• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADE ARYANA RESTU SAPUTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADE ARYANA RESTU SAPUTRI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

PRAKTIK PEMBATALAN PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA

PADANG KLAS IA

ARTIKEL

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

ADE ARYANA RESTU SAPUTRI

1010012111071

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG

2015

(2)
(3)

1

Praktik Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA

Ade Aryana Restu S1, Yansalzisatry 1, Desmal Fajri 2. 1

Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universita Bung Hatta Email: [email protected]

ABSTRAK

Article 6 and Article 7 of the Marriage Act which states that: (1) marriage should be based on the agreement of both the bride; (2) To make a marriage a person who has not attained the age of 21 (twenty one) years of age must obtain permission from both parents and marriage is only allowed if the man has reached the age of 19 (nineteen) years and the woman has reached the age of 16 (sixteen ) years. Marriage can be cancelled if the parties do not meet the requirements to enter into marriage. In this study the formulation of the problem, namely 1). whether the factors that led to the cancellation of the marriage? 2). whether the legal consequences of marriage annulment? The method used is the juridical sociological form of primary data and secondary data. Data collection techniques in this study in the form of interviews and document study and data processing were analysed qualitatively. Based on the study the factors causing the cancellation of marriage: 1) the element of fraud, 2) element of coercion. As a result of the cancellation of the marriage law can occur between husband and wife of the Marriage carried deemed never existed or never happened.

Keywords : Practice, unmarriage

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dikarenakan saling membutuhkan satu sama lain, karena manusia mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya dalam sebuah kelompok yang disebut dengan masyarakat. Salah satu pembentukan kelompok masyarakat tersebut adalah dengan cara pembentukan keluarga melalui perkawinan.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dari definisi ini, dapat dilihat bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahagia diartikan sebagai kenyamanan dan kenikmatan spiritual dengan sempurna dan rasa kepuasan, sehingga merasa tenang serta damai, sedangkan kekal dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Dalam hidup

(4)

berpasang-2 pasangan ini dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an Surat Adzdzariat ayat (49) yang terjemahannya: “dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.

Tujuan diciptakannya manusia itu berpasang-pasangan adalah untuk melakukan perkawinan sebagai sarana untuk melangsungkan keturunan, oleh karena itu perkawinan merupakan sunatullah, jadi merupakan suatu ibadah.

Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan warahma. Keinginan untuk

melakukan perkawinan tersebut akan tampak sekali bila seseorang tersebut telah mencapai dewasa.

Agar perkawinan itu sah, maka perkawinan itu harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Tujuan dari pencatatan perkawinan adalah untuk mendapatkan kepastian hukum dan berfungsi sebagai alat bukti, sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa: Pada azasnya dalam sesuatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

(1) Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; (2) Untuk melangsungkan perkawinan

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa:

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Di dalam penjelasan Umum dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya

(5)

3 untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berakhir perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.

Undang-undang Perkawinan telah mengatur tentang syarat-syarat perkawinan, apabila terjadi perkawinan tetapi seseorang itu melanggar syarat-syarat perkawinan, maka dapat dilakukan pembatalan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa:

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila:

1. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

2. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian hari diketahui masih menjadi istri pria lain (mafqud) hilang. 3. Perempuan yang dikawini ternyata

masih dalam masa iddah dari suami lain.

4. Perkawinan yang melanggar batas umur, perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

5. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

6. Perkawinan yang dilakukan dengan paksa.

Pembatalan perkawinan bisa juga terjadi dalam suatu perkawinan yang telah berlangsung kemudian diketahui bahwa perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan dan hukum Agama. Pembatalan perkawinan yang disebabkan karena melanggar ketentuan agama harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan prinsip ajaran agama.

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkannya akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Pada hakikatnya pembatalan berarti pernikahan yang pernah terjadi dianggap batal atau dianggap tidak pernah terjadi.

Bertitik tolak dari kondisi inilah maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pembatalan perkawinan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Maka judul skripsi penulis adalah sebagai berikut: “PRAKTIK

PEMBATALAN PERKAWINAN DI

PENGADILAN AGAMA PADANG

KLAS IA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang, penulis akan membahas tentang:

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA?

(6)

4 2. Apakah akibat hukum terjadinya

pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dalam penulisan ini penulis mempunyai tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA. 2. Untuk mengetahui akibat hukum

terjadinya pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA.

D. Metode Penelitian

Penelitian adalah salah satu upaya manusia untuk mencari jawaban masalah yang dialami sehingga kesulitan yang dihadapi manusia tersebut dapat diatasi. Dalam penelitian yang dicari adalah pengetahuan yang benar mengenai sesuatu hal atau suatu fenomena. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis sosiologis. Penelitian secara yuridis sosiologis artinya dalam melakukan penelitian penulis melihat kenyataannya yang ada di lapangan dikaitkan dengan Undang-Undang.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan, guna mendapatkan data primer yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan melakukan wawancara terhadap informan yang terdiri dari tiga orang hakim Pengadilan Agama Padang Klas I A, satu orang panitera dan pihak yang melakukan pembatalan perkawinan.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang sudah diolah dan di dokumentasi, sehingga sering juga disebut data kepustakaan. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum primer

Yang menjadi bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, seperti: a) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan

b) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. c) Peraturan Pemerintah Nomor 9

(7)

5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

d) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti karya dari ahli hukum yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan dan putusan hakim mengenai pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA.

3. Teknik dan alat Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data digunakan dua macam teknik, yaitu:

a. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang penulis lakukan terhadap informan. Dalam melakukan wawancara ini, penulis menggunakan wawancara semi terstruktur dimana wawancara tersebut disertai dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Dan dalam melaksanakan wawancara tersebut penulis menggunakan teknik wawancara terbuka yaitu wawancara dengan pertanyaan yang sudah diajukan sedemikian rupa bentuknya, sehingga informan tidak hanya terbatas pada jawaban “ya” atau “tidak”, tetapi

juga dapat memberikan penjelasannya. Alat yang digunakan dalam wawancara ini berupa daftar pertanyaan.

b. Studi dokumen

Studi dokumen merupakan teknik pengumpulan data yang penulis lakukan terhadap bahan-bahan kepustakaan hukum. Adapun caranya adalah dengan membaca, mencatat, meresume, dan mengutip peraturan, buku, serta dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Teknik pengolahan

Data yang diperoleh setelah penelitian akan mengalami proses

editing. Editing merupakan suatu

upaya meneliti kembali catatan atau data-data yang diperoleh apakah data tersebut telah cukup lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan. Pada

editing juga dilakukan pemisahan

antara data yang diperlukan dengan data yang tidak diperlukan sesuai dengan permasalahan.

b. Analisis data

Setelah semua data dirasa lengkap, maka data dikelompokkan secara kualitatif, yaitu data yang diperoleh dianalisa sesuai permasalahan yang dirumuskan, kemudian di ambil suatu kesimpulan.

(8)

6

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor yang menyebabkan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA

Pengadilan Agama merupakan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan dalam perkawinan bagi yang beragama Islam dan mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan jika perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun yang sah menurut syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, perkara pembatalan perkawinan yang masuk ke Pengadilan Agama Klas I Padang dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2013 dapat dilihat dalam tabel berikut

Tabel 1

Tabel Faktor-faktor Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Klas I Padang

Tahun 2008-2013 No Tahun Faktor-Faktor Jumlah No. Perkara Keterangan 1. 2008 Karena unsur paksaan 1 No. 241/Pdt. G/2008/ PA.Pdg Dikabulkan 2. 2009 Karena unsur penipuan 1 No. 342/Pdt. G/2009/ PA.Pdg Dikabulkan sebagian 3. 2010 - - - 4. 2011 - - - 5. 2012 Karena unsur penipuan 1 No. 891/Pdt. G/2012/ PA.Pdg Ditolak 6. 2013 - - -

Sumber Data : Pengadilan Agama Padang Klas IA Tahun 2014

Dari kasus-kasus yang terjadi dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2013 tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Pada kasus yang pertama yaitu kasus yang terjadi pada tahun 2008 dengan Nomor

Perkara 241/Pdt.G/2008/PA.Pdg, yang duduk perkaranya sebagai berikut: Sebelum pernikahan, Tergugat III telah menyatakan kepada Penggugat dan orang tua Penggugat bahwa Tergugat III menolak menikah dengan Penggugat karena alasan yang tidak jelas. Hal ini membuat Penggugat pun tidak melanjutkan pernikahannya, namun ayah Penggugat (Tergugat I) tetap memaksa Penggugat dan Tergugat III untuk melangsungkan pernikahan karena hari dan tanggal serta undangan pernikahan Penggugat dan Tergugat III telah disebar, namun sebelum akad nikah, Penggugat dan Tergugat III telah menyatakan menolak untuk menikah kepada PPN KUA (Tergugat II). Setelah pesta pernikahan, Tergugat III meminta izin kepada orang tua Penggugat untuk bekerja dan sejak saat itu komunikasi antara Penggugat dan Tergugat III terputus sama sekali. Dengan keadaan seperti itu jelas rumah tangga harmonis tidak akan pernah dicapai karena baik Penggugat dan Tergugat III sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini. Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan alat-alat bukti seperti alat bukti surat- surat dan saksi.

Dalam kasus di atas alasan pokok gugatan Penggugat untuk membatalkan perkawinannya dengan Tergugat III karena pernikahan yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat III adalah karena terpaksa,

(9)

7 dimana Penggugat merasa terancam melakukan perkawinan ini walaupun pada awalnya antara Penggugat dengan Tergugat III ada persetujuan. Di dalam pertimbangan hukumnya, hakim menimbang bahwa berdasarkan fakta yang ada, Majelis hakim berpendapat bahwa pernikahan Penggugat dan Tergugat III sebelumnya ada kemauan dan persetujuan dari Penggugat dan Tergugat III, namun setelah 2 minggu menjelang pernikahan dilaksanakan timbullah ketidakmauan kedua belah pihak untuk menikah. Ketidakmauan pihak Tergugat III ditandai dengan kata-kata adik Tergugat III yang mengatakan bahwa Tegugat tidak mau menikah dengan Penggugat karena Tergugat III sudah mempunyai pacar.

Selanjutnya ditandai dengan menghilangnya Tergugat III dari rumah orang tuanya, kemudian ditandai dengan ketidaksiapan Tergugat III dan terakhir ditandai dengan perginya Tergugat III sehari setelah pesta pernikahan yang sampai sekarang tidak pernah kembali.Kemudian ketidaksiapan pihak Penggugat ditandai dengan pernyataan Penggugat yang memperlihatkan ketidakmauannya menikah dengan Tergugat III.

Selanjutnya ditandai dengan minggatnya Penggugat dari rumah orang tuanya sewaktu keluarga menyebarkan undangan untuk pesta, oleh sebab itu, berdasarkan pertimbangan diatas, maka

didapati fakta hukum bahwa pernikahan antara Penggugat dan Tergugat III telah melanggar/ tidak memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 jo Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam tentang syarat-syarat pernikahan yang berbunyi: “Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.

Maka dari itu suatu perbuatan bilamana tidak didasarkan kepada niat yang bersih untuk mendapatkan suatu tujuan yang baik, sudah pasti hasilnya akan mengecewakan, seperti perkawinan dalam Islam adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian perkawinan yang dilakukan Penggugat dan Tergugat III tidak dilakukan sebagaimana tujuan tersebut, oleh karena itu gugatan Penggugat tentang pembatalan pernikahan ini dapat dikabulkan.

Selanjutnya hasil putusan dari kasus di atas adalah sebagai berikut:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;

b. Membatalkan perkawinan Penggugat dengan Tergugat III yang dilangsungkan pada tanggal 09 Februari 2008;

c. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor. 81/10/II/2008 tanggal 11 Februari 2008 tidak berkekuatan hukum;

(10)

8 d. Membebankan biaya perkara sebesar

Rp. 365.000,- (Tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah).

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Penggugat, bahwa faktor yang menyebabkan pembatalan perkawinan tersebut yaitu adanya unsur paksaan. Penggugat menyatakan bahwa sejak awal rencana pernikahan memang sudah banyak masalah yang tidak baik dari suami saya yang terlihat dari tingkah lakunya yang tidak disukai, apabila saya tidak melakukan pernikahan ini maka orang tua saya merasa malu karena undangan pernikahan telah disebar. Selanjutnya setelah pernikahan berlangsung, suami saya pergi meninggalkan rumah dan menurut keterangan dari saksi suami saya selalu berpindah tempat tinggal dan sejak saat itulah komunikasi antara saya dan suami saya terputus. Alasan lain yang membuat saya ingin membatalkan perkawinan ini adalah saya mengetahui jika suami saya telah mempunyai pacar.

Menurut Bapak Thamrin Habib selaku Hakim yang memutus perkara ini, perkawinan yang dilakukan dengan unsur paksaan ini muncul karena ada yang melatarbelakanginya, yaitu adanya perjanjian di antara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya dan ada juga karena faktor keluarga. Dalam hal ini perkawinan dilaksanakan tanpa didasari atas

persetujuan kedua calon mempelai. Perkawinan yang dilakukan dengan paksaan ini terjadi karena tidak adanya kesiapan di antara pihak baik dari calon suami atau calon isteri untuk menjalankan perkawinan tersebut.

Pada kasus yang kedua Tahun 2009

dengan Nomor Perkara

342/Pdt.G/2009/PA.Pdg, yang duduk perkaranya sebagai berikut: Pada tanggal 23 Januari 2009 Penggugat dan Tergugat I telah melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor: 128/128/III/2009 tanggal 27 Januari 2009. Dalam proses pernikahan Penggugat dan Tergugat I tersebut, Penggugat merasa ditipu oleh Tergugat I yang mana Tergugat I telah memalsukan identitas diri yaitu sebelum menikah dengan Penggugat, Tergugat I mengaku duda ditinggal mati oleh istri.

Setelah pernikahan Penggugat dengan Tergugat I dilaksanakan Penggugat baru mengetahui bahwa istri Tergugat masih hidup sampai sekarang, dan antara Tergugat I dengan istri Tergugat I yang pertama tersebut sampai saat ini masih hidup bersama sebagai suami istri. Dalam perkara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat I diatas dapat dimintakan pembatalan perkawinannya karena terdapat

(11)

9 tindakan adanya pemalsuan identitas yang dilakukan Tergugat I tindakan ini merupakan perbuatan yang melawan hukum, oleh karena itu, Penggugat cukup beralasan hukum untuk membatalkan perkawinannya tersebut.

Pertimbangan hakim pada kasus ini yaitu pembatalan pernikahan yang diajukan oleh Penggugat karena Penggugat merasa ditipu oleh Tergugat I dimana Tergugat I mengaku duda di tinggal mati oleh istrinya, akan tetapi setelah 2 bulan pernikahan dilaksanakan Penggugat baru mengetahui bahwa istri Tergugat I yang pertama masih hidup sampai sekarang dan antara Tergugat I dengan istrinya tersebut sampai saat ini masih hidup bersama sebagai suami istri.

Selanjutnya hakim menimbang bahwa pembatalan pernikahan yang dapat diajukan oleh suami atau istri pada pokoknya adalah apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri dan apabila yang bersalah sangka menyadari keadaan dalam jangka waktu 6 bulan itu masih hidup sebagai suami istri dan tidak mengajukan maka haknya gugur.

Berdasarkan bukti Tergugat I telah memalsukan identitas dirinya pada saat menikah dengan Penggugat. Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan pembatalan pernikahan yang diajukan Penggugat telah beralasan hukum dapat dikabulkan.

Selanjutnya terhadap petitum Penggugat, Pengadilan Agama tidak mempunyai wewenang untuk memerintahkan Kepala Kantor Urusan Agama agar mencoret pencatatan pernikahan Penggugat dengan Tergugat I dari Register Pernikahan, oleh karena itu gugatan Penggugat tersebut harus ditolak.

Hasil putusan dari kasus di atas adalah sebagai berikut:

a. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

b. Membatalkan pernikahan Penggugat dengan Tergugat I;

c. Menyatakan Akta Nikah Nomor: 128/128/III/2009 atas nama Penggugat dengan Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum;

d. Menolak gugatan Penggugat selainnya; e. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 291.000.- (Dua ratus sembilan puluh satu ribu rupiah) kepada Penggugat.

Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan pihak Penggugat, faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan adalah karena adanya unsur penipuan, dimana Penggugat menyatakan bahwa ”suami saya sebelum melakukan pernikahan mengaku seorang duda yang di tinggal mati oleh isterinya, namun setelah pernikahan dilaksanakan saya baru mengetahui bahwa istri pertamanya masih

(12)

10 hidup dan masih berstatus sebagai suami isteri, mengetahui hal tersebut saya merasa telah ditipu dengan pemalsuan identitas diri suami saya. Dan saya baru mengetahui hal tersebut dari keterangan saksi yang merupakan kakak kandung saya, bahwa setelah pernikahan dilaksanakan, suami saya mengaku sebagai duda dan dia benar-benar meyakinkan saya, maka dari itulah saya mau melangsungkan pernikahan dengan dia”.

Dari hasil wawancara dengan Bapak Jasrizal selaku hakim yang memutus perkara ini, bahwa yang mengajukan pembatalan perkawinan ini adalah pihak istri, dalam hal ini penipuan dilakukan oleh suami. Pada kasus ini penipuan yang dilakukan suami adalah adanya pemalsuan surat-surat untuk melakukan perkawinan, dimana sebelum melakukan perkawinan suami mengaku sebagai duda yang di tinggal mati oleh istrinya, tetapi setelah melangsungkan pernikahan ternyata Penggugat baru mengetahui bahwa istri Tergugat masih hidup sampai sekarang dan antara mereka sampai saat ini masih hidup bersama sebagai suami istri.

Kemudian menurut beliau, perkawinan yang dilakukan karena unsur penipuan ini sebaiknya tidak harus dimintakan pembatalan perkawinannya apabila para pihak mau berdamai dan mau menerima keadaan suami atau isteri apa adanya. Dalam hal ini perkawinan tersebut

sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.

Pada kasus yang ketiga Tahun 2012

dengan Nomor Perkara

891/Pdt.G/2012/PA.Pdg, yang duduk perkaranya sebagai berikut: Pemohon dan Termohon adalah suami istri yang sah dan telah menikah pada tanggal 18 Oktober 2012. Setelah pernikahan Pemohon dan Termohon melakukan hubungan suami istri, dan setelah pernikahan tersebut diketahui bahwa Termohon tidak perawan lagi hal ini diketahui setelah Pemohon melakukan hubungan suami istri dengan Termohon. Pemohon menanyakan hal tersebut kepada Termohon dan Termohon pun mengakui bahwa Termohon sebelumnya pernah berbuat asusila dengan laki-laki lain.Hal ini didasarkan kepada surat pernyataan Termohon yang dibuat dan ditandatangani oleh Termohon sendiri, sehingga karena hal tersebut Pemohon merasa sangat kecewa karena sebelum menikah Termohon mengaku perawan dan Pemohon pun sudah berulang-ulang kali menanyakan hal itu, dan kini Pemohon merasa ditipu oleh Termohon. Dengan demikian, maka Pemohon cukup beralasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan antara Pemohon dan Termohon dengan alasan penipuan, oleh karena itu Pemohon berkeyakinan rumah tangganya tidak bisa dilanjutkan lagi.

(13)

11 Pertimbangan hakim dalam kasus ini yaitu Majelis Hakim memberikan alasannya bahwa permohonan Pemohon untuk mengajukan pembatalan perkawinan ini adalah Pemohon mengatakan bahwa dia ditipu oleh Termohon karena Termohon tidak perawan lagi, padahal Pemohon mengetahui bahwa Termohon tidak perawan lagi setelah melakukan hubungan suami istri, oleh karena itulah Majelis Hakim menyatakan permohonan Pemohon untuk mengajukan pembatalan perkawinan tidak dapat diterima.

Hasil putusan dari kasus tahun 2012 adalah sebagai berikut:

a. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;

b. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon sebesar Rp. 316.000.- (Tiga ratus enam belas ribu rupiah).

Dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada Pemohon bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan ini karena unsur penipuan dimana Pemohon merasa ditipu oleh Termohon dengan memalsukan identitas dirinya. Dalam hal ini Pemohon baru mengetahui bahwa Termohon tidak perawan lagi setelah melakukan hubungan suami istri karena itulah Pemohon merasa sangat kecewa terhadap Termohon.

Dan dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap Bapak Ahmad

Anshary selaku hakim Pengadilan Agama Padang Klas IA bahwa suatu perkawinan yang dilakukan dengan unsur penipuan ini sebaiknya tidak dimintakan pembatalan perkawinannya apabila para pihak mau berdamai. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Warnelis Watman selaku wakil panitera, bahwa faktor yang menyebabkan pembatalan perkawinan bisa terjadi karena pemalsuan identitas. Pemalsuan identitas ini merupakan suatu unsur penipuan yang dapat dimintakan pembatalan perkawinannya. Adapun bentuk unsur penipuan yang dilakukan adalah adanya pemalsuan surat-surat untuk melangsungkan perkawinan tersebut, selain pemalsuan identitas faktor lain yang menyebabkan pembatalan perkawinan itu adalah adanya wali nikah yang tidak sah dimana dalam melangsungkan perkawinan yang menjadi wali nikahnya bukan wali yang berhak, sementara wali yang berhak tersebut ada.

B. Akibat hukum terjadinya Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Padang Klas IA

Dengan adanya pembatalan perkawinan ini, maka akibat hukum terhadap suami istri adalah perkawinan itu dianggap tidak pernah ada atau tidak terjadi. Pada kasus Tahun 2008, akibat hukum terhadap harta tidak di bahas karena masing-masing pihak tidak ingin mempermasalahkannya. Dalam hal ini Penggugat dan Tergugat belum mempunyai harta bersama karena setelah pernikahan berlangsung

(14)

12 komunikasi Penggugat dan Tergugat terputus. Selanjutnya akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak tidak ada karena setelah pernikahan Penggugat dan Tergugat tidak memiliki anak.

Pada kasus 2009, akibat hukum terhadap harta tidak dipermasalahkan karena Penggugat dan Tergugat belum mempunyai harta bersama dan selama perkawinannya mereka masih menggunakan fasilitas dari harta bawaan masing-masing. Selanjutnya akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak tidak ada karena setelah pernikahan pihak Penggugat dan Tergugat tidak memiliki anak. Suatu perkawinan dapat dibatalkan setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah putusnya perkawinan itu karena perkawinan yang dilakukannya itu tidak sah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Anshary selaku hakim Pengadilan Agama Padang Klas IA, bahwa akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan jika mempunyai anak tidak berpengaruh pada pembatalan perkawinan karena status anak di sini tetap sebagai anak dari kedua orang tuanya, artinya anak tersebut lahir sebelum adanya pembatalan perkawinan, sedangkan apabila suami istri tersebut tidak mempunyai anak maka tidak ada akibat hukum dari pembatalan perkawinan tersebut.

Sementara itu akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan terhadap harta kekayaan sebelum terjadinya pembatalan perkawinan harta kekayaan tersebut tetap sebagai harta bersama suami dan istri, sedangkan posisi harta sesudah

terjadinya pembatalan perkawinan tersebut dibagi dua sesuai dengan mata pencaharian pihak-pihak yang mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dan mulai berlaku setelah permohonan pembatalan perkawinan diputuskan.

Selanjutnya akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik adalah pembatalan perkawinannya tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, karena segala perbuatan yang dilakukan oleh suami atau istri sebelum pembatalan perkawinan masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh pihak suami atau istri tersebut, sehingga pihak ketiga yang beritikad baik itu tidak merasa dirugikan. Dan dalam massa iddah pembatalan perkawinan ini tidak berlaku, kecuali dalam perkara perceraian.

Dan pada kasus di atas, akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang ditimbulkan dari pihak pemohon dan pihak Termohon adalah tidak adanya lagi hubungan antar Pemohon dan Termohon dikarenakan sudah tidak terikat lagi dengan ikatan perkawinan yang sah. Serta tidak adanya kewajiban lagi yang terjadi antara Pemohon dan Termohon.

Penutup A. Simpulan

Dari pembahasan yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan secara umum yaitu: a. Karena unsur penipuan

Dalam hal ini salah satu pihak melakukan penipuan dengan untuk

(15)

13 adanya pemalsuan surat-surat berupa pemalsuan identitas diri untuk melangsungkan perkawinan.

b. Karena unsur paksaan

Faktor pembatalan perkawinan karena adanya unsur paksaan ini terjadi karena tidak adanya kesiapan di antara pihak baik calon suami atau calon istri untuk menjalankan perkawinan tersebut. c. Karena wali nikah tidak sah

Dalam suatu perkawinan, wali nikah sangatlah dibutuhkan karena merupakan salah satu rukun perkawinan. Untuk melaksanakan perkawinan tersebut yang harus menjadi wali yaitu ayah kandung dari calon mempelai wanita, jika perkawinan tersebut dilaksanakan tanpa izin orang tua (ayah) kandung mempelai wanita sehingga perkawinan tersebut dilaksanakan oleh wali yang tidak sah, maka perkawinan ini dapat dibatalkan.

d. Karena adanya hubungan sedarah (nasab)

Perkawinan yang disebabkan adanya hubungan sedarah (nasab), maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena bertentangan dengan hukum Agama.

Selanjutnya dari tiga kasus diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan yaitu karena adanya unsur penipuan dan unsur paksaan.

2. Akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan

Akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan secara umum, yaitu:

a. Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap suami isteri adalah perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.

b. Anak tidak berpengaruh pada pembatalan perkawinan karena status anak di sini tetap sebagai anak dari kedua orang tuanya, artinya anak tersebut lahir sebelum adanya pembatalan perkawinan. Sementara itu jika suami isteri tersebut tidak mempunyai anak, maka tidak ada akibat hukumnya dari pembatalan perkawinan tersebut.

c. Akibat hukum terhadap harta bersama sebelum terjadinya pembatalan perkawinan adalah harta tersebut masih menjadi milik masing-masing, sedangkan setelah terjadinya pembatalan perkawinan harta bersama tersebut dibagi dua.

d. Akibat hukum terjadinya pembatalan perkawinan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik adalah pembatalan perkawinannya tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut.

Dari tiga kasus diatas, akibat hukum yang terjadi karena adanya pembatalan perkawinan terhadap suami isteri adalah perkawinan itu dianggap tidak pernah ada atau dianggap tidak pernah terjadi. Selanjutnya akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap anak tidak ada karena dalam perkawinan tersebut para

(16)

14 pihak belum mempunyai anak. Dan akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap harta tidak ada karena perkawinan yang dilangsungkan hanya terjadi beberapa bulan sehingga para pihak masih menggunakan harta bawaan masing-masing.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, maka saran yang dapat diberikan adalah:

1. Agar suatu perkawinan itu dapat dilaksanakan dengan baik menurut syari’at Islam, maka hendaknya sebelum melakukan suatu perkawinan sebaiknya calon suami dan calon istri benar-benar mengetahui terlebih dahulu identitas masing-masing calonnya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari serta dapat mempertimbangkan secara matang apa akibatnya nanti jika perkawinan itu dibatalkan.

2. Sebaiknya sebelum melangsungkan perkawinan hendaknya kedua calon mempelai dapat menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan agar tidak terjadi pembatalan perkawinan.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang sudah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi. Pihak-pihak yang dengan sabar membimbing dan selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

Pihak tersebut adalah: (1) Ibu Yansalzisatry, S.H., M.H, selaku Pembimbing I (2) Bapak Desmal Fajri S.Ag., M.H, selaku Pembimbing II. Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum, (3) Bapak Adri, S.H., M.H, dan selaku Penguji II (4) Ibu As Suaiti Arief, S.H., M.H, selaku Penguji I, (6) Keluarga tercinta yang selalu memberi dukungan moril maupun materi. (7) serta teman-teman seperjuangan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdul Rahman Ghozali, 2010, Fiqh

Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ali Affandi, 2004, Hukum Waris Hukum

Keluarga Hukum Pembuktian,

Rineka Cipta, Jakarta.

Ali Zainuddin, 2007, Hukum Perdata

Islamdi Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Amir Syariffudin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,

Kencana, Jakarta.

Arso Sosroatmodjo,H. dan Wasit Aulawi, 1981, Hukum Perkawinan

di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta

Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum

Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

(17)

15 Hotman Pardomuan Sibuea, dan

Heryberthus Sukartono, 2009,

Metode Penelitian Hukum,

Krakatauw Book, Jakarta.

K.Wantijk Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Muttaqin, 2004, Pedoman Pegawai

Pencatatan Nikah (PPN), Proyek

Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Jakarta

R. Subekti, 1990 , Ringkasan Tentang

Hukum Keluarga dan Waris, PT.

Intermassa, Jakarta.

Sajuti Thalib, 1974, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan

Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Salim HS, 2013, Pengantar Hukum

Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1960, Hukum

Perkawinan di Indonesia, Sumur

Bandung, Jakarta.

B. Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam.

C. Sumber Lain

Rukun dan Syarat Nikah, diakses dari http://inasukarno.blogspot.com/p/ru kun-syarat-sah-nikah.html pada tanggal 01 Juni 2014 jam 18.45 WIB.

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,

diakses dari

http://anizaida89.blogspot.com/201 1/09/pencegahan-dan-pembatalan-perkawinan.html pada tanggal 24 Juni 2014 jam 19.08 WIB.

Pengertian dan makna Ijab Kabul,

diakses dari

andoeslsean.blogspot.com/2013/11/

pengertian-dan-makna-ijab-kabul.html pada tanggal 07 Agustus 2014 jam 21.45 WIB.

Rukun nikah, diakses dari www.bimbie.com/rukun-nikah.htm pada tanggal 05 Januari 2015 jam 18.23 WIB.

Fasakh, diakses dari

mickeydza90.blogspot.in/2011/09/F asakh.html pada tanggal 06 Januari 2015 jam 08.30 WIB.

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan,

diakses dari

http://anizaida89.blogspot.com/20

11/09/pencegahan-dan-pembatalan-perkawinan.html pada tanggal 24 Juni 2014 jam 19.08 WIB.

Pembatalan Perkawinan, diakses dari blogperadilan.blogspot.in/2011/05/ pembatalan-perkawinan.html pada 06 Januari 2015 Jam 07. 13 WIB.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Syarat Pemeriksaan Kesehatan dalam Perkawinan Perspektif UU Perkawinan Secara ringkas, pengaturan syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1

Analisis hukum perkawinan Islam terhadap batas usia perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, jika kita

Undang-undang perkawinan sendiri telah memberikan peluang untuk melakakukan perkawinan di bawah umur yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia anak yaitu yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan

Perkawinan dibawah umur di Desa Giyanti tidak dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 7 yang menyebutkan apabila

suami. Subekti berpendapat bahwa syarat-syarat untuk dapat syahnya perkawinan ialah: 1).Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk

• Menurut norma positif, jika terjadi perkawinan dalam masa iddah maka Pengadilan membatalkan perkawinan itu….atau Menurut norma positif, jika terjadi perkawinan dalam masa iddah