13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis dan Yuridis Kekerasan Seksual 1. Kekerasan Seksual
Menurut Achie Sudiarti Luhulima, kekerasan seksual
merupakan kejahatan yang berkaitan dengan perkelaminan atau seksualitas dan lebih khusus lagi yang berkaitan dengan seksualitas
laki-laki dan perempuan1.
Pengertian kekerasan seksual memiliki arti yang lebih luas dari perkosaan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan segala bentuk pelanggaran yang dilakukan untuk tujuan seksual. Berdasarkan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dalam kasus Akayesu, kekerasan seksual dimana perkosaan termasuk didalamnya, adalah segala tindakan bersifat seksual dilakukan secara paksa oleh seseorang.
1
Achi Sudiarti Luhulima, Pemahaman tentang bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
14 Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada invasi fisik terhadap tubuh manusia, namun juga termasuk didalamnya tindakan yang tidak menyebabkan penetrasi atau bahkan terjadinya kontak fisik (misalnya memaksa perempuan telanjang didepan umum). Kekerasan seksual meliputi kekerasan fisik dan psikologi terhadap karakteristik
seksual seseorang2.
Permasalahan kekerasan seksual ternyata tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Pada tahun 2010, berdasarkan data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa secara umum 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami kekerasan. Jika berdasarkan segi wilayah, terlihat bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan di negara-negara berkembang cenderung lebih tinggi dibandingkan di negara-negara maju. Meski demikian, tingkat terjadinya kekerasan tersebut di negara maju juga cukup tinggi, yaitu sekitar 25%. Artinya, 1 dari 4 perempuan di negara berpendapatan tinggi juga mengalami kekerasan. Di negara-negara seperti di benua Afrika dan Asia, tingkat kekerasan terhadap perempuan tercatat sekitar 37 persen3.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, pada akhir tahun 2017 lalu jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74% dari tahun 2016. Jumlah kasus Kekerasan Terhadap
2
Mahkamah Agung R.I, Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, 2006, hlm. 50.
3
15 Perempuan (KTP) tahun 2017 sebesar 348.446 kasus, jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 259.150. Sebagian besar data bersumber dari kasus atau perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Agama. Data ini dihimpun dari 4 (empat)
sumber yakni4:
1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama sejumlah 335.062
kasus;
2) Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan sejumlah 13.384
kasus;
3) Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja
dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan; dan
4) Divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk
lewat surat dan surat elektronik.
Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun
sebelumnya adalah KDRT/RP (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga/Ranah Personal) yang mencapai angka 71% (9.609). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan) di ranah komunitas/publik dengan persentase 26% (3.528) dan terakhir adalah KTP di ranah negara dengan persentase 1,8% (217).
4
Komnas Perempuan, Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017, Jakarta, 2018, hlm. 13.
16 Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.982 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual kasus 2.979 ( 31%), psikis 1.404 (15%) dan ekonomi 1.244 kasus (13%). Pada ranah publik dan komunitas kekerasan terhadap perempuan tercatat 3,528 kasus. Sekitar 76% kasus kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas adalah kekerasan yang bersifat Pencabulan (911), Pelecehan Seksual (704), dan Perkosaan (699). Sementara itu persetubuhan terjadi sebanyak 343 kasus5.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Malang pada rentang waktu bulan Januari hingga Desember 2019 sebanyak 65 orang perempuan dewasa mengalami kekerasan. Dalam rentang usia 19-24 sebanyak 9 orang, usia 25-44 sebanyak 50 orang, dan usia 45+ sebanyak 6 orang. Dimana jenis kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah kekerasan fisik, yaitu sebanyak 45 kasus, kemudian disusul dengan kekerasan psikis sebanyak 11 kasus, kekerasan seksual sebanyak 8 kasus, kekerasan dengan jenis penelantaran sebanyak 4 kasus, dan jenis kekerasan lainnya sebanyak 3 kasus sebagaimana yang telah terlapor di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak6.
5
Ibid.
6
17 2. Bentuk Kekerasan Seksual
Dari sekian banyak pendapat tentang bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, terdapat 2 (dua) jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yaitu: 1. kekerasan dalam rumah tangga; dan 2.
kekerasan/pelecehan seksual7.
Di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dalam Bab III mulai Pasal 5 hingga Pasal 9 mengatur tentang “Larangan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga” dan bagi orang-orang atau pelaku tindak
kekerasan dalam rumah tangga akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 50
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT8.
Mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang dapat dilakukan dalam rumah tangga, pengaturan pokoknya terdapat dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 yang menentukan bahwa “setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara9:
1) Kekerasan fisik; 2) Kekerasan psikis; 3) Kekerasan seksual; dan
7
Marcheyla Sumera, Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan, Lex et
Societatis, Vol. I, No.2, 2013, hlm. 46.
8
Ibid.
9
18 4) Penelantaran rumah tangga”
Pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Pemerkosaan sendiri merupakan suatu hubungan seksual yang dilakukan tanpa adanya kehendak bersama, dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Korban sendiri dapat berada dalam suatu ancaman fisik dan/atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak beradaya, berada di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental dan kondisi kecacatan lain, sehingga tidak dapat melakukan penolakan atas apa yang terjadi, tidak mengerti,
dan/atau tidak dapat bertanggungjawab atas apa yang terjadi padanya10.
Pemerkosaan merupakan suatu kasus yang cukup populer di kalangan masyarakat sebagai suatu bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan, meskipun cara pandang atas kejadian tersebut masih pada sudut pandang patriarkis. Kecenderungan dalam sudut pandang tersebut merupakan kecenderungan melihat korban sebagai objek pemicu kejadian. Sesungguhnya rentang kekerasan seksual bukan hanya pada perkosaan saja, melainkan sangat bervariasi dan modus operandinya tidak sesederhana. Kekerasan seksual juga mengacu pada suatu perilaku negatif (menindas, memaksa, menekan, dan sebagainya) yang memiliki
10
19 konotasi seksual, sehingga menyebabkan seseorang mengalami kerugian11.
Selain itu, didalam KUHP juga mengatur tentang kekerasan
seksual, yang lebih dikenal dengan “Kejahatan di Bidang Kesusilaan”.
Kejahatan di bidang kesusilaan merupakan kejahatan mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual. Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XVI Buku II dengan
judul “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”, yaitu:
a) Kejahatan dengan melanggar kesusilaan umum (Pasal 281);
b) Kejahatan pornografi (Pasal 282);
c) Kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa (Pasal
283);
d) Kejahatan pornografi dalam menjalankan pencahariannya (Pasal
283 bis);
e) Kejahatan perzinahan (Pasal 284);
f) Kejahatan perkosaan untuk bersetubuh (Pasal 285);
g) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286);
h) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang
umurnya belum 15 tahun (Pasal 287);
11
Elli Nur Hayati, Kekerasan Seksual, Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerjasama dengan Ford Foundation, Jakarta, 2004, hlm. 139.
20
i) Kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinan
yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka (Pasal 288);
j) Kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang
menyerang kehormatan kesusilaan (Pasal 289);
k) Kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang
yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya dikawin (Pasal 290);
l) Kejahatan perbuatan cabul sesama kelamin, pada orang yang
belum dewasa (Pasal 292);
m) Kejahatan menggerakkan orang untuk berbuat cabul dengan
orang yang belum dewasa (Pasal 293);
n) Kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak dibawah
pengawasannya dan lain-lain yang belum dewaasa (Pasal 294);
o) Kejahatan pemudahan berbuat cabul bagi anaknya, anak tirinya
dan lain-lain yang belum dewasa (Pasal 295);
p) Kejahatan pemudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian
atau kebiasaan (Pasal 296);
q) Kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang
belum dewasa (Pasal 297);
r) Kejahatan mengobati wanita dengan menimbulkan harapan
21
B. Tinjauan Teoritis dan Yuridis Tentang Perlindungan Hukum 1. Perlindungan Hukum
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum merupakan
upaya untuk mengorganisasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat supaya tidak terjadi ketimpangan antar-kepentingan dan
dapat menikmati semua hak-hak yang telah diberikan oleh hukum12.
Teori Perlindungan Hukum dari Satjipto Raharjo ini terinspirasi oleh
pendapat Fitzgerald tentang tujuan hukum, yaitu untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan pembatasan
terhadap berbagai kepentingan tersebut13.
Perlindungan hukum terbagi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu perkara, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, sedangkan pelindungan hukum represif yaitu upaya perlindungan hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara14.
Perlindungan hukum sendiri merupakan suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan
12
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 53-54.
13
Ibid, hlm. 69.
14
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 2.
22 maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum adalah sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Upaya perlindungan hukum secara preventif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu perkara, pada umumnya terjadi pada kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dan anak. Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam perlindungan hukum tersebut
menurut Harkristuti Harkriswono, adalah dengan cara15:
a) Pengaturan kembali mengenai tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam ketentuan perundang-undangan, sehingga dapat mencakup banyak perilaku yang sampai kini belum dicakup dalam peraturan perundang-undangan.
b) Diberlakukannya ketentuan hukum yang memberikan
perlindungan khusus terhadap perempuan yang menjadi korban
tindak kekerasan, yang minimal bermuatan16:
1) Hak Perempuan untuk mendapatkan perlindungan dari
aparat yang berwenang, atas perilaku yang mungkin akan dilakukan sipelaku yang dilaporkan korban;
15
Anggun Lestari Suryamizon, Perlindungan Hukum Preventif Terhadap Kekerasan Perempuan dan Anak Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia, Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, Vol. 16, No. 1, 2016, hlm. 120.
16
23
2) Hak perempuan untuk mendapatkan bantuan medis,
Psikologis, hukum, Sosial terutama untuk mengembalikan kepercayaan diri baginya;
3) Hak korban untuk mendapatkan ganti kerugian yang
dideritanya, baik dari pemerintah sebagai organisasi yang berkewajiban memberikan perlindungan kepada durinya.
4) Hak korban untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus dan putusan hakim;
5) Dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk
menampung kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan.
6) Mengadakan pelatihan para petugas penegak hukum
mengnai tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk melatih mereka untuk lebih peka terhadap masalah ini.
7) Adanya pendidikan publik untuk membuat masyarakat
menyadari akan hak-hak nya dan kedudukan perempuan dalam masyarakat, dan secara khusus menjelaskan tentang hak-hak khusus perempuan yang mengalami tindak kekerasan
Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan merupakan bagian dari bentuk perlindungan kepada masyarakat, yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi
24
dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum17. Ganti rugi
merupakan sesuatu yang diberikan kepada pihak yang mengalami kerugian dengan harga yang sesuai dengan memperhitungkan kerugian
yang dialami oleh korban18. Perbedaan antara kompensasi dan restitusi
adalah kompensasi mucul atas permintaan dari korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat
atau negara (The responsible of the society)19.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK), yang dimaksud dengan kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya. Sedangkan yang dimaksud dengan restitusi berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UUPSK adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau
Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga20.
2. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Indonesia telah meratifikasi “Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women” (CEDAW) ke dalam
17
Dikdik dan M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kelahatan Antara Norma dan
Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 31.
18
Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan Prinsip-Prinsip Legislasi: Hukum Perdata dan
Hukum Pidana, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006, hlm. 316.
19
Iin Ratna Sumirat, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kerjahatan
Perdagangan Manusia, Jurnal Studi Gender dan Anak, Vol. 3, No. 1, 2016, hlm. 24.
20
25 Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang dimana terdapat tujuan dari konvensi ini terdapat dalam Pasal 1, yang menyatakan:
“For the purposes of the present Convention, the term "discrimination against women" shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field”. (Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang memiliki efek atau tujuan merusak atau membatalkan pengakuan, kesenangan atau latihan terhadap perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan mendasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau dalam bidang lainnya).
Secara spesifik CEDAW telah memberikan kewajiban kepada Negara untuk melakukan perubahan pada Peraturan
Perundang-undangan berupa21:
1) Mencantumkan asas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam setiap konstitusi masing-masing peserta;
2) Membuat Peraturan Perundang-undangan yang tepat dan
peraturan perundang-undangan lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang diskriminasi;
21
Rini Maryam, Menerjemahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) Ke Dalam Peraturan Perundang-Undangan (Translation of Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) Into The Regulation of Legislation, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9, No. 1, 2012, hlm. 105
26
3) Menegakkan perlindungan hukum melalui pengadilan nasional
yang kompeten;
4) Menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan
lembaga-lembaga Negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban mereka;
5) Membuat Peraturan Perundang-undangan yang tepat untuk
menghapus perlakuan diskriminasi oleh setiap orang, organisasi, atau perusahaan;
6) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan
undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan
undangundang, Peraturan Perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang diskriminatif; dan
7) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif.
CEDAW melihat terjadinya suatu diskriminasi secara tidak langsung (indirect discrimination) terhadap perempuan melalui hukum dan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan program kegiatan yang disusun didasarkan pada kriteria yang sepertinya netral gender, yang pada kenyataannya juga menimbulkan
dampak yang merugikan perempuan22.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
22
27 Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menyangkut “perkosaan” Pasal 285 KUHP yang
merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang paling kejam terhadap perempuan, juga oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 khususnya didalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak-hak dari seorang perempuan yang menjadi korban. Merupakan suatu kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman yang muncul terus menerus bagi perempuan manapun di dunia dan tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu isu global. Hal ini terlihat dari ditetapkannya sejumlah instrumen-instrumen
hukum internasional sebagai berikut23:
1) Vienna Declaration and Programme of Action (1993);
2) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (1979);
3) Declaration on the Elimination of Violence against Women (1993);
4) Beijing Declaration and Platform for Action (1995).
C. Tinjauan Teoritis Tentang Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual 1. Perempuan Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) mengatakan
bahwa: “....semua orang dilahirkan bebas dan dengan martabat yang
23
Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 79
28
setara”, namun dalam kehidupan di berbagai belahan dunia ini tetap
akan dijumpai terjadinya tindakan atau perbuatan yang menunjukkan tidak adanya kesetaraan dalam harkat dan martabat antara laki-laki dan
perempuan24.
Pasal 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia juga memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa adanya diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin (Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status…). Jika dalam Pasal 2 ini ditinjau berdasarkan pengalaman kekerasan terhadap perempuan, pelanggaran hak-hak perempuan seperti tindak kekerasan perempuan dapat
diinterpretasikan sebagai tindakan yang dilarang25, sebagaimana dalam
Pasal 5 Deklarasi Hak Asasi Manusia, “no shall be subject to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”.
Perempuan di berbagai belahan dunia hingga sekarang masih mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang berpeluang untuk melakukan perbuatan tersebut seperti polisi, pejabat sipil dan militer, dari suami, paman, guru, teman kencan dan lain sebagainya. Perempuan korban kekerasan, seperti juga
24
Marcheyla Sumera, Op. Cit, hlm. 45
25
Saparinah Sadli, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 1.
29 pelaku kekerasannya, dapat berasal dari berbagai latar belakang usia,
pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama, dan suku bangsa26.
Tindakan kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman yang dialami secara terus menerus bagi perempuan manapun di dunia, walaupun telah diakui bahwa angka tindak kekerasan terhadap laki-laki lebih tinggi dibandingkan terhadap perempuan. Akan tetapi, harus diingat bahwa kedudukan perempuan di sebagian dunia tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, membuat hal ini merupakan suatu permasalahan bagi kaum perempuan. Terlebih lagi, rasa takut yang dialami oleh kaum perempuan terhadap kejahatan (fear of crime) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum laki-laki. Pernyataan ini berlaku di seluruh dunia tanpa memandang batas wilayah maupun waktu. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar korban kejahatan adalah laki-laki, tetapi dapat dipahami bahwa kerentanan kaum perempuan secara kodrati (dalam aspek jasmaniah) membuat fear of crime mereka lebih tinggi. Penderitaan yang dialami oleh perempuan baik pada saat maupun setelah terjadi kekerasan, pada kenyataannya jauh lebih traumatis dibanding dengan yang dialami laki-laki27.
Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa perempuan sering menjadi korban tindak
26
Marcheyla Sumera, Op. Cit.
27
30 kekerasan/pelecehan seksual. Ada tiga penjelasan besar mengenai
terjadinya tindakan kekerasan/pelecehan seksual tersebut yakni28:
1) Penjelasan yang mengarah ke kondisi internal, kepribadian
pelaku kekerasan/pelecehan seksual yang menyebabkan
kekerasan seksual terjadi.
2) Penjelasan yang mengarah ke alasan-alasan yang melekat pada
karakteristik pribadi korban. Disini yang dimaksud melekat pada karakteristik pribadi korban adalah kekerasan/pelecehan seksual yang dialami korban diakibatkan oleh perilaku korban sendiri yang mengundang atau bahwa korban memiliki karakteristik tertentu yang menyebabkan terjadinya kekerasan/pelecehan seksual.
3) Penjelasan feministik, dimana kekerasan/pelecehan seksual
terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan
menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki
(perempuan sebagai objek), sekaligus menganggap perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan laki-laki.
Cerita tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang terungkap bahwa viktimisasi terhadap
28
31 perempuan melalui tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana. Permasalahan tersebut terjadi karena persepsi dalam masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya lebih baik untuk disembunyikan saja (kekerasan tersebut merupakan suatu aib yang harus disembunyikan). Hal itu berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat. Kalangan perempuan terkadang memilih untuk menyembunyikan viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun yang sering ditemukan adalah karena mereka yang merupakan korban kekerasan tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau mungkin nantinya akan mencoreng harga diri, terlepas dari ada tidaknya konstribusi perempuan lainnya
terhadap tindak kekerasan yang dialami korban29.
29
John Dirk Pasalbessy, Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Serta