• Tidak ada hasil yang ditemukan

perlukah siswa tingkat sekolah dasar mendapatkan pr?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "perlukah siswa tingkat sekolah dasar mendapatkan pr?"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

perlukah siswa tingkat sekolah dasar mendapatkan pr?

Trends in International Mathematics and Science Study atau disingkat dengan sebutan TIMSS merupakan studi yang diinisiasi oleh IEA – (the International Association for the Evaluation of Educational Achievement), IEA adalah organisasi internasional independen yang bekerjsama dengan institusi penelitian nasional dan agensi pemerintahan yang telah menyelenggarakan studi pencapaian antar negara sejak tahun 1959.

Sejak berpartisipasi dalam studi TIMSS mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2011, Indonesia mengambil populasi dari siswa kelas 8, namun di tahun 2015 lah, pertama kalinya Indonesia berpartisipasi dalam TIMSS dengan target populasi siswa kelas 4 SD/MI. Target populasi ini adalah survei pertama yang dilakukan oleh Indonesia untuk mengukur capaian matematika dan IPA siswa SD/MI pada studi internasional. Diharapkan Indonesia memperoleh informasi benchmark internasional di level SD/MI untuk mengetahui sejauh manakah kondisi awal siswa Indonesia setelah menyelesaikan calistung dibandingkan dengan siswa lain di dunia.

TIMSS tidak hanya menyampaikan pencapaian akademik, tetapi juga berbagai faktor yang berkaitan dengan pencapaian tersebut, salah satunya instruksi kelas (classroom instruction) yang diberikan guru kepada siswa, termasuk pemberian PR. TIMSS (1999) mengemukakan bahwa salah satu cara bagi siswa untuk memperkuat dan meningkatkan pembelajaran kelas adalah dengan memberikan waktu untuk belajar atau mengerjakan PR di luar sekolah. Pemberian PR yang tepat dapat memperkuat pembelajaran kelas, tantangan yang diberikan kepada siswa dapat mendorong mereka untuk memahami subjek pembelajaran. PR juga memberikan peluang bagi siswa untuk berinteraksi dengan temannya dengan mendiskusikan materi pembelajaran kelas.

Laporan ini akan berfokus pada pemberian PR dan capaian matematika berdasarkan hasil TIMSS. Trautwein (2007) dalam studinya mengemukakan bahwa capaian matematika siswa akan lebih meningkat jika guru menetapkan frekuensi pemberian PR yang lebih sering namun tidak memerlukan waktu yang begitu lama dalam pengerjaannya. Bagaimana pernyataan ini diterjemahkan akan dipaparkan berdasarkan sejumlah analisis yang bersumber pada data TIMSS berikut.

BAGIAN 1-FREKUENSI DAN INTENSITAS PEMBERIAN PR

Waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan PR merupakan pertimbangan penting dalam menilai kesempatan mereka untuk belajar matematika. Bagian ini akan banyak berbicara terkait indeks EMH (emphasizes on mathematics homework). EMH merupakan indeks yang menggambarkan intensitas guru dalam memberikan PR baik dari segi jumlah PR/minggu maupun waktu yang dihabiskan untuk memeriksanya, EMH terdiri atas 3 rentang berikut:

1. High EMH: waktu yang dihabiskan guru dalam memeriksa PR matematika yang lebih dari 30 menit dengan frekuensi pemberian PR setidaknya 1-2 PR setiap minggu. 2. Medium EMH: kombinasi high EMH dan low EMH

3. Low EMH: waktu yang dihabiskan guru dalam memeriksa PR matematika yang kurang dari 30 menit dengan frekuensi pemberian PR paling banyak satu PR setiap minggu.

(2)

Diskusi 1.1 Tren Indeks EMH

Indeks EMH dipaparkan dalam laporan TIMSS tahun 1999-2007, sementara dari tahun 2011 sampai dengan 2015 laporan TIMSS memaparkan kedua aspek EMH: frekuensi pemberian PR dan waktu yang dihabiskan dalam memeriksa PR dalam dua bagian yang berbeda.

Grafik 1. % Tren EMH Indonesia vs Internasional Avg siswa kelas 8 (1999-2007)

Secara deskriptif, grafik 1 memperlihatkan kepada kita bagaimana tren intensitas pemberian PR guru kepada siswa dari tahun ke tahun. Dalam konteks internasional avg, intensitas terbanyak terkait pemberian PR berada pada rentang medium EMH. Artinya, PR yang diberikan tidak lebih dari 4 PR per minggu dengan waktu pemeriksaan bisa kurang dari 30 menit maupun lebih dari 30 menit. Sementara tren indeks EMH di Indonesia mengalami penurunan dari High EMH (1999) menjadi Medium EMH pada tahun 2003 (proporsi sama dengan high EMH) dan 2007.

Pada tahun 2011, lebih dari 50 persen guru di Indonesia menyatakan frekuensi pemberian PR matematika adalah 1 atau 2 PR perminggu (57,2%) sementara persentase internasional untuk frekuensi PR yang sama adalah sebesar 28,2%. Frekuensi dan durasi pemeriksaan PR ini diharapkan mampu merefleksikan situasi sekolah dan para staff pengajarnya, dimana pengaturan guru dalam memberikan PR dan melakukan pemeriksaan setiap minggunya menjadi aspek yang tidak bisa diindahkan. Dalam artian, bagaimana guru melakukan pengaturan terhadap tugas yang dibawa ke rumah (memeriksa PR) bisa direfleksikan dengan apa yang dialami siswa ketika mendapatkan PR.

(3)

*grafik 2 frekuensi pemberian PR untuk siswa kelas 4 SD di Indonesia

Selanjutnya, pada tahun 2015 Indonesia mengikuti TIMSS yang diperuntukkan bagi siswa kelas 4 SD. Perbedaan intensitas pada masing-masing jenjang pendidikan yang berbeda ini menjadi hal yang substansial mengingat perkembangan (terutama dalam aspek kognitif) kedua masa perkembangan tersebut berbeda. Pada tahun ini, frekuensi pemberian PR oleh guru paling banyak adalah 3-4 PR per minggu sebagaimana tren dalam konteks internasional avg.

*grafik 3 tren pemberian PR untuk siswa kelas 4 SD

Grafik 3 menunjukkan bahwa tren pemberian PR untuk siswa kelas 4 SD dari tahun 2003 hingga 2011 didominasi oleh frekuensi pemberian PR setiap hari. Namun, pada tahun 2015 frekuensi menurun menjadi 3-4 PR per minggu.

(4)

Diskusi 1.2 Frekuensi & Intensitas Pemberian PR dan capaian matematika

Dalam laporannya, TIMSS memaparkan tabel yang membandingkan EMH dengan capaian siswa yang digambarkan pada grafik berikut.

grafik 4 EMH & capaian skor matematika siswa kelas 8

Grafik 4 memperlihatkan perbandingan capaian skor matematika TIMSS siswa kelas 8 berdasarkan indeks EMH guru. Secara deskriptif, grafik memperlihatkan capaian siswa tertinggi dalam konteks internasional avg dari tahun ke tahun adalah capaian siswa dengan guru yang memiliki indeks High EMH. Artinya capaian siswa dengan frekuensi PR minimal 1-2 PR dengan lama pemeriksaan oleh guru lebih dari 30 menit lebih tinggi daripada intensitas yang lebih rendah daripada itu. Pola capaian siswa Indonesia juga memperlihatkan hal yang sama dimana intensitas pemberian PR yang tinggi diikuti oleh capaian skor yang lebih tinggi daripada intensitas yang lebih rendah (terkecuali pada tahun 2007, capaian skor TIMSS matematika dengan medium EMH 6 skor lebih tinggi dibanding high EMH).

Namun, hal ini tidak serta merta bisa menggeneralisir kesimpulan bahwa siswa yang mendapat PR lebih banyak cenderung mendapatkan capaian skor lebih tinggi. Laporan TIMSS 1999 menunjukkan perbedaan yang substansial dalam indeks EMH. Lebih dari 70 persen siswa di Iran, Italia, Romania, Thailand, dan Malaysia memiliki guru dengan indeks high EMH namun capaian skor matemaika mereka beragam (diatas rerata internasional dan dibawah rerata internasional). Sangat sedikit siswa yang memiliki guru dengan indeks low EMH. Satu pengecualian penting adalah Jepang (34% siswa memiliki guru dengan indeks low EMH), hal ini dikarenakan Jepang lebih memilih jam tambahan untuk melakukan tutoring atau pendampingan daripada mengerjakan PR, sementara berdasarkan laporan TIMSS (1999) Jepang menempati top five negara dengan capaian matematika tertinggi. TIMSS (1999) menunjukkan adanya hubungan yang rendah antara jumlah PR dengan capaian siswa. Sayangnya, siswa dengan performa rendah mendapatkan PR yang lebih banyak dengan alasan remedial. Dalam laporan TIMSS 2011 juga dipaparkan bahwa sejumlah negara di Asia Timur melaporkan frekuensi pemberian PR yang relatif sedikit karena sebagian besar dari mereka lebih memilih tutoring atau pendampingan dalam kelas tambahan.

(5)

BAGIAN 2-PEMBERIAN PR DAN CAPAIAN SISWA

Seperti yang dipaparkan pada sub-bab sebelumnya bahwa perbedaan jenjang pendidikan terkait pemberian PR antara kelas 4 dan kelas 8 menjadi suatu hal yang patut dipertimbangkan. Cooper (1989) dalam studinya mengemukakan bahwa secara substansial dampak positif PR terkait capaian siswa didapatkan oleh siswa dengan jenjang pendidikan lebih tinggi, sementara bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dampak positif terkait frekuensi pemberian PR tidak begitu berarti.

Selanjutnya, siswa Indonesia kelas 4 SD mengikuti TIMSS pada tahun 2015. Berikut dipaparkan analisis deskriptif terkait intensitas pemberian PR pada siswa Indonesia kelas 4 SD beserta capaiannya.

Diskusi 2.1 Intensitas pemberian PR & capaian matematika siswa Indonesia

Dalam sub bab sebelumnya dipaparkan tren pemberian PR untuk siswa kelas 4 SD dari tahun 2003-2015 dengan frekuensi terbanyak adalah pemberian PR oleh guru yang dilakukan setiap hari, namun pada tahun 2015 frekuensi pemberian PR 3-4 PR perminggu (33,3%) lebih banyak 2,6 persen dari guru yang memberikan PR setiap hari (30,7%). Di Indonesia sendiri, frekuensi terbanyak terkait pemberian PR oleh guru pada tahun 2015 adalah guru yang memberikan PR sebanyak 1-2 PR matematika per minggu (48,41%), kemudian 3-4 PR per minggu (39,93%), setiap hari (10,25%), dan guru yang memberikan PR kurang dari 1 PR & tidak pernah memberikan PR (0,71%).

Kemudian, proporsi PR yang diberikan guru tersebut dibandingkan dengan capaian skor matematika TIMSS secara statistik sebagai berikut:

(6)

Grafik 5 Perbandingan Intensitas Pemberian PR matematika dan capaian matematika TIMSS 2015 -Kelas 4 SD

Terdapat pola yang cukup menarik, dalam grafik 5 terlihat bahwa proporsi siswa Indonesia dengan capaian tertinggi adalah siswa yang tidak pernah mendapatkan PR, sebaliknya proporsi siswa dengan capaian terendah adalah siswa yang mendapatkan PR setiap hari. Namun, perlu kita perhatikan persentase dari masing-masing kelompok ‘ekstrem’ tersebut dimana siswa yang tidak diberikan PR adalah sebesar 0,71% dan siswa yang mendapatkan PR setiap hari sebesar 10,25%. Apa yang melatarbelakangi intensitas pemberian PR (Matematika) tersebut menjadi hal yang perlu dipertimbangkan (hal ini tidak ditanyakan dalam item pertanyaan).

Terdapat sejumlah asumsi bahwa pemberian PR setiap hari pada siswa kelas 4 yang pencapaiannya tergolong rendah sebagai cara untuk meningkatkan pencapaian mereka, atau sebagai remedial (TIMSS, 1999). Sedangkan pada siswa dengan pencapaian tinggi terdapat kemungkinan tidak diberikannya PR, atau kemungkinan bahwa pemberian PR di sekolahnya digantikan dengan pemberian pelajaran tambahan (extended class/lesson) sebagaimana yang dipaparkan dalam laporan TIMSS. Untuk itu, sejumlah faktor lain terkait pemberian pada siswa tingkat sekolah dasar ini perlu dipertimbangkan, seperti kualitas pelibatan orangtua (Trautwein et al., 2009) maupun persepsi siswa akan pelajaran matematika itu sendiri.

Tabel 1. Persepsi siswa akan pelajaran matematika & rerata skor matematika TIIMSS siswa Indonesia kelas 4 SD tahun 2015

Enjoy learning mathematics Learn many interesting things in math I like math I look forward to mathematics lessons I like any schoolwork that invove numbers I like to solves mathematics problems Agree a lot 408,785 412,425 410,766 407,766 409,49 414,17 Agree a little 422, 594 405,08 422,025 424,598 423,342 414,736 Disagree a little 319,461 369,947 351,3069 381,678 392,67 389,127 Disagree a lot 326,458 334,962 324,635 375,853 318,638 381,825 *statistically significant

(7)

Tabel 1 memperlihatkan perbandingan secara statistik antara persepsi siswa Indonesia kelas 4 SD terhadap pelajaran matematika di kelasnya dan capaian skor matematika TIMSS 2015. Secara umum, semakin positifnya (favourable) persepsi siswa terhadap mata pelajaran matematika diikuti oleh peningkatan capaian skor matematika dalam TIMSS. Untuk itu, kualitas pembelajaran siswa dan sejumlah aspek yang terlibat di dalamnya menjadi hal yang lebih esensial dibanding faktor kuantitas, dalam hal ini frekuensi pemberian PR. Cara siswa dalam mengerjakan PR memberikan efek yang lebih substansial (Trautwein, 2007; Zimmerman & Kitsantas, 2005), usaha yang dikerahkan siswa dalam mengerjakan PR memiliki hubungan positif yang lebih kuat daripada waktu yang dihabiskan siswa dalam mengerjakan PR (Trautwein, 2007; Trautwein & Lüdtke, 2007; Trautwein, Lüdtke, Schnyder, & Niggli, 2006).

Diskusi 2.2 Analisis teoritis terkait intensitas pemberian PR & capaian matematika siswa Indonesia

PR (pekerjaan rumah) adalah tugas yang diberikan kepada siswa oleh guru sekolah yang dimaksudkan untuk dibawa atau dikerjakan di luar jam sekolah, atau tugas yang diberikan guru untuk melibatkan siswa dalam pembelajaran yang efektif dan mandiri (Cooper et al., 2006). PR merupakan teknik instruksional yang efektif, dimana PR memiliki efek positif terhadap pencapaian dan pengembangan karakter, serta sebagai penghubung penting antara keluarga dan sekolah (Cooper, 1989). Selain itu dalam praktiknya, terdapat konsekuensi-konsekuensi positif dan negatif dari pemberian PR, seperti yang disajikan dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2. Efek Potensial dari PR

Efek Positif Efek Negatif

Pencapaian dan pembelajaran langsung Penyerapan yang lebih baik terhadap ilmu Peningkatan pemahaman

Pemikiran kritis, pembentukan konsep, dan pemrosesan yang lebih baik

Memperkaya rencana pembelajaran

Kejenuhan

Hilangnya ketertarikan terhadap materi pelajaran

Kelelahan emosional dan fisik

Manfaat akademik jangka panjang Lebih banyak waktu belajar

Meningkatkan sikap terhadap sekolah

Kebiasaan dan kemampuan belajar yang lebih baik

Kurangnya kebebasan dalam meghabiskan waktu luang dan beraktivitas dengan teman

Manfaat non-akademik

Peningkatan dalam self-direction

Peningkatan dalam self-discipline Pengaturan waktu yang lebih baik

Lebih ingin tahu

Lebih mandiri dalam memecahkan masalah

Campur tangan orang tua

Tekanan untuk menyelesaikan PR dan mendapatkan hasil yang bagus

Kebingungan akan perbedaan teknik dari instruksi yang diberikan

(8)

Manfaat dalam keluarga

Meningkatkan apresiasi dan keterlibatan dari orangtua dalam kegiatan sekolah

Orangtua menunjukkan ketertarikan terhadap kemajuan akademik anak

Curang Mencontek

‘Menolong’ melengkapi PR daripada membimbingnya mandiri menyelesaikan soal

Kepedulian siswa terhadap hubungan antara rumah dan sekolah

Meningkatkan perbedaan antara siswa yg memiliki pencapaian tinggi dengan pencapaian rendah

Konsekuensi positif atau negatif dapat terjadi salah satunya bergantung dari tujuan yang terkandung dalam pemberian PR kepada siswa. Terdapat 3 kategori utama tujuan dalam pemberian PR yaitu; meningkatkan prestasi atau pencapaian akademik, meningkatkan regulasi diri dan motivasi siswa, serta membentuk hubungan positif antara rumah dan sekolah. Meningkatkan pencapaian akademik siswa merupakan mayoritas alasan para guru di tiap sekolah dalam memberikan PR. Pemberian latihan dan praktek merupakan bentuk yang paling umum diberikan untuk melatih dan memperdalam pengetahuan yang telah diperoleh di pelajaran sebelumnya atau dalam mempersiapkan pembelajaran selanjutnya (Cooper et al., 2006; Trautwein et al., 2009).

Namun, para ahli mengemukakan bahwa efek positif dari PR terhadap pencapaian akademik bervariasi tergantung level kelas. Dalam banyak penelitian ditemukan, bahwa pada tingkat SMA dan SMP, PR memiliki efek positif yang substansial, dimana diberikan untuk memfasilitasi pemahaman akan pengetahuan pada subjek-subjek tertentu. Sedangkan pada tingkat SD, PR tidak memiliki pengaruh terhadap pencapaian akademik, PR diberikan dengan tujuan untuk membentuk sikap, kebiasaan, serta karakter yang positif. Pada tingkat dasar (SD), pemberian PR seharusnya dilakukan dengan tujuan utama untuk meningkatkan regulasi diri dan motivasi siswa. Ditekankan bahwa pemberian PR di tingkat SD dimaksudkan sebagai pengembangan kemampuan inisiatif dalam pembelajaran, juga dalam proses regulasi diri seperti, perencanaan, mengelola waktu, serta mempertahankan atau memeroleh kembali motivasi saat mengalami kemunduran. Namun, banyak siswa yang mungkin tidak menyadari tujuan tersebut, sehingga dalam dalam banyak kasus PR justru mengurangi dibandingkan meningkatkan motivasi siswa (Cooper, 1989; Cooper et al., 2006; Trautwein et al., 2009; Ramdass & Zimmerman, 2011).

Selain itu, pemberian PR setiap hari kepada siswa dapat bersumber dari implikasi yang banyak terjadi, bahwa semakin banyak siswa diberikan PR, maka mereka akan semakin banyak belajar, yang membuat pembelajaran di sekolah menjadi lebih efektif. Konsepsi bahwa “lebih banyak - lebih baik” bisa saja tidak bisa diaplikasikan terhadap semua tingkatan siswa, pelajaran, serta tingkatan kemampuan. Akibatnya, bila lebih banyak PR yang diberikan daripada yang dapat diselesaikan, maka tugas tersebut tidak produktif bagi pencapaian siswa (Epstein, 1983).

Idealnya, frekuensi pemberian PR dibedakan di tiap tingkatan kelas berikut (Cooper, 1989): ● Kelas 1-3 = 1-3 PR per minggu, dengan waktu pengerjaan tidak lebih dari 15 menit ● Kelas 4-6 = 2-4 PR per minggu, dengan waktu pengerjaan 15-45 menit

● Kelas 7-9 = 3-5 PR per minggu, dengan waktu pengerjaan 45-75 menit ● Kelas 10-12 = 4-5 PR per minggu dengan waktu pengerjaan 75-120 menit

(9)

Terdapat beberapa penjelasan mengapa frekuensi pemberian serta waktu pengerjaan PR dibedakan dalam setiap tingkatan pendidikan. Pertama, penelitian dalam psikologi kognitif mengindikasikan bahwa perbedaan umur menentukan kemampuan anak dalam merespon stimuli secara selektif. Anak di tingkat dasar cenderung belum mampu untuk mengabaikan informasi atau stimulan yang tidak relevan di lingkungannya. Terdapat kemungkinan bahwa gangguan atau pengalihan yang terjadi di lingkungan rumah membuat pembelajaran di rumah menjadi kurang efektif bagi siswa yang lebih muda dibandingkan siswa yang lebih tua. Kedua, siswa yang lebih muda ditemukan memiliki kebiasaan belajar yang belum efektif, dimana dapat mengurangi kemajuan dalam pencapaian yang diharapkan dari PR. Selain itu, siswa yang lebih muda masih pada tahap berusaha untuk responsif terhadap tuntutan sekolah dalam menguasai kemampuan dasar (Cooper et al., 2006).

Di tingkat SD, setiap anak bervariasi dalam hal kesiapan terhadap perkembangan tantangan dari aktivitas-pekerjaan setelah sekolah. PR yang dilihat sebagai pekerjaan di masa anak-anak memiliki implikasi bagi tingkat stress dan burnout anak-anak. Pengalaman negatif yang dialami berulang kali dapat membuat anak menyerah atau jenuh sebelum waktunya. Hal ini terjadi saat anak merasa tidak mengerti mengenai tugas yang diberikan atau tugas dirasakan membingungkan, sulit, atau terlalu banyak. Penyebab lainnya ialah lepasnya pengawasan oleh orangtua terhadap kegiatan sekolah anaknya, dimana mereka hanya mendapat sedikit bantuan, atau adanya orangtua yang kurang memiliki pengetahuan tentang bagaimana membantu mengerjakan PR anak. Kasus lainnya, orang tua tidak hanya menawarkan bantuan, tetapi juga melakukan PR itu sendiri bila terdapat kesulitan, untuk menghemat waktu, atau merasa kasian pada anak (Corno & Xu, 2004).

Bukti lainnya, ketika dibandingkan, efek pembelajaran di dalam kelas terbukti lebih unggul dibandingkan PR dalam hal pencapaian di tingkat SD. Pemberian PR yang tidak sesuai dengan tingkat kelas siswa dapat menyebabkan beberapa konsekuensi negatif, karena dinilai terlalu membebani siswa dan dapat menyebabkan kejenuhan serta emosi negatif bagi siswa serta orangtua. Selain itu, ditemukan bahwa siswa-siswa di kelas awal yang mengalami kesulitan di sekolah membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengerjakan PR, yang diduga menyebabkan, meningkatkan kecemasan, kebosanan, kelelahan fisik dan emosional, serta demotivasi (Cooper et al., 2006; Trautwein et al., 2009).

Emosi yang dimiliki siswa bukan hanya efek samping dari pembelajaran, tetapi merupakan bagian utuh dari proses belajar yang berhubungan erat dengan proses konatif dan kognitif, emosi yang berkaitan dengan PR dapat dikatakan memiliki implikasi terhadap pembelajaran akademik. Selain itu, ditemukan hubungan timbal balik antara pencapaian akademik dengan emosi akademik, siswa dengan pencapaian tergolong rendah ditemukan memiliki emosi yang tidak menyenangkan terkait PR, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa PR menimbulkan emosi yang bervariasi dimana dapat memengaruhi pembelajaran serta pencapaian siswa. Akibatnya, ketika siswa memiliki emosi negatif atau frustrasi terhadap PR, mereka akan berhenti untuk mengerjakan tugas-tugasnya (Dettmers et al., 2011).

Emosi akademik didefinisikan sebagai emosi yang secara langsung berhubungan dengan pembelajaran dan pencapaian akademik, serta instruksi di kelas. Emosi tersebut meliputi; (1) emosi positif aktif seperti enjoyment, hope, dan pride; (2) emosi positif nonaktif seperti relief; (3) emosi negatif aktif seperti anger, anxiety, dan shame; (4) emosi negatif nonaktif seperti

(10)

boredom and hopelessness. Emosi akademik berperan penting terhadap proses belajar kognitif, motivasional, serta regulatory. Secara umum emosi positif terbukti memiliki hubungan positif dengan self-efficacy, value dari tugas, ketertarikan, upaya, meta-kognitif regulasi diri, serta pencapaian. Sedangkan emosi negatif ditemukan berkorelasi negative dengan variabel tersebut. Emosi yang berkaitan dengan PR sangat relevan dengan area matematika, sebagai materi inti sekolah yang dikenal memiliki beban emosional bagi siswa-siswi. Hubungan antara emosi akademik dengan konsep diri akademik ditemukan lebih kuat pada pelajaran matematika dibandingkan pelajaran lainnya (Dettmers et al., 2011; Goetz et al., 2012). Emosi akademik berhubungan dengan orientasi motivasional dan pengerahan upaya. Emosi positif berupa enjoyment, hope, dan pride ditemukan berkorelasi positif terhadap motivasi instrinsik (ex. motivasi untuk belajar karena materinya dirasakan menarik dan menyenangkan) sedangkan emosi negatif berupa anger, anxiety, shame, hopelessness, dan boredom berkorelasi positif terhadap motivasi ekstrinsik (motivasi untuk mencapai hasil). Pengalaman dari emosi positif yang terjadi berulang kali dapat meningkatkan pemikiran dan perilaku anak, memfasilitasi lebih banyak respon adaptif terhadap lingkungan. menambah kemampuan kognitif dan strategi metakognitif (King & Areepattamannil, 2014).

Kita harus memahami apa tujuan dari diberikannya PR kepada siswa, apakah pemberiannya tepat secara kualitas dan kuantitas, serta bagaimana strukturnya agar layak diajarkan di kelas. Penting untuk mengukur efeknya terhadap kemampuan siswa, waktu pengerjaan, penyelesaian, kebiasaan, dan bantuan atau dukungan dari keluarga. Pada tingkat dasar, keterlibatan orang tua dinilai sebagai variabel penting dalam aktivitas yang berhubungan dengan PR, khususnya bagi siswa-siswi yang memiliki pencapaian rendah (Epstein, 1983).

SARAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan analisis secara deskriptif, tinjauan sejumlah aspek dalam laporan TIMSS, serta analisis teoritis, berikut kami paparkan saran dan rekomendasi terkait pemberian PR terutama untuk siswa tingkat sekolah dasar:

● Guru di tingkat SD dapat mencoba untuk menggabungkan PR yang diberikan dengan elemen bermain. Terdapat nilai lebih yang didapat bila guru merancang PR yang melibatkan aktivitas yang diminati siswa. Disamping itu, guru diharapkan untuk membantu siswa melakukan coping atau prosedur lainnya untuk mengelola stres saat mengerjakan PR yang dirasakan sulit. Upaya yang terkoordinasi antara orang tua, guru, maupun pihak lainnya sangat diperlukan dalam memberikan kondisi maksimal dalam mendukung aktivitas dan prestasi siswa dalam hal PR (Corno & Xu, 2004). ● Instruksi yang tepat dan berkualitas tinggi menstimulasi dan mendukung pembelajaran

siswa, contoh, melalui materi pembelajaran yang sesuai, serta meningkatkan nilai intrinsik dari proses pencapaian sehingga berkontribusi dalam mengembangkan aktivitas yang berhubungan dengan emosi menyenangkan (Dettmers et al., 2011). ● Mengurangi frekuensi pemberian PR setiap hari bagi siswa remedial dengan alternatif

(11)

DAFTAR RUJUKAN Cooper, H. (1989). Homework.White Plains, NY: Longman

Cooper, H., Robinson, J. C., & Patall, E. A. (2006). Does Homework Improve Academic Achievement? A Synthesis of Research, 1987–2003. Review of Educational Research, 76(1), 1–62

Epstein, J. L. (1983). HOMEWORK PRACTICES, ACHIEVEMENTS, AND BEHAVIORS OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS. Working paper. Johns Hopkins Univ., Baltimore, Washington, DC.

Goetz, T. et al. (2012). Students' emotions during homework: Structures, self-concept antecedents, and achievement outcomes. Learning and individual differences. 22(2), 225-234 Ramdass, D & Zimmerman, B. J. (2011). Developing Self-Regulation Skills: The Important Role of

Homework. 22(2), 194–218

Corno, L & Xu, J. (2004). Homework as the Job of Childhood. Theory into Practice. 43(3), 227-233 Trautwein, U., Niggli, A., Schnyder, I., Lüdtke, O. (2009). Between-Teacher Differences in

Homework Assignments and the Development of Students’ Homework Effort, Homework Emotions, and Achievement. Journal of Educational Psychology, 101(1), 176-189.

Dettmers, S., U. Trautwein., O. Lüdtke., T. Goetz., A. C. Frenzel., R. Pekrun. (2011). Students’ emotions during homework in mathematics: Testing a theoretical model of antecedents and achievement outcomes. Contemporary Educational Psychology. 36. 25–35.

King, R. B., & Areepattamannil, S. (2014). What Students Feel in School Influences the Strategies They Use for Learning: Academic Emotions and Cognitive/Meta-Cognitive Strategies. Journal of Pacific Rim Psychology, 8, 18-27

Gambar

Grafik 1. % Tren EMH Indonesia vs Internasional Avg siswa kelas 8 (1999-2007)
Grafik  3  menunjukkan  bahwa  tren  pemberian  PR  untuk  siswa  kelas  4  SD  dari  tahun  2003  hingga 2011 didominasi oleh frekuensi  pemberian PR setiap hari
grafik 4 EMH & capaian skor matematika siswa kelas 8
Grafik 5 Perbandingan Intensitas Pemberian PR matematika dan capaian matematika  TIMSS 2015 -Kelas 4 SD
+2

Referensi

Dokumen terkait

Semua produk percetakan yang dihasilkan oleh Perusahaan Firgie Printing baik itu hang tag, paper bag, kotak, label, kartu nama, dan brosur masih memiliki konsep bentuk

For this category, the assessment determined that Chile’s counties are considered as Low Risk.. WOOD HARVESTED FROM FOREST IN WHICH HIGH CONSERVATION VALUES ARE THREATENED

Setelah menentukan tanggal penelitian, peneliti membuat Rencana Pelaksanaan pembelajaran (RPP) mata pelajaran Al Qur’an Hadis Hadis tentang niat, membuat soal atau

Hasil dari metode ManTRA menunjukkan tugas yang berisiko menimbulkan cedera yaitu pada tugas merendam kedelai, tugas mencuci kedelai, tugas menggiling kedelai, tugas

tertentu, membagi perhatian kepada semua hadirin supaya tidak terpaku pada satu titik, menekankan suatu hal, dan menjaga kedinamisan penampilan sehingga kelihatan

Upaya pengelolaan kepiting bakau dapat dilakukan dengan mengetahui kelimpahan, distribusi dan nisbah kelamin, sedangkan untuk ekosistem mangrove dengan mengetahui

panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan keagungan-Nya telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

Kerangka konsep yang tertera di atas sesuai dengan teori Andersen (1975) yang menggambarkan bahwa faktor predisposisi (jenis kelamin, umur, pengetahuan tentang Poliklinik