BAB 14
PEMBANGUNAN BERDIMENSI KEWILAYAHAN
14.1. PEMBANGUNAN WILAYAH NASIONAL
Pembangunan wilayah nasional diarahkan pada pemerataan pembangunan di seluruh wilayah dengan mengoptimalkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah serta memperhatikan daya dukung lingkungan. Di samping itu pembangunan wilayah juga diarahkan untuk meningkatkan keterkaitan antar daerah disertai dengan perbaikan distribusi manfaat pertumbuhan yang adil dan proporsional.
14.1.1. Permasalahan yang Dihadapi
Hingga saat ini salah satu permasalahan struktural ekonomi yang masih dirasakan adalah besarnya kesenjangan pembangunan antarwilayah. Kesenjangan pembangunan antarwilayah terlihat dalam beberapa dimensi. Pertama, pemusatan kegiatan ekonomi di wialyah Jawa-Bali dan Sumatera. Pada tahun 2010, kedua wilayah tersebut menyumbang lebih dari 82 persen dalam perekonomian nasional. Demikian juga halnya dengan distribusi investasi, di mana 84 persen PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 88 persen PMA (Penanaman Modal Asing) berlokasi di wilayah Jawa-Bali. Kondisi ini erat kaitannya dengan tiga hal. Wilayah Jawa-Bali didukung ketersediaan infrastruktur, akses ke pasar global, dan kelembagaan investasi yang lebih baik. Sebagian besar
14 - 2
kabupaten/kota di Jawa dan Bali telah menerapkan unit pelayanan satu atap. Sejalan dengan kondisi tersebut, pola persebaran penduduk juga menunjukkan ketidakseimbangan secara spasial, di mana Pulau Jawa dengan luas hanya 6,7 persen menampung 58 persen populasi nasional.
Kedua, kesenjangan antarwilayah juga nampak pada dimensi kemiskinan dan kualitas sumber daya manusia. Tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin terhadap total populasi) di luar Jawa umumnya lebih tinggi. Hingga tahun 2010, persentase penduduk miskin di wilayah-wilayah Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku masih di atas 20 persen. Tingginya tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah tersebut juga diiringi dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia, yang ditunjukkan oleh nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang semuanya di bawah rata-rata nasional.
Permasalahan lain yang juga penting bagi pembangunan wilayah adalah inflasi dan dukungan perbankan. Laju inflasi di beberapa kota di wilayah Papua, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Kalimantan relatif tinggi. Laju inflasi yang tinggi ini dapat mengurangi daya beli masyarakat. Sementara itu data Bank Indonesia tahun 2010 menunjukkan ketidakseimbangan distribusi penyaluran kredit, di mana Jawa-Bali dan Sumatera berturut-turut mendapatkan 72 persen dan 15 persen. Artinya hanya sekitar 13 persen kredit perbankan yang disalurkan ke wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Perbankan lebih banyak menghimpun dana dibandingkan menyalurkan kredit di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
14.1.2. Langkah-Langkah yang Dilakukan Dan Hasil-Hasil Yang Dicapai
langkah yang diambil untuk mengatasi permasalahan di atas meliputi beberapa kebijakan berikut. Pertama, mendorong pembangunan kawasan strategis dan daerah-daerah yang berpotensi cepat tumbuh di luar Jawa. Kedua, meningkatkan pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan (yang sebagian besar berada di luar
14 - 3 Jawa) dan memperkuat konektivitasnya dengan pusat-pusat pertumbuhan. Ketiga, pengarus-utamaan penanggulangan kemiskinan. Keempat, meningkatkan pembangunan perdesaan khususnya dalam pengembangan kegiatan non-pertanian. Kelima, memperbaiki kebijakan belanja transfer ke daerah untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah. Keenam, memperbaiki pola belanja pemerintah (kementerian/lembaga) untuk mendukung pembangunan di luar Jawa.
Pembangunan kawasan strategis dan cepat tumbuh dioperasionalisasikan dalam kebijakan pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Hasil-hasil yang telah dicapai di antaranya adalah: (i) tersusunnya Rancangan Perpres tentang KAPET yang bertujuan merevitalisasi 13 KAPET yang tersebar di Sumatera (Aceh), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua; (ii) telah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 83/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang terkait dengan Perijinan dan Investasi KPBPB Sabang; (iii) telah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 5/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2011 tentang Pengelolaan Keuangan pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang merujuk kepada upaya transformasi Badan Pengusahaan KPBPB Batam menuju format Badan Layanan Umum (BLU-like); (iv) telah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan KEK; serta (v) dimulainya proses inisiasi dan penyusunan berbagai peraturan pendukung diantaranya RPP tentang Fasilitas Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai di KEK, RPP tentang Pembiayaan KEK, Rapermen Pedagangan tentang pendelegasian wewenang penerbitan perizinan di bidang perdagangan di KEK, serta Rapermen Ketenagakerjaan tentang Forum Serikat Pekerja/Buruh di KEK .
14 - 4
Untuk pembangunan daerah tertinggal dan perbatasan, hasil-hasil yang telah dicapai adalah: (i) terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan melalui Perpres No. 12/2010 tentang BNPP, yang operasionalnya diatur dalam Permendagri No. 31/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Tetap BNPP; (ii) tersusunnya Grand Design dan Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan 2011-2025, yang disahkan dengan Peraturan Kepala BNPP No. 1/2011 dan No. 2/2011, serta Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan Tahun 2011 yang disahkan dengan peraturan Kepala BNPP No. 3/2011, (iii) telah dibahasnya enam working paper kerjasama Indonesia dan Malaysia di bidang sosial ekonomi di kawasan perbatasan; dan (iv) berkurangnya jumlah daerah tertinggal sebanyak 50 kabupaten dari 199 kabupaten menjadi 149 kabupaten pada periode 2007-2009. Namun demikian karena adanya pembentukan 34 kabupaten baru (pemekaran), maka jumlah kabupaten tertinggal pada saat ini mencapai 183 kabupaten.
Di samping itu, upaya pengurangan kesenjangan juga dilakukan melalui perbaikan kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini belanja transfer ke daerah diarahkan untuk semakin mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Perbaikan yang telah dilakukan adalah: (i) menambahkan kriteria wilayah kepulauan, perbatasan, dan kemiskinan dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU); (ii) memasukkan kriteria daerah tertinggal dan perbatasan dalam kebijakan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK); serta (iii) melanjutkan dan memperkuat alokasi dana Otonomi Khusus untuk menunjang percepatan pembangunan di wilayah Aceh dan Papua.
Secara khusus pemerintah telah menetapkan percepatan pembangunan Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi prioritas pembangunan wilayah dalam RKP 2012. Dalam hal ini telah diselesaikan dokumen Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Sementara itu penyusunan dokumen serupa untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang dalam penyusunan. Dokumen-dokumen tersebut selanjutnya menjadi acuan Kementerian/Lembaga dalam menyusun rencana
14 - 5 program dan kegiatannya, khususnya Kementerian/Lembaga yang terkait langsung dengan pengembangan ekonomi di ketiga provinsi tersebut.
Dalam hal perbaikan pola belanja pemerintah, sejak tahun 2010 diperkenalkan Dimensi Pembangunan Kewilayahan dalam dokumen perencanaan nasional. Dalam hal ini, rencana pembangunan selain dijabarkan dalam bidang-bidang (pendekatan sektoral) juga diuraikan menurut wilayah dengan basis pulau-pulau besar atau kepulauan. Maka sejak tahun ini dokumen perencanaan pemerintah akan memuat penjabaran rencana pembangunan menurut wilayah Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dengan pendekatan ini akan diperoleh gambaran yang lebih baik tentang distribusi spasial belanja pemerintah.
TABEL 14.1
DISTRIBUSI PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO MENURUT WILAYAH TERHADAP NASIONAL
ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2005-2010
(DALAM PERSEN)
Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) Sumatera 22,12 22,27 22,86 22,88 22,65 23,03 Jawa & Bali 60,11 60,68 60,04 59,15 59,87 59,39 Kalimantan 10,00 9,51 9,40 10,35 9,19 9,13 Sulawesi 4,07 4,04 4,10 4,28 4,56 4,61 Nusa Tenggara 1,51 1,46 1,49 1,33 1,43 1,43 Maluku 0,27 0,25 0,25 0,24 0,25 0,25 Papua 1,93 1,79 1,86 1,77 2,04 2,12 Kawasan Barat 82,23 82,95 82,90 82,03 82,52 82,42 Kawasan Timur 17,78 17,05 17,10 17,96 17,47 17,57 Sumber : Badan Pusat Statistik 2010
Keterangan : * ) angka sementara **) angka sangat sementara
14 - 6
Secara umum pengurangan kesenjangan antarwilayah menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih seimbang meskipun kecepatannya masih lambat. Hal ini bisa dilihat dari distribusi persentase PDRB menurut wilayah dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Wilayah-wilayah yang perannya cenderung meningkat hingga tahun 2008 adalah Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Secara agregat, peran Kawasan Timur Indonesia (KTI) meningkat dari 17,47 persen pada tahun 2009 menjadi 17,57 persen pada tahun 2010.
14.1.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Upaya pengurangan kesenjangan antarwilayah akan dilanjutkan secara konsisten dengan berpegang pada 5 (lima) strategi RPJMN 2010-2014, yakni:
1. Mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di Kawasan Timur Indonesia dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di Jawa-Bali dan Sumatera.
2. Meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui aktivitas perdagangan antarpulau untuk memperkuat perekonomian domestik.
3. Meningkatkan daya saing sektor-sektor unggulan daerah. 4. Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal,
kawasan strategis dan cepat tumbuh, perbatasan, terdepan, terluar, dan daerah rawan bencana.
5. Mendorong pengembangan wilayah laut dan sektor-sektor kelautan.
Di samping itu percepatan pemerataan pembangunan dilakukan dengan mengintegrasikan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tahun 2012 hingga tahun 2014. Langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan adalah: 1. Melakukan identifikasi hambatan-hambatan paling kritis
14 - 7 2. Melakukan delineasi peran pemerintah dalam penyiapan dan pelaksanaan program-program strategis MP3EI, diikuti dengan pembagian peran antara pemerintah pusat dan daerah;
3. Mempercepat penyelesaian kerangka regulasi untuk mendukung investasi di 6 (enam) koridor ekonomi;
4. Mempercepat penyelesaian dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah baik untuk tingkat pulau, provinsi, maupun kabupaten/kota, khususnya yang berada pada koridor ekonomi;
5. Memperbaiki alokasi belanja pemerintah untuk mempertajam prioritas sektoral dan mendukung pelaksanaan pendekatan kewilayahan;
6. Memperbaiki pola penyerapan anggaran dan implementasi program dan kegiatan khususnya menyangkut prioritas nasional di koridor-koridor ekonomi;
7. Meningkatkan koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah.
Khusus terkait dengan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, langkah-langkah yang terus dan akan dilakukan adalah: (i) meningkatkan efektivitas musyawarah perencanaan pembangunan dan forum-forum konsultasi pusat-daerah; (ii) meningkatkan peran pemerintah provinsi (gubernur) sebagai wakil pemerintah dalam mengkoordinasikan pembangunan dan penganggaran di wilayah provinsi; (iii) meningkatkan konsistensi dan sinergi antara perencanaan nasional dan daerah; (iv) melanjutkan dan memperkuat desentralisasi fiskal untuk meningkatkan keserasian antara pelimpahan urusan/kewenangan dan dukungan pendanaan (money follow function); (vi) meningkatkan harmonisasi peraturan dan perundang-undangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dan sektoral.
14 - 8
14.2. PEMBANGUNAN WILAYAH SUMATERA 14.2.1. Permasalahan yang Dihadapi
Potensi Wilayah Sumatera cukup beragam dan didukung oleh letak geografisnya yang berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan ASEAN. Namun demikian hingga kini masih ditemukan beberapa permasalahan, diantaranya:
1. Relatif kecilnya nilai tambah komoditas kelapa sawit, karet, dan pulp, sebagai komoditas unggulan Wilayah Sumatera. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan belum berkembangnya mata rantai industri pengolahan, padahal apabila dilihat dari sisi keunggulan lokasi geografisnya, pengembangan sektor dan komoditas tersebut dapat berpotensi menjadi penggerak utama pertumbuhan Wilayah Sumatera.
2. Keterbatasan sumber daya energi listrik untuk memenuhi kebutuhan Wilayah Sumatera. Kapasitas jaringan pembangkit listrik di wilayah Sumatera sudah sangat mendesak untuk ditingkatkan. Untuk memenuhi kebutuhan saat ini saja, seringkali terjadi pemadaman bergilir pada saat beban puncak. 3. Belum terintegrasinya jaringan transportasi jalan, kereta api, angkutan sungai, laut, dan udara di Wilayah Sumatera. Kebutuhan akan dukungan jaringan transportasi wilayah menjadi sangat penting untuk meningkatkan perdagangan domestik Wilayah Sumatera.
4. Relatif masih tingginya tingkat kemiskinan di Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Tingginya tingkat kemiskinan di beberapa provinsi tersebut sangat erat kaitannya dengan rendahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan (kecuali Aceh dan Bengkulu), sehingga peningkatan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi rumah tangga miskin perlu ditingkatkan di tahun-tahun mendatang.
5. Rawannya Wilayah Sumatera terkait kegiatan ilegal lintas negara serta belum tuntasnya perjanjian perbatasan antar negara. Letak geografis wilayah Sumatera yang berada di jalur
14 - 9 pelayaran internasional sangat berpotensi menjadi lokasi kegiatan-kegiatan perompakan, penyelundupan barang dan manusia, pencurian ikan dan gangguan keamanan lain. Selain itu, dengan belum tuntasnya penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) berpotensi menimbulkan konflik dalam pengelolaan potensi sumber daya kelautan dan perikanan dengan negara-negara tetangga.
6. Tingginya kerawanan bencana di Wilayah Sumatera. Secara geologis, wilayah Sumatera berada pada pertemuan lempeng bumi dan lintasan gunung api aktif (ring of fire). Dinamika lempeng bumi dalam mencari keseimbangan berakibat pada tingginya frekuensi gempa bumi khususnya di sepanjang pesisir barat wilayah Sumatera. Potensi gempa bumi juga diikuti potensi terjadinya bencana tsunami.
14.2.2. Hasil yang Telah Dicapai
Dalam perkembangan pembangunan Wilayah Sumatera, terdapat beberapa capaian pembangungan yang dihasilkan, diantaranya:
1. Kinerja perekonomian Wilayah Sumatera mengalami perbaikan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2009. Secara umum laju pertumbuhan ekonomi wilayah meningkat pada tahun 2010. Hampir semua provinsi, kecuali Bengkulu, mencatat peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dibandingkan tahun 2009. Pertumbuhan tertinggi terjadi di Provinsi Kepulauan Riau 7,21 persen, sementara pertumbuhan terendah di Provinsi Aceh 2,64 persen.
2.
Kontribusi perekonomian wilayah Sumatera terhadap perekonomian nasional pada tahun 2010 meningkat dibandingkan tahun 2009. Secara umum peran wilayah Sumatera meningkat yang didorong oleh peningkatan kinerja Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung.14 - 10
TABEL 14.2
PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI WILAYAH SUMATERA
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2000 TAHUN 2006-2010
(DALAM PERSEN)
Provinsi Tahun Rata-Rata
2006 2007 2008 2009*) 2010**) 1. Aceh 1,56 (2,36) (5,24) (5,51) 2,64 (1,78) 2. Sumatera Utara 6,20 6,90 6,39 5,07 6,35 6,18 3. Sumatera Barat 6,14 6,34 6,88 4,28 5,93 5,92 4. Riau 5,15 3,41 5,65 2,97 4,17 4,27 5. Jambi 5,89 6,82 7,16 6,37 7,33 6,72 6. Sumatera Selatan 5,20 5,84 5,07 4,11 5,43 5,13 7. Bengkulu 5,95 6,46 5,78 6,43 5,14 5,95 8. Lampung 4,98 5,94 5,35 5,16 5,75 5,44 9. Bangka Belitung 3,98 4,54 4,60 3,70 5,85 4,53 10. Kepulauan Riau 6,78 7,01 6,63 3,52 7,21 6,23 Sumatera 5,26 4,96 4,98 3,50 5,49 4,84 Jumlah 33 Provinsi 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 5,62 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) angka sementara **) angka sangat sementara
TABEL 14.3
KONTRIBUSI EKONOMI PROVINSI TERHADAP NASIONAL WILAYAH SUMATERA
ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2005-2010 (DALAM PERSEN) Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) 1. Aceh 2,13 2,22 2,01 1,72 1,54 1,47 2. Sumatera Utara 5,23 5,14 5,14 5,00 5,08 5,22 3. Sumatera Barat 1,67 1,70 1,69 1,66 1,65 1,65 4. Riau 5,21 5,36 5,94 6,47 6,39 6,48 5. Jambi 0,84 0,84 0,91 0,96 0,95 1,02 6. Sumatera Selatan 3,05 3,08 3,11 3,13 2,95 2,99 7. Bengkulu 0,38 0,37 0,36 0,35 0,34 0,34 8. Lampung 1,53 1,58 1,72 1,72 1,89 2,03 9. Bangka Belitung 0,53 0,51 0,51 0,50 0,49 0,49 10. Kepulauan Riau 1,54 1,48 1,47 1,37 1,37 1,36 Sumatera 22,12 22,27 22,86 22,88 22,65 23,03 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
14 - 11 Sektor unggulan wilayah Sumatera, antara lain adalah: industri kelapa sawit, industri karet dan barang dari karet di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Bengkulu; industri pulp dan kertas di Provinsi Riau; industri dasar besi dan baja dan industri logam dasar bukan besi di Provinsi Sumatera Utara dan Kepulauan Bangka Belitung. Komoditas kelapa sawit dan karet dari wilayah ini berperan strategis bagi perekonomian nasional sebagai salah satu komoditas ekspor andalan di pasar global. Secara keseluruhan, pada tahun 2010 investasi PMDN di wilayah Sumatera hanya sekitar 6,97 persen dari total PMDN secara nasional dan PMA sekitar 12,64 persen dari total PMA secara nasional. Zona tengah dan utara wilayah Sumatera masih menjadi motor penggerak utama dalam menarik investasi. Provinsi Riau dan Kepulauan Riau merupakan daerah yang paling banyak menarik investasi, baik PMA maupun PMDN.
TABEL 14.4
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA PROVINSI WILAYAH SUMATERA
TAHUN 2007-2010 (DALAM JUTA US$)
Provinsi Nilai Investasi Jumlah Proyek
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 NAD 17,4 0,4 4,6 2 2 14 Sumatera Utara 189,7 127,3 139,7 181,1 17 18 13 79 Sumatera Barat 58,7 28,1 0,2 7,9 5 4 1 10 Riau 724,0 460,9 251,6 86,6 10 8 8 45 Jambi 17,6 36,1 40,5 37,2 1 1 2 12 Sumatera Selatan 213,8 114,6 56,8 186,3 5 7 4 51 Bengkulu - 13,0 1,1 25,1 - 2 1 11 Lampung 124,5 67,0 32,7 30,7 4 2 3 31 Bangka Belitung - 1,7 22,4 22 - 2 2 22 Kepulauan Riau 52,8 161,2 230,7 1657 28 51 87 87 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
14 - 12
TABEL 14.5
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMDN PROVINSI WILAYAH SUMATERA
TAHUN 2007-2010 (DALAM MILIAR RUPIAH)
LOKASI Jumlah Proyek Nilai Investasi
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 NAD - - 1 5 - - 79,7 40,9 Sumatera Utara 6 12 11 41 1.521,30 382,7 2.060,8 662,7 Sumatera Barat - - 2 11 - - 459 73,8 R I A U 11 8 4 52 3.095,30 1.966,8 3.386,6 1.037,1 Jambi 3 3 3 17 4.751,80 1.300,6 2138 223,3 Sumatera Selatan 5 5 4 29 811,5 378,5 580,3 1.738,4 Bengkulu - - - 2 - - - 8,5 Lampung 2 3 5 32 163,8 735,2 5.499 272,3 Bangka Belitung 1 1 3 5 313,7 2 249,3 0,4 Kepulauan Riau 2 2 6 28 97,1 74,4 240 166,9 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
Keterangan : I = nilai investasi P = jumlah proyek
Dalam kurun 2006-2009, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita wilayah Sumatera terus meningkat. Namun, jika dibandingkan dengan antarprovinsi, terlihat adanya ketimpangan yang cukup tinggi. Ketimpangan yang cukup tinggi adalah antara pendapatan per kapita Provinsi Riau dan Kepulauan Riau dengan daerah-daerah lainnya di wilayah Sumatera. Sebagai gambaran, besar PDRB per kapita Provinsi Kepulauan Riau adalah sekitar enam kali PDRB per kapita Provinsi Bengkulu (Tabel 14.6).
14 - 13 TABEL 14.6
PDRB PER KAPITA DENGAN MIGAS PROVINSI WILAYAH SUMATERA
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2000 TAHUN 2006-2009
(DALAM RIBU RUPIAH)
Sumber : Badan Pusat Statistik Keterangan : * ) Angka Sementara
**) Angka Sangat Sementara
3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah Sumatera menunjukkan tren menurun, dengan perkembangan terakhir (Februari 2011) sebesar 6,35 persen, lebih rendah dibanding TPT nasional (6,80 persen). Dalam kurun waktu 2007-2011, jumlah pengangguran terbuka di wilayah Sumatera menurun dengan rata-rata laju penurunan 6,54 persen. Jumlah penganggur tertinggi tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara, yaitu sebanyak 460.616 jiwa (7,18 persen dari angkatan kerja), atau 29,2 persen dari total penganggur di wilayah Sumatera. Terendah di Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 19.716 jiwa (3,25 persen dari angkatan kerja) atau sebesar 1,25 persen dari total penganggur wilayah Sumatera (Tabel 14.7). Walaupun PDRB per kapita daerah di zona utara dan tengah lebih tinggi dibandingkan dengan zona selatan, namun tingkat pengangguran
Provinsi 2006 2007 2008* 2009** Aceh 13.947 16.697 16.832 17.124 Sumatera Utara 11.243 12.701 14.167 16.403 Sumatera Barat 9.782 11.447 12.729 14.825 Riau 28.747 33.731 41.412 53.264 Jambi 8.484 9.666 11.697 14.725 Sumatera Selatan 11.962 13.867 15.655 18.721 Bengkulu 6.471 7.162 7.963 8.833 Lampung 5.772 6.833 8.357 10.078 Kep. Bangka Belitung 13.185 14.595 16.170 19.175 Kepulauan Riau 32.047 34.624 37.207 40.746
14 - 14
zona utara dan tengah lebih tinggi dibandingkan dengan daerah zona selatan. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius karena daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi justru memperlihatkan tingkat pengangguran yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan daerah yang bukan pusat pertumbuhan ekonomi.
TABEL 14.7
PENGANGGURAN TERBUKA PROVINSI WILAYAH SUMATERA TAHUN 2007-2011 Provinsi 2007 2008 TAHUN 2009 2010 2011 Aceh 183.822 163.868 173.624 166.275 171.050 Sumatera Utara 600.095 566.478 521.643 512.825 460.616 Sumatera Barat 220.377 206.740 172.253 172.084 162.490 Riau 196.308 208.931 206.471 169.164 185.909 Jambi 84.744 74.222 69.857 60.055 58.797 Sumatera Selatan 352.760 292.054 292.234 237.118 228.084 Bengkulu 44.467 33.285 46.054 35.677 30.453 Lampung 285.929 230.388 230.942 223.486 201.483 Bangka Belitung 37.669 29.017 26.817 23.324 19.716 Kepulauan Riau * 56.708 55.378 52.237 50.729 58.883 SUMATERA 2.062.879 1.860.361 1.792.132 1.650.737 1.577.481 • Perubahan (Jiwa) -202.518 -68.229 -141.395 -73.256 • Perubahan (%) -9,82 -3,67 -7,89 - 4,44 • TPT 9,62 9,10 7,68 6,93 6,35 NASIONAL (TPT) 9,75 8,61 8,14 7,41 6,80
Sumber: Badan Pusat Statistik (Sakernas, Februari 2011, diolah)
4. Perkembangan kemiskinan di wilayah Sumatera dalam kurun waktu 2007-2011 cenderung menurun, namun hingga tahun 2011 masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Provinsi-provinsi tersebut adalah Provinsi Aceh sebesar 19,57 persen, Bengkulu sebesar 17,50 persen, Lampung sebesar 16,93 persen, dan Sumatera Selatan sebesar 14,24 persen (Tabel 14.8).
14 - 15 TABEL 14.8
PERSENTASE PENDUDUK MISKIN PROVINSI WILAYAH SUMATERA TAHUN 2007-2011 PROVINSI TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 Aceh 26,65 23,53 21,80 20,98 19,57 Sumatra Utara 13,90 12,55 11,51 11,31 11,33 Sumatra Barat 11,90 10,67 9,54 9,50 9,04 Riau 11,20 10,63 9,48 8,65 8,47 Jambi 10,27 9,32 8,77 8,34 8,65 Sumatra Selatan 19,15 17,73 16,28 15,47 14,24 Bengkulu 22,13 20,64 18,59 18,30 17,50 Lampung 22,19 20,98 20,22 18,94 16,93 Bangka Belitung 9,54 8,58 7,46 6,51 5,75 Kepulauan Riau 10,30 9,18 8,27 8,05 7,40 INDONESIA 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49
Sumber: Badan Pusat Statistik
5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Wilayah Sumatera dalam kurun waktu 2006-2009 secara garis besar menunjukkan peningkatan. Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI), sebagai ukuran kualitas hidup
manusia wilayah Sumatera memperlihatkan adanya peningkatan di beberapa provinsi dalam kurun waktu 2006—2009. IPM tahun 2009 di wilayah Sumatera berkisar antara 70,93 (terendah) di Provinsi Lampung dan 75,60 (tertinggi) di Provinsi Riau. Provinsi yang berada dibawah IPM nasional adalah provinsi Aceh dan Lampung. (Tabel 14.9).
14 - 16
TABEL 14.9
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI WILAYAH SUMATERA
TAHUN 2006-2009
PROVINSI IPM Peringkat
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009 Aceh 69,41 70,35 70,76 71,31 18 17 17 17 Sumatera Utara 72,46 72,78 73,29 73,80 8 8 8 8 Sumatera Barat 71,65 72,23 72,96 73,44 9 9 9 9 Riau 73,81 74,63 75,09 75,60 3 3 3 3 Jambi 71,29 71,46 71,99 72,45 10 12 13 13 Sumatera Selatan 71,09 71,40 72,05 72,61 13 13 12 10 Bengkulu 71,28 71,57 72,14 72,55 11 11 11 12 Lampung 69,38 69,78 70,30 70,93 19 20 20 21 Bangka Belitung 71,18 71,62 72,19 72,55 12 10 10 11 Kepulauan Riau 72,79 73,68 74,18 74,54 7 6 6 6 NASIONAL 70,10 70,59 71,17 71,76
Sumber: Badan Pusat Statistik 2009
6. Dalam bidang infrastruktur, secara rata-rata, hampir 90 persen desa-desa di wilayah Sumatera dapat diakses melalui jalan darat, 2,3 persen bisa diakses melalui transportasi air, dan 8,3 persen lainnya bisa dilalui melalui transportasi air dan darat. Keberhasilan dalam penanganan kinerja ekonomi, sumber daya manusia, dan kemiskinan tidak terlepas dari fasilitas pelayanan publik dan infrastrukur, seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan laut, dan udara, sarana komunikasi, dan sumber energi atau penerangan. Aksesibilitas antardaerah di wilayah Sumatera dapat dilalui melalui jalan darat yang terdiri dari jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota dengan kondisi sudah beraspal dan sebagian belum beraspal. Secara rata-rata, hampir 90 persen desa-desa di wilayah Sumatera dapat diakses melalui jalan darat, 2,3 persen bisa diakses melalui transportasi air, dan 8,3 persen lainnya bisa dilalui melalui transportasi air dan darat. Kinerja pelayanan infrastruktur untuk sektor energi dapat diidentifikasi melalui ketersediaan dan produksi bahan bakar minyak (BBM). Wilayah Sumatera memiliki empat buah kilang minyak dengan
14 - 17 kapasitas produksi 301 MBSD. Berdasarkan data yang ada, sarana penerangan (aliran listrik) belum menjangkau seluruh permukiman di wilayah Sumatera. Dari seluruh penerangan yang ada, PLN tetap menjadi penyedia utama energi listrik yang mampu melayani lebih dari 60 persen wilayah Sumatera. Pada tahun 2004-2006, setiap provinsi masih memiliki kisaran 10-20 persen penerangan memakai sumber nonlistrik. Untuk mencukupi kebutuhan penerangan listrik, perlu dilakukan pengembangan teknologi sumber energi karena setiap provinsi di wilayah Sumatera, memiliki potensi kekayaan sumber daya alam energi.
7. Produksi padi di wilayah Sumatera selama periode 2009 – 2011 rata-rata mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,99 persen. Peningkatan produksi padi di wilayah Sumatera pada tahun 2009 yaitu sebesar 8,08 persen, sedangkan pada tahun 2010 lebih rendah, yaitu meningkat sebesar 3,43 persen. Pelambatan laju peningkatan produksi padi di wilayah Sumatera tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi, kecuali di Riau dan Kepulauan Riau. Bahkan di Jambi terjadi penurunan produksi. Berdasar Angka Ramalan II BPS, peningkatan produksi padi di wilayah Sumatera pada tahun 2011 diperkirakan akan mencapai 3,47 persen, atau relatif tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Perkembangan produksi padi di wilayah Sumatera 2009 – 2011 (Tabel 14.10).
14 - 18
TABEL 14.10
PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI PROVINSI WILAYAH SUMATERA
TAHUN 2009 – 2011 (DALAM TON)
Wilayah 2009 2010 2011*)
Sumatera 14.696.457 15.200.136 15.728.180
Nanggroe Aceh Darussalam 1.556.858 1.582.393 1.727.779 Sumatera Utara 3.527.899 3.582.302 3.600.230 Sumatera Barat 2.105.790 2.211.248 2.252.934 Riau 531.429 574.864 552.761 Kepulauan Riau 430 1.246 1.260 Jambi 644.947 628.828 676.598 Sumatera Selatan 3.125.236 3.272.451 3.363.384 Kepulauan Bangka Belitung 19.864 22.259 26.219
Bengkulu 510.160 516.869 521.378
Lampung 2.673.844 2.807.676 3.005.637
Sumber : Badan Pusat Statistik Keterangan : *) Angka Ramalan II 14.2.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dengan memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi serta capaian pembangunan seperti telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, maka tindak lanjut pembangunan Wilayah Sumatera ke depan akan menitikberatkan pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam upaya mendukung pengembangan industri unggulan di
Wilayah Sumatera, beberapa strategi yang perlu dilakukan ialah: (a) mengintegrasikan MP3EI ke dalam rencana kerja pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan koridor ekonomi Sumatera, khususnya terkait tugas dan peran pemerintah; (b) memantapkan koordinasi antara pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia usaha dalam penanganan hambatan investasi di daerah; (c) mempercepat penyelesaian Rencana Tata Ruang Wialyah Kabupaten/Kota di sepanjang koridor ekonomi Sumatera; (d) memantapkan pengendalian
14 - 19 dan pemantauan pelaksanaan program dan kegiatan prioritas di koridor ekonomi Sumatera.
2. Dalam upaya mendorong terbukanya peluang ekspor dan perdagangan internasional, diperlukan berbagai upaya untuk optimalisasi peran KPBPB Sabang dan KPBPB Batam-Bintan-Karimun, terutama terkait dengan upaya penyediaan fasilitas kepelabuhan yang bertaraf internasional dan didukung dengan percepatan peraturan operasional pengalihan kewenangan dan kelembagaan pengusahaan (BLU).
3. Dalam upaya meningkatkan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempercepat penuntasan batas ZEE dengan India, Malaysia, dan Thailand, memperkuat pengamanan perairan perbatasan termasuk pulau-pulau kecil terluar dan kecamatan di sepanjang pesisir yang berhadapan dengan perairan perbatasan negara tetangga, serta mengoptimalkan fungsi Sabang, Dumai, Batam, dan Ranai sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan dan mendorong pengembangan potensi unggulan kawasan.
4. Melihat tingginya potensi ancaman bencana gempa bumi dan tsunami di wilayah Sumatera, pengembangan wilayah Sumatera dilakukan dengan memperhatikan aspek pengurangan risiko bencana yang difokuskan pada: a) upaya-upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam menghadapi bencana, melalui penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana, penyusunan rencana kontingensi serta pendidikan dan pelatihan masyarakat didaerah rawan bencana guna meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana; b) pengurangan faktor-faktor penyebab risiko bencana, termasuk pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana; dan c) pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) bencana dengan memperhatikan karakteristik ancaman bencana di daerah bersangkutan.
14 - 20
14.3. PEMBANGUNAN WILAYAH JAWA-BALI 14.3.1. Permasalahan yang Dihadapi
Beberapa permasalahan yang masih dihadapi wilayah Jawa-Bali diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ketimpangan kegiatan ekonomi antara bagian utara dan selatan di Jawa, dan antara bagian barat dan timur di Bali. Tingginya aktivitas ekonomi di bagian utara Jawa ini meningkatkan tekanan pada daya dukung lingkungan dan kompetisi pengguanaan lahan antara untuk permukiman, sawah, dan kawasan industri.
2. Tingginya alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Kondisi ini sebagian disebabkan oleh kecilnya skala usaha dan rata-rata luasan lahan pertanian yang diusahakan. Akibatnya usaha tani menjadi tidak efisien. Sementara itu tingginya permintaan tanah baik untuk kawasan permukiman, infrastruktur, maupun industri mengakibatkan harga tanah meningkat khususnya di pinggiran kota.
3. Kepadatan penduduk yang terkonsentrasi di wilayah metropolitan Jawa-Bali, khususnya Jabodetabek dan sekitarnya.
4. Masih tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya penyerapan trenaga kerja di pusat-pusat pertumbuhan.
5. Masih tingginya kemiskinan di perdesaan. Kondisi ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya upah riil dan rendahnya produktivitas penduduk miskin sebagai akibat dari lemahnya akses penduduk miskin terhadap pendidikan, lemahnya perlindungan terhadap buruh miskin, serta lemahnya bantuan modal untuk mendorong usaha mikro.
14 - 21 6. Menurunnya daya dukung lingkungan. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang terutama di kawasan lindung, lemahnya upaya pemeliharaan dan pemulihan untuk kawasan lindung yang mengalami kerusakan; lemahnya pengelolaan tata air; dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kapasitas lahan.
7. Tingginya tingkat kerawanan bencana alam. Sebagian besar bencana alam yang terjadi di Jawa adalah akibat aktivitas manusia seperti banjir di perkotaan dan tanah longsor di perdesaan.
14.3.2. Capaian Pembangunan Wilayah
Beberapa capaian pembangunan Wilayah Jawa-Bali diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi wilayah Jawa-Bali pada tahun 2010 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2009. Laju pertumbuhan ekonomi di semua provinsi di Jawa-Bali meningkat pada tahun 2010 dibandingkan laju tahun 2009, menunjukkan proses pemulihan ekonomi wilayah Jawa-Bali yang merupakan pusat industri nasional dan penyumbang ekspor produk manufaktur terbesar (Tabel 14.11). Hal ini ditunjukkan relatif tingginya laju pertumbuhan di provinsi-provinsi pusat industri wilayah seperti Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
14 - 22
TABEL 14.11
PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2000 TAHUN 2006 – 2010
(DALAM PERSEN)
Provinsi Tahun Rata-Rata
2006 2007 2008 2009*) 2010**) DKI Jakarta 5,95 6,44 6,23 5,02 6,51 6,03 Jawa Barat 6,02 6,48 6,21 4,19 6,09 5,80 Jawa Tengah 5,33 5,59 5,61 5,14 5,84 5,50 DI. Yogyakarta 3,70 4,31 5,03 4,43 4,87 4,47 Jawa Timur 5,80 6,11 6,16 5,01 6,68 5,95 Banten 5,57 6,04 22,53 4,69 5,94 8,95 Bali 5,28 5,92 10,27 5,33 5,83 6,52
Jawa & Bali 5,77 6,18 7,10 4,82 6,29 6,03 Jumlah 33 Provinsi 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 5,62 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka sementara **) Angka sangat sementara
2. Kontribusi ekonomi wilayah Jawa-Bali dalam perekonomian nasional pada tahun 2010 sebesar 59,39 persen, sedikit menurun dibandingkan kontribusi pada tahun 2009. Penurunan peran dialami semua provinsi kecuali DKI Jakarta yang justru meingkat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kesenjangan internal wilayah antara DKI Jakarta dan provinsi-provinsi lainnya. Mengingat laju pertumbuhan wilayah Jawa-Bali yang lebih tinggi dari rata-rata nasional, hal ini menandakan ada wilayah lain yang bertumbuh lebih pesat dari wilayah Jawa-Bali. Meskipun berkurang, peran wilayah Jawa-Bali dalam perekonomian nasional masih tetap besar.
14 - 23
TABEL 14.12
KONTRIBUSI EKONOMI PROVINSI TERHADAP NASIONAL WILAYAH JAWA-BALI
ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2005-2010 Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) DKI Jakarta 16,25 16,09 16,02 15,84 16,28 16,31 Jawa Barat 14,58 15,17 14,88 14,81 14,83 14,58 Jawa Tengah 8,78 9,04 8,84 8,59 8,55 8,41 DI. Yogyakarta 0,95 0,94 0,93 0,89 0,89 0,86 Jawa Timur 15,11 15,09 15,13 14,54 14,76 14,73 Banten 3,17 3,14 3,04 3,27 3,27 3,23 Bali 1,27 1,20 1,20 1,21 1,30 1,26 Jawa & Bali 60,11 60,68 60,04 59,15 59,87 59,39 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka Sementara; ** ) Angka Sangat Sementara
Dalam kurun 2005-2009, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita wilayah Jawa-Bali terus meningkat (atas dasar harga konstan tahun 2000). Namun demikian terdapat ketimpangan yang tinggi antara provinsi DKI dan provinsi-provinsi lainnya, dengan kecenderungan yang meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya rasio PDRB per kapita antara DKI Jakarta (tertinggi) dan Jawa tengah (terendah) dari 7,4 pada tahun 2005 menjadi 7,53 pada tahun 2009.
14 - 24
TABEL 14.13
PDRB PER KAPITA DENGAN MIGAS PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2000 TAHUN 2005-2009
(DALAM RIBU RUPIAH)
Provinsi 2005 2006 2007 2008* 2009** DKI Jakarta 33.205 34.837 36.733 38.671 40.269 Jawa Barat 6.204 6.480 6.799 7.092 7.292 Jawa Tengah 4.488 4.690 4.914 5.143 5.346 DI Yogyakarta 5.025 5.157 5.326 5.538 5.726 Jawa Timur 7.027 7.393 7.801 8.220 8.588 Banten 6.406 6.634 6.903 7.165 7.363 Bali 6.188 6.444 6.752 7.082 7.386 Jawa & Bali 7.817 8.182 8.599 9.016 9.355 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009
Keterangan : * ) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Selama empat tahun terakhir (2007-2010) wilayah Jawa-Bali juga masih menjadi tujuan utama investasi, yang ditunjukkan oleh meningkatnya nilai investasi dan jumlah kegiatan (proyek) PMA dan PMDN. Secara keseluruhan, pada tahun 2010 investasi PMDN di wilayah Jawa-Bali sekitar 58,48 persen dari total PMDN secara nasional, sementara untuk PMA sekitar 66,51 persen dari total PMA secara nasional. Namun demikian dari sisi nilai, distribusi investasi tidak merata antarprovinsi dan masih terkonsentrasi di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, dan jawa Timur.
14 - 25 TABEL 14.14
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI
TAHUN 2007-2010 (DALAM JUTA US$)
Provinsi Nilai Investasi Jumlah Proyek
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 DKI Jakarta 4.676,9 9.927,8 5.510,8 6.429,3 365 434 459 886 Jawa Barat 1.326,9 2.552,1 1.934,4 1.692 244 293 293 597 Jawa Tengah 1 007 135,3 83,1 59,1 40 42 30 83 DI Yogyakarta 0,8 16,6 8,1 4,9 3 6 5 20 Jawa Timur 1.689,6 457,3 422,1 1.769,2 62 73 67 110 Banten 708,6 477,8 1.412,0 1.544,2 78 99 92 280 Bali 50,4 80,8 227,2 278,3 74 50 92 279
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
TABEL 14.15
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMDN PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI
TAHUN 2007-2010 (DALAM MILIAR RUPIAH)
Provinsi 2007 2008 2009 2010 2007 Jumlah Proyek 2008 Nilai Investasi 2009 2010 DKI Jakarta 34 34 35 86 4,218.00 1,837.3 9,6938 4,598.5 Jawa Barat 35 64 58 103 11,347.90 4,289.5 4,7248 15,799.8 Jawa Tengah 4 14 8 40 276.5 1,336.3 2,642.6 795.4 D.I Yogyakarta - - 2 3 33.1 - 32.9 10 Jawa Timur 17 40 48 89 1,724.70 2,778.3 42907 8,084.1 Banten 22 31 23 76 1,068.70 1,989.1 43817 5852.5 Bali 2 2 5 19 15.7 29 508 313.4
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah Jawa Bali menunjukkan tren menurun, dengan perkembangan terakhir (Februari 2011) sebesar 7,34 persen, lebih tinggi dibanding TPT nasional (6,80 persen). Sementara itu, perkembangan jumlah pengangguran terbuka di wilayah Jawa Bali dalam kurun waktu
14 - 26
2007-2011 cenderung menurun setiap tahun, dengan rata-rata penurunan sebesar 6,15 persen. Jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2007 sampai tahun 2011 sebagian besar berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan distribusi jumlah pengangguran di Jawa Barat mencapai 37,52 persen (TPT sebesar 9,84 persen), Jawa Tengah19,73 persen (TPT sebesar 6,07 persen), dan Jawa Timur 16,01 persen (TPT sebesar 4,18 persen). Sementara itu, TPT tertinggi berada di Provinsi Banten sebesar 13,50 persen, dan DKI Jakarta sebesar 10,83 persen. Tingginya pengangguran disebabkan oleh posisi Jabodetabek yang sangat dominan dalam perekonomian nasional dan menjadi magnet besar bagi pencari kerja sehingga terjadi penumpukan angkatan kerja, baik yang sudah bekerja maupun yang masih menganggur di daerah tersebut (Tabel 14.16).
TABEL 14.16
JUMLAH PENGANGGURAN PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI TAHUN 2007-2011 Provinsi 2007 TAHUN 2008 2009 2010 2011 DKI Jakarta 542.002 504.132 570.562 537.468 542.709 Jawa Barat 2.543.179 2.262.407 2.257.660 2.031.550 1.982.448 Jawa Tengah 1.436.888 1.234.645 1.208.671 1.174.897 1.042.496 DI Yogyakarta 118.877 119.785 122.972 124.379 107.115 Jawa Timur 1.454.305 1.255.885 1.193.552 1.011.950 845.647 Banten 641.355 601.836 663.895 627.828 697.083 Bali 98.305 95.512 60.405 75.635 65.604 JAWA BALI 6.834.911 6.074.202 6.077.717 5.583.707 5.283.102 Perubahan (Jiwa) -760.709 3.515 -494.010 -300.605 Perubahan (%) - 11,13 0,06 -8,13 - 5,38 TPT 10,23 8,83 8,77 7,94 7,34 NASIONAL 9,75 8,61 8,14 7,41 6,80
Sumber: Badan Pusat Statistik
4. Perkembangan penduduk miskin di wilayah Jawa-Bali dalam periode 2007 - 2011 cenderung menurun setiap tahunnya,
14 - 27 walaupun jumlahnya masih mencapai lebih dari 50 persen dari total penduduk miskin Indonesia. Persentase penduduk miskin tertinggi terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (16,08 persen), dan Jawa Tengah (15,76 persen), dan Jawa Timur (14,23 persen). Persentase penduduk miskin di Provinsi DKI Jakarta dan Bali tercatat paling rendah, yaitu masing-masing sebesar 3,75 persen dan 4,20 persen (Tabel 14.17).
TABEL 14.17
PERSENTASE KEMISKINAN PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI TAHUN 2007 - 2011 PROVINSI TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 DKI Jakarta 4,61 4,29 3,62 3,48 3,75 Jawa Barat 13,55 13,01 11,96 11,27 10,65 Jawa Tengah 20,43 19,23 17,72 16,56 15,76 Di Yogyakarta 18,99 18,32 17,23 16,83 16,08 Jawa Timur 19,98 18,51 16,68 15,26 14,23 Banten 9,07 8,15 7,64 7,16 6,32 Bali 6,63 6,17 5,13 4,88 4,20 INDONESIA 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49
Sumber: Badan Pusat Statistik
Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI), sebagai ukuran kualitas hidup manusia wilayah
Jawa Bali memperlihatkan peningkatan secara merata di setiap provinsi dalam kurun waktu 2006—2009. IPM tahun 2009 di wilayah Jawa Bali tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta sebesar 77,36 dan terendah di Provinsi Banten sebesar 70,06. (Tabel 14.18).
14 - 28
TABEL 14.18
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI WILAYAH JAWA-BALI
TAHUN 2006 - 2009
PROVINSI IPM Peringkat
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta 76,33 76,59 77,03 77,36 1 1 1 1 Jawa Barat 70,32 70,71 71,12 71,64 14 15 15 15 Jawa Tengah 70,25 70,92 71,60 72,10 15 14 14 14 Yogyakarta 73,70 74,15 74,88 75,23 4 4 4 4 Jawa Timur 69,18 69,78 70,38 71,06 20 19 18 18 Banten 69,11 69,29 69,70 70,06 21 23 23 23 Bali 70,07 70,53 70,98 71,52 16 16 16 16 NASIONAL 70,10 70,59 71,17 71,76
Sumber: Badan Pusat Statistik 2009
5. Aksesibilitas antardaerah di wilayah Jawa-Bali relatif lebih memadai jika dibandingkan dengan wilayah lain. Keberhasilan dalam penanganan kinerja ekonomi dan sumber daya manusia, dan kemiskinan tidak terlepas dari fasilitas pelayanan publik dan infrastrukur. Ketersediaan fasillitas atau infrastruktur fisik, seperti jalan raya, kereta api, pelabuhan laut dan udara, sarana komunikasi, dan sumber energi atau penerangan. Secara nasional DKI Jakarta dan DI Yogyakarta memiliki tingkat kerapatan jalan tertinggi (panjang jalan per luas wilayah). Namun demikian beberapa provinsi sudah mengalami tekanan tidak seimbangnya pertumbuhan panjang jalan dan jumlah kendaraan. Hal ini ditunjukkan dari rasio panjang jalan dengan jumlah kendaraan roda empat (kapasitas jalan) di DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Barat yang merupakan terendah secara nasional. Rasio ketiga daerah tersebut berturut-turut sebesar 0,0004 km/unit kendaraan, 0,0141 km/unit, dan 0,0190 km/unit.
14 - 29 6. Produksi padi di wilayah Jawa - Bali selama periode 2009 – 2011 rata-rata mengalami pertumbuhan positif sebesar 4,37 persen. Peningkatan produksi padi di wilayah Jawa – Bali pada tahun 2009 yaitu sebesar 7,75 persen, sedangkan untuk tahun 2010 lebih rendah, yaitu meningkat sebesar 4,15 persen. Penurunan peningkatan produksi padi di wilayah Jawa – bali terjadi hampir di seluruh provinsi kecuali Banten dan Jawa Tengah, bahkan di Provinsi DIY dan Bali terjadi penurunan. Berdasar Angka Ramalan II BPS, peningkatan produksi padi di wilayah Jawa – Bali pada tahun 2011 diperkirakan akan mencapai 1,20 persen, atau lebih rendah dari tahun sebelumnya. Perkembangan produksi padi wilayah Jawa – Bali 2009 – 2011 (Tabel 14.19).
TABEL 14.19
PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI PROVINSI WILAYAH JAWA – BALI
TAHUN 2009 – 2011 (DALAM TON)
Provinsi 2009 2010 2011*)
Total Produksi Jawa-Bali 35.758.895 37.243.932 37.691.617
DKI Jakarta 11.013 11.164 9.252 Jawa Barat 11.322.681 11.737.070 11.445.920 Banten 1.849.007 2.048.047 2.064.533 Jawa Tengah 9.600.415 10.110.830 10.403.511 DI Yogyakarta 837.930 823.887 858.148 Jawa Timur 11.259.085 11.643.773 12.049.993 Bali 878.764 869.161 860.260
Sumber : Badan Pusat Statistik Keterangan : * ) Angka Ramalan II
**) Pertumbuhan terhadap tahun sebelumnya dalam periode yang sama
14 - 30
14.3.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dengan memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi serta capaian pembangunan seperti telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, maka tindak lanjut pembangunan Wilayah Jawa Bali ke depan akan menitikberatkan pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam upaya mendukung fungsi Wilayah Jawa-Bali sebagai
lumbung pangan nasional, maka strategi pengembangan yang perlu dilakukan yaitu: a. meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan melalui penyuluhan dan introduksi teknologi pertanian dan pengolahan pangan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali; b. mengendalikan konversi lahan sawah dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur; c. mengembangkan peternakan domba dan kerbau di Provinsi Jawa Barat; d. mengembangkan peternakan sapi perah dan sapi potong di Provinsi Jawa Timur dan Bali; e. mengembangkan peternakan kambing di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah; f. mengembangkan ternak kecil ayam kampung, ayam petelur, dan ayam pedaging di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah; g. mengembangkan perikanan tangkap di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta; h. mengembangkan perikanan kolam (air tawar) di Provinsi Jawa Barat; i. mengembangkan perikanan tambak di Provinsi Jawa Timur; j. meningkatkan luas pengusahaan lahan petani dan menurunkan ketimpangan penguasaan lahan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali; k. mengembangkan sistem insentif dan disinsetif untuk mengurangi luasan lahan tidur dan lahan terlantar di Provinsi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur; l. mendorong transformasi angkatan kerja pertanian ke nonpertanian melalui peningkatan kualitas angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali; m. membangun infrastruktur irigasi dan rehabilitasi
14 - 31 daerah resapan air di kawasan-kawasan budi daya pertanian di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.
2. Dalam upaya mendukung pengembangan industri unggulan potensial di Wilayah Jawa, maka strategi pengembangan yang perlu dilakukan yaitu: (a) mengintegrasikan MP3EI ke dalam rencana kerja pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan koridor ekonomi Jawa, khususnya terkait tugas dan peran pemerintah; (b) memantapkan koordinasi antara pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia usaha dalam penanganan hambatan investasi di daerah; (c) mempercepat penyelesaian Rencana Tata Ruang Wialyah Kabupaten/Kota di sepanjang koridor ekonomi Jawa; (d) memantapkan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan program dan kegiatan prioritas di koridor ekonomi Jawa.
3. Dengan memperhatikan tingginya tingkat kerawanan bencana di Jawa-Bali, maka tindaklanjut yang diperlukan adalah: a) peningkatan kapasitas aparatur penanggulangan bencana di daerah dan masyarakat guna meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana melalui pendidikan dan pelatihan kebencanaan secara berkala; b) pengurangan faktor-faktor penyebab risiko bencana, termasuk pengendalian pemanfaatan ruang dan pelaksanaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana; c) meningkatkan kerjasama antardaerah dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai; dan d) pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) bencana dengan memperhatikan karakteristik ancaman bencana di daerah bersangkutan.
14.4. PEMBANGUNAN WILAYAH KALIMANTAN 14.4. 1. Permasalahan yang Dihadapi
Potensi Wilayah Kalimantan cukup beragam, namun dalam pengembangannya masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh wilayah tersebut, diantaranya:
14 - 32
1. Belum optimalnya pengembangan sektor dan industri unggulan berbasis pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan kelautan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya nilai tambah komoditas pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan akibat belum berkembangnya mata rantai industri pengolahan.
2. Belum terintegrasi dan masih terbatasnya pelayanan jaringan jalan darat dengan jaringan transportasi lainnya. Dengan kondisi jaringan infrastruktur seperti itu, keterkaitan antardaerah dan antara sentra produksi di perdesaan dan pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan menjadi kurang optimal. Di sisi lain, jalur transportasi sungai yang secara tradisional diandalkan seringkali mengalami pasang surut di daerah hulu yang mengakibatkan semakin terbatasnya aksesibilitas desa-desa di pedalaman.
3. Masih terdapatnya ketimpangan intrawilayah Kalimantan yang ditunjukkan dengan kesenjangan PDRB per kapita antar provinsi. PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Timur adalah sekitar enam kali lipat PDRB per kapita provinsi lain.
4. Tingginya laju konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pertambangan. Dampak konversi lahan diantaranya adalahmeningkatnya kekritisan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), meningkatnya frekuensibencana banjir, dan menurunnya fungsi sungai sebagai salah satu jaringan transportasi wilayah. Selain itu, pembukaan hutan secara tidak bertanggung jawab sering berujung pada bencana kebakaran hutan dan polusi udara yang selain berdampak pada Indonesiajuga sampai ke negara tetangga.
5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator kualitas sumber daya manusia menunjukkan posisi Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan pada tahun 2008 di bawah rata-rata nasional, masing-masing berada pada peringkat 29 dan 26 dari 33 provinsi. Adapun posisi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah berada di atas
rata-14 - 33 rata nasional masing-masing dengan peringkat 5 dan 7. Meskipun tingkat kemiskinan di wilayah Kalimantan relatif rendah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional, kondisi masyarakat di pedalaman rawan jatuh miskin karena terbatasnya alternatif kegiatan ekonomi dan akses pelayanan sosial dasar.
6. Tingginya kesenjangan pembangunan dengan wilayah negara tetangga. Minimnya aksesibilitas menuju kawasan perbatasan mendorong masyarakat setempat untuk mengakses berbagai pelayanan darinegara tetangga yang lebih mudah dijangkau. Di sisi lain, terbatasnya pengawasan di sepanjang perbatasan darat memicu pemanfaatan sumber daya alam secara ilegal. Di laut, belum tuntasnya penetapan batas negara berpotensi menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan sumber daya alam.
14.4. 2. Capaian Pembangunan Wilayah
Dalam perkembangan pembangunan Wilayah Kalimantan, terdapat beberapa capaian pembangunan yang dihasilkan, diantaranya:
1. Dalam lima tahun terakhir (2006-2010), perekonomian wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan yang baik ditunjukkan oleh laju pertumbuahan yang meningkat. Namun tren ini terhenti pada tahun 2009 seiring dengan pelemahan perekonomian nasional dan global. Pada tahun 2010 perekonomian wilayah Kalimantan kembali membaik dengan laju pertumbuhan wilayah sebesar 5,26 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan tertinggi adalah di provinsi Kalimantan Tengah sebesar sekitar 6,47 persen, sementara laju pertumbuhan terendah di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 4,95 persen. (Tabel 14.20).
14 - 34
TABEL 14.20
PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN
ATAS DASAR HARGA KONSTAN TAHUN 2000 TAHUN 2006 – 2010
(DALAM PERSEN)
Provinsi Tahun Rata-Rata
2006 2007 2008 2009*) 2010**) Kalimantan Barat 5,23 6,02 4,49 4,79 5,35 5,18 Kalimantan Tengah 5,84 6,06 6,17 5,51 6,47 6,01 Kalimantan Selatan 4,98 6,01 6,45 5,29 5,58 5,66 Kalimantan Timur 2,85 1,84 4,90 2,09 4,95 3,32 Kalimantan 3,80 3,51 5,20 3,35 5,26 4,22 Jumlah 33 Provinsi 5,19 5,67 6,43 4,74 6,08 5,62 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka sementara **) Angka sangat sementara
2. Kontribusi perekonomian wilayah Kalimantan terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dari tahun 2005-10 terus meningkat, kontribusi PDRB wilayah Kalimantan tahun 2010 tercatat sebesar 9,21 persen. Kontribusi perekonomian wilayah Kalimantan terhadap pembentukan PDB nasional tahun 2010 sebesar 9,21 persen meningkat sebesar 0,49 persen dari tahun sebelumnya. Sementara kontribusi provinsi terbesar terhadap pembentukan PDRB wilayah Kalimantan adalah provinsi Kalimantan Timur.
14 - 35
TABEL 14.21
KONTRIBUSI EKONOMI PROVINSI TERHADAP NASIONAL WILAYAH KALIMANTAN
ATAS DASAR HARGA BERLAKU TAHUN 2005 - 2010 Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009*) 2010**) Kalimantan Barat 1,27 1,21 1,20 1,15 1,17 1,14 Kalimantan Tengah 0,79 0,79 0,79 0,77 0,80 0,81 Kalimantan Selatan 1,19 1,11 1,12 1,07 1,11 1,11 Kalimantan Timur 6,75 6,40 6,30 7,36 6,12 6,08 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka sementara **) Angka sangat sementara
Pada tahun 2009, sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi perekonomian di Wilayah Kalimantan adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar 36 persen, sektor industri pengolahan 12 persen, sektor pertanian 16 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 11 persen. Sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi cukup besar terhadap sektor pertambangan nasional. Sektor pertambangan di wilayah Kalimantan terpusat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sedangkan sektor pertanian terpusat di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
Wilayah Kalimantan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar yang meliputi pertambangan, kehutanan, pertanian dan perkebunan, serta perikanan dan kelautan. Wilayah Kalimantan memiliki komoditas unggulan yang berdaya saing tinggi, baik di pasar domestik maupun pasar luar negeri. Komoditas unggulan di wilayah Kalimantan diantaranya adalah (1) minyak dan gas bumi yang terpusat di Provinsi Kalimantan Timur, (2) kelapa sawit yang terpusat di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, (3) karet yang terpusat di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, dan (4) perikanan dan
14 - 36
kelautan, dengan perikanan tangkap dan budi daya laut yang terpusat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Perkembangan investasi PMA dan PMDN di wilayah Kalimantan dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2007-2010) meningkat. Secara keseluruhan, pada tahun 2010 investasi PMDN di wilayah Kalimantan sekitar 24,04 persen dari total PMDN secara nasional dan PMA sekitar 11,38 persen dari total PMA secara nasional. Nilai investasi PMA tahun 2010 terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, sementara untuk nilai terendah di Provinsi Kalimantan Barat. Nilai investasi PMDN terbesar di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dan terendah di Kalimantan Barat.
TABEL 14.22
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN
TAHUN 2007 – 2010 (DALAM JUTA US$)
LOKASI Jumlah Proyek Nilai Investasi
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010
Kalimantan Barat 2 2 5 43 287 248,1 517,1 1.171,7 Kalimantan Tengah 2 2 7 34 447 681,9 1.464,2 3.507,7 Kalimantan Selatan 4 4 4 26 384 592,7 8709 2015 Kalimantan Timur 3 4 6 46 440 298,7 82,2 7881,3 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
14 - 37
TABEL 14.23
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMDN PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN
TAHUN 2007 – 2010 (DALAM MILIAR RUPIAH)
Provinsi Nilai Investasi Jumlah Proyek
2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010
Kalimantan Barat 11,2 39,8 27,8 170,4 2 3 4 50 Kalimantan Tengah 77,6 62,7 4,9 546,6 3 7 3 61 Kalimantan Selatan 59,8 0,2 171,8 202,2 6 1 5 44 Kalimantan Timur 152,0 12,5 79,9 1.092,2 16 8 19 98 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2010
3. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah Kalimantan menunjukkan tren menurun, dengan perkembangan terakhir (Februari 2011) sebesar 6,23 persen, lebih rendah dibanding TPT nasional (6,80 persen). Sementara itu, perkembangan jumlah pengangguran terbuka di wilayah Kalimantan dalam kurun waktu 2007-2011 cenderung menurun setiap tahun, dengan rata-rata penurunan sebesar 2,98 persen. Jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2007 sampai tahun 2011 sebagian besar berada di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, dengan distribusi jumlah pengangguran di Kalimantan Timur mencapai 40,42 persen (TPT sebesar 10,21 persen), Kalimantan Barat sebanyak 26,02 persen (TPT sebesar 4,99 persen), dan Kalimantan Selatan23,93 persen (TPT sebesar 5,62 persen). Tingginya pengangguran di Kalimantan Timur disebabkan oleh posisi yang cukup dominan dalam perekonomian nasional dan menjadi magnet besar bagi pencari kerja sehingga terjadi penumpukan angkatan kerja, baik yang sudah bekerja maupun yang masih menganggur di daerah tersebut (Tabel 14.24)
14 - 38
TABEL 14.24
JUMLAH PENGANGGURAN TERBUKA PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN TAHUN 2007 – 2011 Provinsi TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 Kalimantan Barat 154.883 140.561 127.186 125.188 112.525 Kalimantan Tengah 55.244 51.620 49.008 42.731 41.595 Kalimantan Selatan 117.226 118.374 118.406 108.745 103.501 Kalimantan Timur 161.925 142.506 165.087 160.477 174.807 KALIMANTAN 489.278 453.061 459.687 437.141 432.428 Perubahan (Jiwa) -36.217 6.626 -22.546 -4.713 Perubahan (%) - 7,40 1,46 - 4,90 - 1,08 TPT 7,95 7,30 6,99 6,47 6,23 NASIONAL 9,75 8,61 8,14 7,41 6,80 Sumber: Badan Pusat Statistik
4. Perkembangan penduduk miskin di wilayah Kalimantan dalam periode 2007 - 2011 relatif rendah dan cenderung menurun setiap tahunnya. Tingkat kemiskinan setiap provinsi di wilayah Kalimantan sudah berada di bawah tingkat kemiskinan nasional.Persentase penduduk miskin tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 8,60 persen, dan terendah di provinsi Kalimantan Selatan sebesar 5,29 persen. (Tabel 14.25).
TABEL 14.25
PERSENTASE KEMISKINAN PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN TAHUN 2007 - 2011 PROVINSI TAHUN 2007 2008 2009 2010 2011 Kalimantan Barat 12,91 11,07 9,30 9,02 8,60 Kalimantan Tengah 9,38 8,71 7,02 6,77 6,56 Kalimantan Selatan 7,01 6,48 5,12 5,21 5,29 Kalimantan Timur 11,04 9,51 7,73 7,66 6,77 INDONESIA 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 Sumber: Badan Pusat Statistik
14 - 39 Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), sebagai ukuran kualitas hidup manusia wilayah Kalimantan memperlihatkan adanya peningkatan secara konsisten dalam kurun waktu 2006—2009, namun menunjukkan ketimpangan dalam pencapaian IPM antarprovinsi. Hal ini dapat ditunjukkan dari .IPM tahun 2009 tertinggi berada di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 75,11 dengan ranking ke-5 dari 33 provinsi, sementara Provinsi Kalimantan Barat baru mencapai IPM 68,79 dengan ranking ke 28 dari 33 provinsi.(Tabel 14.26).
TABEL 14.26
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN
TAHUN 2006-2009
PROVINSI IPM Peringkat
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009 Kalimantan Barat 67,08 67,53 68,17 68,79 28 29 29 28 Kalimantan Tengah 73,40 73,49 73,88 74,36 5 7 7 7 Kalimantan Selatan 67,75 68,01 68,72 69,30 26 26 26 26 Kalimantan Timur 73,26 73,77 74,52 75,11 6 5 5 5 NASIONAL 70,10 70,59 71,17 71,76
Sumber: Badan Pusat Statistik
5. Produksi padi di wilayah Kalimantan selama periode 2009 – 2011 rata-rata mengalami pertumbuhan positif sebesar 0,40 persen. Peningkatan produksi padi di wilayah Kalimantan pada tahun 2009 yaitu sebesar 0,17 persen, sedangkan untuk tahun 2010 lebih tinggi, yaitu meningkat 0,75 persen. Peningkatan produksi padi di wilayah Kalimantan tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi, kecuali Kalimantan Selatan yang mengalami penurunan. Berdasar Angka Ramalan II BPS, peningkatan produksi padi di wilayah Kalimantan pada tahun 2011 diperkirakan akan mencapai 0,28 persen, atau lebih rendah dari tahun sebelumnya. Perkembangan produksi padi wilayah Kalimantan 2009 – 2011 (Tabel 14.27).
14 - 40
TABEL 14.27
PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI PROVINSI WILAYAH KALIMANTAN
TAHUN 2009 – 2011 (DALAM TON)
Provinsi 2009 2010 2011*)
Total Produksi Kalimantan 4.392.112 4.425.272 4.437.600 Kalimantan Barat 1.300.798 1.343.888 1.275.200 Kalimantan Tengah 578.761 650.416 591.740 Kalimantan Selatan 1.956.993 1.842.089 1.974.329 Kalimantan Timur 555.560 588.879 596.331 Sumber : Badan Pusat Statistik
Keterangan : * ) Angka Ramalan II
14.4.3 Tindak Lanjut yang Diperlukan
Dengan memperhatikan berbagai permasalahan yang dihadapi serta capaian pembangunan seperti telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, maka tindak lanjut pembangunan Wilayah Kalimantan ke depan akan menitikberatkan pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam upaya mendukung pengembangan Kalimantan sebagai
sentra produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan maka tindak lanjut yang perlu dilakukan yaitu: (a) mengintegrasikan MP3EI ke dalam rencana kerja pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan koridor ekonomi Kalimantan, khususnya terkait tugas dan peran pemerintah; (b) memantapkan koordinasi antara pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia usaha dalam penanganan hambatan investasi di daerah; (c) mempercepat penyelesaian Rencana Tata Ruang Wialayh Kabupaten/Kota di sepanjang koridor ekonomi Kalimantan; (d) memantapkan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan program dan kegiatan prioritas di koridor ekonomi Kalimantan.
2. Dalam upaya meningkatkan pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan, perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempercepat penuntasan 10 Outstanding Border Problems
14 - 41 dan penyelesaian penetapan batas laut dengan Malaysia, meningkatkan sarana dan prasarana pengamanan dan pelayanan lintas batas, meningkatkan aksesibilitas menuju kawasan perbatasan, meningkatkan pelayanan sosial dasar, serta mengoptimalkan Paloh-Aruk, Jagoi Babang, Entikong, Jasa, Nanga Badau, Long Pahangai, Long Nawang, Long Midang, Simanggaris, dan Nunukan sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan dan pendorong pengembangan potensi unggulan kawasan.
3. Dalam upaya pengurangan frekuensi dan magnitude kebakaran hutan di Kalimantan maka strategi yang dilakukan adalah melalui pemantapan kelembagaan brigade pengendalian kebakaran hutan atau Manggala Agni, pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran hutan yang dilakukan pada daerah daerah rawan kebakaran, serta penanganan pasca kebakaran hutan.
14.5. PEMBANGUNAN WILAYAH SULAWESI 14.5.1 Permasalahan yang Dihadapi
Permasalahan yang dihadapi wilayah Sulawesi dalam pembangunan wilayah antara lain:
1. Belum optimalnya peningkatan nilai tambah sektor dan komoditas unggulan wilayah, yang ditunjukkan oleh dominasi sektor-sektor primer dalam perekonomian wilayah Sulawesi. 2. Lemahnya konektivitas domestik intrawilayah. Wilayah
Sulawesi menghadapi kendala sarana dan prasarana transportasi, antara lain belum meratanya ketersediaan prasarana, kurang memadainya mutu, dan lemahnya integrasi jaringan transportasi multimoda antarwilayah.
3. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kemiskinan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di wilayah Sulawesi disebabkan oleh belum meratanya jangkauan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan dan