• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU MACAN, Epinephelus fuscoguttatus"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting. Penelitian dilakukan di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di area Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan data sintasan dan pertumbuhan larva kerapu macan yang diberikan pakan buatan. Wadah penelitian menggunakan 6 buah bak beton volume 6 m3 yang ditebar larva kerapu macan yang baru menetas dengan kepadatan 10 ekor/L. Mulai larva umur 2 hari diberikan Nannochloropsis sp. dengan kepadatan 1,0 x 105 sel/mL; mulai umur 2 hari diberikan rotifer dengan kepadatan 10–20 ind./ mL dan mulai umur 17 hari diberikan nauplii Artemia. Perlakuan aplikasi pakan buatan diberikan pada larva mulai umur 7 hari dengan perbedaan frekuensi yaitu: Perlakuan A : 3 kali/hari pada umur 7–20 hari, 2 kali pada umur 21–29 hari dan 1 kali pada umur 30–40 hari; Perlakuan B : 4 kali/hari pada umur 7–20 hari, 3 kali pada umur 21–29 hari dan 2 kali pada umur 30–40 hari; Perlakuan C : 5 kali/hari pada umur 7–20 hari, 4 kali pada umur 21–29 hari dan 3 kali pada umur 30–40 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sintasan larva sampai umur 41 hari pada perlakuan A adalah 6,08±2,62%; perlakuan B adalah 6,62±2,03%; dan perlakuan C adalah 8,08±1,65%; mencapai ukuran panjang total pada perlakuan A : 24,04±0,68 mm; B : 24,81±0,55 mm; dan C : 26,20±0,57 mm; serta bobot badan pada perlakuan A : 192,1±2,96 mg; B: 196,5±2,12 mg; dan C : 211,5±4,95 mg. Perlakuan A dan B tidak berbeda nyata, sedangkan perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan A dan C.

KATA KUNCI: pelet, larva, kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus PENDAHULUAN

Usaha budidaya perikanan diharapkan bisa menjadi sektor unggulan di masa mendatang dan dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap pembangunan sektor perikanan dan kelautan. Kegiatan pembenihan dan budidaya ikan laut di Indonesia khususnya ikan kerapu masih merupakan aktivitas yang relatif baru dan pengembangannya masih perlu ditingkatkan, karena kegiatan budidaya laut mempunyai harapan yang sangat baik untuk dikembangkan, mengingat kegiatan ini berperan dalam hal memenuhi kebutuhan ikan konsumsi, peningkatan penghasilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat petani ikan maupun nelayan. Selain itu, juga dapat bermanfaat dalam pelestarian sumberdaya ikan laut yang mulai langka.

Ikan kerapu di dunia Internasional dikenal nama grouper. Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang dipasarkan dalam keadaan hidup dan memiliki nilai jual yang tinggi. Ikan kerapu umumnya hidup tersebar di daerah tropis dan subtropis serta dijumpai dalam bermacam-macam jenis (Supii & Setyadi, 2008) dan termasuk ikan ekonomis penting, juga merupakan komoditas ekspor, sehingga sampai saat ini sedang berjalan backyard hatcheri di pantai serta pengembangan budidayanya dengan sistem keramba jaring apung (KJA) (Sugama et al., 1986). Salah satu jenis ikan kerapu yang diminati oleh masyarakat yaitu ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut dilakukan kegiatan perbenihan dan budidaya ikan tersebut, ternyata semakin berkembang di pembudidaya ikan karena memiliki harga dan pangsa pasar yang lebih menjanjikan, sehingga usaha penangkapan di alam semakin meningkat. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut dan memenuhi kebutuhan pasar perlu dilakukan usaha budidaya melalui penyediaan benih yang cukup, baik mutu, jumlah, ukuran maupun waktu. Dengan demikian produksi benih ikan kerapu harus segera dirintis di samping sebagai pemenuhan benih untuk budidaya, juga untuk restocking dalam rangka pelestarian di alam.

Dalam mendukung keberhasilan perbenihannya perlu penelitian yang mendasar antara lain mengenai pertumbuhan dan sintasan ikan yang dipengaruhi oleh padat penebaran, umur, dan kualitas

APLIKASI PAKAN BUATAN PADA PEMELIHARAAN LARVA IKAN KERAPU MACAN,

Epinephelus fuscoguttatus

Irwan Setyadi, Bejo Slamet, Anak Agung Ketut Alit, dan Ahmad Zailani Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut

Jl. Br. Gondol Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Kotak Pos 140 Singaraja, Bali 81101 E-mail: rimgdl@indosat.net.id

(2)

air (suhu, salinitas, oksigen, amoniak, dan pH) (Mayunar et al., 1991); selain itu, salah satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi dalam budidaya adalah pakan yang merupakan faktor yang berpengaruh secara menyeluruh terhadap pertumbuhan ikan karena pakan berfungsi sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan dan sintasannya (Huet, 1971). Ketersediaan pakan baik itu pakan alami maupun buatan (pelet) akan mempengaruhi kelangsungan produksi secara berkesinambungan. Dalam pemeliharaan larva ikan, kebutuhan pakan alami seperti Nannochloropsis sp., rotifer, dan nau-plii Artemia sangat diperlukan; namun demikian dalam penyediaanya sering mengalami hambatan karena produksinya sangat tergantung dari kondisi musim, oleh karena itu, perlu adanya pakan buatan (pelet) untuk menambah, mengganti, atau melengkapi nutrisi pakan alami pada saat dibutuhkan oleh larva tersedia setiap saat, lebih mudah disimpan dan nilai gizinya pun dapat diukur sesuai dengan kebutuhan ikan (Zonneveld et al., 1991). Pemberian pakan buatan harus diberikan dengan waktu yang tepat supaya pakan dapat dicerna dan diserap oleh larva sesuai dengan perkembangan stadiumnya (Giri et al., 1999), juga kualitas pakan yang baik diperlukan untuk pertumbuhan, pencegahan infeksi malnutrisi, dan peningkatan kualitas produksi. Untuk keperluan tersebut diperlukan bahan berupa protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Suwirya, 1994). Beberapa penelitian yang sudah dilakukan berkaitan dengan pakan buatan dalam pemeliharaan larva kerapu macan untuk peningkatan sintasan larva pada umur 15 hari yaitu penelitian pemberian pakan buatan dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda (1, 3, 5 kali/hari (Setiadharma et al., 1999) juga tentang padat tebar (Setiadharma et al., 2001); kemudian larva pada umur 20 hari dengan frekuensi (5, 7, 9 kali/hari dan 11 kali/hari) menghasilkan sintasan 19,20%; 19,92%; 14,33%; dan 17,40% (Wardoyo et al., 2005).

Berdasarkan acuan di atas maka diharapkan bisa meningkatkan sintasan larva dan diaplikasikan ke pembudidaya perbenihan ikan kerapu pada umumnya khususnya ikan kerapu macan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Hatcheri Skala Rumah Tangga (HSRT) milik pembudidaya sekitar wilayah Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Penelitian menggunakan 6 bak beton bervolume 6 m3,

yang diisi air laut yang telah disaring dengan saringan pasir dan filter bag, kemudian dimasukan larva ikan kerapu yang baru menetas dengan kepadatan 10 ekor/L. Pada larva mulai umur 2 hari (D-2) dimasukkan green water plankton Nannochloropsis sp. dengan kepadatan sekitar 105 sel/mL. Pemberian

pakan alami berupa rotifer pada larva dilakukan mulai umur 2 hari (D-2), dengan kepadatan 10–20 ind./mL. Penyiponan dilakukan saat larva umur 10 hari untuk membersihkan sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar bak pemeliharaan.

Sedangkan untuk nauplii Artemia diberikan mulai umur 18 hari. Penambahan air laut dilakukan mulai umur 7 hari sebanyak 5% volume media dan hari selanjutnya penggantian air laut dinaikan 5% per hari.

Perlakuan aplikasi pakan buatan diberikan pada larva mulai umur 7 hari dengan perbedaan frekuensi yaitu : Perlakuan A : 3 kali/hari pada umur 7–20 hari, 2 kali pada umur 21–29 hari, dan 1 kali pada umur 30–40 hari; Perlakuan B : 4 kali/hari pada umur 7–20 hari, 3 kali pada umur 21–29 hari dan 2 kali pada umur 30–40 hari; Perlakuan C : 5 kali/hari pada umur 7–20 hari, 4 kali pada umur 21–29 hari dan 3 kali pada umur 30–40 hari. Masing-masing perlakuan dengan 2 kali ulangan. Mulai larva umur 3 hari dilakukan pengambilan sampel larva setiap hari untuk diamati morfologi larva masing masing sebanyak 10 ekor. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer; untuk pengukuran panjang total, abnormalitas, dan setiap 10 hari dilakukan penghitungan jumlah larva secara sampling, di mana pada saat ini larva relatif merata di area air pemeliharaan. Penelitian dilakukan sampai awal fase yuwana atau sekitar umur 41 hari. Peubah yang diamati: pertumbuhan, sintasan, dan analisis kualitas air pemeliharaan larva meliputi: suhu, salinitas, oksigen, pH, dan amonia.

HASIL DAN BAHASAN

Dari hasil pengukuran panjang total dan bobot badan larva pada saat penebaran yaitu 2,4–2,5 mm dan bobot badan 3,25 mg. Sintasan larva kerapu macan pada akhir penelitian dapat dilihat pada

(3)

Tabel1. Pada umumnya awal kematian mulai terjadi pada larva tingkat awal (D-1–D-3) (Kawahara et al., 2000), karena pada tingkat ini larva sering bergerak ke permukaan dan terkena tekanan lapisan permukaan air. Menurut Hutapea et al., 2005, selain faktor telur kematian larva terjadi karena terjebak pada pengaruh tegangan permukaan yang meningkat oleh produksi lendir dari telur pada saat menetas, untuk mencegah kematian tersebut dengan memberi minyak ikan pada permukaan air, hal tersebut dapat mengurangi kematian larva stadia awal (Sugama et al., 2004).

Sintasan larva kerapu macan sampai mencapai yuwana umur 41 hari pada penelitian ini dapat dikatakan masih rendah (< 10%). Menurut Kawahara et al. (2000), bahwa pemberian pakan buatan yang terlambat (lebih dari D25) bisa berakibat tingkat kematian tinggi yang disebabkan kurangnya kandungan nutrisi pada pakan alami untuk memenuhi kebutuhan hidup larva. Penyebab rendahnya sintasan larva di antaranya adalah terjadi serangan Virus Viral Nervus Necrosis (VNN) hal tersebut diketahui dari hasil analisis PCR di laboratorium bioteknologi, BBRPBL Gondol. Ciri-ciri serangan virus yang dapat dilihat adalah berenang pasif, tidak mau makan, lemah fisik, menempel di dasar, dan banyak mengalami kematian. (Koesharyani et al., 1999). Menurut Wardoyo et al. (2005), bahwa faktor yang diperkirakan menyebabkan terjadinya serangan virus adalah faktor lingkungan media air yang pergantian airnya kecil (30%–50% per hari); dan rendahnya sintasan larva juga disebabkan oleh sifat kanibalisme pada ikan kerapu macan cukup tinggi.

Dari hasil ini juga dapat diasumsikan bahwa kemampuan daya cerna pada larva cukup terbatas dalam masa awal larva mengingat pada kelompok ikan karnivora ini, larva ikan kerapu macan fase awal memiliki usus yang baru terbentuk dan pendek sehingga usus berfungsi sebagai pencerna makanan dalam jumlah yang relatif kecil dan waktu yang relatif tidak lama (Effendie, 1997), untuk itu, supaya usus terus dalam kondisi terisi disarankan frekuensi pemberian pakan buatan maupun alami dilakukan secara optimal. Namun demikian kapasitas lambung juga turut menentukan banyak sedikitnya jumlah pakan yang dikonsumsi (Kohno & Nose, 1971 dalam Melianawati & Suwirya, 2005).

Tabel 1. Panjang total, bobot badan, dan sintasan rata-rata yuwana kerapu macan dengan frekuensi pemberian pakan buatan berbeda pada akhir penelitian

*) Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)

Perlakuan Panjang total rata-rata (mm) Bobot badan rata-rata (mg) Sintasan rata-rata (%) A 24,04±0,68a* 192,1±2,96a 6,08±2,62a B 24,81 ± 0,55a 196,5±2,12a 6,62±2,03a C 26,20±0,57ab 211,5±4,95ab 8,08±1,65ab

Gambar 1. Grafik pertumbuhan panjang (cm) larva kerapu macan, E. fuscoguttatus dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 1 2 3 4 5 6 7 8 Pengamatan P a nj ang t u bu h ( c m A B C

(4)

Dalam pemeliharaan ikan, dosis pakan merupakan salah satu faktor yang penting karena hampir 60% dari biaya produksi digunakan hanya untuk penyediaan pakan (Lamidi et al., 1994). Menurut Sudrajat

et al. (1985), bahwa pakan yang dikonsumsi oleh ikan jumlahnya akan berbeda menurut ukuran

mulut dan jenis ikan. Ukuran mulut dan kemampuan membuka mulut menentukan ukuran pakan yang dapat dimakan pada setiap jenis ikan (Priyadi & Chumaidi, 2005), dengan ketersediaan pakan yang seimbang dalam segi ukuran, mutu, dan jenis pakan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ikan, sehingga pemberian pakan buatan sangat mendukung dalam pertumbuhannya di mana penggunaan pakan buatan sebagai substitusi sebagian atau keseluruhan untuk menambah, mengganti, atau melengkapi nutrisi pakan alami pada saat dibutuhkan oleh larva, untuk itu, pakan buatan harus diberikan tepat waktu agar pakan dapat dicerna dan diserap oleh larva secara efisien sesuai dengan perkembangannya (Giri et al., 1993).

Selanjutnya sintasan larva juga didukung oleh kualitas air media pemeliharaan selama penelitian menunjukkan kisaran yang masih cukup baik pH, suhu, oksigen terlarut, amonia, dan salinitas (Tabel 2). Menurut Boyd (1982), bahwa nilai pH yang sesuai untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5–9,5; sedangkan di dalam penelitian ini nilai pH 7,69–7,92 sehingga masih dalam batas-batas optimal. Menurut Huet (1971), suhu optimal untuk kehidupan ikan berkisar 22°C–28°C, berarti suhu air selama penelitian ini masih termasuk suhu optimum.

Tabel 2. Hasil pengamatan kualitas air pada pemelharaan larva ikan kerapu macan

A-1 A-2 B-1 B-2 C-1 C-2 Oksigen terlarut (mg/L) 5,74-6,05 6,00-6,26 5,82-5,84 5,92-6,06 5,98-6,19 5,85-5,98 Amonia (mg/L) 0,07 -1,02 0,82-1,09 0,06-0,13 0,13-1,16 0,10-0,15 0,10-0,84 Suhu (°C) 28,7-29,7 27,9-29,3 29,2-29,8 28,4-29,50 28,2-29,3 28,7-29,8 Salinitas (ppt) 35,0-35,5 35,0-35,5 35,0-35,5 35,0-35,5 35,0-35,5 35,0-35,5 pH 8,42-8,44 8,17-8,42 8,32-8,38 8,11-8,30 8,26-8,35 8,27-8,40 Perlakuan Parameter

Menurut Pescod (1973), nilai yang baik untuk oksigen yang terlarut dalam air untuk menunjang kehidupan organisme di dalam air yaitu minimal 2 mg/L dan nilai amonia yang tidak berbahaya untuk sintasan ikan yaitu tidak melebihi dari 1 mg/L. Kemudian untuk salinitasnya mengacu pada ikan kerapu macan masih bisa hidup pada salinitas 35 ppt (Supito et al., 1998), sehingga semua parameter kualitas tersebut di atas masih berada dalam batas toleransi untuk pertumbuhan yuwana ikan kerapu macan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan C memberikan persentase sintasan 8,08±1,65% lebih baik daripada perlakuan A (6,08±2,62%) dan B (6,62±2,03%).

Disarankan untuk pemeliharaan larva ikan kerapu macan, sebaiknya frekuensi pemberian pakan buatan pada umur 7–20 hari lebih dari 5 kali per hari, pada umur 21–29 hari lebih dari 4 kali per hari, pada umur 30–40 hari lebih dari 3 kali per hari.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh jajaran Dit. Peneliti Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Peneliti, Kementerian Pendidikan Nasional. Kemudian Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah membantu biaya kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian ini merupakan hibah penelitian bagi Peneliti dan Perekayasa tahun 2009; juga disampaikan terima kasih kepada Manajer dan Staf teknik Bioteknologi; kemudian Manajer beserta staf teknik kimia, tanah, air, dan nutrisi, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. Kemudian Achmad Zailani, Kadek Ariani, Dedy Rochaniawan, dan Hanafian yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

(5)

DAFTAR ACUAN

Boyd, E.C. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elseiver Scientific Publishing Com-pany. Auburn University. Auburn. Alabama, 318 pp.

Effendie. 1997. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor, 112 hlm.

Giri, N.A., Marzuqi, M., Jufri & Kuma, C. 1993. Pengaruh perbedaan waktu awal pemberian pakan buatan terhadap pertumbuhan dan sintasan larva udang windu P. monodon. J. Pen. Budidaya Pantai, 9(2): 81—89.

Giri, N.A., Suwirya, K., & Marzuqi, M. 1999. Kebutuhan protein, lemak dan vitamin C pada yuwana kerapu bebek, Cromileptes altivelis. J. Pen. Perik. Indonesia, V(3): 38–46.

Huet, M. 1971. Texbook of Fish Culture and Cultivation of Fish. Fishing New Book Ltd. England, 436 pp.

Hutapea, J.H., Setiawati, K.M., Wardoyo, & Giri, I.N.A. 2005. Pengaruh perbedaan kepadatan awal larva kerapu batik, Epinephelus microdon. Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. ISBN 979-8186-97-4, hlm. 127–132.

Kawahara, S., Setiadi, E., Ismi, S., Tridjoko, & Sugama, K. 2000. Kunci keberhasilan Produksi massal juvenil kerapu bebek Cromileptes altivelis. Lolitkanta-JICA. Booklet No. 11.

Kohno, H. & Nose. 1971. Relationship between the amount of taken and growth in fish. Frequency of feeding for maximum daily ration. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish, 3: 169. Dalam Melianawati, R. & Suwirya, K. 2005. Pengaruh perbedaan dosis pakan terhadap pertumbuhan juvenil Kakap Merah L. argentimaculatus. Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya Laut. Gondol, hlm. 133–141.

Koesharyani, I., Zafran, & Yuasa, K. 1999. Deteksi viral nervous necrosis (VNN) menggunakan polymerase chain reaction (PCR) pada ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Prosiding Seminar dan Desiminasi Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta, hlm. 237–240.

Lamidi, Asmanelli, & Syafara, Z. 1994. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan lemak, Cheilinus undulatus dengan frekuensi pemberian pakan yang berbeda. J. Pen. Budidaya Pantai, 10(5): 81–87. Mayunar, S. Redjeki, S., & Murtiningsih, S. 1991. Pemeliharaan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dengan berbagai frekuensi pemberian ransum rotifer. Dalam Wardoyo, Setiawati, K.M., & Setiadharma, T. 2005. Pengaruh Peningkatan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan terhadap aktivitas kanibal, pertumbuhan, dan sintasan larva kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. ISBN 979-8186-97-4, hlm. 159–164.

Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluent and stream standart of tropical countries. ATT Bangkok, 59 pp.

Priyadi, A. & Chumaidi. 2005. Pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda terhadap biomassa dan nisbah konversi pakan ikan Tilan merah, Mastacembellus erythrotaenia Bleeker. Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. ISBN: 979-8186-97- 4, hlm. 89–94. Setiadharma, T., Aslianti, T., & Tridjoko. 1999. Penggunaan pakan buatan dengan perbedaan frekuensi

pemberian terhadap sintasan dan keragaan larva kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta, hlm. 269– 271.

Setiadharma, T., Wardoyo, & Giri, N.A. 2001. Pemeliharaan larva kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dengan padat tebar berbeda pada umur 15 hari. Laporan Penyelesaian DIP 2001. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol-Bali, hlm. 152–156.

Sudradjat, A., Oedin, H., & Amini, S. 1985. Pengaruh cara pemberian pakan terhadap pertumbuhan ikan kerapu lumpur, Epinephelus tauvina Forskal dalam kurung apung. J. Pen. Budidaya Pantai, I: 45– 54.

Supii, A.I. & Setyadi, I. 2008. Pengaruh penggunaan shelter pada pemeliharaan benih Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola). Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas II. Departemen Biologi, Universitas Airlangga. Surabaya, 19 Juli 2008, ISBN: 978-979-98109-2-2, hlm. 273–276.

(6)

Penunjang pada acara Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar, 6–7 Agustus 1998, hlm. 149– 154.

Sugama, K., Danakusumah, E., & Eda, H. 1986. Effect of feeding frequency on the growth of Estuary grouper, Epinephelus tauvina cultured in floating net cages. Sci. Rep. Mar. Rep. of China, 132 pp. Sugama, K., Tridjoko., Ismi, S., & Setiawati, K.M. 2004. Larval rearing tank management to improve

survival of early stage humpback grouper Cromileptes altivelis larvae. Advances in Grouper Aquac-ulture Australian Centre for International AgricAquac-ulture Research, p. 17–20.

Supito, Kuntiyo, & Djuidah, S. 1998. Kajian pembesaran kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus. Makalah Penunjang pada acara Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Denpasar, 6–7 Agustus 1998, hlm. 149– 154 .

Suwirya, K. 1994. Kecernaan beberapa sumber lemak pakan pada udang windu, Penaeus monodon. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. J. Pen. Budidaya Pantai, 10(1): 43–48.

Wardoyo, Setiawati, K.M., & Setiadharma, T. 2005. Pengaruh Peningkatan Frekuensi Pemberian Pakan Buatan terhadap aktivitas kanibal, pertumbuhan dan sintasan larva kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya, ISBN 979-8186-97-4, hlm. 159–164.

Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boon, J.H. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta, 318 hlm.

Gambar

Gambar 1. Grafik pertumbuhan panjang (cm) larva kerapu macan, E.
Tabel 2. Hasil pengamatan kualitas air pada pemelharaan larva ikan kerapu macan

Referensi

Dokumen terkait

discovery learning yang sangat baik meliputi keterlaksanaan RPP yang sangat tinggi, respon siswa yang sangat tinggi, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang

Siswa diharapkan belajar mandiri dengan menggunakan dan memanfaatkan bahan ajar yang telah disediakan, salah satunya yaitu LKS yang merupakan panduan kerja siswa untuk

I : Kami mencoba melalui pendekatan terhadap para kepala sekolah nya, agar mau menjalin kerja sama yang baik dengan pibak komite dalam ha! ini orang tua siswa agar

Tabel 2 juga menunjukkan bahwa inokulasi bakteri endofit diikuti dengan 75% dan 100% aplikasi pupuk urea memiliki berat kering total bibit yang lebih tinggi dibandingkan

Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Aviana, (2012) dengan judul penerapan pengendalian internal dalam sistem informasi akuntansi berbasis komputer menyimpulkan

Menurut penulis, Ibu tiri dalam penelitian ini dapat dikatakan sebagai ibu tiri yang baik, dan keberhasilannya sebagai ibu tiri dengan kondisi keluarga yang kompleks

Perlakuan panas hardening adalah salah satu proses untuk mengubah struktur logam dengan jalan memanaskan benda ker- ja dalam furnace (tungku) pada temperatur yang

Mikroba tanah diketahui menghasilkan antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen tanah.Pada penelitian Berbasis Laboratorium (2010/2011) telah berhasil