PENGAJARAN PENERJEMAHAN DI BIDANG BUDAYA
Purwani Indri Astuti
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
E-mail: [email protected]
Abstrak
Bidang penerjemahan muncul sebagai akibat dari kendala komunikasi yang disebabkan karena beda bahasa. Berbicara tentang bahasa berarti juga menyinggung tentang budaya, karena bahasa merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu, penerjemahan juga bisa dianggap sebagai komunikasi lintas budaya. Pengajaran penerjemahan di bidang budaya perlu mendapat perhatian yang serius mengingat kebudayaan tidak selalu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dengan baik. Ada beberapa konsep dan teori penerjemahan yang harus diajarkan kepada mahasiswa, diantaranya tentang proses penerjemahan dan strategi penerjemahan, sehingga mahasiswa mendapatkan bekal yang memadai untuk dapat mengatasi permasalahan yang timbul ketika terjun di bidang penerjemahan yang sesungguhnya. Menyangkut strategi penerjemahan budaya yang sulit untuk dicari padanannya dalam bahasa sasaran, ada beberapa cara yang dapat dilakukan penerjemah untuk mengantisipasinya, diantaranya dengan cara paraphrase. Selain itu, ada juga beberapa metode pengajaran terkait dengan pengajaran penerjemahan di bidang budaya yang harus dilakukan oleh dosen. Pengajaran penerjemahan harus memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk banyak berlatih secara terpimpin dengan dosen.
Kata kunci: pengajaran, penerjemahan, budaya
Pendahuluan
Perkembangan bidang penerjemahan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari product terjemahan yang tersedia semakin bervariasi, mulai dari buku atau cerita fiksi sampai dengan buku pengetahuan dan teknologi yang sangat canggih dan kompleks. Fenomena semacam ini tentu saja sangat menggembirakan karena hal tersebut berarti tidak membatasi lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang diadopsi dari negara-negara maju.
Proses adopsi iptek melalui bidang penerjemahan ini tentu saja sangat tergantung dari pelaku atau penerjemah itu sendiri. Hal ini berarti bahwa kemampuan penerjemah dalam mentransfer makna dari bahasa sumber (B.Su) ke dalam bahasa sasaran (B.Sa) mutlak diperlukan. Seorang penerjemah dituntut memiliki berbagai kompetensi penerjemahan, diantaranya adalah kompetensi kebahasaan, kompetensi transfer, kompetensi materi, kompetensi budaya dan kompetensi-kompetensi lain menyangkut strategi yang diambil penerjemah dalam menjalankan tugasnya. Kesemua kompetensi tersebut secara langsung maupun tidak, akan selalu mempengaruhi product yang dihasilkan.
Menilik persyaratan yang harus dimiliki oleh penerjemah begitu banyak, maka sudah barang tentu penerjemah profesional dapat ‘dicetak’ melalui pendidikan formal dan atau informal. Artinya bahwa meskipun ada orang yang memiliki kompetensi penerjemahan yang
baik, yang diperolehnya melalui otodidak, tetapi sebagian besar penerjemah yang handal dilahirkan melalui pendidikan formal dan atau informal (Nababan, 2008: 2).
Makalah ini akan membahas tentang format pengajaran penerjemahan pada umumnya, dan juga penerjemahan budaya, sehingga diharapkan dari pengajaran penerjemahan tersebut seseorang akan mengawali langkahnya untuk bisa menjadi seorang penerjemah professional.
Apa itu Penerjemahan?
Menurut The Concise Oxford English Dictionary, penerjemahan diartikan sebagai 1) the act or an instance of translating, 2) a written or spoken expression of the meaning of a word, speech, book, etc, in another language (dalam Hatim and Munday, 2004: 18). Definisi tersebut menjelaskan bahwa penerjemahan dapat ditinjau dari segi proses dan produk. Dari segi proses, penerjemahan mensyaratkan adanya pemahaman tentang cara memproses informasi, tentang psikologi, dan psikolinguistik. Di lain pihak, sebagai suatu produk, penerjemahan mensyaratkan adanya pemahaman tentang teks yang tidak hanya mencakup unsur linguistik dalam tataran sintaksis dan semantik, namun juga pemahaman tentang gaya dan analisis wacana.
Dari pemahaman tersebut di atas, dapat digaris bawahi bahwa esensi dari penerjemahan (baik tulis maupun lisan) adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan tanpa mengubah makna atau pesan yang dimaksudkan. Sesuatu yang dialihkan oleh penerjemah lebih menitik beratkan pada pengalihan pesan, ketimbang sekedar mengalihkan bentuk bahasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Proses penerjemahan yang berlangsung di dalam benak penerjemah, terjadi begitu cepat dan kompleks. Adalah tugas utama bagi penerjemah untuk bisa menganalisis dengan cepat, memutuskan langkah atau strategi apa yang dipilih untuk menerjemahkan suatu teks sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan terjemahan atau produk yang berkwalitas. Ada 3 tahapan yang harus dilalui oleh penerjemah dalam menerjemahkan suatu teks, yaitu, tahapan analisis, transfer, dan proses penyusunan kembali. Ketiga tahapan tersebut secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:
B.Su
B.Sa
analyzing re structuring
transferring
Gb.1 Proses Penerjemahan menurut Nida
Pada tahap pertama (analisis), penerjemah dihadapkan pada tugas analisis kata, frasa, kalimat, atau bahkan teks, termasuk structure dan grammar yang digunakan. Tahap kedua (transferring), penerjemah mulai melakukan kegiatan inti penerjemahan, yaitu proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Tahap selanjutnya adalah proses penyusunan kembali, dalam hal ini penerjemah dituntut mampu melakukan penyelerasan hasil terjemahan ke dalam bahasa sasaran dengan baik dan mudah dipahami oleh pembaca. Sampai dengan tahap ini, penerjemah dikatakan telah menyelesaikan kegiatan penerjemahan. Namun apabila penerjemah ingin mengecek balik hasil terjemahan tersebut, penerjemah dapat melakukan tahap evaluasi. Pada tahap ini, penerjemah menerjemahkan ulang hasil terjemahannya ke dalam bahasasasaran
semula. Apabila hasil terjemahan ulang ini tidak jauh berbeda dengan naskah aslinya, maka dapat dikatakan bahwa kwalitas terjemahan tersebut telah baik.
Dengan melihat tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penerjemah ketika menjalankan tugasnya, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan:
a. Sistem bahasa yang berbeda b. Padanan makna
c. Budaya
Ketiga faktor tersebut di atas, apabila tidak diperhatikan dengan seksama dan sungguh-sungguh, dapat menimbulkan kendala yang berarti bagi penerjemah. Kendala-kendala tersebut, secara berurutan dapat dilihat pada contoh berikut dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia:
1) Sistem bahasa yang berbeda
a)
Ingg:
Mother goes to a market
Ind :
Ibu pergi ke sebuah pasar
Contoh di atas tidak menunjukkan kendala berarti bagi penerjemah ketika menerjemahkan kalimat dari bahasa sumber (bahasa Inggris) ke dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Keadaan semacam ini terjadi karena tidak ada perbedaan sistem kebahasaan dalam tataran kalimat, antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Bandingkan dengan contoh berikut ini:
b) Ingg: He is a nice child.
Ind : Dia seorang anak yang baik.
Pada contoh ini, apabila penerjemah menerjemahkan dengan menggunakan system kebahasaan yang sama maka akan terdapat hasil terjemahan yang tidak dapat diterima dalam bahasa sasaran (terjemahan: Dia seorang baik anak). Hasil terjemahan yang tidak baik ini disebabkab kerena terdapat perbedaan sistem frasa bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Unsur penjelas frasa bahasa Inggris dapat terletak di sebelah kiri inti frasa tersebut, sementara dalam sistem frasa bahasa Indonesia, unsur penjelas berada di sebelah kanan inti. Perbedaan sistem penjelas dalam frasa benda ini apabila tidak dimengerti, apalagi tidak dikuasai oleh penerjemah, maka dapat menjadikan hasil terjemahan menjadi ambigu dan kurang baik.
c) Ind: pohon Ingg: tree Ind: mobil Ingg: car
Ind: kenduren, selametan Ingg thanksgiving (?)
Contoh di atas mewakili beberapa kasus serupa yang seringnya dijumpai oleh penerjemah ketika sedang menerjemahkan. Padanan kata ‘pohon’ yang diterjemahkan menjadi ‘tree’ dalam bahasa Inggris, memiliki padanan makna yang seiring. Akan tetapi pada contoh berikutnya, kata ‘mobil’ yang diterjemahkan menjadi ‘car’ sebenarnya kurang dapat mewakili makna yang sesungguhnya diharapkan. Dalam hal kemudi, mobil yang terdapat di negara Indonesia tidak sama persis dengan mobil di negara Inggris. Dalam hal ini, penerjemah hanya berusaha menyesuaikan dengan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat bahasa sasaran. Demikian juga untuk contoh penerjemahan yang sangat sulit dicarikan padanannya, seperti misalnya kata kenduren, slametan (dalam bahasa sumber) yang sangat sulit dicarikan padanannya (dalam bahasa sasaran).
d) Ingg: thanks giving day, pizza, dll. Ind: ??
Ind: mi thoprak, rencong, dll Ingg: ??
Terkait dengan budaya, baik dari bahasa sumber maupun bahasa sasaran, nampaknya menjadi perhatian tersendiri bagi penerjemah karena sangat sulit untuk dicarikan padanannya atau bahkan tidak mungkin diterjemahkan (untranslatibility). Budaya mencakup segala aspek kehidupan manusia, misalnya pakaian, makanan, tarian, adat istiadat, dan lain-lain.
Contoh:
e) Ind: Keris, rencong, dll Ingg: ?
Ingg: Pizza, hotdog Ind: ?
Contoh-contoh pada kasus terakhir ini merupakan contoh kasus yang tidak dapat dicarikan padanannya. Banyak hal terkait dengan kebudayaan memang sulit atau bahkan tidak dapat diterjemahkan, karena budaya bahasa sumber tidak terdapat dalam budaya bahasa sasaran atau sebaliknya. Dalam menyikapi keadaan semacam ini, penerjemah harus bijaksana dalam mengambil keputusan dan menentukan strategi penerjemahan sehingga terjemahan tersebut masih bisa diterima dalam bahasa sasaran tanpa harus meninggalkan unsur keindahan bahasanya.
Penerjemahan Budaya
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan di muka, bahwa penerjemahan bukan merupakan kegiatan pengalihan pesan yang sederhana. Pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran ini harus memperhatikan beberapa aspek, baik dari segi kebahasaan-nya maupun non kebahasaan. Dalam hal aspek non kebahasaan, khususnya tentang kebudayaan, penerjemah harus mengetahui kebudayaan kedua belah pihak. Selain itu, penerjemah juga sebaiknya mengetahui bahasa tersebut berada dalam konteks yang bagaimana, high atau low?
Penerjemahan yang melibatkan kebudayaan perlu mendapatkan perhatian serius karena penerjemah akan dihadapkan pada masalah yang rumit, yaitu masalah ketakterjemahan. Menurut Gerver dalam Badib (2008: 3), ditemukan banyak kelemahan dalam penerjemahan:
Gerver (1976) cites six types of inaccuracies in translation: a) simple omission; b) escape, or cutting off the input with simultaneous talk; c) error, or incorrect processing; d) queuing, or delaying response during heavy loads and catching up during lulls; e) filtering, or systematic omission of certain types of information; and f) approximation, or less precise renderings of information than the original contained.
Kelemahan-kelemahan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terlepas dari strategi penerjemahan yang dipilih oleh penerjemah. Ada 2 strategi penerjemahan yang biasanya diterapkan oleh penerjemah, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Strategi struktural adalah strategi penerjemahan yang berkenaan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib karena kalau penerjemah tidak melakukan strategi ini, maka hasil terjemahan menjadi tidak berterima dalam bahasa sasaran. Strategi struktural ini meliputi strategi penambahan, pengurangan, dan transposisi. Sementara itu, strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang memfokuskan pada masalah makna. Beberapa hal yang termsuk dalam strategi semantis ini adalah strategi pungutan, padanan budaya, penghapusan, dan modulasi. Dengan menggunakan strategi yang tepat, maka penerjemah dapat menghasilkan produk terjemahan yang berkwalitas.
Menerjemahkan bahasa yang melibatkan unsur kebudayaan sangat menantang bagi penerjemah karena banyak penerjemah yang mengatakan bahwa kebudayaan itu sulit untuk diterjemahkan, atau bahkan tidak mungkin untuk diterjemahkan. Namun demikian, sebagai pribadi yang berkecimpung di bidang kebahasaan, ada baiknya merunut kembali cabang-cabang ilmu linguistik yang dapat menguak kebudayaan, semisal konsep-konsep semantik, sintaksis,
discourse, pragmatic, dan tipe-tipe kebudayaan yang disebut dengan high-context cultures dan low context cultures (Badib, 2008: 4).
Konsep-konsep Teori Penerjemahan
Menurut Nababan, dalam menjalankan tugasnya, penerjemah professional yang terbentuk oleh lingkungan (misalnya imigran, diplomat) beranggapan bahwa konsep teori penerjemahan tidak diperlukan. Sebaliknya, penerjemah professional yang terbentuk oleh pelatihan dan pendidikan menganggap hal-hal yang terkait dengan teori penerjemahan perlu dikuasai dan digunakan sebagai pedoman penting dalam melaksanakan kegiatan menerjemahkan (2008:2). Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa:
Teaching the theory of translation to students of translation is important. If theory stops short at studying the semantics, syntactic analysis of language, student translators may find themselves unable to render a text effectively and communicatively into the target language (Said El Shiyab dalam Nababan (2008:2))
Kutipan di atas jelas menyatakan bahwa teori penerjemahan perlu diajarkan kepada mahasiswa karena apabila tidak diajarkan maka dapat mengurangi kemampuan mahasiswa dalam menerjemahkan. Selain itu, mahasiswa juga perlu berlatih menghadapi berbagai permasalahan penerjemahan dengan berbagai pendekatan. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa akan lebih fleksibel dalam memutuskan dan menyelesaikan masalah penerjemahan tersebut ketika mereka mulai serius meniti karir sebagai penerjemah yang sesungguhnya.
Teori dan konsep penerjemahan yang perlu diajarkan kepada mahasiswa diantaranya adalah:
a. Pengertian istilah penerjemahan, terjemahan dan penerjemah b. Proses penerjemahan
c. Jenis dan makna penerjemahan
d. Masalah padanan, menyangkut ketakterjemahan linguistik dan kultural, padanan formal dan dinamis, padanan pada berbagai tataran)
e. Kompetensi penerjemahan f. Ideologi penerjemahan g. Metode penerjemahan h. Strategi penerjemahan i. Teknik penerjemahan j. Pendekatan penerjemahan k. Penerjemahan dan budaya
l. Penerjemahan karya ilmiah dan non ilmiah m. Penilaian kualitas terjemahan
n. Kode etik penerjemahan
Kesemua konsep-konsep dan teori penerjemahan di atas perlu dipahami oleh calon penerjemah sebagai bekal untuk menyelesaikan berbagai persoalan penerjemahan yang mungkin dihadapi.
Pengajaran Penerjemahan Budaya
Bertitik tolak dari apa yang telah disampaikan sebelumnya, pengajaran penerjemahan budaya merupakan suatu bentuk pengajaran yang kompleks, karena selain mengajarkan tentang teori dan konsep penerjemahan, dosen atau pengajar juga harus mampu memberikan praktek
penerjemahan kepada mahasiswa. Konsep dan teori penerjemahan diajarkan dengan maksud memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan bagi para calon penerjemah, sementara praktek penerjemahan dimaksudkan untuk memberikan latihan atau melatih calon penerjemah menghadapai berbagai permasalah penerjemahan yang harus diputuskan dan diselesaikan secara efektif dan proporsional.
Bidang penerjemahan juga melibatkan bidang ilmu lain, atau disebut dengan multi interdisipliner, oleh karenanya menjadi tuntutan bagi dosen penerjemahan untuk memiliki kompetensi subyek atau materi yang diterjemahkan. Secara ideal, dosen penerjemah harus memiliki keahlian (expertise) dan pengalaman praktis di bidang penerjemahan. Dosen penerjemahan dikatakan memiliki keahlian apabila dosen tersebut memiliki berbagai kompetensi penerjemahan yang terdiri atas language competence, cultural competence, subject competence dan transfer competence serta pengalaman praktis di bidang penerjemahan. Dengan memiliki berbagai kompetensi yang dipersyaratkan, seorang penerjemah diharapkan memiliki bekal dan kemampuan untuk dapat menerjemahkan dengan baik dan dapat dipertanggungjwabkan.
Hal-hal yang menyangkut strategi penerjemahan budaya, untuk mengantisipasi kesulitan dalam menerjemahkan ke dalam bahasa sasaran, Mona Baker menyampaikan ada beberapa cara yang bisa diterapkan:
1. Penerjemahan dengan menggunakan kata yang lebih umum 2. Penerjamahan dengan menggunakan kata yang lebih netral 3. Penerjemahan dengan menggunakan pengganti kebudayaan
4. Penerjemahan dengan menggunakan kata serapan yang disertai dengan penjelasan 5. Penjelasan dengan paraphrase
(dalam Said, 2003:7) Yang tidak kalah penting, setelah semua kompetensi dan latihan dipenuhi, maka dosen penerjemahan juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Nababan, 2008: 8):
a. Kuliah penerjemahan merupakan usaha bersama antara dosen dan mahasiswa dalam menemukan solusi terbaik terhadap permasalahan penerjemahan yang dihadapi mahasiswa b. Dosen harus benar-benar siap dalam menjalankan tugasnya sehingga dapat memberikan
umpan balik kepada mahasiswanya. Kesiapan ini dapat ditinjau dari penguasaan isi teks yang akan diterjemahkan, dan instruksi penerjemahan yang dapat digunakan mahasiswa dalam mengambil keputusan dalam penerjemahan
c. Dosen harus rutin memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa, yang menjadi feedback antara dosen dan mahasiswa
d. Dosen harus memiliki kepribadian yang baik yang tercermin dalam gaya mengajarnya. Terkait lebih khusus dalam pengajaran penerjemahan budaya, dosen juga harus memberikan bekal kebudayaan yang beragam kepada mahasiswa sehingga sedikit demi sedikit mahasiswa juga mulai terbiasa melihat kebudayaan-kebudayaan lain yang begitu beragam dan meiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Hal ini bermanfaat bagi mahasiswa dalam memutuskan persoalan penerjemahan yang dihadapi.
Kesimpulan
Pengajaran penerjemahan merupakan kegiatan pengajaran yang membutuhkan kolaborasi yang baik antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa tidak hanya diberi ceramah tentang teori penerjemahan yang harus dikuasai, tetapi juga harus diberi latihan yang disertai dengan pendampingan dari dosen.
Pengajaran penerjemahan di bidang budaya membutuhkan strategi penerjemahan yang lebih akurat dibandingkan penerjemahan pada umumnya. Hal ini dikarenakan sifat budaya yang sulit dan bahkan tidak selalu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Daftar Pustaka
Baker, M. 1992. In Other Words. A Coursebook on Translation. London: Sage Publication. Bell, Roger T. 1991. Trnslation and Translating: heory and Practice. UK. Limited Longman Hatim, B. 2001. Teaching and Researching Translation. London: Pearson Education Limited. Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Newmark, Peter. 1991. About Translation. Great Britain: Longdunn Press, Ltd. ---. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice- Hall International.
Said, Mahadi. 2003.Strategi Penerjemahan untuk Konsep yang Tidak Dikenal oleh Bahasa Penerima. Magister Sastra. Program Pascasarjana: Universitas Gunadarma
Sumber lain:
Badib, Abbas Achmad. 2008. Masalah Penerjemahan yang Berkaitan dengan Kebudayaan dalam Pengajaran Penerjemahan. Makalah Seminar Nasional Pengajaran Penerjemahan. Surakarta: UNS.
Nababan, M.R. 2008. Pengajaran Penerjemahan- Sebuah Pengantar. Makalah Seminar Nasional Pengajaran Penerjemahan. Surakarta: UNS.