• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sekedar mengukur aspek pendapatan nominal. Kesejahteraan adalah standard

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. sekedar mengukur aspek pendapatan nominal. Kesejahteraan adalah standard"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

20 2.1 Konsep dan Definisi

2.1.1 Kesejahteraan Masyarakat

Konsep kesejahteraan dikembangkan menjadi lebih luas dibandingan sekedar mengukur aspek pendapatan nominal. Kesejahteraan adalah standard living, well-being, welfare, dan quality of life. Kim et al (2012) menyatakan kesejahteraan sebagai kualitas life of satisfaction yang bertujuan untuk mengukur posisi anggota masyarakat dalam membangun keseimbangan hidup mencakup antara lain : (a) material well-being, (b) community wellbeing, (c) emotional wellbeing, (d) save and security.

Kajian organisasi ekonomi dalam keluarga menggunakan demand terhadap barang strategis sebagai indikator kesejahteraan. Ukuran lain kesejahteraan adalah proporsi pengeluaran untuk pangan. Kesejahteraan merupakan pencerminan dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasikannya nilai-nilai hidup. Istilah kesehatan sosial keluarga dan kesejahteraan sosial keluarga bagi keluarga yang dapat melahirkan individu dengan pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Pengertian kesejahteraan sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu masyarakat guna memperoleh kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Seseorang yang mempunyai kekurangan kemampuan mungkin memiliki kesejahteraan yang rendah, kurangnya kemampuan dapat

(2)

berarti kurang mampu untuk mencapai fungsi tertentu sehingga kurang sejahtera. Terdapat beragam pengertian mengenai kesejahteraan, karena lebih bersifat subjektif dimana setiap orang dengan pedoman, tujuan dan cara hidupnya yang berbeda-beda akan memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang kesejahteraan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan.

Besar keluarga sejahtera lebih sedikit dari keluarga pra-sejahtera, pendapatan per kapita keluarga pra-sejahtera lebih rendah dari keluarga sejahtera, pendapatan keluarga sejahtera dan pra-sejahtera lebih tinggi dari kriteria kemiskinan. Persentase pengeluaran pangan keluarga pra-sejahtera lebih besar dari keluarga sejahtera, pengetahuan gizi ibu dari keluarga pra-sejahtera lebih rendah dari keluarga sejahtera, status gizi balita baik dari keluarga sejahtera lebih baik dari status gizi balita keluarga pra-sejahtera. Dalam kaitannya dengan prilaku konsumsi di keluarga, khususnya menyoroti prilaku altruistik dari sebagian anggota keluarga dari sudut pandang ahli ekonomi terhadap prilaku konsumsi di keluarga. Anggota keluarga altruistik melakukan serangkaian prilaku pengorbanan yang menyebabkan peningkatan kesejahteraan bagi anggota lainnya dalam keluarga. Hasil kajian sebaliknya menunjukkan bahwa peningkatan sumber daya bagi anggota keluarga yang egoistik berakibat terhadap penurunan kesejahteraan anggota keluarga lainnya, khususnya yang altruistik, sedangkan Narayan et al, (2000), mengkaji kemiskinan (poverty) di berbagai negara serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam kajian tersebut digunakan beberapa konsep atau istilah kesejahteraan sebagai sisi lain pengukuran kemiskinan seperti kesejahteraan material dan kesejahteraan psikologi.

(3)

2.1.2 Destinasi Desa Wisata

Pariwisata berbasis Agrowisata adalah kegiatan pariwisata yang berlatar belakang sumber daya alam sektor pertanian yang ditingkatkan dan dilengkapi menjadi bisnis industri yang menawarkan produk siap saji secara segar dan alami, yang bisa dinikmati wisatawan secara langsung di wilayah destinasi wisata. Agrowisata menghadirkan perusahaan pengelola wisata yang bergerak dalam jasa pariwisata seperti biro perjalanan, hotel, dan lain lain. Arifin (2001) mengatakan bahwa agrowisata adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata yang berlangsung pada kawasan pertanian dan kegiatan yang ada didalamnya seperti persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan hasil panen sampai dalam bentuk siap dipasarkan dan produk pertanian itu bisa dibeli oleh wisatawan tersebut sebagai oleh-oleh.

Kegiatan penyajian agrowisata, adalah upaya menyediakan fasilitas bagi wisatawan mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan pertanian. Cottrell et al (2014) menyatakan bahwa agrowisata merupakan sistem kegiatan yang dipadukan dan dikoordinasikan untuk mengembangkan pariwisata sekaligus pertanian dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan petani.

Manfaat pengembangan agrowisata sangat banyak ragamnya baik langsung maupun tidak langsung kepada petani dan masyarakat pedesaan. Beberapa manfaat tersebut menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1996) adalah : 1) Meningkatkan konservasi lingkungan.

(4)

3) Memberikan nilai rekreasi.

4) Meningkatkan kegiatan ilmiah dan pengembangan ilmu pengetahuan. 5) Mendapatkan keuntungan ekonomi.

Selain yang disebutkan diatas, manfaat lainnya seperti :

1) Transformasi budaya antara masyarakat perkotaan dan pedesaan termasuk nilai – nilai moral sosial.

2) Manfaat bagi masyarakat perkotaan adalah mereka dapat memahami tentang kehidupan di pedesaan dan mengenal kegiatan pertanian.

2.1.3 Industri pariwisata

Industri pariwisata juga diartikan sebagai kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan pada penyelenggaraan pariwisata. Orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata disebut pengusaha pariwisata. Usaha pariwisata merupakan kegiatan bisnis yang berhubungan langsung dengan kegiatan wisata sehingga tanpa keberadaaanya, pariwisata tidak dapat berjalan dengan baik. Dalam industri pariwisata terdapat berbagai usaha pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Adanya industri pariwisata adalah industri yang multisektor. Jenis Usaha Pariwisata Dalam Pasal 14 ayat (1) UU Kepariwisataan menjelaskan bahwa ruang lingkup jenis usaha Pariwisata meliputi : a. Daya tarik wisata adalah usaha yang kegiatannya mengelola daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya, dan daya tarik wisata buatan/binaan manusia. b. Kawasan pariwisata adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau

(5)

mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. c. Jasa transportasi wisata adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata, bukan angkutan transportasi regular/umum. d. Jasa perjalanan wisata adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumentasi perjalanan. e. Jasa makanan dan minuman adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minuman. 22 Ismayanti, op.cit, h. 19. 27 f. Penyediaan akomodasi adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, pesinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata. g. Penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi merupakan usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata. h. Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluasakan informasi dan

(6)

promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional. i. Jasa informasi pariwisata adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan y ang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik. j. Jasa konsultan pariwisata adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan. k. Jasa pramuwisata adalah usaha yang menyediakan dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata. l. Wisata tirta merupakan usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. m. Spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Usaha-usaha pendukung yang dalam industri pariwisata meliputi diantaranya usaha cinderamata, pendidikan pariwisata, polisi pariwisata, serta usaha-usaha lain seperti penukaran uang, bank, klinik kesehatan, dan usaha telekomunikasi.

2.1.4 Kebijakan Pemerintah

Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan bermasyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk dalam keluarga. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, akan

(7)

senantiasa tersangkut dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan dasar, manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain serta bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol dalam aktivitas dan mengembangkan masyarakat.

Lahirnya pemerintahan pada awalnya adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam masyasrakat, sehingga masyarakat tersebut bisa menjalankan kehidupan secara wajar. Seiring dengan perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan, peran pemerintah kemudian berubah menjadi melayani masyarakat. Pemerintah modern, dengan kata lain pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000).

Ndraha (2000), mengatakan bahwa pemerintah memegang pertanggungjawaban atas kepentingan rakyat. Lebih lanjut Ndraha juga mengatakan bahwa pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan layanan sipil. Sejalan dengan itu, Kaufman (dalam Thoha, 1995), menyebutkan bahwa tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa tugas pelayanan lebih menekankan upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan

(8)

publik dan memberikan kepuasan kepada publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Al Rasyid (2000), yang menyebutkan secara umum tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup : Pertama, menjamin keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar dan menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan yang sah melalui cara-cara kekerasan. Kedua, memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya gontok-gontokan di antara warga masyarakat, menjamin agar perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara damai. Ketiga, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka. Keempat, melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintahan, atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah. Kelima, melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial : membantu orang miskin dan memelihara orang cacat, jompo dan anak terlantar, menampung serta menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan semacamnya. Keenam, menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan masyarakat luas, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta kebijakan lain yang secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi negara dan masyarakat. Ketujuh, menerapkan kebijakan untuk memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air, tanah dan hutan.

(9)

Peranan alokasi oleh pemerintah ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal penyediaan barang yang tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-barang umum atau disebut juga barang-barang publik. Karena dalam sistem perekonomian suatu negara, tidak semua barang dapat disediakan oleh swasta dan dapat diperoleh melalui sistem pasar. Dalam hal seperti ini maka pemerintah harus bisa menyediakan apa yang disebut barang publik tadi. Tidak dapat tersedianya barang-barang publik tersebut melalui sistem pasar disebut dengan kegagalan pasar. Hal ini dikarenakan manfaat dari barang tersebut tidak dapat dinikmati hanya oleh yang memiliki sendiri, tapi dapat dimiliki/dinikmati pula oleh yang lain, dengan kata lain, barang tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian seperti halnya barang swasta. Contohnya seperti udara bersih, jalan umum, jembatan, dan lain-lain. Kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun barang-barang dan atau jasa-jasa untuk memuaskan/memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang secara efektif tidak dapat dipuaskan oleh mekanisme pasar. Contohnya dalam kegiatan pendidikan, pertahanan dan keamanan, serta keadilan.

Peranan stabilisasi, kegiatan menstabilisasikan perekonomian yaitu dengan menggabungkan kebijakan-kebijakan moneter dan kebijakan-kebijakan lain seperti kebijakan fiskal dan perdagangan untuk meningkatkan atau mengurangi besarnya permintaan agregat sehingga dapat mempertahankan full employment dan menghindari inflasi maupun deflasi. Peranan stabilisasi pemerintah dibutuhkan jika terjadi gangguan dalam menstabilkan perekonomian, seperti:

(10)

terjadi deflasi, inflasi, penurunan permintaan/penawaran suatu barang, yang nantinya masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan timbulnya masalah yang lain secara berturut-turut, seperti pengangguran, stagflasi, dan lain-lain. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana menyelaraskan seluruh kebijakan yang akan diterapkan jika terjadi suatu masalah, tanpa bertentangan dengan kebijakan yang lain dan tanpa menimbulkan masalah baru. Baik itu kebijakan dalam rangka peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi agar efisien, distribusi pendapatan agar merata dan adil, serta stabilitas ekonomi. Demikian juga halnya kebijakan dibidang-bidang lain. Oleh karenanya dituntut kebijakan yang betul-betul seimbang dari pemerintah demi kesejahteraan masyarakat. Secara khusus dalam perekonomian pemerintah memiliki peran, sebagai berikut.

1) Pemerintah sebagai pelaku ekonomi yaitu harus sebagai penyedia fasilitas a) Pemerintah melalui Bank Indonesia memberikan bantuan dana kepada

Bank yang sedang mengalami kesulitan dana.

b) Memberikan bantuan modal kepada koperasi, usaha kecil, usaha menegah yang sedang berkembang.

c) Membantu memasarkan hasil produksi perusahaan gula dan beras melalui perum bulog.

d) Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU) menyediakan prasarana berupa jalan dan jembatan untuk membantu proses pendistribusian produk badan usaha.

(11)

e) Pemerintah mengimpor kedelai dari Brasil untuk menjamin ketersedian bahan baku perusahaan kecap dan produsen tempe.

2) Pemerintah sebagai pengatur ekonomi bertugas mengatur badan usaha agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perwujudan peran sebagai pengatur ekonomi dapat dilihat melalui beberapa peraturan dan kebijakan pemerintah, sebagai berikut.

a) Pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1999 mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Pada UU ini pemerintah mengatur persaingan usaha yang sehat menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil. b) Melalui UU No. 25 Tahun 1992 pemerintah mengatur kegiatan Koperasi,

dalam UU ini diatur segala sesuatu yang berkaitan dengan koperasi mulai dari tata cara pendirian, operasionalisasi Koperasi, dan tata cara pembubaran Koperasi.

c) Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 1997 mengatur tentang waralaba. PP ini mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan waralaba.

d) Pemerintah mengatur pemanfaatan tenaga nuklir PP No. 64 Tahun 2000, pada PP ini diatur tentang segala sesuatu berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir, mulai dari perizinan, tata cara pemanfaatan, pengolahan limbah, kewajiban dan penanggung jawab pemegang izin.

(12)

2.1.5 Kewirausahaan

Kewirausahaan merupakan kemampuan menciptakan nilai tambah yang diperlukan untuk menggerakkan pembangununan ekonomi (Schumpeter, 1934). Bahwa kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi yang berkaitan dengan risk-taking, proactive dan aggressiveness (Miller, 1981). sehingga dapat memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan.

Schumpeter (1934), menyatakan bahwa entrepreneur adalah pengusaha yang melaksanakan kombinasi – kombinasi baru dalam membangun kreativitas dan teknologi. Kemungkinan – kemungkinan baru yang dimaksudkan oleh Schumpeter adalah memperkenalkan produk baru dari suatu barang yang belum dikenal oleh konsumen. Kedua, melakukan metode produksi baru dalam menangani suatu produk agar lebih menguntungkan. Ketiga, membuka pemasaran baru yang belum pernah ada dan atau belum pernah dimasuki cabang industri yang bersangkutan. Keempat, Pembukaan sumber dasar baru, atau setengah jadi atau sumber – sumber yang masih harus dikembangkan.

Zimmerer (1996:51) menyatakan bahwa nilai tambah tersebut tercipta melalui cara – cara sebagai berikut :

(1) Pengembangan teknologi baru (develoving new technology) (2) Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge)

(3) Perbaikan produk dan jasa yang sudah ada (improving existing products or services)

(13)

(4) Penemuaan cara – cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit

2.1.6 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri tiap-tiap individu di dalamnya terdapat proses penekanan terhadap stimulus yang diterima atau dirasakan oleh alat indra individu dan proses ini selalu berlangsung setiap saat, karena dalam partisipasi itu merupakan aktivitas yang terintergrasi, maka seluruh yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut (Walgito, 2003).

Dalam pemanfaatan areal alam, ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan Ahmad Nawawi, Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wisata Pantai Depok di Desa pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibandingkan pemanfaatan. Pendekatan lain adalah pendekatan pada keberpihakan masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan (Fandeli, 2000).

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat air seperti pasang surut, angin laut dan perambahan air asin. Ke arah laut wilayah pesisir mencakupi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat (Supriharyono, 2000). Menurut Hermantoro (2009) tidak ada kelompok lain yang mampu menjaga

(14)

wisata bahari selain masyarakat (komunitas) lokal karena mereka paling tahu persoalan dan paling menerima dampaknya, baik positif maupun negatif. Mereka mengharapkan adanya peningkatan pendapatan di samping terjaminnya kelestarian alamnya. Dengan kata lain, mereka berharap pengembangan pariwisata akan menambah kemakmuran itu akan lestari terus secara berkesinambungan (Mardi, 2003). Menurut Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 pasal 1, Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara, sedangkan pariwisata adalah pergerakan manusia yang bersifat sementara ke tujuan-tujuan wisata di luar tempat kerja dan tempat tinggal sehari-hari dimana aktivitasnya dilaksanakan selama tinggal di tempat tujuan wisata dan untuk itu disediakan fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan mereka (Methiesson dan Waill, 1982). Pariwisata dapat dimanfaatkan untuk mendorong perubahan hidup dan menghidupkan melalui peluang kerja yang tersedia, meningkatkan pendapatan, dan membaiknya kualitas hidup masyarakat (Baiquni, 2010).

2.2 Teori-teori Pendukung 2.2.1 Pariwisata Berkelanjutan

Pembangunan kepariwisataan berkelanjutan menjadi hal penting untuk pengembangan pariwisata di Indonesia. Salah satu pembangunan kepariwisataan berkelanjutan tersebut adalah green jobs atau pekerjaan berkelanjutan di sektor pariwisata. Pembangunan pariwisata berkelanjutan bisa melestarikan dan

(15)

memelihara keindahan, kehidupan, dan budaya Indonesia yang diwariskan untuk generasi yang akan datang. Saat ini dibutuhkan di sektor pariwisata, keahlian yang hijau. Profil kehijauan pengusaha dan perusahaan di sektor pariwisata dituntut untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan. Perubahan-perubahan akan berdampak pada kebijakan lapangan kerja yang lebih ramah di sektor pariwisata.

Diperlukan peningkatan keahlian di sektor pariwisata yang hijau, baik di tingkat pariwisata maupun nasional. Sudah adanya proses fondasi pembangunan pariwisata berkelanjutan oleh industri-industri di berbagai daerah di Indonesia. “Pembangunan kepariwisataan berkelanjutan bukan pilihan tetapi keharusan. Bukan saja urusan pemerintah, tetapi juga di sektor pemangku kepentingan dan masyarakat. Oleh karena itu, rencana strategis pembangunan kepariwisataan berkelanjutan berkaitan erat dengan pekerjaan yang berbasis lingkungan. Sehingga menghasilkan pariwisata yang mampu memberikan lapangan pekerjaan namun tetap berdasarkan pada pelestarian lingkungan. “Pariwisata memberikan kesejahteraan dan pekerjaan yang layak, namun ramah lingkungan. Pariwisata jika dikelola dengan baik juga bisa menjadi pelestariankebudayaan.

Pariwisata berkelanjutan adalah: “Pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan dan wilayah yang didatangi wisatawan (destinasi wisata) pada saat ini, sekaligus melindungi dan meningkatkan kesempatan di masa depan. Pengertian tersebut mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas kultural, berbagai proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan berbagai sistem pendukung kehidupan.”

(16)

Produk-produk pariwisata berkelanjutan adalah produk-produk yang dioperasikan secara harmonis dengan lingkungan, masyarakat dan budaya setempat sehingga mereka terus menerus menjadi penerima manfaat bukannya korban pembangunan pariwisata. Selain itu, dokumen tersebut menyiratkan bahwa membuat perubahan ke arah pariwisata yang berkelanjutan memerlukan perubahan orientasi cara kerja yang fundamental dari dua pihak

2.2.2 Pemberdayaan Masyarakat

Adimihardja (1999) dalam Sunaryo (2013:215) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses yang tidak saja hanya mengembangkan potensi ekonomi masyarakat yang sedang tidak berdaya, namun demikian juga harus berupaya dapat meningkatkan harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai suatu upaya untuk menguatkan power (daya) atau empowering dari golongan masyarakat yang powerless (tidak berdaya), biasanya mereka yang sedang tergolong ke dalam masyarakat yang marjinal.

Pranarka dan Vidhyandika (2006) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi

(17)

individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.”

Kartasasmita (2005) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang berdayaannya dalam menghadapi yang kuat. Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (2009) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.

(18)

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul.

2.2.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism)

Konstruksi pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) ini pada prinsipnya merupakan salah satu gagasan yang penting dan kritis dalam perkembangan teori pembangunan kepariwisataan konvensional (growth oriented model) yang seringkali mendapatkan banyak kritik telah mengabaikan hak dan meminggirkan masyarakat lokal dari kegiatan kepariwisataan di suatu destinasi.

Murphy dalam Sunaryo (2013:139) menyebutkan bahwa pada hakikatnya pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya),

(19)

yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai kegiatan yang berbasis pada komunitas. Batasan pengertian pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism sebagai berikut: 1. Wujud tata kelola kepariwisataan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat aktif dalam manajemen dan pembangunan kepariwisataan yang ada. 2. Wujud tata kelola kepariwisataan yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat yang terlibat langsung dalam usahausaha kepariwisataan juga bisa mendapatkan keuntungan dari kepariwisataan yang ada. 3. Bentuk kepariwisataan yang menuntut pemberdayaan secara sistematik dan demokratis serta distribusi keuntungan yang adil kepada masyarakat yang kurang beruntung yang ada di destinasi.

Hudson dan Timothy (1999) dalam Sunaryo (2013:139) pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism merupakan pemahaman yang berkaitan dengan kepastian manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal serta kelompok lain yang memiliki ketertarikan atau minat kepada kepariwisataan setempat, dan tata kelola kepariwisataan yang memberi ruang kontrol yang lebih besar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pariwisata berbasis masyarakat atau community based tourism berkaitan erat dengan adanya kepastian partisipasi aktif dari masyarakat setempat dalam pembangunan kepariwisataan yang ada. Partisipasi masyarakat dalam pariwisata terdiri dari atas dua perspektif, yaitu pasrtisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan partisipasi

(20)

yang berkaitan dengan distribusi keuntungan yang diterima oleh masyarakat dari pembangunan pariwisata.

Oleh karena itu pada dasarnya terdapat tiga prinsip pokok dalam strategi perencanaan pembangunan kepariwisatan yang berbasis pada masyarakat atau community based tourism, yaitu : 1. Mengikutsertakan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan. 2. Adanya kepastian masyarakat lokal menerima manfaat dari kegiatan kepariwisataan. 3. Pendidikan Kepariwisataan bagi masyarakat lokal (Sunaryo, 2013: 140). Suansri (2003) menyebutkan beberapa prinsip dari Comunity-Based Tourism yang harus dilakukan, yaitu: 1) mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam pariwisata; 2) melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya, 3) mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan; 4) meningkatkan kualitas kehidupan; 5) menjamin keberlanjutan lingkungan; 6) melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal; 7) mengembangkan pembelajaran lintas budaya; 8) menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia; 9) mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional kepada anggota masyarakat; 10) memberikan kontribusi dengan persentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh untuk pengembangan masyarakat; dan 11) menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya. Berdasarkan pendapat tersebut terlihat bahwa Comunity-Based Tourism (CBT) sangat berbeda dengan pengembangan pariwisata pada umumnya (mass tourism). Dalam CBT, komunitas merupakan aktor utama dalam

(21)

proses pembangunan pariwisata, dengan tujuan utama untuk peningkatan standar kehidupan masyarakat.

2.2.4 Teori Kesejahteraan

Kesejahteraan adalah salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi. Kondisi tersebut juga diperlukan untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Selanjutnya percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat memerlukan kebijakan ekonomi atau peranan pemerintah dalam mengatur perekonomian sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian.

1) Teori Kesejahteraan sosial dan ekonomi

Ekonomi Italia, Vilveredo Pareto, telah menspesifikasikan suatu kondisi atau syarat terciptanya alokasi sumberdaya secara efisien atau optimal, yang kemudian terkenal dengan istilah syarat atau kondisi pareto (Pareto Condition). Kondisi pareto adalah suatu alokasi barang sedemikian rupa, sehingga bila dibandingkan dengan alokasi lainnya, alokasi tersebut tidak akan merugikan pihak manapun dan salah satu pihak pasti diuntungkan. Atas kondisi pareto juga bisa didefinisikan sebagai suatu situasi dimana sebagian atau semua pihak individu tidak akan mungkin lagi diuntungkan oleh pertukaran sukarela.

Berdasarkan kondisi Pareto inilah, kesejahteraan sosial (sosial welfare) diartikan sebagai kelanjutan pemikiran yang lebih utama dari konsep-konsep tentang kemakmuran (welfare economics) (Swasono, 2005:2). Boulding dalam Swasono mengatakan bahwa “ pendekatan yang memperkukuh konsepsi yang telah dikenal sebagai sosial optimum yaitu paretion optimum (optimalitas ala

(22)

Pareto dan Edeworth), dimana efesiensi ekonomi mencapai sosial optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih beruntung. Teori kesejahteraan secara umum dapat diklasifikasi menjadi tiga macam, yaitu classical utilitarian, neoclassical welfare theory dan new contractarian approach (Albert dan Hahnel dalam Darussalam 2005:77). Pendekatan classical utillatarial menekankan bahwa kesenangan (pleasure) atau kepuasan (utility) seseoarang dapat diukur dan bertambah.

Berdasarkan pada beberapa pandangan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya guna mencapai tingkat kesejahteraannya yang diinginkan. Maka dibutuhkan suatu prilaku yang dapat memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak indikator keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk (2005) menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di representasikan dari tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah.

Todaro secara lebih spesifik mengemukakan bahwa fungsi kesejahteraan (walfare) dengan persamaan sebagai berikut :

(23)

Dimana Y adalah pendapatan perkapita, I adalah ketimpangan, dan P adalah kemiskinan absolute. Ketiga variabel ini mempunyai signifikan yang berbeda-beda, dan selayaknya harus dipertimbangkan secara menyeluruh untuk menilai kesejahteraan di negara-negara berkembang. Berkaitan dengan fungsi persamaan kesejahteraan di atas, diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan perkapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan.

2.2.5 Hubungan kebijakan pemerintah terhadap orientasi kewirausahaan

Kebijakan pemerintah melalui peraturan-peraturan dan regulasi yang pro bisnis usaha mikro dan kecil (UMK), memfasilitasi dalam memberikan berbagai kemudahan akses sumber pembiayaan/permodalan, pelatihan teknis dan manajerial, kemudahan perizinan, ketersediaan sentra/lokasi usaha, dan informasi pasar sehingga mampu mempengaruhi kewirausahaan usaha mikro dan kecil (Munizu,2010).

2.2.6 Hubungan kebijakan pemerintah terhadap partisipasi masyarakat

Kebijakan pemerintah sebagai fasilitator dengan memberi peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya seperti penelitian Dewi dkk. (2013) mengatakan peran pemerintah diharapkan menjadi fasilitator dengan memberikan peran dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dalam mengembangkan desa wisata berbasis masyarakat lokal di Desa Jati Luwih, Tabanan, Bali.

2.2.7 Hubungan kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat

Pemerintah dengan salah satu fungsi utamanya sebagai pengalokasi melalui peningkatan pengeluaran pemerintah atau belanja pemerintah dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan penyediaan barang publik yang merupakan hal penting guna mencapai kesejahteraan masyarakat (Siregar dan Faizah, 2014).

(24)

2.2.8 Hubungan orientasi kewirausahaan terhadap partisipasi masyarakat

Kewirausahaan akan mampu meningkatkan potensi petani dalam meningkatkan produktifitas pertaniannya sehingga keberhasilan usaha taninya juga akan mendukung pengembangan agrowisata. Rodhiah dkk (2013) dalam penelitiannya mengatakan

pemberdayaan masyarakat melalui model kewirausahaan dengan pembinaan,

pengembangan produk, dan peningkatan motivasi wirausaha dan kreatifitas usaha yang dijalankan masyarakat, produk/jasa mereka semakin diterima oleh wisatawan Pantai Tanjung Pasir khususnya Pulau Untung Jawa.

2.2.9 Hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kesejahteraan masyarakat

Adanya peningkatan derajat kewirausahaan pada nelayan di Kabupaten Sampang Madura yang meliputi percaya diri, inovasi, kepemimpinan, berani mengambil resiko, berorientasi pada tugas dan hasil juga berorientasi pada masa depan, mempunyai pengaruh pada peningkatan kesejahteraan ekonomi rumah tangga nelayan (Makruf, 2015).

2.3 Keaslian Penelitian

Penelitian sebelumnya yang dijadikan rujukan dalam pengembangan model studi tentang desa wisata di wilayah kecamatan Petang, bersumber dari penelitian Muhamad Ismail, 2015 dengan judul “Strategi Pengembangan Ekonomi Rakyat di Provinsi Papua. Pengembangan ekonomi kerakyatan bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pengembangan ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan potensi Usaha Mikro Kecil Menengah selama ini belum memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan studi untuk melihat sejauh mana pengembangan ekonomi kerakyatan di Provinsi Papua,

(25)

dan merumuskan strategi pengembangan ekonomi kerakyatan di Provinsi Papua. Menggunakan analsis SWOT, menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukan pengembangan ekonomi kerakyatan di Provinsi Papua belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena dipengaruhi oleh beberapa kelemahan dan kendala teknis lainnya seperti kekurangan modal usaha, peralatan yang masih sederhana, kualitas dan kuantitas produk yang rendah, sulitnya akses pasar dan lemahnya jiwa kewirausahaan khususnya bagi masyarakat/pelaku ekonomi rakyat asli Papua. Pengembangan ekonomi kerakyatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran Usaha mikro dan menengah dan Koperasi/KUD karena masyarakat dengan mudah dapat dilibatkan dalam kedua wadah ekonomi tersebut. Pengembangan ekonomi kerakyatan dapat dilakukan dengan : Peningkatan kualitas dan kuantitas produk lokal agar dapat bersaing dengan pasar regional dan internasional, pemberian dana stimulan untuk modal usaha bagi para pelaku ekonomi rakyat dengan memanfaatkan dana OTSUS, dan APBN, Peningkatan SDM pertanian melalui dukungan sektor swasta (mitra usaha) dan permodalan dari lembaga perbankan. Untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki dalam pengembangan ekonomi kerakyatan maka dapat dilakukan melalui: Meningkatan kuallitas SDM pelaku ekonomi rakyat melalui pendidikan non formal/pelatihan, pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para tenaga pendamping, pemberian modal usaha dan peralatan pertanian dengan memanfaatkan teknologi tepat guna (TTG), meningkatkan peran Usaha Mikro Kecil Menengah dan koperasi sampai ke seluruh kabupaten/kota, Pemanfatan dana program untuk kegiatan ekonomi produktif. Kebijakan pengembangan

(26)

ekonomi kerakyatan memiliki peluang berupa meningkatkanya kualitas dan kuantitas produk lokal yang berdaya saing, masyarakat tidak selalu mengantungkan pada bantuan modal pemerintah, pelaku ekonomi kerakyatan tidak selamanya tergantung pada tenaga pendamping.

Saridarmini, Ni Luh Ayu Rai (2011) dari Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun 2011 dalam tesisnya “Dampak Agrowisata Berbasis Modal dan Agrowisata Berbasis Masyarakat di Bali”, Meneliti hal yang sama tentang usaha agrowisata sedang perbedaannya pada lokasi, waktu penelitian, dan menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik dampak pada variabel sosial, ekonomi, dan lingkungan, sedang penilaian dampak ekonomi menggunakan analisis manfaat dan biaya (B/C ratio) pada model agrowisata berbasis modal, dan analisis finansial usaha tani pada model agrowisata berbasis masyarakat. Penelitian ini menggambarkan keunggulan agrowisata model berbasis masyarakat dengan berbasis modal dimana model agrowisata berbasis masyarakat memberikan kontribusi lebih dalam hal penyerapan tenaga kerja dan peningkatan aktivitas petani.

Heny Urmila Dewi, 2013 penelitian tentang Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali. Pengembangan desa wisata membutuhkan partisipasi masyarakat lokal dalam keseluruhan tahap pengembangan mulai tahap perencanaan, implementasi, dan pengawasan. Akan tetapi, dalam realitas sering terjadi pengabaian partisipasi masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengkaji keterlibatan masyarakat lokal dalam

(27)

pengembangan desa wisata dan merumuskan model pengembangan desa wisata yang mengedepankan partisipasi masyarakat lokal. Penelitian dalam tulisan ini dilakukan di desa wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan, Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara mendalam dan observasi non-partisipan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Tulisan ini menunjukkan bahwa pengembangan desa wisata di Jatiluwih belum melibatkan masyarakat lokal. Peranan pemerintah terlihat dominan, padahal bila mengacu pada pendekatan tata kelola pemerintah yang bersih dan berkelanjutan peran pemerintah diharapkan menjadi fasilitator dengan memberikan peran dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat lokal. Diperlukan kemauan politik pemerintah untuk mengurangi perannya dalam pengembangan desa wisata dengan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi.

Hakkiatul Lutpi, 2016 dengan penelitian Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Pariwisata Pantai di Kecamatan Jerowaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata pantai, dan upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata pantai di Kecamatan Jerowaru. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. Populasi penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan pariwisata pantai di Kecamatan Jerowaru sebanyak 12.320 jiwa Penduuk Desa Ekas Buana, Kwang Rundun, Seriwe, dan Sekaroh. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling sebanyak 139 orang terdiri dari masyarakat kelompok sadar wisata, pemilik dan karyawan hotel, penyedia jasa perahu jukung, jasa transportasi (ojek),

(28)

jasa pemandu wisata (guide), dan penjual makanan serta minuman. Data dikumpulkan dengan metode wawancara terstruktur dan observasi non-partisipan, dianalisis dengan menggunakan teknik analisis Rating/Peringkat dan teknis analisis indukif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata pantai di Kecamatan Jerowaru masih rendah, terlihat dari nilai/skor terhadap keseluruhan dari ke-empat indikator yang digunakan yaitu sebesar 0,89. Upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata pantai adalah dengan membuat program kelompok sadar wisata (pokdarwis), melakukan jambore kelompok sadar wisata (jambore pokdarwis), dan berupaya melakukan pembangunan fisik pariwisata pantai seperti sarana dan prasarana pariwisata.

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia adalah negara berkembang, sehingga masalah pokok adalah mendobrak tingkat keterbelakangan ekonomi dan meletakkan landasan bagi penghalauan kemiskinan. Ini

Daya rasa yang berpusat di dada dipertajaam melalui ibadah (shalat, puasa, haji dan zakat), karena intisari dari semua ibadah dalam Islam ialah mendakatkan diri

kesemuanya dilakukan dengan teknik opaque dan brushstroke , selain itu highlight juga mendukung terciptanya volume pada objek akar. Setiap akar dibagian tepi diberikan

regresi berganda. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Ada pengaruh yang signifikan antara modal

Hasil analisis hubungan sikap dukun beranak terhadap tindakan pertolongan persalinan didapatkan bahwa dukun beranak yang memiliki sikap positif melakukan tindakan yang

Sirkulasi Arus dan Transpor Sedimen dengan Pendekatan Model Diskritisasi Oseanografi di Perairan Pantai Aceh Besar (Observasi lapangan dan Pemodelantranspor sedimen serta

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sedjati (2006) yang menyatakan tidak adanya keberadaan (negatif) bakteri Staphylococcus aureus pada

Dalam kegiatan inspeksi bahan nuklir, yang menjadi parameter yang diverifikasi adalah jumlah inventori bahan nuklir, bentuk fisik, lokasi letak bahan nuklir dalam fasilitas, dan