BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
1. Definisi
Lanjut usia merupakan kejadian yang akan dialami oleh semua orang yang
diberi umur panjang, dan tidak dapat dihindari oleh siapapun. Proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang dideritanya disebut sebagai menuan = aging (Constantinides,
1994 dalam Darmojo, 2006).
Usia lanjut adalah sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
Batasan umur menurut organisasi kesehatan dunia World Health
Organisation (WHO) dalam Maryam (2008), ada empat tahap lanjutan usia
meliputi :
a. Usia pertengahan (Middle Age) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59
tahun.
b. Lanjut usia (Elderly) yaitu seseorang yang yang berusia antara 60-74
tahun.
c. Lanjut usia tua (Old) yaitu seseorang yang berusia antara 75-90 tahun .
d. Usia sangat tua (Very Old) yatu seseorang yang berusia diatas 90 tahun
Sedangkan batasan lansia menurut Eliopoulus (2010) sebagai berikut.
a. Setengah tua yaitu seseorang yang berusia antara 60 sampai 74 tahun.
b. Tua yaitu seseorang yang berusia antara 75 sampai 100 tahun.
c. Sangat tua yaitu seseorang yang berusia lebih dari 100 tahun.
Pada lansia ada lima klasifikasi, yaitu :
a. Pralansia
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun (Maryam, 2008)
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang berusia 60
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2003). Lansia potensial tidak
tergantung pada umur, karena tidak ada batasan dan kisaran umumnya.
Semua lansia yang memiliki ketrampilan dapat berpotensi menghasilkan
barang dan jasa.
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2003). Seperti halnya lansia potensial,
lansia tidak potensial juga tidak bergantung pada umur. Diantara mereka
pasti ada yang masih mampu dan tidak mampu mencari nafkah,
ketidakmampuan lansia dalam mencari nafkah bisa disebabkan oleh faktor
fisik dan faktor psikis.
2. Teori Penuaan
Penuaan adalah suatu proses menghilang secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri serta mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam
Darmojo, 2006). Adapun proses tua ditandai dengan adanya kemunduran
biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kmunduran fisik, antara lain kulit
mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong,
lamban dan kurang lincah. Kemunduran lain yang terjadi adalah
kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu,
ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru.
Hardyminoto (2005) menyatakan teori biologis tentang proses penuaan,
antara lain :
a. Teori Genetika
Teori ini menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis
yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses penuaan. Teori ini
mengakui adanya mutasi somatik yang mengakibatkan kegagalan
penggandaan DNA.
b. Teori Non Genetik
Teori ini terbagi lagi dalam beberapa teori :
(1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas yang terdapat di lingkungan mangakibatkan terjadinya
perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
(2) Teori Cros Link
Molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi jaringan dan
mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku pada proses penuaan.
(3) Teori kekebalan (Immunologic Teory)
Perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya
keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibody dan kekebalan
(4) Teori psikologis
Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuran mental dan keadaan fungsional yang efektif.
3. Perubahan pada lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan fisik,
perubahan mental dan perubahan psikososial.
a. Perubahan fisik
Hutapea (2005) menyatakan perubahan fisik yang dialami oleh lansia
adalah:
(1) Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh menjadi
rentan terhadap alergi dan penyakit.
(2) Konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah
energi yang dikeluarkan tubuh.
(3) Air mengalami penurun secara signifikan karena bertambahnya sel- sel
yang mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.
(4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban dan kurang efisien,
gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi.
(5) Perubahan pada sistem metabolik, yang mengakibatkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi
(6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang,
pendengaran berkurang, reaksi lambat, fungsi mental menurun, dan
ingatan visual berkurang.
(7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya
elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat
mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
(8) Menurunnya elastisitas dan fleksibilitas persendian.
b. Perubahan Mental
Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang semakin
egosentrik, mudah curiga, dan bertambah pelit atau tamak bila memiliki
sesuatu. Lansia mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyarakat.
Sikap umum yang ditemukan pada hamper setiap lansia yaitu keinginan
untuk berumur panjang. Jika meninggal pun, mereka ingin meninggal
secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang mempengaruhi perubahan
mental yaitu 13 perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan,
keturunan dan lingkungan (Nugroho, 2008).
c. Perubahan Psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dikaitkan dengan
peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang akan
mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan status,
B. Tidur
1. Definisi
Seperti yang telah diketahui, tidur merupakan proses fisiologis yang
amat penting untuk manusia dan merupakan kebutuhan yang mesti dipenuhi
oleh manusia (Burton, 2007). Tidur suatu keadaan dimana ketidaksadaran
natural, ketika aktivitas otak tidak terlihat (selain daripada pertahanan fungsi
tubuh dasar yang berlanjutan, contohnya pernafasan) tetapi bisa dideteksi
dengan penggunaan elektroensefalogram (EEG).
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi oleh
semua orang. Dengan tidur yang cukup, tubuh baru dapat berfungsi secara
optimal. (Mubarak, 2007).
2. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan faktor yang mempengaruhi tidur meliputi:
a. Penyakit
Sakit dapat mempengruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit
yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya: penyakit yang disebabkan
oleh infeksi (infeksi limfe) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur
untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan
b. Latihan dan kelelahan
Keletihan akibat aktifitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energy yang telah dikeluarkan. Hal ini
terlihat pada seseorang yag telah melakukan aktifitas dan mencapai
kelelahan maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur.
c. Stress psikologis
Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa.
Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis
mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur.
d. Obat
Obat juga dapat mempengaruhi proses tidur, beberapa jenis obat yang
dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretic
(banyak kencing) menyebabkan seseorang menjadi insomnia, anti
depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis
yang menyebabkan kesulitan untuk tidur.
e. Nutrisi
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses
tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat proses tidur, karna adanya
tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna.
Demikian juga sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang juga dapat
f. Lingkungan
Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat
mempercepat terjadinya proses tidur, begitu juga sebaliknya apabila
kaadaan lingkungan tidak aman dan nyaman akan mempersulit terjadinya
tidur.
g. Motivasi
Merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang
dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk
menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur.
h. Gaya hidup
Seseorang yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitas agar
bisa tidur pada waktu yang tepat.
3. Fisiologi tidur
Fisiologi tidur dapat diterangakan melalui gambaran aktifitaas sel-sel
otak selama tidur. Aktifitas tersebut dapat direkam melalui gelombang otak
pada elektroensefalogram (EEG), gerakan mata dan gerakan otot pencatatan
variabel tersebut dikenal sebagai polisomnografi, pada EEG dapat
tergambarkan fase yang terjadi pada proses tidur. Polisomnografi merupakan
Tidur terbagi menjadi 2 tipe, yaitu Tipe Non Rapid Eye Movement
(NREM) dan Tipe Rapid Eye Movement (REM). Tidur REM disebut juga
tidur D atau bermimpi karna dihubungkan dengan mimpi atau dengan tidur
paradox karna EEG aktif selama fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur
ortodoks atau tidur gelombang lamabat tidur atau tidur S. Fase awal tidur
didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 staduim, lalu diikuti oleh fase
REM. Kebutuhan tidur akan berkurang dari usia bayi sampai usia lanjut. Bayi
baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian
menurun 9-10 jam perhari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-8
jam/hari pada orang dewasa, pada umur 40-60 tahun 7 jam/hari, pada umur 60
tahun keatas 6 jam/hari. Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
a. Tidur Stadium Satu
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak
gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5
menit dan mudah sekali di bangunkan.
b. Tidur Stadium Dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih
berkurang, tidur lebih dalam dari fase pertama.
d. Tidur Stadium Tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya, tonus otot meningkat tetapi
e. Tidur Stadium Empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan, fase tidur NREM
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan
masuk ke fase REM. Pada awal REM pertama, prosesnya berlangsung
lebih cepat dan panjang saat menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM
ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, denyut nadi bertambah, tonus otot menunjukan relaksasi yang
4. Fisiologi tidur pada lansia menurut Eliopoulos (2010) dapat dilihat pada
Tabel 1.1.
Table 1.1. Fisiologis tidur pada lansia
Tahapan Karakteristik Perbedaan pada dewasa tua
NREM: I
Lansia mulai mengantuk dapat dengan mudah terbangun jika tidak terganggu, akan mencapai tahap berikutnya dalam beberapa menit.
Tahapan yang paling dalam mencapai relaksasi pada seseorang, kelopak mata tertutup, dan dapat dengan mudah terbangun .
Awal fase tidur nyenyak, suhu dan denyut jantung bearkurang, otot-otot rileks, lebih sulit untuk dibangunkan.
Dalam tidur dan relaksasi semua fungsi tubuh berkurang, tahap tidur IV tidak cukup stimulus, dapat
menyebabkan disfungsi emosional.
Gerakan yang cepat, terjadi peningkatan tanda-tanda vital (kadang-kadang tidak teratur), akan masuk tidur REM kira-kira sekali setiap 90 menit tidur stadium IV, tidak cukup tidur REM, dapat menyebabkan disfungsi emosional, termasuk psikosis.
Lansia lebih banyak menghabiskan waktu ditahap ini, kemungkinan besar karna lansia saring terbangun; peningkatan jumlah aroulsal dan pergeseran kedalam tidur non REM. Tidak ada perubahan signifikan pada lansia pada tahapan yang paling dalam mencapai relaksasi.
Lansia akan mengalami penurunan pada fase tidur nyenyak dengan denyut jantung berkurang, dan otot rileks sulit dibangunkan.
Mungkin lenyap sama sekali pada usia yang sangat tua.
C. Gangguan Tidur
(1) Definisi
Insomnia merupakan gangguan tidur utama dalam memulai dan
mempertahankan tidur di kalangan lansia, sehingga insomnia didefinisikan
sebagai keluhan tentang kurangnya kualitas tidur yang disebabkan dari
sulitnya memasuki tidur, sering terbangun malam hari kemudian sulitan untuk
kembali tidur, bangun terlalu pagi, dan tidur yang tidak nyenyak (Joewana,
2005).
Insomnia adalah ketidakmampuan memperoleh secara cukup kualitas
dan kuantitas tidur. Ada 3 macam insomnia yaitu initial insomnia, intermitten
insomnia, terminal insomnia (Tarwoto & Wartonah, 2006) .
Insomnia diklasifikasikan menjadi beberapa tipe menurut Joewana
(2005), antara lain:
a. Tidak dapat atau sulit tertidur (insomnia initial).
insomnia initial sering ditemui pada ansietas pasien muda, berlangsung
dalam waktu 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan, pasien tertidur
juga.
b. Terbangun tengah malam beberapa kali (insomnia i n t e r m i t t e n) .
insomnia intermitten yaitu Pasien dapat tertidur dengan mudah tetapi
setelah 2-3 jam tidur pasien terbangun lagi, dan terulang beberapa kali
c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini (insomnia terminal).
insomnia terminal yaitu pasien dapat tidur dengan mudah dan cukup
nyenyak, tetapi pagi buta pasien sudah terbangun lalu tidak dapat tidur
lagi keadaan ini sering dijumpai pada keadaan depresi.
Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 4 tipe
(Turana, 2007). Antara lain :
a. Transient insomnia: insomnia yang berlangsung kurang dari 3 minggu dan
biasanya berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang
berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat
dikenali dengan mudah oleh pasien sendiri. Adapun faktor yang memicu
antara lain akibat lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama
sirkadian sementara akibat rotasi waktu kerja, stress situasional akibat
lingkungan kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak
memerlukan terapai khusus dan jarang membawanya pasien ke dokter.
b. Short-term insomnia: berlangsung 1-6 bulan dan biasanya disebabkan oleh
kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian salah satu
c. Recurrent insomnia: kondisi ini lebih jarang dari pada transient insomnia.
Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara tidur dan bangun.
Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur hidup.
Kejadian berulang ini bisa terjadi akibat perubahan fisiologi seperti
sirkulasi premenstrual ataupun perubahan psikologik seperti depresi,
kambuhnaya perubahan perilaku tertentu seperti kecanduan obat, dan lain
sebagainya.
d. Persistent insomnia: berlangsung lebih dari 6 bulan
(2) Jenis gangguan tidur, Stanley (2007) :
(a) Insomnia jangka pendek
Berakhir beberapa minggu dan muncul lagi akibat pengalaman
stress yang bersifat sementara seperti kehilangan orang yang
dicintai, tekanan di tempat kerja, atau takut kehilangan pekerjaan.
(b) Insomnia sementara
Gelisah yang tidak sering terjadi yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan lingkungan seperti jet lag, konstruksi bangunan yang
bising atau pengalaman yang menimbulkan ansietas.
(c) Insomnia kronis
Berlangsung selama 3 minggu atau seumur hidup. Kondisi ini
dapat disebabkan oleh kebiasaan tidur yang buruk, masalah
psikologis, penggunaan obat tidur berlebihan, gangguan jadwal
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi insomnia
Joewana (2005) menyatakan tidak semua insomnia didasari oleh
adanya suatu kondisi psikopatologik, insomnia dapat pula disebabkan
oleh beberapa hal berikut:
(a) Suara atau bunyi.
Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara atau bunyi
sehingga tidak mengganggu tidurnya. Hal terpenting bukan
intensitasnya tetapi makna dan suara itu. Misalnya seseorang yang
takut diserang atau dirampok, pada malam hari ia terbangun
berkali-kali hanya karena suara yang halus sekalipun.
(b) Suhu udara.
Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara yang
menyenagkan bagi dirinya, akan tetapi bila suhu udara rendah
mereka memakai selimut, bila suhu udara tinggi mereka memakai
pakaian tipis, insomnia ini sering dijumpai di daerah tropis.
(c) Tinggi tekanan udara.
Insomnia merupakan gejala yang sering dijumpai pada pendaki
gunug yang lebih dari 3500 meter diatas permukaan laut, hipoksia
(d) Penggunaan bahan-bahan stimulant susunan saraf pusat.
Bahan-bahan seperti kopi yang mengandung kafein, tembakau
yang mengandung nikotin dan obat pengurus badan yang
mengandung amfetamin atau yang sejenisnya dapat menimbulkan
Insomnia.
(e) Penyakit jasmani tertentu.
Penyakit yang dimaksud antara lain tumor otak, demam,
kehamilan normal trimester ketiga, diabetes militus, penyakit
jantung koroner.
(f) Penyakit psikiatrik.
Penyakit psikiatrik biasanya ditandai dengan adanya insomnia
seperti pada gangguan afektif, gangguan keperibadia dan gangguan
stress pasien trauma.
4. Faktor resiko insomnia.
Turana, (2007) menyatakan beberapa faktor resiko yang dapat
menimbulkan insomnia Antara lain:
a. Emosi.
Transient dan recurrent insomnia biasanya disebabkan oleh gangguan
emosi. Memendam kemarahan, cemas, atau pun depresi bisa
b. Kebiasaan.
Insomnia disebabkan oleh kebiasaan buruk seperti Penggunaan kafein
berlebih, alkohol yang berlebihan, tidur yang berlebihan, merokok
sebelum tidur dan stress kronik. Faktor lingkungan seperti bising, suhu
yang ekstrim, dan perubahan lingkungan bisa menyebabkan transient dan
recurrent insomnia.
c. Jenis kelamin.
Insomnia lebih banyak menyerang wanita dibanding pria dengan
presentase (20-50% wanita lebih tinggi dari pada pria). Wanita lebih
sering menderita insomnia karna siklus menstruasinya. 50% wanita
dilaporkan menderita kembung yang menggangu tidurnya 2-3 hari disetiap
siklusnya. Peningkatan kadar progesterone menyebabkan rasa lelah pada
awal siklus.
d. Insomnia disebabkan penyakit kronis yang menimbulkan nyeri (misalnya
arthritis), terbatas pergerakan, kesulitan bernafas.
5. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan penyebab insomnia pada lansia, yaitu:
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga mereka
masih semangat sepanjang malam,
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari,
c. Gangguan cemas dan depresi,
e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada malam
hari,
f. Infeksi saluran kemih.
6. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan dampak insomnia, yaitu:
a. Gangguan antesi, memori, mood depresi,
b. Sering terjatuh,
c. Penurunan kualita hidup,
d. Tubuh letih, dan lesu pada saat bangun,
e. Cepat marah, sulit bergaul.
7. Pradiasti, M.R. (2012) menyatakan cara mengatasi insomnia, yaitu :
a. Melakukan pijatan.
Pijatan dapat melakukan masalah dengan gangguan tidur, karna pijatan
punggung dengan usapan yang perlahan (slow stroke back massage)
usapan dengan lotion/balsam memberikan sensasi hangat dengan
mengakibatkan dilatasi pada pembulu darah lokal.
b. Melakukan olah raga secara teratur.
Olah raga teratur dapat membantu masalah dengan tidur, karena sirkulasi
darah dan kerja organ tubuh akan menjadi lebih baik. Olah raga yang
cukup (tidak berlebihan) akan menyebabkan tubuh terutama otak akan
menjadi rileks dan segar. Namun hindari olah raga waktu tidur.
d. Mandi dalam air hangat sebelum tidur.
e. Menghindari alkohol dan obat-obatan.
8. Skala Insomnia
Untuk mengukur derajat insomnia digunakan kuesioner Kelompok
Studi Psikiatri Biologi Jakarta- Insomnia Rating Scala (IRS).
KSPBJ-IRS digunakan untuk Croos – Check Insomnia pada lansia. Skala ini terdiri
dari 11 butir pertanyaan, adapun cara pengisiannya dengan cara memberi
tanda Contreng ( ) dari masing-masing pertanyaan yang memiliki skor 1
sampai 4. Berikut dari masing-masing skor:
1= tidak ada keluhan insomnia
2= insomnia ringan
3= insomnia sedang
4= insomnia sangat berat
Keterangan jumlah skor
Skor 1: 11-19 = tidak ada keluhan insomnia
Skor 2: 20-27 = insomnia ringan
Skor 3: 28-36 = insomnia sedang
D. Nyeri
1. Pengertian
Nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika
jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk
menghilangkan rasa nyeri (Prasetyo, 2010 dalam Andarmoyo, S, 2013).
Nyeri yaitu suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori
maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan
jaringan tubuh (Tournaire & Theau-Yonneau, 2007 dalam Judha dkk, 2012).
2. Fisiologi nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), munculnya nyeri berkaitan dengan
reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah
nociceptor, nociceptor merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang
memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya visera,
persendian, dinding arteri, hati, dan kantong empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau
rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi, termal, listrik atau
mekanis. Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut
ditransmisikan berupa implus-implus nyeri ke sumsum tulang belakang oleh
dua jenis tersebut, yaitu serabut A (delta) yang bermielin rapat dan serabut
Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai
sifat inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C, serabut-serabut aferen masuk
ke spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn
Dorsal horn terdiri dari beberapa lapisan atau lamina yang saling berikatan.
lapisan dua dan tiga diantaranya membentuk substantia gelatinosa yang
merupakan saluran utama implus.
Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada
interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu
jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur 19 spinothalamus dan spinoreticular
tract (SRT) yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri. Proses
transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan
jalur nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang
terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus, yang melalui otak tengah dan
medula, ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif.
Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls supresif. Sistem
supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang ditansmisikan oleh
serabut A. Jalur non-opiate merupakan jalur desenden yang tidak memberikan
3. Klasifikasi
Menurut Smeltzer & bare, 2002 dalam Andarmoyo, S, 2013 nyeri
diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan durasinya, yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang
bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu yang singkat
yaitu dari beberapa detik hingga enam bulan.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih.
4. Prasetyo, 2010 dalam Andarmoyo, S, 2013 mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri antara lain:
a. Usia.
Usia merupakan variabel penting dalam mempengaruhi nyeri khususnya
pada anak-anak dan lansia.
b. Jenis kelamin.
Secaara umum, laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara bermakna
dalam berespons terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin
saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri (Gil, 1990
c. Kebudayaan.
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima
oleh kebudayaan mereka (Perry & Potter, 2006).
d. Makna nyeri.
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman
nyerinya dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. (Perry & Potter,
2006) .
e. Perhatian.
Tingkat seseorang pasien memfokuskan perhatianya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan
dengan respon nyeri yang menurun. (Gill, 1990 dalam Potter & Perry,
2006).
f. Keletihan
Keletihan atau kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan
persepsi nyeri. Rasa kelelahan akan menyebabkan sensasi nyeri semakain
intensif dan menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai
kesulitan tidur, persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri
sering kali lebih berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur
g. Pengalaman sebelumnya.
Apabila individu sejak lama sering serangkaian episode nyeri tanpa pernah
sembuh atau menderita nyeri yang berat maka ansietas atau bahkan rasa
takut dapat muncul. Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan
jenis yang sama berulang-ulang, tetapi kemudian nyeri tersebut dengan
hasil dihilangkan, akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk
menginterprestasikan sensasi nyeri akibatnya, klien akan lebih siap untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri
(Potter & Perry, 2005)
h. Gaya koping.
Pengalaman nyeri seseorang bisa tidak berarti. Seringkali pasien merasa
kehilangan kontrol dari kemampuan untuk mengontrol lingkungan, Coping
style sering akan mempengaruhi banyaknya nyeri yang diterima. Seseorang
yang bersikap introvert dia akan memiliki control diri yang lebih baik
terhadap lingkungannya dibandingkan dengan oaring yang memiliki sikap
extrovert terhadap nyeri yang dirasakan. Pasien yang memiliki
ketergantungan minimal terhadap penggunaan analgesin akan mempunyai
kontrol yang lebih baik dari pada pasien dengan ketergantungan tinggi
i. Dukungan keluarga dan sosial.
Faktor lain yang berpengaruh cukup signifikan dalam merespon nyeri
adalah kehadiran dan dorongan dari orang lain. Seseorang dengan
kelompok social budaya yang berbeda berharap dapat menyampaikan
keluhan nyerinya sesuai dengan keinginannya. Orang yang mengalami
nyeri seringkali memiliki ketergantungan terhadap anggota keluarganya
untuk memberikan dukungan, bantuan atau pencegahan terhadap nyeri
yang dirasakan. Ketidak hadiran keluarga dan teman dekat seringkali akan
membuat nyeri yang dialami semakin meningkat (Perry & Potter, 2006).
5. Skala intensitas nyeri.
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individu dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan
objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh
terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik juga tidak
Intensitas nyeri bisa diukur dengan menggunakan alat yang berupa
Verbal Descriptor Scale (VDS), Numerik Rating Scale (NRS) dan Visual
Analog Scale (VDS).
a. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS)
Merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak tersa nyeri” sampai “nyeri tidak
tertahan”. Perawat menunjukan skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang di rasakan. Perawat juga menanyakan
kepada klien seberapa jauh nyeri paling menyakitkan dan seberapa jauh
nyeri terasa paling tidak menyakitkan. VDS memungkinkan klien akan
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan sebuah nyeri yang
dirasakan oleh klien.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri tidak
terkontrol
b. Numerik Rating Scale (NRS)
Skala penilaian numerik atau Numerik Rating Scale (NRS) lebih digunakan
sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan 0-10.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 2.2 Numerik Rating Scale (NRS)
c. Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual atau Visual Analog Scalae (VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberikan kebebasan penuh kepada klien untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang
lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu kata (Potter & Perry, 2006).
Tidak nyeri nyeri sanagt hebat
6. Mekanisme Penurunan Nyeri.
Mekanisme penurunan nyeri ini dapat dijelaskan dengan teori gate control
yaitu intensitas nyeri diturunkan dengan memblok transmisi nyeri pada
gerbang (gate) dan teori Endorphin yaitu menurunnya intensitas nyeri
dipengaruhi oleh meningkatnya kadar endorphin dalam tubuh. Dengan
pemberian terapi back massage dapat merangsang serabut A beta yang banyak
terdapat di kulit dan berespon terhadap masase ringan pada kulit sehingga
impuls dihantarkan lebih cepat. Pemberian stimulasi ini membuat masukan
impuls dominan berasal dari serabut A beta sehingga pintu gerbang menutup
dan impuls nyeri tidak dapat diteruskan ke korteks serebral untuk
diinterpretasikan sebagai nyeri (Guyton & Hall, 2007).
E. Tulang Belakang
1. Pengertian
Tulang belakang (columna vertebralis) merupakan pilar yang kuat,
melengkung dan dapat bergerak yang menopang tengkorak, dinding dada, dan
ekstremitas atas, menyalurkan berat badan ke ekstermitas bawah, dan
2. Anatomi dan fisiologi tulang belakang.
Vertebrae, discus interverralia, ligamen antara spina, spinal cord, saraf,
otot punggung, organ-organ dalam di sekitar pelvis, abdomen dan kulit yang
menutupi daerah punggung ini semua merupakan struktur utama dari tulang
punggung.
Unit struktural tulang belakang lumbal dalam berbagai sikap tubuh dan
gerakan dapat ditinjau dari sudut mekanika. Tulang belakang lumbal yang
menopang badan dapat dipelajari dengan diskus intervertebralis antara L-5
sampai S-1 atau L-4 dan L-5 sebagai titik tumpuan. Bila mengangkat beban
berat, tangan, lengan dan badan dapat dianggap sebagai lengan beban
posterior pendek, yang bergerak dari pusat diskus intervertebralis sampai
prosessus spinosus belakang (Gibson, 2003 dalam Baida, 2012).
Tulang belakang terdiri dari 33 ruas yang merupakan satu kesatuan
fungsi dan bekerja sama melakukan tugas seperti;
a. Memperhatikan posisi tubuh gerak.
b. Menyangga berat badan.
c. Fungsi pergerakan tubuh.
Tulang belakang pada saat berdiri mempunyai fungsi sebagai
penyangga badan, sedangkan pada saat jongkong atau memutar, tulang
belakang berfungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur dan
peranan yang komplek pada tulang belakang inilah yang seringkali
menyebabkan masalah (Cock, 2008).
Tulang belakang tersusun dari beberapa tulang, antara lain sebagai
berikut:
a. Tulang leher (servikal)
Atlas disebut ruas pertama tulang leher, sedangkan ruas kedua disebut
tulang pemutar. Tulang leher terdiri atas 7 buah tulang yang bertugas
menopang kepala, leher, dan menggerakkan kepala untuk menunduk serta
menengadah kesamping kiri dan kanan.
b. Tulang punggung (dorsalis)
Tulang punggung memiliki 12 buah tulang yang bersifat agak kaku sebab
tulang-tulang dibagian ini hampir semuanya dipersatukan oleh tulang
rusuk.
c. Tulang pinggang (lumbal)
Ada 5 buah tulang yang menyusun tulang pinggang pada daerah ini,
d. Tulang sacral
Penyusun tulang ini adalah tulang kelangkang yang berjumlah 5 buah dan
tulang ekor yang berjumlah 4 buah. Tulang-tulang ini membentuk sebagai
tulang pinggul.
F. Nyeri Tulang Belakang
1. Pengertian
Low back pain (LBP) adalah nyeri di daerah punggung antara sudut
bawah kosta (tulang rusuk) sampai lumbosakral (sekitar tulang ekor). Nyeri
juga bisa menjalar ke daerah lain seperti punggung bagian atas dan pangkal
paha (Rakel, 2002). LBP atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu
dari gangguan musculoskeletal, gangguan psikologis dan akibat dari
mobilisasi yang salah dan dapat menimbulkan rasa pegal, linu, ngilu atau
tidak enak pada daerah lumbal berikut sakrum (Idyan, 2007 dalam Baida,
2012).
low back pain adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah,
juga merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikal atau keduanya. Nyeri ini
terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah
lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri kearah
tukai dan kaki. Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk
ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang dari daerah lain dirasakan di daerah
2. Klasifikasi
Bimariotejo (2009) menyatakan perjalanan kliniknya LBP terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Acute Low Back Pain
Acute low back pain ditandai dengan rasa nyeri yang menyerang secara
tiba-tiba dan rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari
sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute
low back pain dapat disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan
mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian
tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen
dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah
lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini
penatalaksanan awal nyeri pinggang akut terfokus pada istirahat dan
pemakaian analgesik.
b. Chronic Low Back Pain
Rasa nyeri pada chronic low back pain bisa menyerang lebih dari 3 bulan.
Rasa nyeri ini dapat berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini
biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang
lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis,
3. Tanda dan Gejala
Black & Jacob (2005) menyatakan berdasarkan pemeriksaan low back
pain dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Simple back pain (LBP sederhana) dengan karakteristik sebagai berikut:
(1) Nyeri yang terasa pada daerah lumbal atau lumbosakral tanpa
penjalaran atau keterlibatan neurologis.
(2) Nyeri mekanik merupakan derajat nyeri yang bervariasi setiap waktu
dan tergantung dari aktifitas fisik.
(3) Kondisi sederhana pasien secara umum adalah baik.
b. Low back pain dengan keterlibatan neurologis, dibuktikan dengan adanya
satu atau lebih tanda dan gejala yang mengidikasikan adanya keterlibatan
neurologis.
(1) Gejala: nyeri yang menyerang kearea lutut, tukai, kaki ataupun
adanya rasa baal didaerah nyeri
(2) Tanda: terdapat tanda seperti iritasi radikular, gangguan motorik
maupun sensorik atau reflex.
c. Red flag LBP dengan kecurigaan mengenai adanya cedera atau kondisi
patologis yang berat pada spinal. Karakteristik umum:
(1) Trauma fisik berat seperti jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
kendaraan motor.
(2) Nyeri non mekanik yang konstan dan progresif.
(4) Nyeri hebat pada malam hari yang tidak membaik dengan posisi
terlentang.
(5) Riwayat atau ada kecurigaan kanker, HIV atau keadaan patologis
lainnya yang dapat menyebarkan kanker.
(6) Penggunaan kortikosterid jangka panjang.
(7) Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya, menggigil dan
demam.
(8) Fleksi lumbal sangat terbatas dan persisten.
(9) Saddle anesthesia atau adanya inkontinensia urin.
4. Patofisiologi
Konstruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibelitas,
sementara disisi lain tetap dapat memberiakn perlindungan yang maksimal
terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan
menyerap goncangan vertical pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh
membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks
sangat penting pada aktivitas menggangkat ini. Menggangkat beban berat
pada posisi membungkuk menyamping menyebabkan otot tidak mampu
mempertahankan posisi tulang belakang thorakal dan lumbal, sehingga pada
saat sendi faset (facet join) lepas dan disertai tarikan dari samping, terjadi
gesekan pada kedua permukaan facet sendi menyebabkan ketegangan otot
didaerah tersebut yang akhirnya menimbulkan keterbatasan gesekan pada
berlebih dapat menyebabkan tulang dapat berkaitan nyeri punggung
(Dewanto, dkk., 2009).
Diskus intervensi akan mengalami perubahan sifat ketika usia
bertambah tua. Pada orang muda, diskus terutama tersusun atas fibrokartogo
denagn matriks gelatinus. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita
stress mekanis paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan
faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar dari
kanalis spinalis, yang menyebabkan nyeri menyebar sepanjang saraf tersebut.
Sekitar 12% orang dengan nyeri punggung bawah yang menderita Hernia
Nukleus Pulposus (HNP) (Dewanto, dkk., 2009).
5. Faktor Risiko
Faktor resiko nyeri pinggang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan,
etnis, merokok, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang
berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan
Universitas Sumatera Utara faktor psikososial (Bimariotejo, 2009).
Faktor resiko yang positif untuk low back pain adalah usia atau
bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek,
masalah psikologik dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala,
skoliosis mayor (kurva lenih dari 80%) serta faktor fisik yang berhubungan
dengan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi, mengemudi truk, duduk atau
membawa beban, menarik beban, membungkuk dan memutar
(Mahadewa & Sri, 2009).
Irwanashari (2010) menyatakan faktor resiko low back pain bervariasi
diantaranya:
a. Faktor fisiologi
(1) Umur.
Pada usia 30 tahun seseorag akan mengalami degenerasi pada
tulangnya yang berupa kerusakan jaringan, pergantian jaringan parut,
pengurangan cairan. Hal tersebut menyebabkan stailitas pada tulang
dan otot menjadi berkuarang.
(2) Jenis kelamin.
Jenis kelamin seseorang sangat mempengaruhi tingkat resiko
keluhan low back pain. Hal ini terjadi karena secara fisiologis
kemampuan otot wanita lebih rendah dari pada pria. Beberapa peneliti
menunjukan prevalensi beberapa kasus musculoskeletal disorders
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada wanita (Tarwaka, dkk,
2004).
(3) Obesitas.
Obesitas adalah terjadinya penimbunan lemak berlebih dari
jaringan lemak tubuh. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi, dimana konsumsi
disimpan dalam jaringan lemak. Seseorang dikatakan obesitas apabila
mempunyai berat badan lebih dari 20% berat badan ideal. Berat badan
yang berlebihan menyebabkan tonus otot abdomen lemah, sehingga
pusat gravitasi seseorang akan terdorong ke depan dan menyebabkan
lordosis, akan bertambah yang kemudian menimbulkan kelelahan pada
otot paravertebrata, hal ini merupakan resiko low back pain.
(4) Merokok.
Kebiasaan merokok akan mengurangi aliran darah ke punggung
dan dapat memperlemah cakram antar ruas. Nikotin mengakibatkan
aliran darah pada bantalan atara tulang punggung berkurang. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa merokok dapat meningkatnya keluhan
otot, itu sangat erat hubungan dengan lama dan tingkat kebiasaan
merokok.
b. Faktor psikologis
(1) Stres.
Stress walapun bukan penyebab langsung, Stress juga dapat
meningkatkan ketegangan otot dan menyebabkan spasme otot.
(2) Neurosis.
Neurosis dapat dikenali dengan gejala-gejala yang menyertainya
dengan kecemasan. Kecemasan akan membuat sakit dan nyeri pada
(3) Histeria.
Histeria merupakan bagian dari neurosis, dapat membuat sakit
dan nyeri pada otot.
(4)Reaksi konvensi.
Reaksi konvensi disebabkan dimanaseseorang mengalami
peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang tinggi, namun
efeknya tidak dapat dieksresikan dan ingatan tentang peristiwa
tersebut dihilangkan dari ingatan. Karna reaksi konvensi juga dapat
menyebabkan ketegangan pada otot.
c. Faktor lingkungan
(1) Pekerjaan.
Faktor resiko low back pain sangat berpengaruhi terhadap
seseorang yang bekerja terutama untuk jenis pekerjaan yang
menggunakan kekuatan fisik tinggi seperti perawat.
(2) Aktivitas fisik.
Sikap tubuh yang tidak benar merupakan penyebab terjadinya
nyeri tulang belakang yang sering tidak disadari oleh penderitanya.
Terutama sikap tubuh yang menjadi kebiasaan seseorang seperti
duduk, berdiri, memindah dengan posisi yang salah dapat
(3) Olahraga.
Aerobic fitnes akan meningkatka kemampuan konstrasi otot 80%
kasus nyeri tulang belakang disebabkan karna buruknya tingkat
kelenturan (tonus) otot atau kurang olahraga. Otot lemah terutama
pada daerah perut tidak mampu menyokongsecara maksimal.
G. Slow-Stroke Back Massage (SSBM)
1. Definisi
Slow-stroke back massage adalah tindakan masase punggung dengan
usapan yang perlahan selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2005). Massage
punggung ini dapat menyebabkan timbulnya mekanisme penutupan terhadap
impuls nyeri saat melakukan gosokan punggung pasien dengan lembut. Pesan
yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka
sistem pertahanan disepanjang urat saraf dan klien mempersepsikan nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen yaitu pembunuh nyeri alami
yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian
stimulus kutaneus merupakan upaya untuk melepaskan endrofin (Potter &
Perry, 2005). Usapan dengan lotion/balsem memberikan sensasi hangat
dengan mengakibatkan dilatasi pada pembuluh darah lokal. Vasodilatasi
sehingga aktivitas sel meningkat dan akan mengurangi rasa akit serta
menunjang proses penyembuhan luka (Kusyati E, 2006).
2. Pengaruh Slow-Stroke Back Massage
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan stimulus kutaneus slow-stroke
back massage antara lain:
a. Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam
jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan
ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak terpakai akan
diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran zat yang lebih baik. Aktifitas
sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit dan akan menunjang proses
penyembuhan luka, radang setempat seperti abses, bisul-bisul yang besar
dan bernanah, radang empedu, dan juga beberapa radang persendian
(Kusyati E, 2006; Kenworthy, 2002; Stevens, 1999 dalam Shocker, 2008).
b. Pada otot-otot, memiliki efek mengurangi ketegangan (Kusyati E, 2006
dalam Shocker, 2008).
c. Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis (Kusyati E, 2006 dalam
Shocker, 2008).
d. Stimulus kutaneus yang benar dapat mengurangi persepsi nyeri dan
membantu mengurangi ketegangan otot yang dapat meningkatkan nyeri
(Shocker, 2008).
e. Penurunan intensitas nyeri, kecemasan, tekanan darah, dan denyut jantung
3. Petunjuk
Priharjo, 1993 dalam Shocker, 2008 menyatakan ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan massage punggung kepada klien, antara
lain:
a. Perawat harus bertanya pertama kali apakah klien menyukai usapan
punggung karena beberapa klien tidak menyukai kontak secara fisik.
b. Perlu diperhatikan kemungkinan adanya alergi atau kulit mudah
terangsang, sebelum memberikan lotion.
c. Hindari untuk melakukan masase pada area kemerah-merahan, kecuali
bila kemerahan tersebut hilang sewaktu dimasase.
d. Masase punggung dapat merupakan kontraindikasi pada pasien imobilitas
tertentu yang dicurigai mempunyai gangguan penggumpalan darah.
e. Identifikasi juga faktor-faktor atau kondisi seperti fraktur tulang rusuk
atau vertebra, luka bakar, daerah kemerahan pada kulit, atau luka terbuka
yang menjadi kontraindikasi untuk masase punggung.
4. Metode
Tehnik untuk slow-stroke back massage dilakukan dengan beberapa
pendekatan, salah satu metode yang dilakukan ialah mengusap kulit klien secara
perlahan dan berirama dengan gerakan sirkular dengan kecepatan 60 kali usapan
per menit selama 3-10 menit (Potter & Perry, 2005). Gerakan dimulai pada
bagian tengah punggung bawah ke mudian ke arah atas area belahan bahu kiri
Gambar 2.5 Gerakan Sirkular dalam Slow-Stroke Back Massage
(SSBM)
Gambar 2.6 Area Usapan Slow-Stroke Back Massage (SSBM)
Sumber : Caldwell & Hegner. (2003). Asisten Keperawatan : Suatu Pendekatan
Gambar 2.7 Arah Usapan Slow-Stroke Back Massage (SSBM)
Sumber : Ester, M. (2005). Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
5. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pelaksanaan slow stroke back massage (Shocker, 2008), adalah:
a. Subjek penelitian dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan
selama intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk.
b. Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan
selimut.
c. Peneliti mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan losion (minyak
kelapa) di telapak tangan atau tempatkan botol losion ke dalam air hangat.
Tuang sedikit losion di tangan. Jelaskan pada responden bahwa losion
akan terasa dingin dan basah. Gunakan losion sesuai kebutuhan.
d. Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan
telapak tangan sesuai dengan metode di atas selama 3-10 menit. Jika
responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan.
e. Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa
f. Bersihkan kelebihan dari lubrikan dari punggung klien dengan handuk
mandi.
g. Bantu memakai baju atau piyama.
h. Bantu klien posisi yang nyaman.
H. Kerangka Teori
Gambar 2.8 Kerangka Teori
Sumber : dimodifikasi dari Mook & Chin (2004), Joewana (2005),
Darmojo (2006), Kusyati (2006), Shocker (2008), Bimariotejo (2009). Lansia
Nyeri akut tulang belakang
Acute Low Back Pain Chronic Low Back Pain
I. Kerangka Konsep
Gambar 2.9 Kerangka Konsep
J. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut
Ha : Ada pengaruh slow stroke back massage terhadap tingakat gangguan tidur
pada lansia dengan nyeri akut tulang belakang.
Ho : Tidak ada pengaruh slow stroke back massage terhadap tingkat gangguan
tidur pada lansia dengan nyeri akut tulang belakang.
Gangguan tidur pada lansia dengan nyeri akut tulang belakang
Nyeri akut tulang belakang (LBP)
Slow Stroke Back Massage