• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spinopelvic Balance dan Pelvic Parameter

Hal yang membedakan manusia dan merupakan keunikan tersendiri dari manusia (Homo sapiens) adalah manusia merupakan satu-satunya primata yang berjalan diatas dua kaki. Tidak seperti bentuk tulang belakang pada primata lainnya yang seperti huruf C, evolusi dari posisi berdiri yang ergonomik pada menusia membutuhkan tiga kurva sagital: lordosis dari vertebra lumbal dan cervical, dan kyphosis dari vertebra thorakal. Ketiga kurva dari tulang belakang ini disokong oleh tulang pelvis, dimana pada manusia mengalami rotasi vertikal dan berfungsi sebagai fondasi dari tulang belakang. Tulang pelvis sendiri berada diatas dari caput femur dan posisi berdiri yang ergonomik akan terjadi apabila panggul dan lutut dalam posisi lurus. Sagittal balance (keseimbangan sagital) merujuk pada pengaturan tersebut dimana pusat gravitasi dari tubuh berada dalam keseimbangan diatas tulang pelvis. Hal ini dapat dicapai dengan adanya lordosis dari lumbal dan kyphosis dari thorakal sehingga garis titik gravitasi dari tubuh akan memotong atau berada sedikit di posterior dari caput femur.12

Gambar.1 Perbandingan vertebra pada hewan yang berjalan diatas 4 ekstrimitas dan manusia yang berjalan pada kedua kaki.

Pelvic vertebra sebagaimana disebutkan oleh Dobusset, membentuk ikatan antara tubuh dengan tungkai bawah. Karena caput femur sangat mobile caput femur memainkan peranan yang sangat penting dalam spatial orientation dari pelvic vertebra. Caput femur merupakan titik dimana beban dari thoraco-lumbal pada pelvis di teruskan ke tungkai bawah. Sacral plateau yang membentuk dasar untuk menyokong vertebra, merupakan titik dimana terjadi transmisi dari beban batang tubuh ke pelvis. Tulang

(2)

belakang yang normal secara vertikal memiliki median axis yang melewati pertengahan dari sacrum dan simphisis pubis.13 Pelvis yang normal berada dalam posisi horizontal dengan titik yang simetris pada tinggi yang seimbang. Namun geometri dari posisi sagital dari pelvis lebih rumit. Karakteristik sagital balance dari pelvis membutuhkan beberapa parameter khusus yang didasarkan pada gambaran biomekanik yang terlibat dalam transmisi dari beban.14

Gambar.2 Global Sagittal Balance dimana normalnya C7 plumb line akan jatuh di posterior dari

caput femur

Pada tahun 1937 Wiles menyampaikan kuliah pada Royal College of Surgeons of England yang berjudul “Postural deformities in the anteroposterior curves of the spine”, beliau menyampaikan konsep mengenai pelvic inclination yaitu suatu sudut yang dibentuk oleh bidang horizontal dan garis yang dibentuk dari titik posterior-superior iliac spine dan simphisis pubis. Wiles selanjutnya mengembangkan suatu metode untuk mengukur pelvic inclination pada pasien hidup yang disebut pelvic inclinometer. Pada posisi berdiri area yang ditempati oleh kaki dan ruangan diantara kaki disebut sebagai dasar penyokong, meningkatkan jarak diantara kaki meningkatkan area dari dasar penyokong. Wiles selanjutnya menemukan bahwa untuk mempertahankan posisi berdiri, sangatlah penting untuk mejaga pusat gravitasi dari tubuh untuk jatuh diantara dasar penyokong tersebut. Analisis tersebut menunjukkan hanya dua komponen yang berperan untuk mempertahankan posisi berdiri yaitu (1) pelvic inclination dan (2) thoracolumbar kyphosis.15,16

During et al adalah yang pertama mempertimbangkan mengukur bagaimana parameter postur dari pelvis berhubungan dengan derajat dari lordosis lumbal, mereka menjelaskan suatu sudut yang dikelnal dengan sudut pelvisacral, yaitu sudut antara sacral

(3)

plateau dan suatu garis yang digambarkan dari titik tengah dari sacral plateau dan caput femur. Mereka menemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dari sudut tersebut antara sampel normal dan penderita spondylolysis.17 Kemudian Jackson et al meneliti mengenai pelvic parameter dan sagittal balance dan menemukan bahwa pelvisacral angle berhubungan sangat kuat dengan lordosis dari lumbal dan perubahan dari sagittal balance berhubungan dengan rotasi dari pelvisacral disekitar panggul.18

Legaye et al melakukan penelitian terhadap beberapa parameter dari pelvic: (1) pelvic incidence, (2) sacral slope, (3) pelvic tilting, (4) overhang S1 mereka menyimpulkan terdapat hubungan yang bermakna dari parameter anatomi seperti pelvic incidence dan sacral slope dan sangat menentukan lordosis dari lumbal. Pelvic incidence juga merupakan axis utama dari sagittal balance dari tulang belakang.4

Gambar. 3 Pelvic parameter: Pelvic Incidence, Sacral Slope, Pelvic Tilt, dan Overhang of S1

1. Pelvic Incidence

Pelvic incidence adalah suatu sudut yang dibentuk oleh garis perpendicular terhadap sacral plate pada titik tengahnya dan garis yang menghubungkan titik tersebut dengan axis dari femoral head. Pelvic incidence adalah suatu parameter anatomis, yang unik untuk masing-masing individu, dan bebas dari pengaruh orientasi dari pelvis. Komponen anatomi yang terlibat untuk membentuk parameter ini adalah tiga vertebra sacral pertama, sendi sacro-iliac dan segmen posterior dan tulang ilium. Parameter ini dianggap selalu konstan karena parameter ini merupakan parameter anatomi, bebas dari pengaruh posisi dari tulang pelvis, mobilitas dari sendi sacroiliac juga dapat disingkirkan

(4)

, serta juga tidak terpengaruh oleh umur setelah pertumbuhan terhenti.4 Penelitian terdahulu oleh Boulay et al dengan menggunakan koefisien regresi mereka menemukan pengaruh yang sangat signifikan dari pelvic incidence terhadap sacral slope, pelvic tilt, dan lordosis dari lumbal.19 Suatu konstruksi geometri yang disusun berdasarkan sudut tersebut menemukan bahwa parameter anatomis “incidence” merupakan hasil penjumlahan dari sacral slope dan pelvic tilt.Pelvic incidence = sacral slope + pelvic tilt.4

Pasien dengan pelvic incidence yang sangat rendah (<440) dihubungkan dengan penurunan dari sacral slope dan lordosis dari lumbal akan menjadi lebih datar, pasien ini juga akan memiliki pelvis dengan diameter antero-posterior dari pelvic ring yang paling pendek, keadaan ini disebut juga sebagai vertical pelvis. Pelvis tersebut sempit secara horizontal dan lebih kuat secara vertikal. Caput femur berada tepat di bawah sacral plate. Kebalikannya pasien dengan pelvic incidence yang tinggi (>620) berhubungan dengan peningkatan dari sacral slope dan lordosis dari lumbal yang lebih menonjol, pasien ini juga memiliki aksis dari antero-posterior yang lebar, pelvis ini sangat horizontal. Pada bidang sagittal, caput femur berada di depan dari titik tengah sacral plate. Pada pasien dengan pelvic incidence yang rendah, morphologi dari pelvis akan menyerupai primata yang besar, bentuk vertikal ini kurang mampu untuk beradaptasi terhadap beban vertikal, dan kemempuan “tilting”dari pelvis juga rendah. Pasien dengan pelvic incidence yang kecil juga hanya memiliki kapasitas yang rendah untuk mengkompensasi sagittal imbalance melalui retroversi dari pelvis.

Boulay et al juga menemukan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pelvic incidence, namun mereka menemukan bahwa pelvic incidence dapat meningkat seiring dengan pertumbuhan pada masa anak anak dan remaja, dan akan tetap konstan pada dewasa.19 Penelitian lainnya oleh Mangione et al mengukur pelvic incidence pada gambaran radiology dari tiga puluh bayi, tiga puluh anak-anak, dan tiga puluh dewasa, mereka menemukan pelvic incidence akan meningkat selama bulan bulan awal, dan akan terus meningkat selama tahun-tahun awal dan akan stabil pada usia sepuluh tahun.20

Terdapat hubungan yang signifikan antara Body Mass Index (BMI) dengan pelvic incidence dan lordosis dari lumbal. Hal ini mungkin disebabkan efek dari BMI yang besar terhadap ossifikasi dari sacrum. Ossifikasi tersebut dapat terus berjalan bahkan sampai 20 tahun. Karenanya kelainan dari biomekanisme tersebut dapat menyebabkan deformitas dari sacrum bahkan setelah usia pertumbuhan sampai usia 20 tahun.19

(5)

Sacral Slope adalah suatu sudut yang dibentuk oleh superior end plate dari sacral pertama dan garis horizontal.4 Sacral slope (SS) adalah suatu parameter posisi dari sacrum, sacral slope akan bernilai rendah pada posisi sacrum yang vertikal, dan sacral slope akan bernilai tinggi pada posisi sacrum yang horizontal.16 Sacral slope sangat berpengaruh terhadap keseimbangan dari vertebra (spinal balance) pada level yang lebih tinggi dari pelvis contohnya pada kelainan pada kurva vertebra.19

3. Pelvic Tilt

Pelvic Tilt adalah suatu sudut yang dibentuk dari garis yang menghubungkan titik tengah dari sacral plate ke aksis bicoxofemoral ddengan suatu garis vertikal.4 Pelvic tilt juga merupakan suatu parameter dari posisi, dimana nilainya akan tinggi pada posisi sacrum yang vertikal, seperti pada pelvis yang retroversi, dan nilainya akan rendah pada posisi sacrum yang horizontal, seperti pada pelvis yang anteversi.16 Pelvic tilt mempengaruhi keseimbangan pada level di bawah pelvis seperti sudut dari sendi coxofemoral pada posisi berdiri.19

4. Overhang of S1

Overhang of S1 terhadap caput femur, adalah jarak antara aksis bicoxofemoral dan proyeksi dari level tersebut pada titik tengah dari sacral plate. Nilai ini dinyatakan dalam milimeter. Apabila titik lebih posterior dari aksis bicoxofemoral maka dianggap sebagai positif, dan apabila titik lebih anterior dari aksis bicoxofemoral maka dianggap sebagai negatif.4

5. Lordosis dari lumbal

Lordosis dari lumbal adalah sudut yang dibentuk oleh garis dari inferior end plate dari thorakal 12 dengan inferior end plate dari lumbal 5.

(6)

Gambar. 4 Pengukuran kurva dari vertebra khyposis dari thorakal dan lordosis dari lumbal

Nilai normal dari berbagai pelvic parameter tersebut telah dipublikasikan oleh beberapa peneliti. Penelitian dari Legaye menemukan nilai pelvic parameter dari 49 individu normal.4 (tabel 1)

Men (n=28) Women (n=21) Mean SD Mean SD Lordosis 61.4 10.2 58.1 10.8 Kyphosis 45.0 8.3 42.2 13.4 Sacral slope 41.9 8.7 38.2 7.8 Incidence 53.2 10.3 48.2 7.0 Pelvic Tilting 11.9 6.6 10.3 4.8 Overhang S1 22.6 12.5 19.2 7.9

Tabel 1. Nilai normal dari berbagai pelvic parameter (Legaye)

Penelitian multicenter oleh Boulay et al dari 149 individu yang sehat tanpa kelainan tulang belakang, terdiri dari 78 laki-laki dan 71 perempuan dengan usia bervariasi dari 17 tahun hingga 50 tahun. Mereka mempublikasikan nilai normal dari berbagai pelvic parameter.19 (tabel 2)

(7)

Lumbar Lordosis 66.36 ± 9.47

Sacral Slope 41.18 ± 6.96

Pelvic Tilt 11.96 ± 6.44

Incidence 53.13 ± 9.04

BMI 22.77 ± 2.05

Tabel 2. Nilai normal pelvic parameter (Boulay et al)

Kemampuan dari tulang belakang dan pelvis untuk mencapai sagittal balance bergantung pada pelvic incidence dan variasinya terhadap parameter spinopelvis lainnya.19 Walaupun pelvic incidence nilainya selalu konstan, pelvic incidence mengatur dan berupaya untuk mempertahankan sagittal balance terutama dengan perubahan dari lordosis dari lumbal. Pada keadaan dimana keseimbangan masih belum tercapai, akan terjadi perubahan dari kyphosis dari thorakal dan posisi dari pelvis (peningkatan pelvic tilt dan penurunan sacral slope). Sangatlah penting untuk mengenali bahwa melakukan fusi pada bagian manapun dari tulang belakang yang mobile, sacrum, ataupun sendi sacroiliac membatasi kemampuan dari tulang belakang untuk beradaptasi terhadap berbagai ketidakseimbangan sagittal dan mungkin mengakibatkan peningkatan resiko dari fixed sagital imbalance (FSI). Adanya retroversi dari pelvis adalah suatu tanda dari ketidak seimbangan spinopelvic alignment.5

Legaye dan Duval-Baupere mengemukakan pendapat bahwa pelvic parameter akan berubah untuk mengkompensasi berbagai pola berbeda dari sagittal imbalance. Sebagi contoh peningkatan dari pelvic tilt mengindikasikan terdapat retroversi dari pelvis untuk mengkompensasi sagittal imbalance. Serupa dengan itu peningkatan sacral slope merupakan kompensasi penurunan dari lordosis. Hal ini merupakan konsep penting karena walaupun global sagittal balance normal kompensasi untuk adanya imbalance yang mendasarinya dapat terungkap dengan analisa dari pelvic parameter. Mekanisme kompensasi ini meningkatkan stress pada tulang belakang karena terjadinya pergeseran dari posisi paling ergonomisnya. Tulang belakang dengan global balance yang normal masih dapat merupakan kompensasi karena adanya suatu pelvic imbalance: retroversi dari pelvis dengan peningkatan pelvic tilt dan penurunan sacral slope merupakan suatu kompensasi dari posisi pelvis dan tidak effisien secara biomekanik.21

(8)

Suatu penelitian dari 49 dewasa normal, mereka menemukan tiga pola utama dari spinopelvic imbalance: (1) lordosis yang berlebihan dengan nilai sacral slope dan pelvic incidence yang normal akan terjadi untuk mengkompensasi kyphosis yang berlebihan yang terjadi pada segmen diatasnya, (2) nilai sacral slope yang tinggi pada nilai pelvic incidence normal dan peningkatan lordosis dari lumbal terjadi akibat adanya deformitas fleksi dari panggul akibat osteoarthritis, (3) adanya stiff hypolordosis (flat-back syndrome) yang akan memaksa pelvis retroversi dan menurunkan nilai dari sacral slope untuk menjaga batang tubuh membungkuk ke depan.21 Hanya dibutuhkan energi yang sedikit untuk mempertahankan posisi tubuh apabila hubungan antara pelvic incidence, sacral slope, dan lordosis dari lumbal. Apabila pelvic incidence lebih besar dari normal, maka harus diseimbangkan dengan sacral slope dan pelvic incidence yang lebih besar dari normal. Peningkatan dari pelvic tilt adalah suatu tanda adanya ketidak seimbangan sagital.5

2.2 Hubungan antara parameter spinopelvic dengan penyakit degeneratif tulang belakang.

Berbagai literatur telah menemukan adanya pengaruh dari parameter spinopelvic dengan penyakit degeneratif pada tulang belakang termasuk herniasi diskus, penyakit digeneratif pada diskus dan degenerative spondylolisthesis.9,10,11 Penelitian terdahulu menemukan pasien dengan low back pain (LBP) dengan usia yang sebanding memiliki nilai lordosis yang lebih rendah (56.30vs 60.90), sacrum yang lebih vertikal (sacral slope 47.20vs 50.40), dan posisi panggul lebih ekstensi. Jika dibandingkan dengan kontrol pasien dengan LBP juga memiliki C7 plumb line dan keseluruhan alignment sagittal (-0.05 vs 0.29 cm) dan khyposis dari thorakal (41.20vs 42.60) hampir sama dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan mekanisme kompensasi dari hilangnya lordosis dari lumbal adalah retroversi dari pelvis atau peningkatan dari sacral slope.3

Penelitian retrospective oleh Barrey et al, membandingkan spinopelvic alignment pada 85 pasien dengan lumbar degenerative disc disease (herniasi dari diskus, degenerative disc disease, dan degenerative spondylolisthesis) dengan populasi kontrol 154 sampel dewasa tanpa adanya keluhan. Pada pasien dengan usia 45 atau lebih rata-rata pelvic incidence (mewakili bentuk dari pelvis) adalah 49.80 dan 51.60 pada herniasi diskus, dan degenerative disc disease dan dibandingkan dengan 520 pada kelompok kontrol, perbedaan ini tidak signifikan. Diantara pasien dengan usia lebih muda (kurang dari 45 tahun) dengan herniasi dari diskus atau degenerative disc disease, pelvic

(9)

incidence lebih rendah secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol (rata-rata 48.30). Pada penyakit degenerative spondylolisthesis terdapat perbedaan yang signifikan dari pelvic incidence dibandingkan dengan kelompok kontrol (600 berbanding 520 dengan p < 0.0005). Orientasi dari tulang belakang pada ketiga kelompok pasien tersebut menunjukkan adanya kehilangan dari sagittal balance dibandingkan dengan kelompok kontrol, lordosis dari lumbal akan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol pada herniasi diskus, degenerative disc disesae, dan degenerative spondylolisthesis (p <0.0005 untuk semua perbandingan), dan terdapat translasi ke anterior dari C7 plumb line (sagittal vertical axis) (p < 0.005 untuk herniasi dari diskus, p< 0.05 untuk degenerative disc disease dan, p<0.05 untuk penyakit degenerative spondylolisthesis). Terdapat kompensasi retroversi dari pelvis pada ketiga kelompok pasien tersebut, terindikasi dari berkurangnya sacral slope (p = 0.001 untuk kelompok herniasi dari diskus, p< 0.0005 pada kelompok degenerative disc disease, dan p< 0.0005 untuk degenerative spondylolisthesis) dan peningkatan dari pelvic tilt (p = 0.017 untuk herniasi dari diskus, p< 0.0005 untuk degenerative disc disease, dan p < 0.0005 untuk degenerative spondylolisthesis). Dari hasil tersebut mereka menyimpulkan bahwa peningkatan dari pelvic incidence dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya degenerative spondylolisthesis. Dan pada kelompok degenerative spondylolisthesis terdapat perubahan dengan peningkatan dari pelvic tilt sebagai usaha untuk megkompensasi hilangnya lordosis dari lumbal.22

Schurle melakukan penelitian yang membandingkan spinopelvic balance pada pasien dengan nyeri punggung dengan degenerative spondylolisthesis (n=49) dengan kelompok pasien dengan nyeri punggung karena disc degeneration (herniasi diskus dan degenerative disc disesase) tanpa spondylolisthesis (n=77). Mereka menemukan pada kelompok degenerative spondylolisthesis memiliki pelvic incidence yang lebih besar (66.20 dibandingkan dengan 54.20), pelvic tilt yang lebih besar (25.60 dibandingkan 210) dan sacral slope yang juga lebih besar (42.30 dibandingkan 33.40) dibandingkan dengan kelompok pembanding. Sebagai tambahan pada kelompok degenerative spondylolisthesis memiliki BMI yang lebih besar signifikan dan lordosis dari lumbal yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok pembanding. Peneliti selanjutnya menyimpulkan bahwa orientasi anatomi dari pelvis pada pasien dengan pelvic incidence dan sacral slope yang tinggi sepertinya merupakan faktor predisposisi dari degenerative spondylolisthesis. Peningkatan dari pelvic tilt pada kelompok degenerative spondylolisthesis merupakan kompensasi dari retroversi dari pelvis untuk mengatasi besarnya pelvic incidence.

(10)

Hubungan antara BMI yang besar dan vertical inclination dari S1 end plate (sacral slope yang besar) bersama dengan orientasi sagital dari facet joint merupakan faktor predisposisi anatomi untuk terjadinya anterior translasi dari L4 terhadap L5.23

Hubungan antara pelvic incidence dengan perkembangan dari degenerative spondylolisthesis juga ditemukan pada penelitian dari Aono et al. Mereka melakukan penelitian observasional prospektif jangka panjang dengan mengikuti selama 8 tahun dari 142 wanita dengan kondisi sehat pada usia menjelang menapouse tanpa adanya spondylolisthesis ataupun penyakit tulang belakang lainnya, dan mereka menemukan insidensi terjadinya spondylolisthesis pada 12.7%. Pasien yang menderita spondylolisthesis pada awalnya memiliki nilai lordosis dari lumbal dan pelvic incidence yang tinggi. Kemudian analisis multivariate dilakukan dan menunjukkan bahwa pelvic incidence merupakan independent predictor (faktor prediksi yang bebas) terhadap terjadinya degenerative spondylolisthesis. Menariknya perkembangan dari degenerative spondylolisthesis dapat diprediksi dengan morphologi dari lumbopelvic pada wanita menjelang menopause.24

2.3 Hubungan antara spinopelvic balance dan pelvic parameter dengan pembedahan tulang belakang

Pentingnya pelvic parameter telah menyebabkan perubahan besar terhadap paradigma bagaimana suatu kelainan tulang belakang dinilai dan ditangani oleh ahli bedah tulang belakang. Perubahan ini didasarkan pada analisis bagaimana pelvic parameter berbeda diantara orang normal dan pasien dengan kelainan pada tulang belakang, dan bagaimana variasi dari pelvic incidence memiliki pengaruh terhadap perjalanan penyakit dan hasil akhir dari pembedahan.12

Diantara perubahan tersebut adalah pada klasifikasi dan penilaian dari spondylolisthesis.25 Spinal Deformity Study Group (SDSG) telah mempublikasikan suatu sistem klasifikasi terbaru yang menjelaskan enam tipe spondylolisthesis berdasarkan tiga karakteristik berbeda: (1) derajat dari slip (rendah < 50%, tinggi >50%), (2) pelvic incidence (rendah < 450, normal 45-600, atau tinggi > 600), dan spinopelvic balance (balanced atau unbalanced dengan suatu pelvis yang retroversi). Hal ini menyatakan adanya perubahan paradigma yang besar dalam penilaian kondisi tersebut dimana sistem klasifikasi oleh SDSG juga memperhitungkan adaptasi postural dari spinopelvic dan bagaimana hal tersebut berhubungan dengan sagittal balance. Sistem klasifikasi terbaru tersebut dapat memfasilitasi penentuan terapi pembedahan, sebagai contoh apakah penting untuk mereduksi slip pada high grade spondylolisthesis dan apakah juga

(11)

dibutuhkan fusi dari segmen tersebut. Pada high grade slip dengan balanced spine (tipe 4 dan 5) pembedahan dengan tujuan fusi saja sudah cukup, namun pada high grade slip dengan spinal imbalance (tipe 6), dibutuhkan tindakan reduksi dari slip dan selanjutnya fusi. Lebih jauh lagi pada low grade slip pasien dengan pelvic incidence yang besar (tipe 3) mungkin tidak dapat diterapi konservatif dan pembedahan diperlukan untuk mencegah perkembangan penyakit.12,26

Pelvic parameter juga dapat digunakan dalam penilaian deformitas kyphosis dari tulang belakang. Penelitian dari Debarge et al mengungkapkan pentingnya pelvic incidence dalam menyeimbangkan kyphosis yang berat dan menetukan ukuran dari pedicle subtraction osteotomy yang dibutuhkan untuk memperbaiki sagittal balance. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan dari 28 penderita ankylosing spondylitis mengungkapkan bahwa pasien dengan pelvic index yang tinggi lebih mampu melakukan kompensasi terhadap kyphosis dari thorakal dan mempertahankan sagittal balance dengan retroversi dari pelvis jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki pelvic index yang rendah. Oleh karena itu mereka menyarankan untuk melakukan pedicle subtraction osteotomy yang lebih besar untuk memperbaiki kyphosis pada pasien dengan pelvic index yang besar.27

Pada penilaian penyakit degenerative disc disease pelvic perameter juga sangatlah penting. Pelvic incidence menentukan derajat sampai dimana pelvis dapat berotasi untuk mengkompensasi sagittal imbalance. Nyeri post-operative pada fusi dari lumbosacral juga berhubungan dengan retroversi dari pelvis (penurunan dari sacral slope bersamaan dengan peningkatan dari pelvic tilt) untuk mencapai sagittal balance.28 Lebih jauh lagi perubahan dari sagittal alignment yang terjadi setelah spinal fusion sepertinya memiliki efek terhadap degenerasi dari adjacent segment.29 Sepertinya merencanakan pembedahan tulang belakang untuk mempertahankan pelvic parameter mendekati nilai normal semaksimal mungkin akan meningkatkan hasil akhir dari pembedahan.12 Pelvic parameter juga merupakan komponen penting dalam perkembangan penyakit degeneratif pada tulang belakang.30

Prosedur pembedahan yang merubah lordosis dari lumbal cenderung akan memiliki efek pada sagittal balance. Pada pasien dimana sejak awal lordosis dari lumbal tidak normal, koreksi dari nilai tersebut ke nilai normalnya akan memberikan efek yang baik dan menguntungkan terhadap pelvic parameter. 12 Namun banyak teknik dari lumbar fusion memiliki efek samping terhadap sagittal balance karena kecenderungannya untuk menurunkan nilai lordosis dari lumbal.31 Penelitian dari Le-huec et al melakukan analisis

(12)

dari pelvic parameter pada pasien dengan single level lumbar disc replacement dari 35 pasien menemukan tidak terdapat efek samping dari prosedur tersebut terhadap spinal balance.32 Temuan mereka tersebut mendukung konsep bahwa motion preserving prostheses cenderung tidak mempengaruhi spinal balance dibandingkan dengan teknik fusi konvensional. Namun berdasarkan penelitian lainnya efek samping dari lumbar fusion terhadap lordosis dari lumbal dan sacral slope mungkin berhubungan dengan posisi prone dari pasien yang dibutuhkan untuk melakukan teknik tersebut.33

Pellet et al melaporkan hasil dari penelitian prospektif terhadap efek dari anterior interbody fusion (48 pasien) pada vertebra lumbal dibandingkan dengan lumbar disc arthroplasty (51 pasien). Analisis mereka meliputi pengukuran dari pelvic incidence dan global sagittal balance dan mereka menemukan bahwa hanya arthroplasty yang berpengaruh terhadap keseluruhan sagittal balance. Mereka menyimpulkan bahwa anterior interbody fusion akan lebih sesuai pada level L4/5 untuk pasien dengan pelvic incidence yang rendah dan juga pada level L5/S1 pada pasien dengan sacral slope yang tinggi.34

Menurut RD Jhonson et al lateral minimally invasive fusion technique, seperti lateral interbody fusion, yang pada prosedurnya tidak melibatkan posisi prone (telungkup) dari pasien dan memungkinkan penempatan disc-space cages lebih ke anterior, lebih unggul dibandingkan dengan teknik konvensional dalam mempertahankan pelvic balance.12

Penelitian dari Lazennec melakukan analisis radiologi dari postur sebelum dan sesudah tindakan lumbosacral fusion untuk menilai pengaruh dari spinal alignment terhadap munculnya dan pola terjadinya nyeri sesudah fusi ataupun failed back surgery. Pada pasien dengan nyeri setelah fusi, pelvic tilt pada saat follow-up terakhir hampir dua kali dibandingkan nilai normal (p = 0.0003) dan sacral slope lebih rendah (p< 0.0001), mengindikasikan sacrum tetap dalam posisi vertikal yang tidak normal.28 Peneliti juga membandingkan data dasar (pre-operative) dari spinopelvic parameter untuk memprediksi hasil akhir dari pembedahan. Kelompok pasien yang mengalami kegagalan dari pembedahan tulang belakang memiliki pelvic tilt yang besar dan nilai sacral slope yang lebih kecil, bahkan pada data dasar dibandingkan dengan kelompok yang melaporkan hilangnya rasa sakit setelah fusi dari tulang belakang, dimana mereka memiliki pelvic tilt dan sacral slope yang normal pre-operative. Dan juga tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari pelvic incidence antara kelompok yang mengalami nyeri post-fusion dengan yang tidak.28

(13)

Dari penelitian tersebut juga dapat disimpulkan bahwa pencapaian dari solid fusion seharusnya bukan menjadi satu-satunya tujuan. Adanya retroversi dari pelvis yang menetap bahkan dalam posisi berdiri setelah tindakan spinal fusion yang menyerupai sagittal alignment pada posisi duduk, merupakan penyebab nyeri yang menetap pada pasien dengan axial back pain. Kesalahan yang umum terjadi yang sering menyebabkan nyeri punggung yang menetap walaupun telah terjadi fusi, adalah kegagalan untuk memperbaiki retroversi yang berlebihan dari pelvis dan posisi sacrum yang vertikal. Jika lordosis dari lumbal tidak dapat diperbaiki pada saat pembedahan, maka pelvis harus tetap berputar ke arah belakang untuk mempertahankan sagittal balance sebagai mekanisme kompensasi. Nyeri yang menetap muncul karena besarnya energi yang dibutuhkan dan kelelahan dari otot untuk melakukan kompensasi.16

Adjacent segment degeneration merupakan efek samping lainnya dari lumbar fusion, dan beberapa sumber kepustakaan menyatakan bahwa parameter sagittal yang tidak normal memainkan peranan penting terhadap perkembangan kelainan tersebut. Pada satu kasus serial, pasien dengan sacral slope post-operatif normal dan C7 plumb line juga normal memiliki insidensi terjadinya adjacent segment degeneration dibandingkan dengan pasien yang memiliki nilai tidak normal dari kedua parameter tersebut (p < 0.02).35 Penelitian lainnya pada pasien yang menjalani fusi untuk spondylotic spondylolisthesis menunjukkan adanya peningkatan yang bermakna dari pelvic tilt post-operatif pada pasien yang mengalami adjacent segment degeneration.36 beberapa penelitian lainnya juga menunjukkan adanya hubungan antara hypolordosis dan resiko dari pseudoarthrosis37 dan penelitian terakhir menunjukkan pasien dengan peningkatan pelvic incidence memiliki resiko tinggi terjadinya kegagalan fusi.38

(14)

2.4 Kerangka Teori

Gambar

Tabel 1. Nilai normal dari berbagai pelvic parameter (Legaye)
Tabel 2. Nilai normal pelvic parameter (Boulay et al)

Referensi

Dokumen terkait

če hoče proizvodna funkcija izpolniti zahteve distribucijske logistike napolniti skladišča, skrajšati dobavni čas, upoštevati posebne želje kupcev, tega ne more zadovoljivo

Masyarakat yang membeli atau membangun jineng yang sama sekali tak ada kaitannya dengan budaya pertanian, lebih-lebih yang berkonteks sakral, menjadikan jineng sebagai

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian

Bila suatu reaksi dilakukan dalam sistem terisolasi (tersekat) mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan energi potensial partikel-partikelnya, maka

terpusat, fokus, serta bisa diselesaikan dengan adanya batasan perumusan masalah yang ada di dalamnya. Dalam kegiatan ini peneliti membuat dan menyusun instrumen penelitian

Motivasi yang didasari individu terlibat dalam organisasi memiliki keterkaitan dengan konsep diri; individu yang dimotivasi oleh suatu kebutuhan yang ingin dipenuhinya bertindak

Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menjelaskan perilaku pemilih, (1) Pendekatan Sosiologis (tradisional), melihat bahwa perilaku pemilih dipengaruhi oleh