• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN REGULASI EMOSI INDIVIDU PADA USIA DEWASA DINI YANG TIDAK MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN REGULASI EMOSI INDIVIDU PADA USIA DEWASA DINI YANG TIDAK MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN REGULASI EMOSI

INDIVIDU PADA USIA DEWASA DINI YANG TIDAK

MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA

Oleh

TOFAN ARVILE YUNARDO SOAKOKONE 802010050

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN REGULASI EMOSI

INDIVIDU PADA USIA DEWASA DINI YANG TIDAK

MELAKUKAN PRAKTIK AGAMA

Tofan Arvile Yunardo Soakokone Chr. Hari Soetjiningsih

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

(8)

i Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dangan regulasi emosi individu pada usia dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling dengan partisipan penelitian berjumlah 50 partisipan yang tidak melakukan praktik agama. Variabel religiusitas diukur dengan menggunakan skala religiusitas Huber dan Huber (2012) yang berjumlah 16 aitem dan variabel regulasi emosi Garnefski dan Kraaij (2007) yang terdiri dari 36 aitem. Analisis data dengan menggunakan teknik analisis korelasi Pearson Product Moment dan diperoleh hasil r= 0,87 dengan signifikansi 0,274 (p<0,01). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan regulasi emosi individu pada usia dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama.

(9)

ii ABSTRACT

This research aims to determine the relationship between religiousness in individual emotions regulations at adult age early which do not practice religion. The current study used sampling snowball technique with 50 participants who did not practice religion. religiousness Variable were measured using a scale of religiousness huber and huber (2012) which consists of 16 item and variable regulation of emotion kraaij garnefski (2007) which consists of 36 item. The data were analyzed by using Pearson Product Moment correlation and the results obtained were r = 0,87 with significance of 0,274 (p< 0.01).The results of research showing no relationship between religiousness significant regulation by individual emotion at adult age early which do not practice religion.

(10)

1

PENDAHULUAN

Emosi merupakan bagian dari dunia yang kaya akan pengalaman manusia. Pengalaman itu termanifestasi dalam komunikasi interpersonal, hubungan kerja dan kepuasan pribadi. Fungsinya berdasarkan pengalaman dapat menjadi positif (menyenangkan) atau negatif (mengecewakan), misalnya merasa bahagia, dan mampu berbuat baik, sebaliknya dapat berakibat negatif jika berkembang dalam berbagai bentuk psikopatologi (tindakan kriminal), dan kesulitan sosial seperti sulit membangun relasi dengan orang lain (Gross, 2007).

Menurut Santrock (2012) proses menjadi dewasa dini melibatkan periode transisi yang panjang. Pada masa ini ditandai oleh: pertama fase eksplorasi identitas, khususnya dalam relasi romantis dan pekerjaan, kedua ketidakstabilan, ketiga fase terfokus pada diri sendiri, keempat merasa seperti berada diperalihan, kelima usia dengan berbagai kemungkinan, dan terakhir fase dimana individu memiliki peluang untuk mengubah kehidupan mereka.

Mengatur emosi merupakan aspek yang sangat penting. Karena regulasi emosi menurut Garnefski dan Kraaij (2007) merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola emosi serta mengekspresikannya. Begitupun Umasugi (2013) menjelaskan bahwa untuk meregulasi emosi seseorang, dibutuhkan dua hal yakni: ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua ketrampilan ini dapat meredakan emosi yang ada, sehingga mampu memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stres. Contohnya individu yang kesal dengan kegagalan

(11)

2

yang dialami dapat mengendalikan dirinya sehingga mampu dengan tenang berusaha untuk keluar dari kegagalannya.

Meule,et al., (2013) menunjukkan bahwa proses regulasi emosi mengacu pada proses dimana kita memengaruhi emosi, pengalaman, melakukan, serta mengekspresikan emosi tersebut. Riutort dan Perez (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa jika seseorang dapat meregulasi emosinya dengan baik maka hal ini dapat menjadi tolak ukur untuk memprediksi kesejahteraannya. Lebih lanjut Narimani et al., (2013) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah hal yang penting dalam menentukan kesehatan seseorang dan menentukan interaksi sosial yang baik terhadap sesama, serta dapat mengurangi perilaku yang beresiko baik berdampak bagi diri sendiri ataupun orang lain. Misalnya jika seseorang tidak dapat meregulasi emosi dengan baik maka akan berdampak pada depresi dan gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan makan, dan berujung pada tindakan mengkonsumsi minuman keras (Nolen, 2011).

Menurut Hurlock (1980), pada usia masa dewasa dini (usia 18-40 tahun). Keadaan emosional dapat dikatakan mengalami keresahan emosional. Hal ini dikarenakan penyesuaian yang baru yang lebih menuntut dalam hal tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga dimasa depan. Hurlock (1980), juga berargumen bahwa pada usia dewasa dini jika seseorang dapat memecahkan masalah-masalahnya dengan baik maka keadaan emosional yang terjadi adalah stabil dan tenang, sebaliknya jika tidak dapat memecahkan masalah pada usia dini akan menyebabkan emosinya tidak stabil.

(12)

3

Penelitian awal yang dilakukan oleh penulis pada beberapa individu yang dikategorikan berada pada usia dewasa dini meskipun tidak melaksanakan praktik agama, melalui hasil wawancara menunjukkan bahwa beberapa diantara mereka dapat meregulasi emosi dengan baik walaupun sedang mengalami masalah yang sangat mengecewakan sekalipun.

Menurut Gross, (2007) dan Anggreiny (2014) terdapat beberapa faktor yang memengaruhi regulasi emosi yaitu; jenis kelamin, gender, religiusitas, kepribadian, pola asuh, budaya, tujuan dilakukannya regulasi emosi (goal), frekuensi individu melakukan regulasi emosi (strategies), kemampuan individu dalam meregulasi emosi (capabilities), perkembangan bahasa, serta nilai-nilai budaya

Faktor religiusitas adalah salah satu bagian terpenting, dikarenakan religiusitas merupakan perasaan-perasaan atau pengalaman keagamaan yang selalu muncul dalam diri individu dan menyebabkan timbulnya kontrol internal dalam dirinya, sehingga dapat mencegah timbulnya perilaku menyimpang yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain (Umasugi, 2013). Lebih lanjut Ikhwanisifa (2008), berpendapat bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi, dapat melakukan tindakan regulasi emosi dengan baik.

Secara umum penelitian-penelitian di Indonesia khususnya regulasi emosi dikaitkan dengan peer attachment, penerimaan kelompok teman sebaya, komunikasi, motivasi berprestasi (Putri, 2013; Nisfiannoor & Kartika, 2004; Rasyid, 2012; Wahyuni, 2013). Di sisi lain penelitian tentang religiusitas dikaitkan dengan kecemasan, obsesif

(13)

4

kompulsif, kecerdasan emosional, perilaku prososial, moralitas, pola asuh, kontrol diri (Chrisnawati, 2008; Khairunnisa, 2013; Muzzakir, 2013; Oktaviyanti, 2012; Reza, 2013; Sari, 2013; Sudiro, 2009).

Lebih lanjut hasil penelitian terdahulu yang telah meneliti hubungan antara tingkat religiusitas terhadap regulasi emosi, menunjukkan hasil yang konsisten. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Ikhwanisifa (2008), yang menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan kemampuan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner dengan nilai r (0,387). Umasugi (2013) juga dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja dengan r (0,228). Namun penelitian yang dilakukan oleh Simplonius, Good, dan Willoughby (2014) tentang kegiatan keagamaan maupun non- keagamaan dalam upaya mempromosikan regulasi emosi dalam hubungan sosial di universitas, menemukan hasil yang berbeda yakni tidak ada hubungan antara religiusitas dengan regulasi emosi.

Berdasarkan pro kontra dari penelitian (Ikhwanisifa 2008; Simplonius, et al., 2014 dan Umasugi, 2013), penelitian ini kemudian meneliti kembali hubungan antara religiusitas terhadap regulasi emosi individu pada usia dewasa dini terutama mereka yang tidak melaksanakan praktik agama. Karena Peneliti berasumsi bahwa belum tentu orang-orang yang tidak melaksanakan praktik agama tidak mampu meregulasi emosinya dengan baik.

(14)

5

Padahal menurut Watts (dalam Gross, 2007), praktik keagamaan seperti nyanyian, doa syafaat, dan puji-pujian kepada Allah dapat meningkatkan regulasi emosi. Oleh sebab itu, dibutuhkan bukti empiris untuk mengetahuinya. Penelitian ini kemudian dilakukan dengan memfokuskan pada hubungan antara religiusitas terhadap regulasi pada usia dewasa dini bagi individu yang tidak melaksanakan praktik agama. Adapun pertanyaan sentral yang diajukan dalam penelitian adalah apakah terdapat hubungan religiusitas terhadap regulasi emosi individu pada usia dewasa dini?”. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara religiusitas terhadap regulasi pada usia dewasa dini. Manfaat dari penelitian ini secara teoritis untuk melengkapi penelitian yang telah dilakukan dalam bidang ilmu psikologi, khususnya mengenai religiusitas dan hubungannya dengan regulasi emosi. Secara praktis hasil penelitian ini memberikan informasi terkait pentingnya regulasi emosi, agar ketika individu yang berada pada usia dewasa dini dihadapkan pada permasalahan sehari-hari dapat meregulasi emosi dengan baik supaya tidak terjadi stress.

Pengertian Regulasi Emosi

Garnefski dan Kraaij (2007) berpendapat regulasi emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengelola emosi serta mengekspresikannya.

Aspek-Aspek Regulasi Emosi

Menurut Garnefski dan Kraaij (2007), ada sembilan aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu:

(15)

6

a. Self –blame

Adalah mengacu pada pola pikir menyalahkan diri sendiri. Sejumlah penelitian menemukan bahwa self-blame berkorelasi dengan depresi dan kesehatan kondisi lainnya.

b. Acceptance

Adalah pola pikir menerima dan pasrah atas apa yang menimpa dirinya.

c. Rumination atau focus on thought

Adalah kecenderungan individu untuk selalu memikirkan yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Nolen dkk., (dalam Garnefski dkk., 2003) menyatakan bahwa rumination cenderung berasosiasi dengan tingkat depresi.

d. Positive refocusing

Kecenderungan individu untuk lebih memikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan dan menggembirakan dari pada memikirkan situasi yang sedang terjadi. Berfokus pada hal-hal yang positif yang dianggap membantu dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang bisa bersifat maladaptif. e. Refocus on planning

Pemusatan perhatian kembali pada perencanaan mengenai sesuatu hal. Dimensi ini hanya pada tahap kognitif saja, tidak sampai pada tahap pelaksanaan.

(16)

7

f. Positive reappraisal

Adalah kecenderungan individu untuk memikirkan apa yang menjadi pikirannya.

g. Putting into perspective

Adalah kecenderungan individu untuk melihat atau memandang persoalan dalam sudut pandang yang lebih baik

h. Catastrophizing

Adalah kecenderungan individu untuk percaya ataupun menganggap bahwa yang telah terjadi atau yang menimpa dirinya begitu buruk dan tidak tertangguhkan sehingga dia merasa tidak akan mampu menahannya.

i. Others- blame

Adalah pola pikir menyalahkan orang lain atas apa yang menimpa dirinya.

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Regulasi Emosi

Menurut Gross (2007) dan Anggreiny (2014) faktor-faktor yang memengaruhi regulasi emosi seseorang yaitu:

a. Usia

Semakin tinggi usia seseorang maka semakin baik kemampuan regulasi emosi seseorang.

b. Jenis kelamin

Laki – laki dan perempuan sangatlah berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya. wanita lebih

(17)

8

dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas.

c. Religiusitas

Setiap agama mengajarkan kepada setiap orang untuk mengontrol emosinya, dalam artian jika seseorang dengan tingkat religiusitas yang tinggi tidak akan menonjolkan emosi yang berlebihan sedangkan seseorang yang tingkat religiusitas nya rendah akan melakukan hal sebaliknya.

d. Kepribadian

Orang yang memiliki kepribadian „neuroticism‟ dengan ciri-ciri sensitif,

moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang

dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah.

e. Pola asuh

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya.

f. Budaya

Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat memengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi.

(18)

9

g. Tujuan dilakukannya regulasi emosi (goal)

Merupakan apa yang individu yakini dapat memengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami.

h. Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies)

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan.

i. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (capabilities)

Jika trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu lakukan dalam meregulasi emosinya

j. Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa sangat berpengaruh terhadap regulasi emosi, dikarenakan emosi tersebut dipahami, disampaikan, dan dikelola.

k. Nilai–nilai budaya

Didalam nilai-nilai budaya ini menentukan emosi laki-laki dan perempuan diatur dalam konteks sosial

Pengertian Religiusitas

Stark dan Glock (1968) merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.

(19)

10

Dimensi religiusitas

Dimensi religiusitas menurut Stark dan Glock (1968) terdiri dari: a. The Belief Dimension atau Ideologi

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga, dan neraka.

b. Religious Practice atau Praktik Agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaatan, dan hal–hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Praktik–praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:

 Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan

formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.

 Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas,

publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.

c. The Experience Dimension atau Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok

(20)

11

keagamaan (masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

d. Religious Knowledge atau Dimensi Pengetahuan

Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang–orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar–dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.

e. Religious Consequences Dimension atau Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama memengaruhi perilakunya.

Fungsi religiusitas

Menurut Allport dan Ross, (dalam Tongeren, Raad, McIntosh, & Pae, 2013) fungsi religiusitas yaitu:

a. Salah satu sebagai penata dunia dengan ilmu epistimologis dan ontological yang didalamnya mengandung banyak makna.

b. Menawarkan keabadian simbolis atau literal bagi para pengikutnya, untuk mengurangi ancaman kematian.

c. Membatasi batas-batas moral sehingga individu memiliki hidup yang benar oleh karena itu individu dapat dikatakan memenuhi standar dalam pandangan dunia dan budaya.

(21)

12

Hubungan Religiusitas dengan Regulasi Emosi

Stark dan Glock (1968), merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Mayers (2012), dalam penelitianya yang berjudul “Examing The

Relationship Between Mindfulnes Religious Coping Strategies and Emotion Regulation” menunjukan bahwa ada hubungan yang saling berkaitan antara religiusitas

dengan regulasi emosi. Watss juga(dalam Gross, 2007) menyatakan bahwa ada kaitanya antara religiusitas seseorang dengan regulasi emosi. Karena ketika seseorang memiliki regulasi emosi yang baik maka individu tersebut dapat menjalankan praktik religiusitasnya dengan baik dan benar. Artinya regulasi emosi merupakan strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku Gross (2007).

Namun, menurut Simplonius, et al., (2014) yang meneliti pada orang-orang yang tidak melaksanakan aktivitas keagamaan menemukan bahwa tanpa melakukan aktivitas keagamaan seperti hanya melakukan kegiatan sosial individu juga dapat meregulasi emosi dengan baik. Itu artinya secara logis dapat dikatakan bahwa kunci utama terletak pada cara individu untuk meregulasi emosinya, dan praktek keagamaan hanya menjadi salah satu cara yang menunjang individu untuk meregulasi emosinya.

(22)

13

Hipotesis

Berdasarkan pemahaman tersebut hipotesis yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif signifikan antara religiusitas terhadap regulasi emosi individu pada usia dewasa dini yang tidak melaksanakan kegiatan praktik agama. Artinya semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka semakin baik seseorang dalam meregulasi emosinya.

METODOLOGI PENELITIAN

Partisipan

Total partisipan dalam penelitian ini berjumlah 50 subjek, karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah partisipan berusia dewasa awal usia 18-40 tahun, dan tidak melaksanakan praktik agama (tidak pergi ketempat ibadah, tidak berdoa, tidak melakukan ritual agama, tidak melakukan praktek religiusitas dari SMA )

Prosedur Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

snowball sampling, yaitu metode teknik dengan penentuan sampel yang mula – mula

jumlahnya kecil, kemudian membesar. Metode ini mengacu pada penentuan kriteria subyek dan objek yang menjadi tujuan penelitian ini (Sugiyono, 2012).

Instrumen

Penelitian ini menggunakan instrumen berbentuk skala likert. Dibagi dalam dua bagian pertama skala untuk regulasi emosi dan skala untuk religiusitas. Skala yang digunakan untuk mengukur regulasi emosi ini menggunakan teori dan skala yang

(23)

14

disusun oleh Garnefski dan Kraaij (2007). Penilaiannya adalah jika semakin tinggi skor total yang diperoleh individu maka semakin tinggi regulasi emosinya, sedangkan semakin rendah skor total yang diperoleh maka semakin rendah skor regulasi emosinya. Skala regulasi emosi berjumlah 36 aitem yang terdiri dari 36 aitem favorabel.

Skala yang digunakan untuk mengukur religiusitas menggunakan skala yang disusun oleh Huber dan Huber (2012), yang didasarkan dari teori Stark dan Glock (1968). Penilaian skala ini adalah jika makin tinggi skor total yang diperoleh individu maka religiusitasnya makin tinggi, sedangkan makin rendah skor total yang diperoleh individu maka religiusitasnya rendah. Skala religiusitas berjumlah 16 aitem yang terdiri dari 16 aitem favorable.

Selanjutnya pada tahap pembuatan skala regulasi emosi dan religiusitas pada penulisan tersebut mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari ahli dalam hal ini dosen pembimbing. Pada masing-masing aitem terdapat lima alternatif jawaban, yang sangat sesuai (SS), sesuai (S), antara sesuai dengan tidak sesuai (E), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Aitem favorable, jawaban SS mendapatkan nilai 5 S nilainya 4, N nilainya 3, TS nilainya 2, STS nilainya 1, sedangkan untuk aitem unfavorable penyekoran merupakan kebalikan dari penyekoran aitem-aitem favorable.

Sebelum peneliti melakukan pengambilan data terhadap subyek penelitian yang sesungguhnya, peneliti menguji bahasa terhadap skala yang telah dibuat oleh peneliti kepada 10 orang partisipan yang mempunyai kriteria yang sama dengan subyek yang sesungguhnya.

(24)

15

Pada tanggal 4 Desember 2014 peneliti menyebar skala pada 10 orang partisipan guna menguji bahasa dan diperoleh bahwa dalam skala religiusitas item no 2, 8, 9, dan 14 sulit untuk dimengerti, sedangkan untuk skala regulasi emosi aitem no 1,3, 19, dan 21 sulit untuk dimengerti. Peneliti kemudian melakukan penyusunan kembali aitem yang tidak dapat dimengerti oleh subyek supaya ketika diberikan kepada subyek penelitian yang sesungguhnya aitem tersebut dapat dimengerti oleh subyek.

Prosedur Penelitian

Setelah skala selesai dipersiapakan, peneliti mempersiapkan persiapan penelitian yang lainya, seperti perizinan dari fakultas dan hal lainya, maka peneliti segera menuju ke Sekertaris Fakultas Psikologi untuk meminta surat penelitian.

Perizinan dari pihak fakultas didapat pada tanggal 2 Desember 2014, dan setelah itu peneliti menyiapkan 60 skala psikologi yang terdiri dari dua skala yaitu skala A berisi mengenai regulasi emosi dan skala B berisi tentang religiusitas.

Selanjutnya peneliti langsung mencari partisipan dengan cara mencari informasi dari teman yang mengetahui partisipan sesuai dengan kriteria yang di iniginkan. Setelah peneliti mendapatkan satu partisipan, peneliti memintanya untuk mengisi skala tersebut dengan sejujur-jujurnya karena tidak berpengaruh apapun bagi diri partisipan. Kemudian, peneliti mencari tahu untuk mendapatkan partisipan selanjutnya dengan cara mencari informasi dari partisipan yang sudah pernah mengisi. Selanjutnya, setelah peneliti mendapatkan informasi peneliti langsung membagikan skalanya.

(25)

16

Peneliti membagikan sejumlah 60 skala untuk disi oleh partisipan. Pada saat waktu batas pengisian skala selesai, skala yang dikembalikan kepada peneliti hanya terdapat 50 skala yang terdiri dari 20 skala beragam Islam, 22 skala beragama Kristen dan 8 skala beragama Katolik. 10 skala lainnya tidak dikembalikan kepada peneliti dengan alasan partisipan malu sehingga tidak mau untuk mengisi. Setelah skala terkumpul, peneliti mengucapkan terima kasih kepada partisipan.

HASIL PENELITIAN

Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik

Corrected Item-Total Correlation dengan bantuan program komputer SPPS 21 for windows. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan

koefisien korelasi yang dianggap memuaskan dan memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar > 0,30 (Azwar, 2012). Pada skala religiusitas, diperoleh bahwa dari 16 aitem yang diuji terdapat 3 aitem gugur, sehingga terdapat 13 aitem terpakai. Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0.300-0.739 dengan koefisien

alpha cronbach sebesar 0.818 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.

Pada skala perilaku regulasi emosi, diperoleh bahwa dari 36 aitem yang diuji terdapat 12 aitem gugur, sehingga terdapat 24 aitem terpakai. Nilai r (corrected item

total-correlation) bergerak dari 0.324-0.629 dengan koefisien alpha cronbach

(26)

17

Analisis Deskriptif a. Variabel Religiusitas

Kategorisasi variabel religiusitas dibuat berdasarkan nilai tertinggi yaitu 13 x 5 = 65 dan nilai terendah yaitu 13 x 1 = 13. Untuk mengetahui religiusitas digunakan interval dengan ukuran:

Tabel 2.2

Kategorisasi hasil pengukuran Skala religiusitas

No Interval Kategori Mean N Presentase (%) 1. x ≤16 Sangat Rendah 0 0 2. 16< x ≤ 26 Rendah 8 16% 3. 26< x ≤ 36 Sedang 32,10 30 60% 4. 36 <x ≤ 47 Tinggi 12 24% 5 47 < x ≤ 65 Sangat Tinggi 0 0 Jumlah 50 100% SD =5,179 Min =20 Max = 41

Religiusitas rata-rata subjek pada kategori sedang dengan mean 32,10.

b. Variabel Regulasi Emosi

Kategorisasi variabel regulasi emosi dibuat berdasarkan nilai tertinggi yaitu 24 x 5 = 120 dan nilai terendah yaitu 24 x 1 = 24. Untuk mengetahui regulasi emosi digunakan interval dengan ukuran:

(27)

18

Tabel 2.4

Kategorisasi hasil pengukuran Skala regulasi emosi

No Interval Kategori Mean N Presentase (%) 1. x ≤29 Sangat Rendah 0 0 2. 29< x ≤ 48 Rendah 0 0 3. 48< x ≤ 67 Sedang 0 0 4. 67 <x ≤ 86 Tinggi 15 30% 5 86< x ≤ 120 Sangat Tinggi 89,40 35 70% Jumlah 50 100% SD =12,528 Min =64 Max = 116

Regulasi emosi rata-rata berada pada kategori sangat tinggi dengan mean 89,40.

Uji Normalitas

Berdasarkan hasil pengujian normalitas, kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel religiusitas memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,935 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,346 (p>0,05). Oleh karena nilai signifikansi >0,05, maka distribusi veriabel religiusitas adalah normal. Hal ini juga terjadi pada variabel regulasi emosi yang memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,655 dengan probabilitas (p) atau signifikasi sebesar 0,785 (p>0.05). Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal.

Uji Linearitas

Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut. didapatkan FDeviation from

(28)

19

Linearity = 0,834 dengan sig. = 0,679 (p > 0,05), yang berarti penyimpangan dari linearitas signifikan yang berarti linier

Analisis Korelasi

Tabel 2.5

Hasil Uji Hipotesis Antara Religiusitas terhadap Regulasi Emosi

Correlations X Y X Pearson Correlation 1 ,087 Sig. (1-tailed) ,274 N 50 50 Y Pearson Correlation ,087 1 Sig. (1-tailed) ,274 N 50 50

Hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara religiusitas dengan regulasi emosi r = 0.87 dengan sig. = 0.274 (p < 0.01) yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dan regulasi emosi individu pada dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu dapat meregulasi emosi dengan baik. Sebaliknya seseorang yang mempunyai regulasi emosi yang baik belum tentu memiliki religiusitas yang tinggi.

(29)

20

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dengan regulasi emosi individu pada usia dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan regulasi emosi individu pada usia dewasa dini terutama bagi yang tidak melakukan praktik agama. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu dapat meregulasi emosi dengan baik begitupun sebaliknya.

Alasanya karena terdapat banyak faktor lain yang menyebabkan tinggi rendahnya regulasi emosi individu pada usia dewasa dini. Faktor-faktor yang dimaksudkan adalah usia, jenis kelamin, kepribadian, pola asuh, budaya, tujuan dilakukannya regulasi emosi (goal), frekuensi individu melakukan regulasi emosi (strategies), kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (capabilities), perkembangan bahasa, nilai-nilai budaya (Gross, 2007; Anggreiny, 2014).

Bahkan lebih lanjut Semplonius et al., (2014) dalam penelitiannya juga memberi bukti yang mendukung penelitian ini, bahwa aktivitas sosial (non-religiusitas) justru yang memiliki hubungan dengan regulasi emosi. Karena lebih lanjut menurutnya faktor inilah yang dapat menjadi dasar dalam memprediksi seseorang mampu meregulasi emosinya dengan baik pada usia dewasa dini, sehingga tidak menjadi masalah jika seseorang memiliki tingkat religiusitas (Praktik keagamaan) yang rendah karena hal ini tidak berhubungan sama sekali.

(30)

21

Hal tersebut diperkuat dari hasil identifikasi yang menunjukkan bahwa presentase religiusitas sebagian besar partisipan pada kategori religiusitas yang sedang dengan persentase 60%. Hal ini berarti bahwa religiusitas yang dimilikinya berada pada ketegori sedang. Sedangkan untuk regulasi emosi, sebagian besar partisipan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 70%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar regulasi emosi partisipan berada pada kategori yang sangat tinggi.

Selain itu ada perbedaan mendasar terhadap subjek yang berusia 25 tahun keatas dengan subjek yang berusia dibawah 25 tahun terhadap religiusitas dan regulasi emosi. Bagi subjek yang berusia 25 tahun keatas rata-rata tingkat religiusitas menunjukan pada level yang tinggi dan untuk regulasi emosi rata-rata menunjukan pada level tinggi. Hal ini menunjukan bahwa subjek sudah menyadari mengenai peran penunjang religiusitas dalam merugalasi emosi. Untuk yang berusia dibawah 25 tahun religiusitas individu rata-rata berada pada kategori sedang dan untuk regulasi emosi rata-rata berada pada kategori sangat tinggi hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Semplonius et al., (2014) bahwa aktivitas sosial atau dalam hal ini hubungan interpersonal dengan teman sebaya dapat meningkatkan regulasi seseorang.

Berdasarkan keseluruhan kategori tersebut maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa religiusitas tidak memengaruhi regulasi emosi. Hal ini dapat dilihat dari korelasi positif yang tidak signifikan antara religiusitas dan regulasi emosi pada dewasa dini yang tidak melakukan praktik agama. Itu

(31)

22

artinya ketika seseorang memiliki religiusitas tinggi belum tentu ia dapat meregulasi emosi dengan baik begitupun sebaliknya, sehingga hipotesis dalam penelitian ini tidak terjawab. Hal ini kemudian membantah hasil-hasil penelitian terdahulu yang menemukan adanya hubungan antara religiusitas dengan regulasi emosi (Ikhwanisifa 2008; Myers, 2012; Umasugi, 2013).

KESIMPULAN

Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan regulasi emosi pada usia dewasa dini yang tidak melakukan praktik keagamaan. Karena terdapat faktor lainnya yang menyebabkan seseorang individu pada usia dini dapat meregulasi emosinya dengan baik. Bukti penjelasan diatas juga dilihat berdasarkan kategorisasi religiusitas partisipan berada pada level sedang (60%) sedangkan regulasi emosi berada pada level sangat tinggi (70%).

SARAN

Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan di atas penelitian ini menyarakan agar:

Bagi individu yang berusia dewasa dini

Selain religiusitas, hal yang penting dalam meregulasi emosi dapat dilakukan

dengan cara mempertimbangkan kematangan usia, jenis kelamin, kepribadian, pola

(32)

23

Bagi penelitian selanjutnya

Bagi penelitian selanjutnya dapat mengembangkan dan meneliti mengenai faktor-faktor lain yang memengaruhi regulasi emosi dengan menambahkan variabel-variabel lain seperti usia, jenis kelamin, kepribadian, pola asuh, budaya, tujuan,strategi, kemampuan, perkembangan bahasa, nilai-nilai budaya dan aktivitas sosial (Gross, 2007; Anggreiny, 2014; Semploniuset al.,2014). Karena masih terdapat pro kontra berdasakan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Ikhwanisifa 2008; Myers, 2012; Umasugi, 2013). Selain itu, dapat dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan metode yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Anggreiny, N. (2014). Rational emotive behaviour therapy (REBT) untuk meningkatkan

regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.Tesis (tidak diterbitkan).

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Azwar, S. (2012).Penyususnan skala psikologi. (Edisi ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chrisnawati, A. F. I. (2008). Hubungan antara religiusitas dengan kecerdasan

emosional pada mahasiswa papua. Skripsi (tidak diterbitkan), UNIKA

Soegijapranata.

Garnefski, N., & Kraaij, V. (2007). The cognitive emotion regulation questionnaire. European Journal of Psychological Assessment, 23(3), 141-149.

Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: implications for affect, relationships, and well-being.Journal of

personality and social psychology, 85(2), 348.

Gross, J. (2007). Handbook of regulation emotion. New York: Guilford Press.

Huber, S., & Huber, O. W. (2012). The Centrality of Religiosity Scale (CRS).Religions, 3(3), 710-724.

Hurlock, E. B. (1980). Developmental Psyhcology. Alih Bahasa Istiwidayati & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Ikhwanisifa,. (2008). Hubungan keteraturan shalat lima waktu dengan kemampuan

regulasi emosi pada penderita jantung koroner. Skripsi (tidak diterbitkan).

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Khairunnisa, A. (2013). Hubungan religiusitas dan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah remaja di MAN 1 Samarinda. E-journal psikologi, 1(02), 220-229.

(33)

24

López, J. P. P., & Pellegrini, A. M. (2011). Effective emotional regulation: bridging cognitive science and buddhist perspective. Enrahonar. Quaderns de Filosofia, 47, 139-169.

Meule, A. Et al. (2013). Quality of life, emotion regulation, and heart rate variability in individuals with intellectual disabilities and concomitant impaired vision.

Psychological of well-being a springer open journal, 3(1), 2-14.

Muzakkir, (2013). Hubungan religiusitas dengan perilaku prososial mahasiswa angkatan 2009/2010 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alaudin Makasar. Jurnal

diskursus islam, 1(03), 366-380

Myers, M. J. (2012). Examining the relationship between mindfulness, religious, coping

strategies, and emotion regulation. Disertasi (tidak diterbitkan). Liberty

University, Lynchburg, United States America.

Narimani, M., Abbasi, M., Abolghasemi, A., dan Ahadi, B. (2013). The effectiveness of training acceptance / commitment and training emotion regulation on high-risk behaviors of students with dyscalculia. International journal of high risk

behaviors and addiction, 2(2), 51-58.

Nisfiannor, M. M. (2013). Hubungan Antara Regulasi Emosi dan Penerimaan Kelompok Teman Sebaya pada Remaja. Jurnal Psikologi, 2(02).

Nolen-Hoeksema, S. (2011). Emotion regulation and psychopatholoy the role of gender.

Annual review of clinical psychology, 2012(8), 161-187

Oktaviyanti, P. (2012). Hubungan antara religiusitas dengan pola asuh pada orang tua yang beragama islam. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Mercu Buana, Jakarta. Rasyid, M. (2012). Hubungan antara peer attachment dengan regulasi emosi remaja

yang menjadi siswa di Boarding School SMA Negeri 10 Samarinda. Jurnal

psikologi pendidikan dan perkembangan, 1(03), 1-7.

Reza, I. F. (2013). Hubungan antara religiusitas dengan moralitas pada remaja di Madrasah Aliyah (ma). HUMANITAS (Jurnal Psikologi Indonesia), 10(2), 45-58.

Riutort, A., Soto, J. A., & Perez, C. (2010). Emotion regulation and well-being among Puerto Ricans and European Americans. The Penn State McNair Journal, 122. Santrock, J. W. (2012). Life – span development . (Edisi ke-13). Alih bahasa:

Widyasinta, B. dan Sallama, N. I. Jakarta: Erlangga.

Sari, F., & Mega, L. (2013). Tingkat religiusitas dengan kecemasan menghadapi menopause. Jurnal Online Psikologi, 1(2).

Semplonius, T., Good, M., & Willoughby, T. (2014). Religious and Non-religious Activity Engagement as Assets in Promoting Social Ties Throughout University: The Role of Emotion Regulation. Journal of youth and adolescence, 1-15.

Stark, R. dan Glock, C. Y. (1968). American piety: the nature religious comitment. University of California perss: London.

Sudiro, G. W. (2009). Hubungan antara religiusitas dengan perilaku obsesif kompulsif

dalam beribadah pada pria muslim. Skripsi (tidak diterbitkan), Universitas

Sebelas Maret, Surakarta.

Sugiyono, (2012). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r & d. Bandung: Alvabeta.

(34)

25

Tongeren, D. R., Raad, J. M., McIntosh, D. N., & Pae, J. (2013). The Existential Function of Intrinsic Religiousness: Moderation of Effects of Priming Religion on Intercultural Tolerance and Afterlife Anxiety. Journal for the Scientific Study of

Religion, 52(3), 508-523.

Umasugi, S. C. (2013). Hubungan antara regulasi emosi dan religiusitas dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja. EMPATHY Jurnal Fakultas

Psikologi, 2(1).

Wahyuning, P. (2013).Hubungan antara komunikasi orangtua-remaja dengan regulasi

emosi pada remaja di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta . Skripsi (tidak

diterbitkan), BINUS.

Wahyuni, S. (2013). Hubungan efikasi diri dan regulasi emosi dengan motivasi berprestasi pada siswa SMK Negeri 1 Samarinda. Ejournal psikologi, 1(01), 88-95.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun dalam realita sulit mendefinisikan sistem tunggal dari patriarki yang diadopsi oleh masyarakat, namun secara umum dapat diidentifikasi beberapa aspek yang

Penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur pemerintahan dalam sistem NKRI disebut :. A.Tugas Perbantuan C.Desentralisasi B.Dekonsentrasi

Sementara itu, Zamroni (2007:113) menegaskan mengenai adanya variasi bentuk civil society (masyarakat madani) yang dipengaruhi oleh kondisi lokal, waktu dan

Partisipasi apa yang perlu dilakukan masyarakat untuk menjaga kesehatan makanan di

Kartu Seminar PKL, PraSeminar (Biru) yang telah ditandatangani oleh Ketua Program Studi6. Tanda Terima Pengumpulan Laporan PKL dan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan untuk peneliti ethnomathematics baik dalam mengungkap ide matematis pada masyarakat adat. Cireundeu, Kota Cimahi,

Dari penelitian yang dilakukan penulis diketahui bahwa: pelaksanaan jual-beli salam (pesanan) secara on-line yang terjadi pada masa sekarang ini telah memenuhi konsep

Dalam penelitian ini yang dimaksud motivasi adalah dorongan atau kemauan masyarakat Perhentian Raja untuk melakukan pendaftaran Dokumen Kependudukan mereka khususnya