• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daun bangun-bangun merupakan tanaman daerah tropis yang daunnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daun bangun-bangun merupakan tanaman daerah tropis yang daunnya"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Daun Bangun-Bangun

Daun bangun-bangun merupakan tanaman daerah tropis yang daunnya memiliki aroma tertentu sehingga dikenal sebagai tanaman aromatik. Tanaman ini banyak ditemukan di India, Ceylon dan Afrika Selatan, memiliki bunga yang bentuknya tajam dan mengandung minyak atsiri sehingga disebut juga Coleus aromaticus (Kaliappan, et al., 2008).

2.1.1 Sistematika Tanaman

Menurut Pandey (2003), sistematika tanaman bangun-bangun adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Solanales Famili : Lamiaceae Genus : Plectranthus

Spesies : Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng

2.1.2 Nama Lokal

Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Masyarakat Sumatera Utara menyebutkannya bangun-bangun atau torbangun: daun jinten, daun hati-hati, daun sukan. Jawa: daun ajeran (Sunda).Nusatenggara: iwak, kumu etu, bumbu jo (Depkes RI., 1989).

(2)

2.1.3 Nama Asing

Inggris: Caraway seed atau cemin. Cina: Panling moung (Hariana, 2008).

2.1.4 Morfologi Tanaman

Daun bangun-bangun memiliki ciri-ciri dauntunggal, berwarna hijau, helaian daun berbentuk bundar telur, kadang-kadang agak membundar, panjang helaian daun 3,5 cm sampai 6 cm, lebar 2,5 cm, pinggir daun beringgit atau agak berombak, tangkai daun panjang 1,5 cm sampai 3 cm,tulang daun menyirip. Pada keadaan segar helaian daun tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbingkul-bingkul, berwarna hijau muda, permukaan bawah berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat sampai coklat tua, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol, pada kedua permukaan terdapat rambut halus berwarna putih (Depkes RI., 1989).

2.1.5 Khasiat Tanaman

Daun bangun-bangun berkhasiat sebagai antioksidan, antitumor, antimutagenik, mengobati brokitis, asma, diare, epilepsi, demam, batuk, sakit kepala, dispepsia, batu ginjal, disentri (Rout, et al., 2010), malaria, obat cacing (Kaliappan, et al., 2008), obat luka, sariawan (Depkes RI., 1989), mencegah kanker, antivertigo, meningkatkan total volume ASI (Santosa dan Hertiani, 2005).

2.1.6 Kandungan Kimia

Daun bangun-bangun mengandungglikosida, flavonoid dan steroid/triterpenoid (Rout, et al., 2010) minyak atsiri, vitamin C, vitamin B12,

(3)

beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat dan serat (Santosa dan Hertiani, 2005).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkohol, flavonoid dan lain-lain. Setelah diketahui senyawa aktif yang terkandung oleh simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. (Depkes RI., 2000).

2.3 Metode-Metode Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu: 1. Cara Dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

i. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

ii. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak.

(4)

2. Cara Panas

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:

i. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

ii. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. iii. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

iv. Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 15 menit.

v. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit.

2.4 Kromatografi

Kromatogafi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupagas atau zat cair) (Depkes RI., 1995). Jika fase diam berupa zat padat maka cara tertentu dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Fase gerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985):

(5)

1. Fase gerak zat cair-fase diam padat: - Kromatografi lapis tipis

- Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas-fase diam padat:

- Kromatografi gas padat

3. Fase gerak zat cair-fase diam zat cair: - Kromatografi cair kinerja tinggi 4. Fase gerak gas-fase diam zat cair:

- Kromatografi gas cair - Kromatografi kolom kapiler

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harbone, 1987).

 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisahan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan yang akan ditotolkan baik berupa bercak maupun pita. Plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985). Fase gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007).

(6)

Cara yang paling sederhana untuk mendeteksi bercak hasil pemisahan untuk senyawa yang tak berwarna dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berflourosensi jika disinari sinar ultarviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985; Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Fase diam (lapisan penyerap)

Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Penyerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991).

Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantungpada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan butiran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik, semakin kecil ukuran rata-rata parikel fase diam, maka semakin baik kinerja

(7)

KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Sastrohamidjojo, 1985; Gandjar dan Rohman 2007).

b. Fase Gerak (Pelarut Pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masig pelarut, sehingga dengan demikian diperoleh pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang akan digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksana, karbontetraklorida, benzene, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, methanol dan air (Gritter, et al., 1991).

c. Harga Rf (Retordation Factor)

Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:

Rf=

Jarak titik pusat bercak dari titik awal jarak garis depan pelarut dari titik awal

Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):

a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan b. Sifat penjerap

(8)

d. Pelarut dan derajat kemurniannya

e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. Teknik percobaan

g. Jumlah cuplikan yang digunakan h. Suhu

i. Kesetimbangan

2.5 Kromatografi Cair Vakum

Cara ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll, dkk pada tahun 1977 dengan menggunakan corong Buchner kaca masir atau kolom pendek untuk mengisolasi diterpena sembrenoida dari terumbu karang Australia. Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettmann, et al., 1995).

Sampel dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau pada lapisan penjerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam kemasan dengan menvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dari pelarut yang kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Oleh karena itu kromatografi cair vakum menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fase gerak (Hostettmann, et al., 1995).

2.6 Spektrofotometri

(9)

(elektromagnetik) untuk mengukur konsentrasi analit yang tidak diketahui (Supratman, 2010).

 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitasi atau adsorbansi) (Sastrohamidjojo, 1985). Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan pada orbital molekul yang paling luar dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang paling tinggi (Noerdin, 1985). Kenyataannya, spektrum UV-Vis yang merupakan korelasi antara absorbansi dan panjang gelombang bukan merupakan suatu pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum tersebut disebabkan oleh terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang sangat kompleks (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.7 Artemia salina Leach

2.7.1 Klasifikasi Artemia salina Leach

Artemia termasuk kelas Crustaceae dari family Artemidae. Organisme sejenis udang-udangan berukuran kecil (renik) ini dikenal dengan nama brine shrimp. Artemia salina Leach digunakan sebagai hewan uji dalam menentukan ketoksikan suatu ekstrak/senyawa. Artemia salina Leach telah digunakan untuk berbagai macam uji hayati, seperti uji pestisida, polutan mikotoksin, anestesi dan ketoksikan dalam air laut (Meyer, et al., 1982).

(10)

Menurut Arbiastutie dan Muflihati (2008) klasifikasi dari Artemia salina Leach adalah sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Famili : Artemidae Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina Leach.

2.7.2 Siklus Pertumbuhan Artemia salina Leach

Gambar 2.1 Siklus Pertumbuhan Artemia salina Leach

Artemia berkembangbiak dengan dua cara, yakni secara partenogenesis dan biseksual. Seluruh populasi artemia pada perkembangbiakan secara parthenogenesis adalah betina. Artemia betina ini kemudian bertelur, menetas dan menghasilkan individu baru berupa embrio tanpa dibuahi oleh sperma artemia jantan. Sementara itu, populasi artemia yang berkembangbiak secara

(11)

biseksual terdiri atas jenis jantan dan betina yang melakukan perkawinan, yang kemudian menghasilkan embrio (Bachtiar, 2003).

Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut:

- Fase kista (telur) adalah suatu kondisi istirahat pada hewan crustacea tingkat rendah seperti artemia. Ketika diredam ke dalam air laut, kista atau telur akan menyerap air (hidrasi). Akibatnya, di dalam kista terjadi proses metabolisme embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian cangkang kista akan pecah dan muncul embrio yang masih terbungkus oleh selaput penetasan.

- Fase nauplius adalah larva stadium tingkat pertama dari artemia. Embrio yang masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi organisme baru yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali oleh pecahnya selaput penetasan yang masih membungkus embrio (nauplius). Larva ini berwarna jingga kecoklatan karena membawa kuning telur yang melekat pada tubuhnya. Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7 mm dengan berat 15-20 µg.

- Fase dewasa adalah kondisi nauplius yang telah berkembang menjadi artemia dewasa. Ciri artemia dewasa adalah terdapat sepasang mata majemuk dan antena sensor pada kepala serta memiliki saluran pencernaan. Tubuh artemia dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya sekitar 10 mg (Bachtiar, 2003).

2.8 Uji Sitotoksik

Dewasa ini penelitian terhadap senyawa aktif dari bahan alam sangat digalakkan, tetapi banyak bahan-bahan obat alami yang telah diisolasi, dikarakterisasi dan dipublikasikan tanpa dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi. Aktivitas biologi tumbuhan tersebut tidak diketahui hingga bertahun-tahun. Hal ini disebabkan karena pencarian untuk senyawa yang memiliki aktivitas

(12)

farmakologi sering menggunakan uji aktivitas dengan biaya yang mahal. Hambatan biaya ini mempengaruhi kegiatan farmakologis. Oleh karena itu dibutuhkan suatu uji aktivitas secara umum sederhana, mudah dan murah namun dapat dipercaya dan dapat mendeteksi adanya senyawa yang mempunyai aktivitas biologi secara luas yang terdapat pada ekstrak, fraksi dan isolat.

Mengetahui suatu senyawa memilik potensi sebagai senyawa bioaktif hasil dari uji hayati tersebut dihitung menggunakan LC50 (Lethal Concentration 50). LC50 adalah konsentrasi zat kimia yang terdapat di udara atau air yang dapat

membunuh 50% hewan/organisme uji dalam satuan ppm (part per million). Tujuan penggunaan LC50 adalah untuk mengetahui apakah kandungan kimia

tersebut dapat membahayakan manusia (Arbiastuti dan Muflihati, 2008).

Menurut Meyer, et al., (1982), jika ekstrak mempunyai nilai LC50< 1000

µg/mL maka ekstrak tersebut bersifat toksik pada Artemia salina Leach.

Menurut Anderson (1991) tingkat nilai toksisitas LC50 berdasarkan sifat

ketoksikannya adalah sebagai berikut:

a. Nilai LC50≤ 250 µg/mL bersifat sangat toksik.

b. Nilai LC50 250-500 µg/mL bersifat toksik.

c. Nilai LC50 500-750 µg/mL bersifat sedang.

d. Nilai LC50 750-1000 µg/mL bersifat tidak toksik.

Menurut Arbiastuti dan Muflihati (2008), menyatakan pembagian nilai LC50 untuk ekstrak dan senyawa murni yang berpotensi sebagai senyawa bioaktif

adalah sebagai berikut:

a. Nilai LC50 ≤ 30 µg/mL memiliki potensi aktivitas sebagai anti tumor atau

kanker yang bersifat sitotoksik.

(13)

c. Nilai LC50 antara 200-1000 µg/mL memiliki potensi sebagai pestisida.

Semakin kecil nilai LC50 yang dimiliki ekstrak tanaman maka akan semakin

berpotensi untuk memiliki aktivitas biologi atau efek farmakologi.

Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, kronik dan sub kronik (Runia, 2008; Fanani, 2009). Suatu senyawa kimia dikatakan bersifat “racun akut’’ jika dapat menimbulkan efek racun dalam jangka waktu singkat. Suatu senyawa kimia disebut bersifat “racun kronik” jika menimbulkan efek racun dalam jangka waktu panjang (kontak yang berulang-ulang dalam jumlah yang sedikit). Ada tiga cara utama bagi senyawa kimia untuk dapat memasuki tubuh, yaitu melalui paru-paru (pernafasan), mulut dan kulit. Melalui ketiga rute tersebut, senyawa yang bersifat racun dapat masuk ke aliran darah dan kemudian terbawa ke jaringan tubuh lainnya. Perhatian utama dalam toksisitas adalah kuantitas/ dosis senyawa tersebut. Sebagian besar senyawa yang berada dalam bentuk murninya memiliki sifat racun (toksik) (Hudgson, 2004; Tridiyani, 2011). Manfaat dari pengukuran toksisitas adalah dapat digunakan sebagai skrining ekstrak tumbuhan untuk kepentingan pengobatan, menilai potensi dan efek bahaya dari pestisida baru dan menilai toksisitas yang mungkin ditimbulkan oleh sumber polusi (Hendrawati, 2009).

Beberapa uji pendahuluan untuk pencarian obat kanker yang memenuhi syarat-syarat di atas antara lain: Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Metode Potato Disk, Uji terhadap Lemna minor L. dan Uji terhadap cell line (McLaughlin, 1998).

2.8.1 Metode Potato Disk (menghambat tumor crown gall)

Crown gall adalah penyakit tumor pada tumbuhan yang ditimbulkan oleh strain yang spesifik dari bakteri gram negatif Agrobacterium tumefaciens.

(14)

Terdapat kesamaan antara mekanisme terjadinya tumor pada tumbuhan dan pada hewan, senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan tumor pada tumbuhan juga dapat berfungsi sebagai antitumor pada hewan. Uji ini merupakan uji pendahuluan yang sederhana untuk menentukan senyawa antikanker dari bahan alami. Penghambatan pertumbuhan crown gall tumor pada potato disk oleh ekstrak bahan alami tersebut aktif (McLaughlin, 1998).

2.8.2 Brine Shrimp Lethality Test

Senyawa bioaktif hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Oleh karena itu daya bunuh in vivo dari senyawa terhadap organisme hewan dapat digunakan untuk menapis ekstrak tumbuhan yang mempunyai bioaktivitas dan juga untuk memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurniaan. Salah satu organisme yang sangat sesuai untuk hewan uji tersebut adalah udang laut. Brine shrimp lethality test atau yang dikenal dengan istilah BSLT sudah digunakan untuk berbagai sistem bioassay yaitu untuk menganalisa residu pestisida, mikotoksin, polutan pada air sungai, anastetik dan toksin dinoflagelata senyawa yang berupa morfin. Dalam fraksinasi yang diarahkan dengan bioassay, metode brine shrimp test telah digunakan untuk memonitor fraksi aktif mikotoksin dan antibiotik pada ekstrak jamur (Meyer, et al., 1982).

Artemia salina Leachadalah sejenis udang air asin. Telurnya merupakan makanan ikan tropis dan telur tersebut dapat dijumpai di toko-toko yang menjual ikan hias tropis dengan nama brine shrimp eggs. Telur ini dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam kondisi kering. Setelah ditempatkan dalam larutan air laut, telur-telur akan menetas dalam waktu 48 jam dan menghasilkan sejumlah nauplii. Nauplii Artemia salina Leach ini dapat dipakai sebagai alat yang baik

(15)

untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas biologi (McLaughlin, 1998).

2.8.3 Uji Terhadap Lemman minor L.

Lemman minor L. adalah tumbuhan monokotilyang hidup di daerah perairan. Pada kondisi normal, kondisi ini secara langsung menghasilkan anak daun. Jika ekstrak bahan alami dapat menghambat pertumbuhan dari anak daun tumbuhan Lemman minor L., maka ekstrak bahan alami tersebut dikatakan aktif (McLaughlin, 1998).

2.8.4 Uji Terhadap Cell line

Bahan alami yang telah dinyatakan aktif pada uji pendahuluan, selanjutnya dilakukan uji pada tahap berikutnya yaitu uji terhadap cell line. Uji ini menggunakan sel-sel kanker secara in vitro, zat-zat antikanker diuji langsung terhadap sel kanker. Contoh cell line yang banyak digunakan dalam pengujian zat-zat antikanker antara lain L-1210 (leukemia pada tikus), S-256 (sarcoma pada manusia), T47D dan MCF7 (payudara), CaCo (kolon) dan Hela (serviks) (McLaughlin, 1998).

Gambar

Gambar 2.1  Siklus Pertumbuhan Artemia salina Leach

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan perkembangan saluran dan sistem pencernaan larva ikan tuna sirip kuning dilakukan dengan mengambil larva ikan tuna setiap hari dari umur 0 sampai 13

3URVHV SHPLOLKDQ PHGLD GLVHVXDLNDQ GHQJDQ DQDOLVLV PDWHUL DQDOLVLV WXJDV GDQ NDUDNWHULVWLN VLVZD 'DUL KDVLO SHPLOLKDQ PHGLD LQL GLWHQWXNDQ EDKZD PHGLD SHPEHODMDUDQ \DQJ GLSHUOXNDQ

beserta besar air yang tersedia dalam waduk : dam dan perhitungan besar air yang akan dialirkan melalui pintu saluran air untuk menggerakkan turbin sebagai penggerak

Kompeten si Dasar IPK Sintaksis model Product Based Learning Pendekatan Saintifik Tujuan Pembelajara n Mengamati (mengidentifikas i masalah) Menanya (merumuskan masalah/hipot

Penggantian ion-ion ini tentu akan mengubah nilai hantaran dari larutan tersebut sesuai dengan nilai muatan, jumlah, dan ukuran dari ion-ion analit dan ion- ion

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah : (1) Minyak kopi terenkapsulasi yang dibuat dengan konsentrasi PLA kulit kopi lebih tinggi mempunyai

Karena dengan menggunakan komik pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk diterima dan dimengerti, karena bahasa gambar lebih mudah dipahami dibandingkan bahasa

Hasil penelitian tentang mekanisme koordinasi menunjukkan, komunikasi dalam upaya penemuan suspek TB, 4 Puskesmas (44,4%) cukup baik, 7 Puskesmas (77,7%) supervisinya kurang baik,