PENGUJIAN PENGGUNAAN EKSTRAK ETANOL BAWANG
PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP KELINCI YANG
DIINFEKSI DERMATOFIT Trichophyton mentagrophytes
(Effects of Ethanol Extract of Allium sativum L. Treatment on Infected
Rabbits Infected by Dermatophytes Trichophyton mentagrophytes)
DJAENUDIN GHOLIB
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT
The purpose of the study is to detect the effect of ethanol extract of Allium sativum L. by using experimentally infected rabbit. The concentration of extract was determined for In-Vivo test. Minimal Inhibition Concentration (MIC) obtained by plate Pouring Method, was 0.75%. Extract was mixed with cream in double KHM concentration (1.5%). Rabbits infected by Trichophyton mentagrophytes, were grouped into 3 groups. Group KP: Rabbits treated with extract 1.5%; Group K (+): Rabbits treated with miconazole 2%, and Group K (-): Rabbits were not treated. The results showed that cream of ethanol extract of Allium sativum L. cured infected rabbits compared to that negative control rabbits.
Key Words: Allium sativum L., Trichophyton mentagrophytes, Ethanol Extract, MIC, Rabbits
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.) yang diuji secara In-Vivo dengan meggunakan hewan percobaan kelinci yang diinfeksi kapang Trichophyton
mentagrophytes. Penentuan konsentrasi hambat minimal (KHM) dari ekstrak dengan metoda pengenceran
tuang (Plate Dilution Methode) hasilnya adalah 0,75%. Untuk pengujian secara In-Vivo, ekstrak dicampur krim dengan konsentrasi 2 kali nilai KHM (1,5%). Kelinci diinfeksi dengan Trichophyton mentagrophytes, di bagi menjadi 3 kelompok. Kelompok KP: kelinci diobati ekstrak (1,5%) dengan krim, Kelompok K (+): kelinci diobati dengan krim mikonazol 2%, dan Kelompok K (-) : tanpa pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol bawang putih dengan konsentrasi 1,5% menunjukkan efektifitas penyembuhan yang nyata dibandingkan dengan kontrol negatif.
Kata Kunci: Allium sativum L., Trichophyton mentagrophytes, Ekstrak Etanol, Kelinci, KHM
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara tropis, yang suhu dan kelembabannya cocok bagi pertumbuhan jamur. Sehingga infeksi jamur seperti pada kulit mudah terjadi. Akibat penyakit ini pada hewan akan terjadi kerusakan kulit, dan menurunkan kualitas kulit, dan bagi manusia mengurangi penampilan.dan fungsi kulit. Trichophyton mentagrophytes adalah kapang dermatofit yang menginfeksi kulit, dan menyebabkan penyakit dermatofitosis atau disebut tinea pada manusia dan ring worm pada hewan (JUNGERMAN dan SCHWARTZMAN, 1972; JAWETZ et.al., 1996).
Jamur dermatofit menyerang zat keratin yang terdapat pada kulit, rambut dan kuku. Gejala klinis terdiri dari kemerahan, bersisik, di bagian tepi berbentuk cincin dan terdapat persembuhan di tengah. Pengobatan penyakit dengan antifungi sudah lama dilakukan dengan obat-obat sintetik. Saat sekarang pengobatan alternatif dengan obat-obat tradisional sedang dikembangkan (DJAUHARIYA dan HERNANI,
2004) Pemanfaatan tumbuhan obat untuk mengatasi penyakit jamur telah lama dikenal oleh nenek moyang kita, umumnya pemakaiannya berdasarkan pengalaman. Ditengah maraknya penggunaan obat kimia sintetik yang kebanyakan menimbulkan efek
samping, maka pengkajian khasiat tumbuhan obat terhadap penyakit jamur secara ilmiah perlu dilakukan. Indonesia adalah salah satu laboratorium tanaman obat terbesar di dunia. Sekitar 80% herbal dunia tumbuh di negara ini. Indonesia memiliki sekitar 35 ribu jenis tumbuhan tingkat tinggi, 3500 diantaranya dilaporkan sebagai tumbuhan obat. Salah satu bahan obat alam yang telah banyak digunakan adalah bawang putih (Allium sativum L.), adalah tanaman umbi-umbian yang telah lama digunakan sebagai salah satu bumbu masak di berbagai belahan dunia dan Indonesia (Trubus info kit, volume 8). Khasiat untuk kesehatan antara lain obat untuk tekanan darah tinggi, antibiotik, antifungi, anti parasit, disentri, bronkhitis, antiradang, jantung koroner, antioksidan, dan menurunkan kadar kolesterol dan juga sebagai antitrombotik serta obat maag. Bangsa Mesir pada 1550 SM sudah menggunakan bawang putih sebagai obat. Sebagai antifungi, bawang putih telah dikenal sebagai anti Candida (PRASAD dan SHARMA, 1981). Penelitian terhadap ekstrak air suling bawang putih di dalam salep secara in-vivo, dengan hewan marmot (cavia) yang diinfeksi kapang dermatofit Trichophyton mentagrophytes, T. rubrum, T. tonsurans,
Microsporum canis, M. gypsium dan
Epidermophyton floccosum telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan adanya efek pemberian ekstrak terhadap semua jenis dermatofit, kecuali M. canis dan M. gypsium (Larypoor et. al., 2006). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian pengujian ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.) sebagai antifungi pada jenis Trichophyton mentagrophytes. Etanol lazim digunakan, karena murah dan mudah dalam pengerjaannya dan cukup efektif untuk mendapatkannya Dengan menggunakan pelarut etanol maka senyawa yang bersifat polar seperti flavonoid dan saponin akan tertarik dan diuji efektifitasnya sebagai antifungi terhadap kapang T. mentagrophytes secara in-vivo dan in vivo (GHOLIB dan DARMONO, 2007a).
MATERI DAN METODE
Penelitian ini menggunakan ekstrak etanol bawang putih (Allium sativum L.), jamur Trichophyton mentagrophytes (BCC F 0217)
dan 9 ekor kelinci berumur 3 – 4 bulan, warna putih.
Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan bahan sudah berbentuk serbuk kering, lalu ditimbang 10 sd 20 g dalam erlenmeyer, dan ditambahkan 100 – 200 ml etanol, di ekstrak menggunakan shaker, kemudian disaring. Sisa bahan selanjutnya diekstrak kembali 2 kali lagi dengan menambahkan kembali etanol. Kemudian hasil ekstrak (saringan) dikumpulkan dalam cawan diatas penangas air sampai kering atau mengental (ANONIMUS, 2000).
Untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM) ekstrak uji diencerkan menjadi 0,15, 0,30, 0,45, 0,60 dan 0,75%, dan dilakukan dilution plating. Tiap 1 ml enceran diisikan ke dalam 3 cawan petri steril bersama dengan 1 ml larutan jamur T. mentagrophytes (10 -3). Sebagai kontrol, 3 cawan steril masing-masing diisi hanya dengan 1 ml larutan jamur, tanpa ekstrak. Ke dalam tiap cawan tersebut lalu dituangkan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) sebanyak 20 ml. Inkubasi pada suhu 37°C. Enceran ekstrak yang tidak menunjukkan adanya pertumbuhan koloni ditentukan sebagai nilai KHM. Untuk pengobatan akan digunakan ekstrak dengan kadar 2 kali nilai KHM yang diperoleh. Kelinci dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing 3 ekor. Kelompok KP: Kelinci diobati dengan krim ekstrak etanol bawang putih 1,5% (2 kali nilai KHM yang diperoleh). Kelompok K (+): Kelinci diobati dengan krim mikonazol 2%. Kelompok K (-): tanpa pengobatan. Infeksi buatan pada kelinci dilakukan dengan mencukur bulu dibagian punggung sampai licin, berupa lingkaran yang berdiameter 3 cm. Larutan inokulum jamur diteteskan pada permukaannya, dan ditutup kain kasa. Hasilnya diperiksa setelah 5 – 6 hari. Terjadinya infeksi menunjukkan gejala merah, bengkak, kulit kasar bentuk bundar. Ekstrak yang akan diaplikasikan untuk pengobatan dicampur dengan krim yang komposisinya terdiri dari Asam Stearat (18 g), KOH (0,80 g), Gliserin (5 g), Metil Paraben (0,02 g), Propil Paraben (0,01 g), Air suling (76,2 ml). Ekstrak dicampur dengan krim dan diaduk sampai homogen. Pengobatan kelinci dilakukan dengan mengoleskan krim 2 kali sehari pada bagian luka selama 3 minggu (21 hari), dan pengamatan dilanjutkan setelah seminggu pengobatan dihentikan. Kelinci kontrol negatif
hanya diobati krim tanpa ekstrak. Tingkatan luka infeksi sebelum dan sesudah pengobatan dinyatakan dengan skor: 4 (merah, bengkak, menebak dan kasar), 3 (merah, bengkak menipis, kasar), 2 (merah sedikit, kasar), 1 (tidak merah, kasar), 0 (halus, bulu mulai tumbuh). Sebelum dan selama pengobatan, dilakukan pengerokan sampel kulit, lalu dikultur di media SDA, dan periksa di mikroskop dengan larutan KOH 10%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penentuan nilai KHM dengan cara pengenceran, hasilnya menunjukkan pada enceran 0,75% tidak terjadi pertumbuhan
koloni jamur. Ini berarti nilai KHM adalah 0,75%. Untuk percobaan pengobatan kelinci, maka ekstrak yang dicampur krim kadarnya 2 kali KHM, yaitu 1,5%. Kondisi krim diperhatikan mempunyai konsistensi yang baik, warna tetap (tidak berubah), tidak berbau tengik dan tetap homogen (tidak memisah) sehingga baik untuk digunakan pengobatan. Sampel kerokan yang dibiakkan pada media SDA hasilnya positip, terjadi pertumbuhan koloni jamur. Pemeriksaan mikroskopis pada sampel menunjukkan hifa dan spora yang khas dari Trichophyton mentagrophytes. Hasil pengujian pengobatan dipaparkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Gejala klinis pada kelinci percobaan disajikan pada Gambar 2 (hari pertama, ke-6, 21, dan 27).
Tabel 1. Hasil pengobatan ekstrak etanol bawang putih selama 21 hari berdasarkan penilaian skoring Hari Jenis perlakuan 0 6 10 13 15 18 21 27 1 4 4 4 3 3 3 3 2 2 4 4 4 4 3 3 2 2 3 4 4 3 3 2 2 1 1 K (-) x 4 4 3,67 3,33 2,67 2,67 2 1,67 1 4 3 2 2 1 1 0 0 2 4 3 2 1 1 1 0 0 3 4 3 3 2 2 1 0 0 K (+) x 4 3 2,33 1,67 1,33 1 0 0 1 4 4 4 4 3 2 1 0 2 4 4 3 3 2 1 1 0 3 4 3 3 2 2 1 0 0 KP x 4 3,67 3,33 3 2,33 1,33 0,67 0
Gambar 1. Hubungan antara waktu penyembuhan dengan nilai rata-rata skoring 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 0 6 10 13 15 18 21 27
Waktu penyembuhan luka (hari)
N ilai rat a-ra ta skoring K (-) K (+) KP
Gambar 2. Gambaran gejala klinis pada kelinci selama pengobatan A: kelinci yang diberi krim tanpa zat aktif
B: kelinci yang diobati dengan krim mikonazoal 2% C: kelinci yang diobati dengan krim bawang putih 1,5% 1. Hari ke-1
3. Hari ke-6
2. Hari ke-21
Nilai skoring rata-rata penyembuhan luka dari kelompok K (-), K(+), KP, pada pengamatan hari ke-21 selama pengobatan adalah 2; 0; 0,67, dan pengamatan hari ke-27 setelah 6 hari pengobatan dihentikan adalah 1,67; 0; 0. Dari data tersebut, terlihat bahwa persentase persembuhan 100% antara krim mikonazol 2% dan krim ekstrak etanol bawang putih 1,5% berbeda 6 hari, hal tersebut menunjukkan bahwa krim ekstrak etanol bawang putih 1,5% mempunyai potensi dalam menyembuhkan luka pada kelinci yang terinfeksi T. mentagrophytes. Pada K (-) sampai pengamatan hari ke-27 masih menunjukkan skor (1,67), berarti masih ada gejala luka. Setelah 6 hari pengobatan dihentikan, pemeriksaan mikroskopik dan kultural dari sampel kerokan kulit dan bulu dari kelompok pengobatan, hasilnya negatif pertumbuhan jamur, dan tidak ada hifa atau spora jamur terlihat di bawah mikroskop. Pada kelompok tidak diobati, terjadi pertumbuhan koloni dan pemeriksaan mikroskopik positip hifa dan spora jamur.
Dari hasil penapisan fitokimia yang diterangkan di Materia Medika Indonesia terhadap bawang putih, komponen-komponen yang terkandung adalah saponin, flavonoid, minyak atsiri dan tanin. Senyawa polar yang tertarik ekstrak etanol seperti saponin, flavonoid dan minyak atsiri dapat membentuk kompleks dengan sterol, dan mempengaruhi permiabilitas membran fungi, dan mengganggu sisntesis asam nukleat sehingga fungi tidak dapat berkembang biak dengan baik. Ekstrak untuk campuran dengan krim adalah 2 kali nilai KHM menjadi 1,5%, karena diperkirakan dapat mengganti zat aktif yang menguap dalam proses pembuatan campuran krim. Ternyata bahwa uji pengobatan menghasilkan efek persembuhan pada kelinci terinfeksi pada kadar 1,5%. Sebagai perbandingan, penelitian sebelumnya dengan ekstrak tanaman lain diperoleh nilai KHM seperti pada lengkuas merah (1,28%), lengkuas putih (1,5%), dan rimpang jahe (0,30%) (GHOLIB dan DARMONO, 2007b). Di India suatu penelitian secara in-vivo dengan percobaan pada anak sapi telah lama dilakukan yaitu pada tahun 1983. Untuk uji tersebut digunakan bahan-bahan campuran antara lain ekstrak kloroform Curcuma longa
(10%), Leucos aspera Spreng (0,5%), Alium sativum (10%), Yodium tincture (7%), asam salisilat (2%), dan thiomersal (0,01%), dan hasilnya efektif menyembuhkan anak sapi yang diinfeksi Trichophyton mentagrophytes (THAKUR et.al., 1983). Allicin sebagai zat aktif dari ekstrak bawang putih diketahui berperan sebagai anti bakteri berspektrum luas, dan aktivitas sebagai anti jamur yang berperanan adalah ajoene, dimana isolatnya diidentifikasi dengan membandingkan antara 1 H-and 13 C-nuclear magnetic and mass spectra dengan sampel autentik dengan kemurniannya adalah 99%, berdasarkan pemeriksaan menggunakan high-pressure liquid chromatography (column, TSK gel ODS-120A (3,9 mm x 30 cm), pelarut 40% CH3CN; pendeteksi, UV 254 nm) (APITZ
-CASTRO et al., 1983; APITZ-CASTRO et.al.,
1986; BLOCK dan AHMAD, 1984 dalam
YOSHIDA et al., 1987). Ajoene mempunyai efek
terhadap perubahan morfologi hifa jamur seperti menghilangnya bagian (ornamen) permukaan hifa, menipisnya dinding sel/hifa, dan kerusakan dari organel sel, sebagaimana terjadi pada efek antijamur lain (JACOB dan
SERIVASTAVA, 1983; Masperi et al., 1984,
dalam YOSHIDA et al., 1987).
KESIMPULAN
Ternyata bahwa ekstrak etanol bawang putih dengan pengujian secara in-vitro maupun in-vivo, menunjukkan efek anti fungi terhadap kapang dermatofit, Trichophyton mentagrophytes (penyebab penyakit ringworm), yaitu terjadi daya hambat pertumbuhan koloni dengan nilai KHM 0,75%, dan menimbulkan persembuhan pada kelinci percobaan yang diinfeksi selama kurang dari 1 bulan, yaitu 27 hari. Maka itu bawang putih sebagai obat anti jamur khususnya ringworm kemungkinan besar dapat digunakan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
ANONIMUS. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. hlm. 1 – 12.
APITZ-CASTRO, R., S. CABREVA, M.R. CRUZ, E. LEDEZMAN and M.K. JAIN. 1983. Effect of garlic extract and of three pure components isolated from it on human platelet aggregation, arachidonate metabolism, release reaction and platelet ultra-structure. Thromb. Res. 32: 155 – 169.
APITZ-CASTRO, R.,J. ESCALANTE, R. VARGAS and M.K. JAIN. 1986. Ajoene, the antiplatelet principle of garlic, synergistically potentiates the antiaggregatory action of prostacyclin, fopskolin, indomethacin and dypiridamole on human platelets. Thromb. Res. 42: 303 – 311. BLOCK, E. and S. AHMAD. 1984. (E.Z)-Ajoene: a
potent antithrombotic agent from garlic. J. Am. Chem. Soc. 106: 8295 – 8296.
DJAUHARIYA, E. dan HERNANI. 2004. Gulma Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 2 – 4.
GHOLIB,D. dan DARMONO. 2007a. Uji daya hambat ekstrak daun sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm f.) Ness) dan ketepeng
(Cassia alata L.) terhadap kapang dermatofit. J. Bahan Alam Indonesia, Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami 6(3): 94 – 98. GHOLIB,D. dan DARMONO. 2007b. Skrining ekstrak
tanaman sebagai anti fungi pada kapang dermatofit Trichophyton mentagrophytes
secara in vitro. Pros. Seminar Nasional dan Pameran Perkembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007. Puslitbang Perkebunan, Balitro. Bogor. hlm. 537 – 541.
JACOB, Z. and O.P.SERIVASTAVA. 1983. Scanning electron microscopic study of the effects of tolciclate and clotrimazole on Trichophyton
rubrum. Indian J. Med. Res. 78: 518 – 523.
JAWETZ,Z.E.,J.L.MELNICK,E.A.ACLELBERG,G.F. BROOKS,J.S.BUTEL and L.N.ORNSTON. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20.
Diterjemahkan oleh: NUGROHO, E. dan R.F. MAULANY. Penerbit Buku Kedokteran. hlm. 161 – 169.
JUNGERMAN, P.F. and R.M.SCHWARTZMAN. 1972. Veterinary Medical Mycology, Lea & Febiger, Philadelphia. hlm. 3 – 28.
LARYPOOR, M., Z.M. HASSAN, YADEGARI and A SEPAHY. 2006. Evaluation of the susceptibility of dermatophytes to garlic extract. Autumn 8(1): 7 – 16.
MASPERI,P.,G.DALL’OLIO,A.CALEFANO and G.L. VANNINI. 1984. Autophagic vacuole development in Trichophyton mentagrophytes exposed in vitro to miconazole. Sabouraudia 22: 27 – 35.
PRASAD, G. and V.D. SHARMA. 1981. Antifungal property of garlic (Allium sativum Linn) in poultry feed substrate. Poult. Sci. 60: 541 – 545.
THAKUR, D.K., S.K. MISRA and P.C. Choudhuri. 1983. Trial of some of the plant extracts and chemicals for their antifungal activity in calves. Indian Vet. J. 60: 799 – 801.
YOSHIDA, S., S. KASUGA, N. HAYASHI, T. USHIROGUCHI, H. MATSUURA and S. NAKAGAWA. 1987. Antifungal activity of ajoene derived from garlic. Appl. Environ. Microb. 53(3): 615 – 617.