• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AAS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KADAR TEMBAGA DALAM SAMPEL AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROMETER SERAPAN ATOM (AAS)

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA INSTRUMEN Tanggal Praktikum : 26 November 2010

Disusun Oleh : Kelompok 7

Risa Nurkomarasari (0800530) Ersan Yudhapratama (0801357)

Redi Ahmad Fauzi (0805450)

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIDKAN INDONESIA 2010

(2)

Tanggal Praktikum : 26 November 2010

PENENTUAN KADAR TEMBAGA DALAM SAMPEL AIR LIMBAH DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROMETER SERAPAN ATOM (AAS)

A. Tujuan Percobaan

1. Mempreparasi sampel air limbah yang akan ditentukan kadar tembaganya dengan alat spektrofotometer serapan atom (SSA).

2. Menyiapkan larutan kerja dari larutan “stock” yang tersedia.

3. Memahami prinsip penentuan kadar logam dalam suatu sampel dengan alat spektrofotometer serapan atom (SSA).

A. Tinjauan Pustaka

Penyerapan energi radiasi oleh atom-atom netral pada keadaan dasar, dengan panjang gelombang tertenru yang menyebabkan tereksitasinya dalam berbagai tingkat energi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan akan kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi.

Gambar 1. Proses eksitasi

Gambar 2. Proses deksitasi

Energi yang diemisiskan dapat berupa energi cahaya dengan panjang gelombang yang berhubungan langsung dengan transisi elektronik yang terjadi. Setiap unsur mempunyai struktur elektronik yang khas, maka panjang gelombang

(3)

yang diemisikan pun merupakan sifat khas dari suatu unsur. Jika cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang sesuai mengenai suatu atom yang berada dalam keadaan dasar, maka atom dapat menyerap energi cahaya tersebut untuk berpindah ke keadaan tereksitasi. Proses ini disebut serapan atom dan menjadi dasar untuk spektrometri serapan atom.

Gambar3. Proses eksitasi dan emisi

Larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala rnengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat dari unsur-unsur yang bersangkutan.

Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer. yakni absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala. Kedua variabel ini sulit untuk ditentukan tetapi panjang nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding langsung dengan konsentrasi analit dalam larutan sampel. Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut ;

A = a.b.C Keterangan: A=Absorbansi a= absorptivitas b=lebar kuvet C= Konsentrasi

(4)

Gambar 4. Hukum dasar penyerapan

Dengan cara kurva kalibrasi, yaitu hubungan linier antara absorbansi (sumbu y) dan konsentrasi (sumbu x) kita dapat menetukan konsentrasi sampel.

Peristiwa serapan atom pertama kali diamati Fraunhofer, ketika menelaah garis-garis hitam pada spectrum matahari. Sedangkan yang memanfaatkan prinsip serapan atom pada bidang analisis adalah seorang kebangsaan Australia bernama Alan Wash pada tahun 1955. Sebelumnya ahli kimia banyak tergantung pada cara-cara spektrografik.

Beberapa cara ini sulit dan memakan waktu. Kemudian diganti dengan Spektroskopi Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorption Spectro (AAS). Metode ini sangat tepat untuk spektrokopi emisi konvensional, pada metode konvensional emisi tergantung pada sumber eksitasi, bila eksitasi dilakukan analisis zat pada konsentrassi rendah. Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode Spektrokopi emisi konvensional, pada metode konvensional emisi tergantung pada temperatur sumber. Selain itu eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan eksitasi secara serantak terjadi pada berbagai spesies dalam suatu campuran. Sedangkan nyala, eksitasi unsur-unsur dengan berbagai tingkat energy eksitasi yang rendah dapat dimungkinkan, tentu saja perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada tmgkat dasar harus cukup besar, karena metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan ini dan tidak tergantung pada temperatur. Metode serapan sangatlah spesifik, logam-logam yang membentuk campuran kompleks dapat dianalisa dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber energi yang besar.

(5)

Sistem Atomisasi

1. Sistem Atomisasi Nyala

Setiap alat spektrometri atom akan mencakup dua komponen utama sistem introduksi sampel dan sumber (source) atomisasi. Untuk kebanyakan instrumen sumber atomisasi ini adalah nyala dan sampel di introduksikan dalarn bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasanya dihasilkan oleh Nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray).

Ada banyak variasi nyala yang telah diapakai bertahun-tahun untuk spektrometri atom. Namun demikian. yang saat ini menonjol dan dipakai secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous oksida- asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan ana!it (unsur yang dianalisis) dapat ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan juga fluoresensi.

Gambar 5. Nebuliser pada SSA ➢ Nyala udara-asetilen

(6)

Biasanya menjadi pilihan untuk analisis menggunakan AAS,temperarur nyala-nya yang lebih rendah mendorong terbentuknyala-nya atom netral dan dengan nyala-nyala yang kaya bahan bakar pembentukan oksida dari banyak unsur dapat diminimalkan.

Nitrous oksida-asetilen

Dianjurkan dipakai untuk penentuan unsur-unsur yang mudah membentuk oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan temperatur nyala yang dihasilkan relative tinggi. Unsur-unsur tersebut adalah: Al, B, Mo, Si, So, Ti, V danW.

Proses atomisasi adalah proses pengubahan sample dalam bentuk larutan menjadi spesies atom dalam nyala. Proses atomisasi ini akan berpengaruh terhadap hubungan antara konsentrasi atom analit dalam larutan dan sinyal yang diperoleh pada detektor dan dengan demikian sangat berpengaruh terhadap sensitivitas analisis.

(Harvey, David. 2000 : 414) 2. Sistem Atomisasi Dengan Elektrothermal (Tungku)

Sistem nyala api ini lebih dikenal dengan nama GFAAS. GFAAS dapat mengatasi kelemahan dari sistem nyala seperti, sensitivitas, jumlah sampel dan penyiapan sampel. Ada tiga tahap atomisasi dengan tungku yaitu:

• Tahap pengeringan atau penguapan larutan

• Tahap pengabuan atau penghilangan senyawa-senyawa organik dan

• Tahap atomisasi

Unsur-unsur yang dapat dianalsis dengan menggunakan GFAAS adalah sama dengan unsur-unsur yang dapat dianalisis dengan sistem nyala. Beberapa

(7)

unsur yang sama sekali tidak dapat dianalisis dengan GFAAS adalah tungsten, Hf, Nd, Ho, La, Lu, Os, Br, Re, Sc, Ta, U, W, Y dan Zr, hal ini disebabkan karena unsur tersebut dapat bereaksi dengan graphit.

Instrumentasi AAS

Gambar 6. Skema Alat AAS a. Sumber Radiasi

Lampu HCL (Hollow Chatode Lamp), Hollow Cathode Lamp Hollow Cathode Lamp Hollow Cathode Lamp Hollow Cathode Lamplampu ini merupakan sumber radiasi dengan spektra yang tajam dan mengemisikan gelombang monokhromatis. Lampu ini terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang akan ditentukan atau campurannya (alloy) dan anoda yang terbuat dari tungsten. Elektroda-elektroda ini berada dalam tabung gelas dengan jendela quartz karena panjang gelombang emisinya sering berada pada daerah ultraviolet. Tabung gelas tersebut dibuat bertekanan rendah dan diisi dengan gas inert Ar atau Ne. Beda voltase yang cukup tinggi dikenakan pada kedua elektroda tersebut sehingga atom gas pada anoda terionisasi. Ion positif ini dipercepat kearah katoda dan ketika menabrak katoda menyebabkan beberapa logam pada katoda terpental dan berubah menjadi uap, Atom yang teruapkan ini, karena tabrakan dengan ion gas yang berenergi tinggi, tereksitasi ke tingkat energi elektron yang lebih tinggi; ketika kembali ke keadaan dasar atom-¬atom tersebut memancarkan sinar dengan λ yang karakteristik untuk unsur katoda tersebut. Berkas sinar yang diemisikan bergerak melalui nyala dan berkas dengan λ tertentu yang dipilih dengan monokromator akan diserap oleh uap atom yang ada dalam nyala yang berasal dari sampel. Sinar yang diabsorpsi paling kuat biasanya adalah sinar yang berasal dart transisi elektron ke tingkat eksitasi terendah. Sinar ini disebut garis resonansi.

(8)

Gambar 6. HCL

Sumber radiasi lain yang sering digunakan adalah "Electrodless Discharge Lamp ". Lampu ini mempunyai prinsip kerja hampir sama dengan HCL, tetapi mempunyai output radiasi lebih tinggi dan biasanya digunakan untuk analisis unsur-unsur As dan Se, karena lampu HCL untuk unsur-unsur-unsur-unsur ini mempunyai sinyal yang lemah dan tidak stabil.

Gambar 7. EDL b. Copper

Merupakan modulasi mekanik dengan tujuan mengubah sinar dari sumber sinar menjadi berselang-seling. Isyarat selang-seling oleh detector diubah menjadi isarat bolak-balik, yang oleh amplifier akan digandakan. Sedang emisi kontinyu bersifat searah dan tidak digandakan oleh amplifier.

c. Alat pembakar (proses atomisasi)

(9)

Tujuan sistem pembakaran-pengabut adalah untuk mengubah larutan uji menjadi atom-atom dalam bentuk gas. Fungsi pengabut adalah menghasilkan kabut atau aerosol larutan uji. Larutan yang akan dikabutkan ditarik ke dalam pipa kapiler oleh aksi semprotan udara ditiupkan melalui ujung kapiler, diperlukan aliran gas bertekanan tinggi untuk menghasilkan aerosol yang halus. d. Nyala dan profit nyala

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Untuk spektrokopi nyala suatu persyaratan yang penting adalah bahwa nyala yang dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000o K. Konsentrasi tereksitasi, dipengaruhi oleh komposisi nyala.

Komposisi nyala asitelin-udara sangat baik digunakan untuk lebih dari tiga puluh unsur sedangkan komosisi nyala propane-udara disukai untuk logam yang mudah menjadi uap atomic. Untuk logam seperti Alumunium (Al) dan titranium (Ti) yang membentuk oksida refrakori temperatur tinggi dari nyala asitelin-NO sangat perlu, dan sensitivitas dijumpai bila nyala kaya akan asitilen. e. Monokromator

Dalam Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) fungsi monokromator adalah untuk memisahkan garis resornansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi. Dalam kebanyakan instrument komersial digunakan kisi difraksi karena sebaran yang dilakukan oleh kisi seragam daripada yang dilakukan oleh prisma dan akibatnya instrument kisi dapat memelihara daya pisah yang lebih tinggi sepanjang jangka gelombang yang lebih besar.

f. Detektor

Detektor pada Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) berfungsi mengubah intensitas radiasi yang datang menjadi arus listrik. Pada Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) yang umum dipakai sebagai detektor adalah tabung penggandaan foton (PMT=Photo Multiplier Tube Detector). g. Read out , read out merupakan sistem pencatatan hasil. Hasil pembacaan dapat

berupa angka atau kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

(10)

Ada tiga teknik yang biasa dipakai dalam analisis secara spektrometri. Ketiga teknik tersebut adalah :

1. Metoda Standar Tunggal

Metoda ini sangat praktis karena hanya menggunakan satu larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya (Cstd). Selanjutnya absorbsi larutan standar (Asta) dan absorbsi larutan sampel (Asmp) diukur dengan Spektrofotometri. Dari hukum Beer diperoleh

Astd=ε.b.Cstd Asmp=ε.b.Csmp ε.b = Astd/ Cstd ε.b = Asmp/Csmp

sehingga

Astd/Cstd = Csmp /Csmp → Csmp = (Asmp/Astd) X Cstd 2. Metode Kurva Kalibrasi

Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi dari larutan tersebut diukur dengan AAS. Langkah selanjutnya adalah membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan Absorbansi (A) yang akan merupakan garis lurus melewati titik nol dengan slope = ε.b atau slope = a.b. Konsentrasi larutan sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukur dan diintrapolasi ke dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam persamaan garis lurus yang diperoleh dengan menggunakan program regresi linear pada kurva kalibrasi.

3. Metoda Adisi Standar

Metoda ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar. Dalam metoda ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampat volume tertentu kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dulu dengan sejumlah tertentu tarutan standar dan diencerkan seperti pada larutan yang pertama. Menurut hukum Beer akan berlaku hal-hal berikut :

Ax = k.Cx AT = k(Cs + Cx) Keterangan :

Cx = konsentrasi zat sampel

Cs = konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel Ax = Absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar)

(11)

Ar = Absorbansi zat sampel + zat standar

Jika kedua persarnaan diatas digabung akan diperoleh: Cx = Cs x {Ax/(AT - Ax)}

Konsentrasi zat dalam sampel (Cx) dapat dihitung dengan mengukur Ax dan AT dengan spektrofotometer. Jika dibuat suatu seri penambahan zat standar dapat pula dibuat suatu grafik antara AT lawan Cs, garis lurus yang diperoleh diekstrapolasi ke AT = 0, sehingga diperoleh:

Cx = Cs x {Ax/(O - Ax)} ; Cx = Cs x (Ax /-Ax) Cx = Cs x ( -1) atau Cx = - Cs

Gangguan dalam analisis dengan AAS : Ada tiga gangguan utama dalam SSA : (1) Gangguan ionisasi

(2) Gangguan akibat pembentukan senyawa refractory (tahan panas) (3) Gangguan fisik alat

Gangguan lonisasi: Gangguan ini biasa terjadi pada unsur alkali dan alkali tanah dan beberapa unsur yang lain karena unsur-unsur tersebut mudah terionisasi dalam nyala. Dalam analisis dengan FES dan AAS yang diukur adalah emisi dan serapan atom yang tidak terionisasi. Oleh sebab itu dengan adanya atom-atom yang terionisasi dalam nyala akan mengakibatkan sinyal yang ditangkap detek'tor menjadi berkurang. Namun demikian gangguan ini bukan gangguan yang sifatnya serius, karena hanya sensitivitas dan linearitasnya saja yang terganggu. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan unsur-¬unsur yaug mudah terionisasi ke clalam sampel sehingga akan menahan proses ionisasi dari unsur yang dianalisis.

Pembentukan Senyawa Refraktori: Gangguan ini diakibatkan oleh reaksi antara analit dengan senyawa kimia, biasanya anion yang ada dalam larutan sampel sehingga terbentuk senyawa yang tahan panas (refractory). Sebagai contoh, pospat akan bereaksi dengan kalsium dalam nyala menghasilkan kalsium piropospat (CaP2O7). Hal ini menyebabkan absorpsi ataupun emisi atom kalsium dalam nyala menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan stronsium klorida atau lantanum nitrat ke dalam tarutan. Kedua logam ini lebih mudah bereaksi dengan pospat dihanding kalsium sehingga reaksi antara kalsium dengan pospat dapat dicegah atau diminimalkan. Gangguan ini juga dapat dihindari dengan menambahkan EDTA berlebihan. EDTA akan membentuk kompleks chelate dengan

(12)

kalsium, sehingga pembentukan senyawa refraktori dengan pospat dapat dihindarkan. Selanjutnya kompleks Ca-EDTA akan terdissosiasi dalam nyala menjadi atom netral Ca yang menyerap sinar. Gangguan yang lebih serius terjadi apabi!a unsur-unsur seperti: AI, Ti, Mo,V dan lain-lain bereaksi dengan O dan OH dalam nyala menghasilkan logam oksida dan hidroksida yang tahan panas. Gangguan ini hanya dapat diatasi dengan menaikkan temperatur nyala., sehingga nyala yang urnum digunakan dalam kasus semacam ini adalah nitrous oksida-asetilen.

Gangguan Fisik Alat : yang dianggap sebagai gangguan fisik adalah semua parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan sampel sampai ke nyala dan sempurnanya atomisasi. Parameter-parameter tersebut adalah: kecepatan alir gas, berubahnya viskositas sampel akibat temperatur atau solven, kandungan padatan yang tinggi, perubahan temperatur nyala dll. Gangguan ini biasanya dikompensasi dengan lebih sering membuat Kalibrasi (standarisasi).

Gangguan dalam pengukuran absorbs atom dapat timbul dari spektrum, sumber kimia dan fisika. Efek kimia (gangguan kimia) meliputi pembentukan senyawa stabil dan ionisasi, keduanya menurunkan jumlah atom bebas (atom dalam bentuk gas) dalam uap sampel dan dengan demikian mengurangi nilai absorbansi. Untuk mengatasinya, dapat ditambahkan zat pembebas (releasing agents), penaikan suhu, dan penambahan zat penopeng. Gangguan fisika terjadi dalam proses penguapan sampel. Seperti terbentuknya larutan padat dari dua unsure atau lebih (contoh kromium dalam besi). Untuk mengatasinya, dapat digunakan zat pembebas dan penyesuaian kandungan sampel dan standar dengan hati-hati. Selain itu, gangguan absorbansi latar belakang juga bisa terjadi karena adanya berbagai pengaruh, yaitu dari absorbs molecular, dan penghamburan cahaya. Gangguan ini dapat diatasi dengan keberadaan system optic berkas ganda (double beam).

AAS merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan untuk menentukan konsentrasi logam dalam larutan. Jika dibandingkan dengan AES, AAS bebas dati gangguan efek inter-elements (self absorbsion) dan intensitasnya relative pada temperature nyala yang bervariasi. Lebih dari 60 unsur dapat ditentukan dengan AAS. Contohnya logam-logam berat dalam cairan fluida, air yang terkena polusi, bahan makanan, soft drink, analisis sampel metalurgi dan geochemical, dan

(13)

penentuan banyak logam dalam tanah, minyak mentah, produk petroleum dan plastic.

A. Alat dan Bahan Praktikum 1. Alat

• Labu takar 50 mL 2 buah • Labu takar 25 mL 4 buah

• Pipet tetes 1 buah

• Gelas kimia 100 mL 1 buah • Gelas kimia 600 mL 1 buah

• Corong kecil 1 buah

• Pipet ukuran 1 mL 1 buah

Hot plate 1 buah

• Kaca arloji 1 buah

1. Bahan

• Larutan HNO3 pH 2,0

• Larutan stock Cu(II) 1000 ppm A. Prosedur kerja praktikum

1. Preparasi sampel

Diambil 50 mL sampel dan dimasukkan ke dalam gelas kimia 100 mL. ditambahkan 2,5 mL HNO3 pekat kemudian diaduk dan diuapkan di atas hot plate sampai volumenya menjadi ±15 mL. Setelah itu ditambahkan lagi 2,5 mL HNO3 pekat, ditutup dengan kaca arloji dan dipanaskan kembali sampai warna larutan jernih. Kemudian larutan sampel didinginkandan ditambahkan sedikit aquades, dituangkan ke dalam labu takar 50 mL dan ditandabataskan

2. Pembuatan larutan blanko

Larutan blanko dibuat berupa larutan HNO3 yang memiliki pH 2,0. 3. Pembuatan larutan standar Cu(II) 25 ppm

Dibuat larutan standar Cu(II) dengan konsentrasi 25 ppm, dengan cara mengencerkan larutan stock dengan larutan blanko ke dalam labu ukur 50 mL.

4. Pengukuran

Dimasukan larutan sampel ke dalam 5 labu takar masing-masing (25,25,25,25,50) mL sebanyak 5 mL pada masing-masing labu takar 25 mL dan

(14)

10 mL pada labu takar 50 mL. Kemudian ditambahkan larutan standar 25 ppm masing-masing labu takar (2,4,6,8,10) mL. Setelah itu ditandabataskan. Maka didapat larutan sampel ditambah standar.

5. Pembuatan kurva kalibrasi dan pengukuran konsentrasi sampel

Diukur absorbansi masing-masing larutan (sampel + standar) yang telah disiapkan dimulai dari konsentrasi terendah. Larutan sampel diukur absorbansinya. Dibuat grafik hubungan absorbansi vs konsentrasi dengan program Excell. Kemudian ditentukan persamaan matematik hubungan linear antara absorbansi dengan konsentrasi. Ditentukan konsentrasi (ppm) Cu(II) dalam larutan sampel.

6. Pengoperasian dan optimasi alat AAS

• Alat dipanaskan dengan menekan tombol (on)

• Kompresor dihidupkan dan tabung gas C2H2 dibuka serta diset pada angka 17 psiq

• Cerobong pembukaan gas dihidupkan

• Saat display menunjukkan “New recall method” tekan (enter)

• Nilai arus Halow Cathode Lamp (75 % dari yang tertera) diketikkan, yaitu sebesar 22 mA lalu tekan (enter )

• Nilai slit sebesar 0,7 nm dimasukkan lalu tekan enter

• Nilai λ (panjang gelombang) yaitu 324,8 nm dimasukkan lalu tekan enter

• Time integration (lama pembacaan) yaitu 0,7 sekon di ketik lalu tekan enter

• Replicate (pengulangan pembacaan) yaitu sebanyak 3x diketik lalu tekan enter

• Hold 1 dipilih untuk metode pembacaan

• Curve calibration linier (2) dipilih lalu tekan enter

• “no” ditekan jika curve calibration tidak akan dicetak lalu tekan enter • enter secara terus menerus ditekan sampai mode pada display kembali ke lamp current

• Burner dinyalakan dengan menekan tombol flame on/off • Cont ditekan untuk memulai optimalisasi absorbansi

• Larutan blanko dimasukkan kemudian tekan A/Z (auto zero) pada saat absorbans menunjukkan harga nol (0,000)

(15)

• Larutan standar dimasukkan dengan konsentrasi terendah yaitu 5 ppm untuk memperoleh harga absorbansi mendekati 0,200. Jika belum tercapai laju alir gas (bahan bakar) diatur dengan cara knob nebulizer diputar ke kiri dan ke kanan

• Setelah harga absorbansi mendekati 0,200, larutan blanko dimasukkan dan tunggu sampai harga absorbansi kembali ke nol (0)

• Tekan data untuk memulai pengukuran

• Semua larutan standar dimasukkan mulai dari konsentrasi terendah sampai tertinggi kemudian tekan read

• Sampel dimasukkan tekan read • Kurva kalibrasi dibuat

A. Hasil dan Analisis Data

• Hasil Percobaan Volume sampel (mL) V standar (mL) V akhir (mL) Absorbansi (A) SD RSD Blanko - - 0,002 0,0025 -5 2 25 0,049 0,0009 1,94 5 4 25 0,086 0,0014 1,67 5 6 25 0,131 0,0027 2,07 5 8 25 0,174 0,0038 2,16 10 10 50 0,106 0,0039 3,64 5 (sampel) - 25 0,007 0,0011 16,60

• Penentuan Kadar Cu (II) dalam sampel

Dari kurva diatas diperoleh persamaan : y = 0,020x + 0,006 R2=0,999 Cx=αCsβVx Keterangan: Cx = Konsentrasi sampel Cs = Konsentrasi standar Vx = Volume sampel α = 0,006 (persamaan linier)

(16)

β = 0,020 (persamaan linier) Penyelesaian :

Cx=0,006 x 25 ppm0,020 x 5 mL Cx=1,5 ppm

Jadi konsentrasi ion Cu2+ dalam sampel adalah 1,5 ppm

• Analisis Data

Sampel yang dianalisis oleh alat AAS adalah sampel limbah yang mengandung logam. Sampel limbah biasanya terdapat dalam bentuk koloid, sehingga memerlukan treatment terlebih dahulu sebelum diukur dengan AAS, yaitu dengan destruksi. Destruksi bertujuan untuk menghancurkan ikatan-ikatan yang membentuk koloid, sehingga nantinya akan membentuk larutan sejati. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya sumbatan didalam alat AAS, terutama di dalam selang kapiler dan pada atomizer. Proses ini dilakukan dengan penambahan HNO3 pekat. Pemilihan HNO3 pekat untuk proses ini agar menghindari pembentukan endapan logam-logam.

Metode yang digunakan pada penentuan logam Cu pada limbah adalah metode adisi standar. Hal ini dilakukan karena kandungan Cu di dalam sampel diduga sangat kecil. Sehingga tidak masuk pada kondisi optimum dari alat yang digunakan. Oleh karena itu, digunakanlah metode adisi standar. Sampel air limbah yang dianalisis pada percobaan kali ini, merupakan air sawah yang diduga mengandung pestisida.

Metode adisi standar dilakukan dengan menambahkan larutan standar ke dalam cuplikan dan penggukuran absorbansi terhadap larutan cuplikan maupun campuran cuplikan dan standar. Dengan menggunakan metode ini, ke dalam sejumlah sampel ditambahkan larutan standar (konsentrasi diketahui dengan pasti) dengan volume yang bervariasi. Kemudian diencerkan hingga volumenya sama. Dengan demikian maka baik matrik sampel maupun matrik standar adalah sama.

Pada percobaan kali ini, ke dalam beberapa labu ukur dengan volume tertentu dimasukan sampel dengan volume yang sama yaitu 5 mL. Kepada tiap labu ukur ditambahkan larutan standar dengan volume bervariasi yaitu 2,4,6,8,10 Ml dengan konsentrasi yang sudah diketahui yaitu 25 ppm.

Dari kurva hasil pengukuran, didapatkan persamaan linier y=0,002x + 0,006 dengan R2= 0,999. 0,002x dan 0,006 pada persamaan linier hasil pengukuran digunakan untuk perhitungan konsentrasi sampel. 0,002x dijadikan sebagai α sedangkan 0,006 dijadikan sebagai β pada persamaan untuk mencari konsentrasi

(17)

sampel. Sedangkan nilai R2 menunjukkan bahwa kurva yang didapatkan hasil pengukuran itu baik atau tidak. semakin harga R2 mendekati 1 maka dapat dibilang pengukuran yang dilakukan itu baik. karena adanya peningkatan konsentrasi akan sebanding dengan adanya peningkatan pada absorbansi, sesuai dengan hukum Lambert-Beer. A = abc. Dari hasil perhitungan diperoleh konsentrasi Cu2+ dalam sampel adalah 1,5 ppm.

A. Kesimpulan

Dari hasil praktikum diperoleh konsentrasi Cu2+ dalam sampel adalah 1,5 ppm. B. Daftar Pustaka

Basset, J., Denney, R. C., Jeffery, G. H dan Mendham, J. (1994). Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik (Edisi keempat). Terjemahan

Handyana Pudjaatmaka. Jakarta: EGC.

Fifield, FW & D. Kealey. 2000, Principles and Practice of Analitytical Chemistry fift edition. Cambridge: The University Press/The Blacwell Science.

Harvey, David. (2000). Modern Analytical Chemistry. USA: The McGraw-Hill Companies.

Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Semarang Press.

Khopkar, S. M,. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.

Tim Kimia Analitik Instrumen. (2010). Penuntun Praktikum Kimia Analitik Instrumen (KI-431). Bandung : Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI. Wiryawan, Adam. Dkk. (2007). Kimia Analitik. Malang : Departemen Pendidikan

Nasional .

(18)

LAMPIRAN 1. Pembuatan Larutan

a. Larutan Blanko

Dibuat larutan blanko sebanyak 500 mL dari HNO3 16 M sebanyak 0,35 mL kemudian ditambahkan aquades sampai tanda batas 500 mL. Setelah itu larutan dihomogenkan dengan cara diaduk.

b. Larutan Standar

Dibuat larutan standar dengan konsentrasi 25 ppm dalam 50 mL. Larutan standar dengan konsentrasi 25 ppm dibuat dari larutan stock Cu (II) 1000 ppm sebanyak 1,25 mL dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, kemudian diencerkan sampai tanda batas menggunakan larutan blanko.

c. Larutan Sampel

Dibuat larutan sampel dari sampel limbah air sawah. Larutan sampel 50 mL, dimasukan ke dalam gelas kimia dan ditambahkan 2,5 mL HNO3 pekat kemudian diaduk dan diuapkan di atas hot plate sampai volumenya menjadi ±15 mL. Setelah itu ditambahkan lagi 2,5 mL HNO3 pekat, ditutup dengan kaca arloji dan dipanaskan kembali sampai warna larutan jernih. Kemudian larutan sampel didinginkan dan ditambahkan sedikit aquades, dituangkan ke dalam labu takar 50 mL dan ditandabataskan.

1. Perhitungan Pembuatan Larutan

• Pembuatan Larutan Blanko V2 = 500 mL

M1= 16 M M2= 0,01 M

(19)

M1.V1 = M2.V2

16 M.V1=0,01 M.500 mL V1= 0,01 M x 500 mL16 M

V1=0,3125 mL • Pembuatan Larutan Standar 25 ppm

V1 = 50 mL M1= 25 ppm M2= 1000 ppm M1.V1 = M2.V2 1000 ppm.V2=25 ppm.50 mL V1= 25 ppm .50 mL1000 ppm V1= 1,25 mL 1. Data Pengamatan a. Pengaturan Alat

• Bahan Bakar : Asetilen • Oksidan : Oksigen • Lamp Current : Line Blue

• Arus : 22 mA

• Slit : 0,7 nm

• Panjang Gelombang : 324,8 nm

• Energi : 54 %

• Integration time : 0,7 sekon • Replicate : 3X a. Tabel Pengamatan Volume sampel (mL) V standar (mL) V akhir Absorbansi (A) SD RSD Blanko - - 0,002 0,0025 5 2 25 0,049 0,0009 1,94 5 4 25 0,086 0,0014 1,67

(20)

5 6 25 0,131 0,0027 2,07

5 8 25 0,174 0,0038 2,16

10 10 50 0,106 0,0039 3,64

5 (sampel) - 25 0,007 0,0011 16,60

• Penentuan Kadar Cu (II) dalam sampel

Dari kurva diatas diperoleh persamaan : y = 0,020x + 0,006 R2=0,999 Cx=αCsβVx Keterangan: Cx = Konsentrasi sampel Cs = Konsentrasi standar Vx = Volume sampel α = 0,006 (persamaan linier) β = 0,020 (persamaan linier) Penyelesaian : Cx=0,006 x 25 ppm0,020 x 5 mL Cx=1,5 ppm

Jadi konsentrasi ion Cu2+ dalam sampel adalah 1,5 ppm

(21)

Gambar alat praktikum Set Alat AAS

Sampel

Larutan stock Cu(II)

Pemanasan Sampel di ruang asam Larutan standar+sampel dan larutan sampel

(22)
(23)
(24)
(25)

Gambar

Gambar 1. Proses eksitasi
Gambar 4. Hukum dasar penyerapan
Gambar 5. Nebuliser pada SSA
Gambar 6. Skema Alat AAS a. Sumber Radiasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kadar timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dalam cuplikan burger sapi ditentukan dengan metode kurva kalibrasi standar yaitu dengan cara mengukur absorbansi larutan sampel,

yang diperoleh harus berada dalam rentang kurva kalibrasi larutan baku kalsium.. Konsentrasi kalsium dalam sampel ditentukan berdasarkan

Kadar timbal (Pb) dan tembaga (Cu) dalam cuplikan burger sapi ditentukan dengan metode kurva kalibrasi standar yaitu dengan cara mengukur absorbansi larutan sampel,

Larutan 20 ppm tersebut diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 316,4 nm kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linier dari kurva

Sebelum penentuan kandungan iodium dalam berbagai merk garam dapur dilakukan perlu larutan standar untuk membuat kurva kalibrasi absorbansi versus konsentrasi. Dengan

Berdasarkan nilai absorbansi kurva dan tiga sampel yang diukur pada λ = 265 nm, hanya dipakai dua absorbansi sampel, yaitu yang pertama dan kedua karena sampel ketiga menunjukkan

X (konsentrasi) = Y(absorbansi) – 0.166 / 0.001(Pengenceran Urea tidak dilakukan) Kurva kalibrasi standar urea belum memenuhi hukum Beer Lambert karena kurva yang

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 260 nm -Etanol dingin: tidak bewarna -Larutan sampel isotonik: keruh + -Larutan sampel aquades: keruh -NaCl: larutan tidak bewarna Setelah