakan), (iii) integrity (keutuhan dan keseimbangan kepribadian), (iv) propriety (kepantasan dan kesopanan-santunan), (v) equality (kesetaraan), (vi) competence (kecakapan), dan (vii) diligence (keseksamaan). Prinsip-prinsip perilaku yang diidealkan bagi setiap hakim tersebut, tentu harus tercermin pula dalam perilaku setiap komisioner KPPU. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota KPPU tidak melanggar dan haruslah berusaha untuk mencegah dirinya masing-masing secara sengaja atau tidak sengaja melanggar ketujuh prinsip perilaku ideal tersebut.

Untuk mengawasi pelaksanaan hal itu, baik juga dipertimbangkan mengenai kemungkinan memberikan kepada Komisi Yudisial kewenangan untuk turut mengawasi kode etik dank ode perilaku yang berlaku bagi para komisioner KPPU ini. Tentu saja, dalam rangka perubahan UU No. 5 Tahun 1999 kelak, perlu dipertimbangkan mengenai kemungkinan mencantumkan ketentuan demikian dalam undang-undang baru atau perubahan undang-undang. Caranya cukup dengan mencantumkan ketentuan yang menyatakan secara tegas atau setidaknya berbunyi sedemikian rupa sehingga dapat ditafsirkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena jabatannya adalah hakim. Dengan demikian, para komisioner KPPU dengan sendirinya akan menjadi subjek yang diawasi perilakunya oleh Komisi Yudisial sesuai dengan ketentuan UU tentang Komisi Yudisial (KY) jo Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

4. Fungsi Regulatory

Pasal 35 huruf f menentukan bahwa salah satu tugas KPPU adalah “menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini”. Yang menjadi masalah adalah apakah tugas penyusunan pedoman itu dapat ditafsirkan memberikan kewenangan regulatori kepada KPPU untuk mengatur hal-hal yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan UU No.5/1999 itu atau tidak.

Dalam hukum tatanegara berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi, kewenangan regulasi yang bersifat mengikat untuk umum terkait erat dengan fungsi legislasi yang hanya dapat

(10)

10

dilakukan oleh kekuasaan negara apabila telah mendapat persetujuan rakyat yang berdaulat, yaitu melalui para wakilnya di lembaga perwakilan rakyat. Tidak satu orang rakyatpun yang dapat dikurangi haknya dan dibebani dengan kewajiban tanpa disetujui sendiri oleh rakyat yang berdaulat itu menurut prosedur demokrasi berdasarkan konstitusi yang berlaku (the principle of constitutional democracy).

Oleh karena jika suatu lembaga atau pejabat public tertentu (staat organ, public office, public official) hendak mengatur, mengurangi hak, dan/atau membebankan sesuatu kewajiban tertentu kepada subjek hukum warga negara dalam lalu lintas hukum, maka satu-satu bentuk hukum yang diperbolehkan untuk mengatur hal itu adalah dalam bentuk undang-undang yang dibentuk menurutUUD 1945, yaitu oleh DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Bentuk peraturan lain yang bersifat mengikat hanya diperkenankan apabila peraturan itu secara eksplisit mendapatkan delegasi kewenangan mengatur dari undang-undang (legislative delegation of rule-making power) atau paling rendah mendapat sub-delegasi kewenangan pengaturan 1 tingkat ke bawah. Misalnya, UU memberikan delegasi kewenangan kepada PP, dan PP memberikan sub-delegasi kewenangan lagi kepada Peraturan Menteri.

Kekecualian atas berlakunya prinsip “legislative delegation of rule-making power” itu hanya dimungkinkan atas pertimbangan bahwa dalam menjalankan tugas konstitusionalnya seorang kepala pemerintahan memerlukan keleluasaan bertindak berdasarkan prinsip ‘frijes ermessen’. Untuk itu, kepada Presiden diberi kewenangan karena kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, untuk menetapkan satu jenis peraturan yang bersifat administrative dan menyangkut urusan internal pemerintahan, yang oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan diberi nama Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan Presiden ini dapat ditetapkan secara mandiri (otonom) oleh Presiden menurut kebutuhan hukum yang timbul dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas-tugas internal pemerintahan dengan tanpa didahului oleh atau didasarkan atas perintah pengaturan oleh UU.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain Presiden, tidak ada lembaga lain atau pejabat lain yang diperbolehkan membuat peraturan yang bersifat mengikat untuk umum kecuali jika kewenangan demikian secara tegas didelegasikan oleh UU atau disubdelegasikan oleh suatu peraturan pelaksana undang-undang, seperti PP atau peraturan lain yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, jika KPPU tidak secara eksplisit dan tegas diberi kewenangan mengatur lebih operasional oleh UU No. 5 Tahun 1999, maka KPPU tidak dapat disebut mempunyai kewenangan regulasi.

Jika dipelajari, UU No. 5 Tahun 1999 sama sekali tidak member kewenangan untuk mengatur kepada KPPU. Karena itu, KPPU tidak dapat disebut sebagai “self-regulatory body”. KPPU memang bersifat independen, tetapi bukan dalam bidang regulasi. Jika dikaitkan dengan ‘trias politica’, campuran fungsi KPPU hanya menyangkut fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya, yang dimaksudkan dengan pedoman dalam Pasal 35 huruf (f) tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan (regels). Lembaga-lembaga lain seperti MA, MK, BI, dan KPU – misalnya – secara eksplisit memang dinyatakan dalam undang-undang diberi kewenangan untuk mengatur. Karena itu, MA berwenang menetapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma), MK menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), BI menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI), dan demikian pula KPU menetapkan Peraturan KPU.

(11)

11

Semua bentuk peraturan MA, MK, BI, dan KPU itu termasuk ke dalam pengertian peraturan perundang-undangan sebagai “sub-ordinate legislation” berdasarkan ketentuan undang-undang yang mengatur kewenangan lembaga-lembaga itu masing-masing. Sedangkan UU yang mengatur tentang KPPU sama sekali tidak memberikan kewenangan regulasi semacam itu.

Pasal 35(f) UU No. 5 Tahun 1999 hanya memungkinkan bagi KPPU untuk menyusun pedoman kerja atau “manual” yang meskipun isinya dapat saja bersifat mengatur tetapi tidak dapat disebut sebagai peraturan dalam pengertian hukum. Dalam teori perundang-undangan, pedoman semacam itu hanya disebut sebagai “beleids-regel” atau “policy rules”. Pasal 35 huruf (f) itu, hanya menyatakan bahwa KPPU mempunyai tugas yang salah satunya adalah “menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini”.

Memang benar, dalam Bab VII UU No. 5 Tahun 1999 itu tentang Tata Cara Penanganan Perkara, pada Pasal 38 ayat (4) ditetukan bahwa “Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Komisi”. Bahkan pada Pasal 40 ayat (2) ditentukan pula bahwa “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39”. Ketentuan-ketentuan tersebut selama ini ditafisrkan oleh KPPU sebagai pemberian kewenangan kepada KPPU untuk mengatur, sehingga oleh karena itu, selama ini KPPU telah menerbitkan pelbagai peraturan KPPU yang dimaksudkan untuk melaksanakan perintah Pasal 38 ayat (4) tersebut di atas.

Namun demikian, menurut pendapat saya, dalam rangka pelaksanakan prinsip ‘checks and balances’ dan mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan regulasi sebaiknya tidak diberikan kepada KPPU. Fungsi regulator biarlah diberikan kepada Pemerintah, sedangkan KPPU hanya sebagai operator kegiatan pengawasan sampai ke fungsi peradilan. Lagi pula, rumusan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, seharusnya tidak ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan menetapkan peraturan, kecuali hanya dimaksudkan untuk pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis administratif yang cukup diatur dalam bentuk pedoman sebagai “beleids-regel”. Karena itulah kewenangan mengatur sama sekali tidak tercantum dalam ketentuan Pasal 35 mengenai tugas dan ketentuann Pasal 36 mengenai wewenang KPPU. Pasal 35 huruf (f) hanya menyebutkan tugas KPPU untuk menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini. Demikian pula dala Pasal 36 tidak terdapat adanya ketentuan yang memberi wewenang kepada KPPU untuk menetapkan sesuatu peraturan.

Oleh karena itu, ketentuan Pasal 38 ayat (4) sebagaimana dimaksud di atas sudah seharusnya dipahami dalam konteks Pasal 35 huruf (f). Tata cara penyampaian laporan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan dan pelaksanaan tugas KPPU menurut Pasal 38 ayat (4) dapat ditentukan sendiri aturannya oleh KPPU dalam bentuk pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf (f). Dengan demikian pedoman dimaksud hanya berupa aturan kebijakan atau ‘beleids-regels’ (policy rules), bukan dalam bentuk peraturan resmi atau ‘regulation’. Sebagai pedoman, tentu aturan kebijakan yang menjadi isinnya tidak dapat dipersoalkan atau dijadikan objek perkara di pengadilan. Namun, apabila bentuk hukumnya disebut resmi sebagai peraturan, maka tentu hal itu dapat dijadikan objek peradilan, yaitu

(12)

12

misalnya Peraturan KPPU itu dapat dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Agung sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Aturan kebijakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (beleids-regel) yang disusun dalam bentuk pedoman itu tentu saja tidak boleh berisi norma-norma hukum baru. Isinya hanya berupa pedoman kerja, yang bersifat mengatur hal-hal teknis dan administratif. Tentu saja, praktik penetapan Peraturan KPPU yang sudah dijalankan selama ini dapat dipandang sebagai konvensi. Tetapi di masa yang akan datang hal itu haruslah diperbaiki. Diusulkan agar dalam perbaikan UU No. 5 Tahun 1999 yang akan datang, pelbagai ketentuan yang lebih tegas mengenai kewenangan pengaturan ini sebaiknya dimuat. Fungsi KPPU cukup dibatasi hanya sebagai pelaksana UU atau sebagai operator pengawasan sampai ke tingkat peradilan, sedangkan fungsi regulator tetap berada di tangan pembentuk undang-undang dan paling rendah di tangan pemerintah.

5. Fungsi Administrasi dan Penegakan Hukum

Selain merupakan lembaga semi-peradilan atau quasi-peradilan, KPPU juga merupakan lembaga pelaksana atau lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi pengawasan. Dalam rangka fungsi pengawasan tersebut, KPPU juga dilengkapi dengan kewenangan untuk memeriksa di luar persidangan, menggeledah dan bahkan dalam hal-hal tertentu dapat pula menyita dan merampas, seperti yang biasa dilakukan oleh polisi atau oleh jaksa. Dengan demikian, lingkup tugas dan kewenangan KPPU dapat mencakup bidang hukum yang luas, yaitu tidak saja mencakup bidang hukum bisnis (perdata), tetapi juga bidang hukum administrasi negara dan bahkan bidang hukum pidana.

Dengan terkonsentrasinya pelbagai macam urusan dalam kekuasaan KPPU ini, memang terbuka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dala praktik. Karena itu, adalah tepat jika UU menentukan aturan yang jelas dan rinci mengenai masing-masing bidang pekerjaan yang ditangani oleh KPPU ini, mana dan apa saja yang termasuk bidang administrasi dan mana dan apa saja yang termasuk bidang peradilan. Mana urusan yang dilakukan sebagai hakim, misalnya dalam memeriksa dalam persidangnan, dan mana pekerjaan yang dilakukan sebagai aparat pengawas yang berwenang menggeledah, menyadap dan sebagainya. Demikian pula mana yang menjadi urusan pengaturan atau ‘policy making’, dan mana yang termasuk ‘policy executing’, mana regulator dan mana operator, dapat dibedakan secara jelas agar tidak menimbulkan kekisruhan dan menyebabkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty).

Dalam pelaksanaan tugasnya, baik juga apabila KPPU membedakan antara proses administrasi seperti penerimaan laporan, dan proses pemeriksaan yang dapat pula dibedakan antara peeriksaan dalam sidang dan pemeriksaan di luar sidang. Misalnya, proses di luar sidang dapat dianggap sebagai proses administrasi, sedangkan pemeriksaan dalam sidang dapat dipandang sebagai proses peradilan yang harus tunduk kepada prinsip-prinsip hukum acara yang menjamin independensi, netralitas atau imparsialitas, keutuhan dan keseimbangan kepribadian (integritas) proporsionalitas, profesionalitas, kesetaraan, sopan santun, keterpercayaan, dan lain sebagainya. Seperti di pengadilan, maka setiap persidangan harus bersifat terbuka untuk umum, dan dalam persidangan itu, semua pihak yang terlibat

(13)

13

harus pula diberi kesempatan yang sama (equal opportunity) untuk membela dan mempertahankan kepetingannya masing-masing (audi et alteram partem).

Sebaliknya, urusan-urusan administrasi perkara, termasuk berkaitan dengan tindakan-tindakan kepolisian seperti menyita, mengedelah, dan sebagainya harus dilakukan secara seksama berdasarkan perintah resmi yang ditetapkan dala persidangan terbuka. Pelaksanaannya pun haruslah dilakukan oleh pejabat yang memang berwenang di bawah tanggungjawab komisioner, bukan sekedar oleh pegawai administrasi. Pendek kata, tatacara hukum acara dan prosedur penanganan perkara haruslah benar-benar diatur dengan ketat sehingga dapat terhindari terjadinya penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak-hak hukum dan hak konstitusional para pihak. Untuk itu, saya sangat menyetujui apabila UU No. 5 Tahun 1999 yang disusun dalam suasana krisis pada tahun 1998-1999 dapat kita sempurnakan dengan mengatur kembali pelbagai aspek hukum acara secara lebih baik dengan menjadikan pengalaman-pengalaman praktik selama ini sebagai pelajaran.

UU No.5/1999 memang belum lengkap mengatur mengenai hukum acara. Karena itu, seperti dikemukakan di atas, UU ini perlu disempurnakan di masa mendatang. Apalagi dalam perkembangan sesudah lahirnya UU ini pada tahun 1999 sudah sangat banyak sekali perubahan yang terjadi. Demikian pula pengalaman praktik selama 12 tahun terakhir telah memberikan banyak sekali pelajaran, sehingga kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1999 sangat terasa di lapangan. Kesimpulannya tidak lain adalah bahwa UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat ini memang perlu disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman.

E. CATATAN AKHIR

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha jelas merupakan suatu lembaga independen yang menjalankan fungsi campuran di bidang administrasi dan yustisi. Karena itu, komisi ini dapat disebut sebagai lembaga yang berfungsi semi-peradilan atau sebagai lembaga quasi semi-peradilan. Lembaga ini bersifat independen dan dalam menjalankan tugas pokoknya berdasarkan undang-undang tidak dapat dicampuri oleh pemerintah dan pihak lain.

Srebagai lembaga independen, KPPU tidak mempunyai fungsi regulasi sehingga tidak dapat disebut sebagai “independent self-regulatory body”. Fungsi KPPU hanya bersifat administrative dan yudikatif. Karena itu, fungsi lembaga ini hanya sebagai pelaksana undang-undang di bidang administrasi dan yudisial. Sebagai lembaga quasi peradilan, KPPU bekerja seperti pada umumnya pengadilan, yaitu melakukan pemanggilan terhadap pihak, mengadakan pemeriksaan dan penilaian terhadap alat-alat bukti, memutus dan mendeklarasikan atau memberitahukan putusan kepada para pihak. Hanya saja, untuk efektifitas eksekusi, diperlukan penetapan eksekusi oleh Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan Negeri juga berfungsi sebagai pengadilan tingkat dua apabila ada pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan KPPU. Pada tingkat ketiga atau terakhir, putusan komisi dapat pula diajukan ke Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi.

(14)

14

Oleh karena KPPU tidak secara tegas diberi kewenangan regulasi oleh pembentuk undang-undang, maka KPPU sebaiknya tidak menetapkan sesuatu peraturan untuk mengatur pelaksanaan tugasnya berdasarkan undang-undang. Untuk memenuhi kebutuhan operasional, cukuplah bagi KPPU untuk menyusun dan menetapkan pedoman kerja sesuai tugas resmi KPPU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 35 (f) UU No.5/1999. Kewenangan KPPU untuk menyusun pedoman kerja itu, bukanlah dan tidak dapat diidentikkan dengan kewenangan regulasi. Pedoman hanya berisi beleids-regel atau aturan kebijakan (policy rule) yang bukan atau tidak termasuk pengertian peraturan perundang-undangan. Pedoman hanya bersifat teknis administrative dan tidak boleh membuat atau menciptakan norma hukum baru yang sama sekali tidak diatur dalam undang-undang. Jika materi pedoman itu berisi norma hukum baru, maka norma hukum yang demikian dapat diabaikan daya ikatnya. Norma hukum yang demikian tidak dapat dipaksakan berlakunya dalam lalu lintas hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kasus dimana varian dari model regresi semiparametrik konstan, model spline original dapat diterapkan untuk mendapatkan model pendugaan yang baik terhadap data dengan

mengumpulkan, mengolah data dan informasi, menginventarisasi permasalahan serta melaksanakan pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan penerbitan Kartu Keluarga

Perhitungan statistik bobot karkas berkaitan erat dengan persentase bobot karkas sehingga perlakuan dengan penggunaan tepung kepiting sawah dalam pakan juga akan

Contoh telur diujung tanduk dan benang adalah realitas bahwa masing-masing penutur akan menggunakan ungkapan- ungkapan figuratif dengan simbol-simbol dan ungkapan

Pengaruh PGPR secara langsung dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman terjadi melalui bermacam-macam mekanisme, di antaranya fiksasi nitrogen bebas sehingga dapat

Nilai simbol pada persamaan (1) yang dipakai di Laboratorium Fisika, Balai Penelitian Tanah Bogor adalah: A = 45,72 cm 2 , dan L=4 cm (ukuran ring yang digunakan adalah tinggi 4

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada recital 55-57, KPPI tidak menemukan adanya faktor lain yang berkontribusi terhadap adanya ancaman kerugian serius yang

yang serius sebagai akibat kenaikan volume impor selama tiga tahun penyelidikan dimana volume impor produk benang kapas terus meningkat, maka dilihat dari