• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar untuk melakukan pembangunan untuk kepentingan umum. Secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar untuk melakukan pembangunan untuk kepentingan umum. Secara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Tanah merupakan hal yang penting dalam aspek kehidupan bernegara, karena hal ini terkait dengan pembangunan dalam sebuah negara yang sangat membutuhkan tanah. Agar pembangunan tersebut dapat terlaksana, maka perlu adanya jaminan tentang ketersediaan tanah yang cukup. Oleh karenanya Pemerintah menciptakan sebuah sistem hukum yang mengatur tentang sistem hukum pertanahan yang dapat menjamin adanya ketersediaan tanah digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembangunan untuk kepentingan umum. Secara luas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adalah permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas, daratan. Boedi Harsono menyatakan bahwa menurut Hukum Tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria [yang selanjutnya disebut UUPA]1 Menurut Pasal 4 UUPA menyatakan, bahwa :

Atas dasar hak menguasai dari Negara .... ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang ...

(2)

2

Dengan demikian dapat diambil pengertian yuridis bahwa “tanah” yang dimaksud

oleh UUPA adalah permukaan bumi.

Untuk menjamin ketersediaan tanah bagi kepentingan umum maka Pemerintah membentuk suatu sistem hukum sebagai wadah bagi Pemerintah untuk melaksanakan fungsinya. Salah satu sistem hukum yang disediakan Pemerintah adalah dengan cara pengadaan tanah. Meskipun dalam UUPA negara telah diberi kekuasaan untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayah Indonesia tetapi hal ini juga berpotensi untuk melanggar hak atas tanah tidak dikuasi oleh negara. Oleh karenanya Pengadaan Tanah muncul sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai cara untuk mendapatkan tanah untuk kepentingan umum dengan cara memberikan ganti kerugian kepada pemegang yang berhak baik perorangan maupun badan hukum dengan tata cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Pemerintah sebagai representasi dari negara yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum karena terbatasnya tanah yang dikuasi oleh negara maka dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 6 UUPA yang mengatur tentang fungsi sosial tanah. Dengan dasar itu maka Pemerintah dapat mengambil tanah atau mengadakan tanah yang telah dikuasai oleh perorangan atau badan hukum dengan memberikan penggantian yang layak kepada pemilik hak atas tanah.

Apabila dilihat dalam riwayat perkembangannya terdapat tiga cara yang dapat dilakukan Pemerintah apabila memerlukan tanah untuk pembangunan. Cara yang pertama adalah Pencabutan Hak Atas tanah, cara ini hanya dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada Proyek Senen pada Tahun 1960 dan Proyek Taman Sari pada Tahun 1970. Cara yang kedua adalah dengan melakukan Jual-Beli

(3)

3 secara langsung, namun cara ini hanya dilakukan apabila Pemerintah hanya membutuhkan tanah untuk luas yang tidak lebih dari 5 hektar sebagaimana diatur dalam Pasal 121 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [yang selanjutnya disebut Perpres No. 148 Tahun 2015]. Sementara itu cara yang ketiga adalah dengan cara Pengadaan Tanah yang merupakan cara yang dipakai oleh Pemerintah pada saat ini. Dari ketiga cara ini, pengadaan tanah adalah cara yang digunakan saat ini, apabila menggunakan pencabutan hak atas tanah maka akan merugikan hak-hak masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah serta banyaknya permasalahan yang timbul dalam penerapannya, sementara apabila menggunakan pengadaan tanah prosesnya yang terbilang cepat serta Pemerintah dalam melakukan ganti kerugian dalam hal bentuk maupun besarannya ganti kerugian dapat dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati.

Istilah tentang Pengadaan Tanah mulai ada sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [Selanjutnya disebut Keppres No. 55 Tahun 1993] dan selanjutnya dipakai dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [Selanjutnya disebut Perpres No. 36 Tahun 2005], Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [selanjutnya disebut Perpres No. 65 Tahun 2006] serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 [selanjutnya disebut UU

(4)

4 No. 2 Tahun 2012] dengan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum [selanjutnya disebut Perpres No. 71 Th 2012]. Istilah Pengadaan tanah ini merupakan pengganti dari istilah “pembebasan Tanah” yang dipakai dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah [Selanjutnya disebut PMDN No.5 Tahun 1975] yang mengatur tentang Pembebasan hak atas tanah sebelumnya. Dalam hal pengadaan tanah permasalahan yang sering timbul yaitu masalah tentang ganti kerugian. Hal ini karena dalam hal menetapkan ganti kerugian terdapat kedua kepentingan yang harus ditempatkan secara seimbang. Kedua kepentingan itu adalah kepentingan pihak Pemerintah dan kepentingan warga masyarakat/rakyat pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah. Kedua pihak ini yaitu penguasa/Pemerintah dan rakyat harus sama-sama memperhatikan tentang kaedah-kaedah hukum yang mengatur akibat atau dampak tindakan/kegiatan tersebut.2

Dalam tulisannya ini penulis menggunakan istilah Ganti Kerugian. Hal ini karena istilah Ganti Kerugian adalah istilah yang dipakai pada peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah serta telah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam penelitiannya ini, berkaitan dengan penetapan ganti kerugian melakukan kajian penelitiannya terhadap kasus gugatan yang diajukan pada Pengadilan Negeri Gresik dengan nomor perkara 61/Pdt.G/2016/PN.Gsk. Perkara tersebut merupakan kasus yang berkaitan dengan Proyek Toll Surabaya-Mojokerto [yang selanjutnya disebut Tol SUMO II] yang telah diputus pada

2 Umar Said Sugiharto dkk, Hukum Pengadaan Tanah:Pengadaan Hak Atas Tanah untuk

(5)

5 tanggal 11 Maret 2017 dengan Nomor Putusan: 61/Pdt.G/2016/Pn.Gsk. Dalam perkara ini pihak\

Penggugat yaitu Enny Chasanah melawan BPN Kabupaten Gresik sebagai Tergugat I dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Jalan Tol Surabaya-Mojokerto Wilayah II sebagai Tergugat II. Dalam perkara tersebut telah dijelaskan bahwa hubungan Penggugat dan Tergugat adalah penggugat merupakan pihak yang masih menolak untuk melepaskan hak atas tanahnya yang akan digunakan untuk pembangunan Jalan Tol Surabaya Mojokerto II dan setelah itu Tim Pengadaan Tanah mengajukan permohonan pengesahan penitipan uang (consignatie) pada Pengadilan Negeri Gresik. Dalam fakta persidangan memang benar telah ada undangan sebanyak dua kali yang diberikan oleh Para Tergugat untuk menghadiri musyawarah penetapan ganti kerugian dan Pengugat juga menghadiri musyawarah penetapan ganti kerugian tersebut. namun dalam musyawarah tersebut tidak terdapat kegiatan tawar menawar terkait besaran atau nilai ganti kerugian tetapi Para Tergugat selaku tim pengadaan tanah hany menyodorkan berita acara kesepakatan.

Kegiatan musyawarah yang telah dilakukan sebanyak dua kali tersebut tidak adanya kesepakatan dari musyawarah penetapan ganti rugi tersebut maka Penggugat mendapat panggilan sidang Penetapan Consignatie dari Pengadilan Negeri Gresik pada tanggal 27 September 2016. Di lain pihak Tergugat dalam eksepsinya meyatakan bahwa mengenai besaran ganti kerugian sesuai dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaran Pengadaan tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pada Pasal 63 bahwa;

(6)

6 (1) Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh

Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa Penilai atau Penilai Publik;

(2) Jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil pengadaan jasa penilai yang dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah.

Menurut Para Tergugat yang berhak menentukan besaran ganti rugi adalah Jasa Penilai atau Penilai Publik dan Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Dalam putusannya Majelis Hakim dalam amar putusannya berbunyi sebagai berikut:

a) menyatakan para Tergugat yaitu Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;

b) Menyatakan Nilai Pengganti Wajar yang ditetapkan oleh tim pengadaan tanah adalah salah;

c) dst...

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa:

“... meskipun secara formal prosedural telah dilakukan langkah-langkah sesuai ketentuan yang berlaku namun secara materiel langkah-langkah tersebut diambil tanpa mempertimbangkan maksud dan isi dari setiap tahapan dalam upaya memberikan ganti kerugian terhadap warga yang berhak untuk pembangunan jalan tol tersebut... tidak pernah ditemukan bentuk musyawarah sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang namun hanya penjelasan atas nilai besaran ganti kerugian yang ditetapkan oleh appraisal untuk kemudian para pihak (warga yang tanahnya terkena pembangunan tol) diminta bertanda tangan dalam suatu pernyataan setuju atau tidak setuju...”

Selanjutnya perkara ini diajukan dalam tingkat banding dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Nomor : 05/Pdt/2018/PT SBY. Dalam hal ini Tergugat I dan Tergugat sebagai Pembanding dengan Penggugat sebagai Terbanding.

(7)

7 Dalam dalil-dalinya yang intinya Pembanding I menyatakan

bahwa:

a) Penetapan besarnya nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik, bukan penilaian dari hasil musyawarah atau tawar menawar antara pemilik tanah/Pihak yang berhak dengan pelaksanaan pengadaan tanah;

b) Bahwa berdasarkan Pasal 63 Perpres No. 71 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksanaan Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik. Dalam Pasal 68 ayat (3) dan ayat (4) Perpres No. 71 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Musyawarah dilakukan secara langsung untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian Penilai, dalam musyawarah, pelaksanaan Pengadaan Tanah menyampaikan besarnya Ganti Kerugian hasil penilaian Ganti Kerugian Penilai;

c) ... mengenai penilaian Ganti Kerugian atau Nilai Penggantian Wajar (NPW) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum berdasarkan hasil penilaian dari penilai bukan didasarkan pada hasil musyawarah antara Penggugat dengan Para Tergugat sebagaimana disebutkan oleh Majelis Hakim dan yang dimusyawarahkan adalah menetapkan bentuk Ganti Kerugian, dalam musyawarah, Tergugat I telah menyampaikan besarnya Ganti Kerugian hasil penilaian Ganti Kerugian ...;

Sedangkan Pembanding II dalam dlil-dalinya menyatakan bahwa :

a) Bahwa dengan berlakunya UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 serta Peraturan Mahakamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 hal yang berkaitan dengan musyawarah tersebut berubah total dan hal ini yang tidak dipahami oleh Majelis Hakim, ... perihal peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dalam hal ini jalan Tol, dan argumentasi Majelis Hakim dalam membuat putusan in sangat keliru sekali sebeb apabila Majelis Hakim masih berpendapat bahwa musyawarah tersebut haruslah ada peristiwa tawar menawar dan adanya kesepakatan dengan warga maka ada potensi seluruh pembangunan jalan Tol diseluruh wilayah Indonesia ini akan terhambat pembangunannya, ...;

b) Bahwa perlu diingat musyawarah yang dilakukan oleh tim pengadaan Tanah dalam hal ini Tergugat I sebagaimana

(8)

8 Pembanding jelaskan diatas dengan berlakunya

Undang-undang baru bukan lagi tawar menawar seperti sebelum berlakunya undang-undang baru, melainkan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku Tim Pengadaan Tanah hanyalah menyampaikan besaran ganti rugi didalam musyawarah sebagaimana Pasal 68 ayat (4) Perpres No. 71 Tahun 2012... .

Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menyatakan bahwa :

‘... Bahwa ternyata dalil dan bukti-bukti yang diajukan di persidangan oleh pihak pembanding semula Tergugat, secara formal prosedural bentuk dan besaran ganti rugi, telah dilakukan dengan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga Majelis Hakim Tingkat Banding tidak menemukan adanya pelanggaran prosedur dan tidak terdapat adanya Perbuatan Melawan Hukum, dan sebaliknya bahwa Penggugat telah salah melakukan prosedur dalam keberatannya akan ganti rugi yang diperuntukkan pembangunan sarana kepentingan umum...” Sehingga dalam putusannya Majelis Hakim memutuskan :

a) Menerima Permohonan banding dari Tergugat I dan Tergugat II/Pembanding juga Terbanding;

b) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Gresik Tanggal 11 April 2017 Nomor 61/Pdt.G/2016/PN Gsk;

c) dst...

Dari uraian yang telah disampaikan di atas maka penulis berpendapat bahwa dalil dari para Tergugat atau para pembanding yang menyatakan bahwa Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian hanya membahas tentang bentuk dan tidak berbicara tentang tawar menawar harga adalah pandangan yang keliru karena musyawarah merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh kesepakatan bersama tentang harga/besaran Ganti Kerugian maupun bentuk Ganti Kerugian dengan cara perundingan/tawar-menawar. Sedangkan melihat dari pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, maka dapat dilihat terdapat perbedaan prinsip dalam hal Musyawarah Penetapan Ganti

(9)

9 Kerugian. Hal ini karena Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat bahwa belum terjadinya Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian sedangkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa telah terjadi Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian secara sah.

Hal ini lah yang menjadi sebuah hal yang menarik untuk dibahas menjadi sebuah isu hukum tentang perbedaan terhadap prinsip Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah. Karena akan muncul sebuah pertanyaan dari isu hukum tersebut yaitu apa yang menjadi prinsip dalam musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah, sehingga apakah pertimbangan hukum Majelis Hakim sesuai dengan prinsip musyawarah penetapan ganti kerugian pengadaan tanah menurut UU No. 2 Tahun 2012. Isu hukum tersebut yang akan penulis bahas dan kaji menjadi sebuah penelitian hukum. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang apa yang menjadi prinsip-prinsip dalam Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian dengan mengkaji dari kasus perkara perdata Nomor : 61/Pdt.G/2016PN.Gsk. dan UU No. 2 Tahun 2012. Terhadap isu hukum tersebut thesis penulis adalah pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama sesuai dengan prinsip musyawarah penetapan ganti kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012 karena musyawarah penetapan ganti rugi tidak hanya secara formil saja tetapi harus dilakukan secara materiil tentang prinsip dan tujuan musyawarah penetapan ganti kerugian. Dengan isu hukum tersebut penulis akan menganggkat isu hukum yang telah dipaparkan menjadi penelitian hukum yang patut dan pantas untuk diangkat menjadi sebuah karya tulis skripsi yang dapat dipertanggung jawabkan.

(10)

10

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan, maka permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

Apakah pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Gresik dengan Nomor 61/Pdt.G/2016/PN. Gsk dan pertimbangan Majelis Hakim tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Nomor 05/PDT/2018/PT. Sby sesuai dengan Prinsip Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Berdasarkan Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

Untuk mengetahui Prinsip Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah dalam Putusan tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Gresik dengan Nomor 61/Pdt.G/2016/PN. Gsk dan Putusan tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Surabaya dengan Nomor 05/PDT/2018/PT. Sby.

(11)

11

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat positif yang luas:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian hukum ini dari segi teoritis adalah untuk memberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip musyawarah dalam penetapan ganti kerugian pengadaan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berbagai pihak khususnya bagi Pemerintah maupun warga masyarakat terkait dengan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum terutama pemahaman tentang prinsip-prinsip musyawarah dalam Musyawarah Ganti Kerugian Pengadaan Tanah sebagai fokus dari Pemerintah terkait dengan program Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan sendiri oleh Pemerintah.

(12)

12

1.5 Keaslian

Untuk melihat apakah dalam penelitiannya ini belum pernah dilakukan penelitiann sebelumnya maka penulis menelusuri pada perpustakaan Universitas Kristen Satya Wacana dan dari beberapa penelitian dari Perguruan Tinggi di Indonesia telah penulis temukan yang pada tabel berikut :

Nama

Dedy Fuad (11010214410298) Universitas Diponegoro

Semarang

Gema Natalia Putri (312014706) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Florenshia (130200374) Universitas Sumatera Utara Fransiskus Asisi Tyas Jurista Putra (312015120) Universitas kristen Satya Wacana Salatiga Judul

Penetapan Ganti Rugi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Studi Pada Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah)

Independensi Panitia Pengadaan Tanah Dalam Peraturan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Tinjauan Yuridis Ganti Kerugian Atas Hak Milik Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Di Kecamatan Medang Deras Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 (Studi Kasus Putusan Nomor 61/Pdt.G/2016/P N. Gsk) Substansi Penyelesaian pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap di

Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah

bagaimana Independensi Panitia Pengadaa Tanah dalam setiap peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum bagaimanakah pelaksanaan pemberian ganti kerugian yang dilaksanakan di tengah masyarakat dan apakah itu sesuai dengan peraturan yang ada atau

tidak. Apakah yang menjadi prinsip Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah Berdasarkan Undang-Undang no 2 Tahun 2012 (Studi kasus putusan nomor: 61/Pdt.G/2016/P N.Gsk).

(13)

13 Dari tabel diatas bahwa substanasi dari penulisan skripsi-skripsi atau thesis pada tabel tersebut terlihat berbeda dengan substansi penelitian yang akan dibahas. Dengan demikian penelitian ini tidak memiliki kesamaan dengan penulisan penelitian yang lain dan penulis bertanggung jawab atas keaslian penulisan penelitian ini. `

1.6 Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum (Legal research). Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.3 Jika Type penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan,

cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan harus dikemukakan.4 Hal ini dibuktian bahwa dalam penelitian ini penulis mengemukakan tentang aturan hukum tentang Pengadaan Tanah, Prinsip tentang Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian Pengadaan Tanah dan menggunakan pendekatan kasus tentang Pengadaan Tanah serta peraturan perundang-undangan tentang Pengadaan Tanah.

2. Pendekatan

Dalam penelitian hukum ini akan menggunakan beberapa pendekatan di atas adalah pendekatan Kasus (Case Aprroach) dan pendekatan Konseptual (conceptual Aprroach).

3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm .35.

(14)

14 a) Pendekatan Kasus adalah pendekatan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.5 Dalam penelitian ini Pendekatan Kasus digunakan untuk

mengkaji kasus tentang pengadaan tanah dengan nomor perkara: 61/Pdt.G/2016/PN.Gsk.

b) Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, yang akan menjadi sandaran bagi penelitian dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.6 Dalam penelitian ini pendekatan konseptual dipakai untuk mengkaji tentang konsep-konsep tentang prinsip musyawarah ganti kerugian yang berkaitan dengan pengadaan tanah

1.7 Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder antara lain:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

5 Ibid.,hlm. 134. 6 Ibid.,hlm. 135-136.

(15)

15 perundangan-undangan dan putusan-putusan Hakim.7 Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain:

• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria; • Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

• Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

• Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

• Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

• Putusan Perkara Perdata Pengadilan Negeri Gresik dengan Nomor Perkara: 61/Pdt.G/2016/PN.GSK; dan

7 Ibid., hlm. 181

(16)

16 • Putusan Perkara Perdata Pengadilan Tinggi Surabaya dengan

Nomor Perkara: 05/PDT/2018/PT SBY.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.8 Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku ataupun literatur yang berhubungan tentang hukum pengadaan tanah.

8 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa bentuk ganti kerugian dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditentukan dalam Pasal 36 Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang berupa

pemberian ganti kerugian pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 3) Peraturan Perundang-Undangan. Pengertian peraturan perundang-undangan ditentukan

Kemudian Pasal 36 Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan tentang bentuk-bentuk ganti kerugian yang

Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan nilai ganti kerugian pemilik tanah yang tanahnya akan digunakan untuk pembangunan kepentingan

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum Bersumber APBN.. PUSDIKLAT JALAN, PERUMAHAN, PERMUKIMAN DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR

Penyelesaian sengketa mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Pengadilan Negeri disebabkan oleh perbuatan melanggar

undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dimana untuk menghitung ganti kerugian yang akan diberikan maka

Penyelesaian sengketa mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Pengadilan Negeri disebabkan oleh perbuatan melanggar