• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWI SPG. Perilaku Konsumtif Mahasiswi Yang Berstatus Sales Promotion Girl (SPG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWI SPG. Perilaku Konsumtif Mahasiswi Yang Berstatus Sales Promotion Girl (SPG)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perilaku Konsumtif Mahasiswi Yang Berstatus Sales Promotion Girl (SPG)

Dyah Sarianti Martha

(Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya) Dyahmartha90@gmail.com

M.Jacky

(Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya) jackyflinders@gmail.com

Abstrak

Perilaku konsumtif mahasiswi yang bekerja menjadi SPG (Sales Promotion Girl) freelance menimbulkan banyak polemik baru, salah satunya adalah mengenai gaya hidup. Hal ini dibuktikan dengan adanya konsumsi barang-barang bermerk untuk dapat bereksistensi di lingkungan sosial. Penelitian ini berupaya menjawab permasalahan terkait pola konsumtif yang dilakukan oleh mahasiswi urban yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai SPG freelance. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah hiperrealitas Baudrillard. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan semiotik baudrillard yakni mengungkap sisi simulasi pada ruang simulacra terkait citra dari merk dapat menampilkan hiperrealitas. Subyek dalam penelitian kali ini adalah mahasiswi yang bekerja sampingan sebagai SPG freelance. Teknik pengumpulan data secara primer (wawancara dan observasi) dan sekunder (dokumentasi dan internet). Dengan analisis data menggunakan model analisis interaktif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku konsumtif yang dilakukan mahasiswi bukan karena kebutuhan dan hasrat tetapi lebih pada konsumsi citra dari merek guna mendapatkan prestise, kepuasan batin, dan penghormatan yang lebih dari lingkungan sekitarnya. Para mahasiswi menjadikan tubuh sebagai rana simulasi tanda untuk menghasilkan hiperrealitas yang berbentuk glamour, stylistic dan minimalis. Kata kunci : Perilaku Konsumtif,Gaya hidup, Hiperrealitas, Sales Promotion Girl (SPG)

Abstract

Consumer behavior student who worked the freelance SPG (Sales Promotion Girl) raises many new polemic, one of which is about lifestyle. This is evidenced by the consumption of branded goods to be able to exist in a society. This study seeks to answer the problems related to consumption patterns carried by urban student who has a second job as a freelance SPG. The used theory to analyze is Baudrillard's hyperreality. The method used is descriptive qualitative method with which Baudrillard semiotic approach to uncover the simulacra of space-related simulations on the image of the brand can display hyperreality. Subjects in this study is a student who works as a freelance SPG. Primary data collection techniques are interviews and observations and secondary data using documentation and internet. With data analysis using interactive model of data reduction, data presentation and conclusion. The results showed that consumer behavior is done not because the student's needs and desires, but rather on the consumption of brand image in order to gain prestige, inner satisfaction, and greater respect from the surrounding environment. The student makes the body as a sign of simulation shutter to produce shaped hyperreality glamor, stylistic and minimalist.

Keyword : Consumption behavior, Lifestyle, Hiperreality, Sales Promotion Girl (SPG)

PENDAHULUAN

Mahasiswa sebagai calon sarjana, termasuk golongan cendekiawan dalam penerimaan masyarakat. Sebagai mahasiswa mereka akan memperoleh penghargaan dan kedudukan yang tinggi terkait bidangnya. Sebab statusnya yang tinggi oleh masyarakat, maka animo masyarakat untuk menjadi mahasiswa sangat tinggi. Hal itu ditandai dengan jumlah calon pendaftar menjadi mahasiswa. Hal itu terlihat dari data

SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), sebagai salah satu instrument seleksi mahasiswa. Pada tahun 2008 peserta ujian SNMPTN mencapai 390.000 namun yang diterima hanya 82.000 di 57 perguruan tinggi. (Listy. 2008. http://nasional.kompas.com/). Pada tahun 2009 jumlah peserta naik sebanyak 422.534 orang, sementara SNMPTN ini hanya menerima 92.511 calon mahasiswa yang terdiri dari 44.504 orang untuk jurusan IPA dan 48.007 orang dari jurusan IPS.

(2)

Begitu juga pada tahun 2010 jumlah peserta sebanyak 447.107 orang memperebutkan daya tampung 80.000 kursi di 54 Perguruan Tinggi Negeri nasional yang terdiri dari 142.710 orang mengikuti seleksi lewat jurusan IPA, 169.499 orang IPS, dan 134.898 orang lewat jalur IPC. (http://id.wikipedia.org). Dari data tersebut terlihat bahwa peminat untuk bisa melanjutkan kuliah sampai di perguruan tinggi dari tahun ke tahun selalu bertambah. Jumlah ini belum termasuk penerimaan di perguruan tinggi swasta.

Peningkatan jumlah calon mahasiswa didominasi oleh keinginan untuk meningkatkan status sosial. Pendidikan yang tinggi dinilai mampu dijadikan saluran mobilitas vertikal dengan harapan setelah lulus dan menjadi sarjana, individu dapat memperoleh kesempatan bekerja dengan gaji yang tinggi. Apabila hal tersebut tercapai, maka status sosial ekonomi akan meningkat. Namun hal tersebut tidak mudah dikarenakan mereka harus bisa beradaptasi sejak mereka indah ke kota Surabaya.

Proses adaptasi mahasiswa urban dimulai dari mencari tempat kost, mengenal lingkungan kost, berkomunikasi dengan individu yang baru dikenal. Bagi individu yang sulit beradaptasi akan mengalami culture shock karena perbedaan budaya yang dimiliki antara daerah asal dan daerah baru. Culture shock merupakan tuntutan penyesuaian yang dialami individu pada level kognitif, perilaku, emosional, sosial, dan fisiologis ketika seseorang ditempatkan di budaya yang berbeda (Ting-Toomey, 1999:258). Keadaan seperti inilah yang sering menjadi masalah bagi mahasiswa imigran atau pendatang baru.

Mahasiswa perlu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri agar bisa survive dengan lingkungan baru. Banyak hambatan yang dialami salah satunya adalah tingginya biaya hidup. Biaya hidup yang tinggi membuat mahasiswi kesulitan dalam hal ekonomi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan mahasiswa adalah menjadi SPG/SPB, guru privat, jaga warnet dan pekerjaan lain yang tidak mengganggu waktu mereka untuk kuliah. Semua pekerjaan tersebut bertujuan untuk menambah uang saku guna memenuhi kebutuhan hidup selama menjadi mahasiswi urban. Namun terdapat motif lain yang menyebabkan mahasiswa memilih bekerja sampingan yaitu memenuhi gaya hidup masyarakat kota. Kota identik dengan modernitas yang didalamnya terdapat kemajuan teknologi dan budaya sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi konsumtif. Bagi mahasiswi yang mempunyai paras cantik, putih dan menarik lebih tertarik untuk memilih menjadi SPG freelance dikarenakan pekerjaan menjadi SPG memang menggiurkan. Dengan

penghasilan yang berlebih, banyak dari mahasiswi yang lupa akan fungsi utama sebagai pelajar. Motif mahasiswi menjadi SPG ingin mendapatkan penghasilan lebih cenderung untuk memperbaiki penampilan seperti mempercantik diri, membeli barang bermerk dan menikmati hiburan.

Gaya hidup merupakan ciri khas konsumsi modern dimana bisa membawa kesadaran yang lebih tinggi terhadap proses konsumsi yang terlihat dari penampilan individu dan cita rasa dalam pemilihan barang-barang konsumsi.(Lurry, 1998:112). Cita rasa dalam memilih barang yang akan dikonsumsi sering dihubungkan dengan barang-barang yang memiliki simbol dan tanda yang memperlihatkan ciri kelas sosial. Oleh karena itu, tak jarang mahasiswa yang bekerja sebagai SPG terlihat menggunakan barang-barang bermerk terkenal, pergi ke salon untuk melakukan perawatan dan merubah hiasan di wajah agar terlihat lebih menarik dan mencerminkan status sosial yang lebih tinggi.

Mahasiswa urban yang berprofesi sebagai SPG freelance cenderung mengikuti gaya hidup teman-temannya yang bergaya hidup konsumtif seperti ngemall, clubing, perawatan salon, hang out di cafe. Di dalam mengkonsumsi suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata, tetapi lebih pada nilai yang didalamnya terdapat penandaan dan simbol-simbol yang dikonsumsi. Keinginan tersebut seringkali mendorong inidvidu untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat dari pembelian produk yang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata tetapi untuk mengikuti trend. Merk tidak dapat lagi direduksi untuk membedakan identitas diri tetapi merk lebih digunakan untuk menyesuaikan dengan kelompok tertentu. Ketergantungan terhadap merk telah bergeser, merk telah memasuki kehidupan remaja secara mendalam (Quart,2008:3). Dengan begitu individu bisa merasa dirinya benar-benar menjadi remaja gaul jika mengenakan produk yang sedang menjadi trend. Dengan demikian dapat diketahui, terdapat keunikan dari seorang mahasiswa yang bekerja sampingan sebagai SPG freelance, mahasiswa yang sejogyanya berbelanja buku-buku demi menunjang kebutuhan akademisnya berbalik lebih memusatkan untuk berperilaku konsumtif demi menunjang penampilannya. Perilaku konsumtif tersebut terlihat penampilan diri yang mulai meninggalkan citranya sebagai kaum pelajar atau mahasiswa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku konsumtif yang dilakukan mahasiswa. Fokus penelitian pada tampilan diri yang dapat ditelusuri

(3)

3 melalui atribut yang terdapat dalam tubuh, seperti pakaian, model rambut, make up, sepatu dan tas. Melalui konsep teoritis Baudrillard mengenai nilai dan tanda peneliti akan menelusuri bagaimana sebuah tanda dan simbol yang memiliki peran dalam memainkan pandangan mahasiswa yang bekerja sebagai SPG freelance dalam menilai sebuah produk yang sesuai dengan gaya hidup wanita modern. Wanita modern akan mensimulasi dirinya dengan berbagai tanda dan symbol yang direproduksi dalam ruang simulakra sehingga menghasilkan realitas buatan yang nampak lebih riil dari realitas sebenarnya atau yang disebut hiperrealitas. Dalam dunia hiperealitas objek objek asli yang merupakan hasil produksi bercampur dengan objek hipereal yang merupakan hasil reproduksi. Sehingga yang nyata kin menjadi simulasi.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan Semiologi Baudrillard yang lebih menekankan pada dominasi tanda dan kode pertukaran tanda (hidayat, 2012 : 70). Kode-kode yang kemudian merupakan prinsip pengorganisasian primer dari kesatuan sosial, sehingga fokus kajian berpindah dari mode produksi ke kode produksi (mode konsumsi). Pada akhirnya seluruh sistem bertukar dalam ketidaktentuan, seluruh kenyataan tersedot oleh hiperrealiatas kode dan simulasi. Kini simulasilah yang mengatur kehidupan sosial dan membentuk model-model. Simulacra menempati posisi kunci dalam melakukan analisis karena sebagaimana disebutkan sebagai tanda penghasil makna baru yang dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bentuk komoditi baru. Maka penelitian ini berfokus pada fenomena dengan mengidentifikasi simulacra yang ada pada perilaku konsumsi dengan melihat kode, citra, serta rangkaian tanda pada mahasiswa yang berprofesi SPG freelance tersebut. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa yang berprofesi sebagai SPG Freelance yang berasal dari daerah luar Surabaya. Data diperoleh dari observasi dan wawancara

Teknik pengumpulan data dimulai dengan melakukan observasi mengenai subyek mana yang cocok untuk dijadikan informan karena subyek penelitian dipilih secara purposive. Artinya subyek dipilih berdasarakan pertimbangan – pertimbangan tertentu. Pada penelitian ini teknik observasi tersebut menggunakan participant observation yaitu peneliti terlibat langsung dalam perilaku konsumtif yang dilakukan oleh subyek, yaitu saat di kost, pergi ke kampus, saat event dan saat berkumpul dengan

teman-temannya. Informan juga melakukan wawancara tidak terstruktur dan mendalam sehingga lebih menyerupai bentuk dialog antara peneliti dan informan. Peneliti juga menggunakan data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, dan internet. Data sekunder digunakan untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam. Analisis data dalam penelitian ini melalui tiga tahap yakni, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Idrus, 2008 :181).

HASIL DAN PEMBAHASAN Simulakra Dan Simulasi

Simulakra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode yang silang sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama. (Piliang, 1998: 196). Di dalam ruang ini tak dapat dikenali mana yang asli dan mana yang palsu karena proses reproduksi tanda yang dilakukan terus-menerus sampai batas yang terjauh. Simulacra pada mahasiswi yang bekerja sebagai SPG freelance terdapat di kota Surabaya sebagai tempat tinggal dan tempat interaksi dengan orang lain. Tubuh sebagai tempat terjadinya simulasi untuk permainan tanda dan makna.

Surabaya merupakan kota besar yang memperlihatkan segala kemewahannya. Sebagai kota metropolitan menjadikan kota ini memiliki daya tarik bagi masyarakat yang memiliki tujuan yang berbeda-beda setiap masing-masing individu. Hal ini disebabkan karena Surabaya merupakan barometer bagi daerah-daerah kota sekitar, pusat pemerintahan, ekonomi, bisnis, pendidikan dan masih banyak yang lainnya. Surabaya juga dapat dikatakan sebagai peradaban manusia modern yang lengkap dengan fasilitas penunjang aktivitas, dengan tujuan mempermudah pekerjaan maupun hanya sebatas pada pencitraan gaya hidup yang serba bergelimang kemewahan. Beberapa hal yang menjadi sorotan bahwa Surabaya sebagai kota yang memiliki daya tarik besar untuk bergaya hidup adalah banyaknya mall, hiburan, dan sarana-sarana dalam mengekspresikan diri. Sebagai kota metropolitan tentunya menyediakan segala kebutuhan manusia modern sebagai ruang simulacra yang paling umum yaitu pertama membuat mahasiswi yang berstatus SPG harus beradaptai dengan lingkungan. Adapatasi yang terlihat adalah dalam hal fashion dan perawatan tubuh yang dilakukan mahasiswi SPG yang sebelumnya tidak mereka lakukan di kota asal mereka

(4)

tinggal namun sekarang mereka justru mengkonsumsinya.

Simulakra juga terdapat pada tubuh mereka sendiri. Tubuh merupakan bagian yang paling mudah untuk direproduksi secara terus-menerus. Tubuh sebagai representasi keribadian, kelas, dan jiwa seseorang harus mendapat simulasi yang terbaik mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hal ini Nampak dalam polesan make up maupun gaya berbusana yang digunakan SPG. Simulasi yang ditampilkan melalui tubuh tersebut memiliki tujuan untuk menampilkan diri sesuai keinginan pemiliknya.

Simulasi adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga mampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayalan menjadi tampak nyata (Piliang dalam Kushendrawati, 2011:88). Simulasi berupa pemberian perawatan tubuh pada SPG. Perawatan tubuh meliputi penggunaan kosmetik maupun gaya berpakaian. Hal tersebut pada dasarnya merepresentasikan kepribadian dan jiwa yang diinginkan pemakainya. Penampilan glamour dapat ditemukan dalam pemberian simulasi berupa tubuh yang dibalut dengan fashion yang terkesan merk import dengan kualitas ori dan minimal KW Super, pemakaian make up yang lengkap, aksesoris dan perhiasan yang digunakan melambangkan high class. Penampilan stylistic yang didalamnya terdapat simulasi berupa gaya yang tak jelas arahnya. cenderung mengikuti glamour namun ada juga yang minimalis. Rata-rata SPG yang menunjukkan gaya yang terlihat stylish / gaul karena disesuaikan perekonomiannya. Tampilan stylistic biasanya dilakukan oleh mahasiswi yang menjadi SPG barang-barang standart seperti makanan, minuman ringan, kartu perdana dan elektronik. Penampilan minimalis didalamnya terdapat simulasi dibuktikan dengan tubuh yang dibalut dengan pakaian, aksesoris, dan make up yang terkesan lebih natural tidak seperti glamour dan stylish identik menggunakan aksesoris yang berlebihan.

Menurut Baudrillard, mekanisme sistem konsumsi masyarakat konsumen bukanlah berada pada faktor kebutuhan atau manfaat untuk mendapatkan suatu kenikmatan tetapi dikarenakan oleh adanya tanda dan symbol yang yang melekat pada suatu barang yang dapat dikonsumsi (Baudrillard dalam hidayat. 2012 : 61) Tanda dan symbol yang dikonsumsi dirasa dapat menentukan identitas seseorang dimana semuanya telah diatur di dalam logika simulasi. Di dalam simulasi tanda, symbol dan citra sekarang tidak dapat ditentukan kelas sosial mereka yang sebenarnya karena semuanya yang nampak adalah semu. Seperti

konsumsi yang dilakukan oleh mahasiswi yang bekerja sampingan sebagai SPG freelance dimana tubuh mereka dianggap sebagai asset yang dapat disimulasi sedemikian rupa untuk menghasilkan hiperrealitas.

Mahasiswi yang saat ini menjadi Sales Promotion Girl (SPG) cenderung memiliki penampilan yang berubah. Tetapi sebelum menjadi SPG penampilan pun sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang cukup menonjol, baik mereka yang berlatar belakang ekonomi kelas atas, menengah maupun kelas bawah. Hal ini terlihat dari segi pakaian, mereka cenderung berpakaian lebih casual dan santai tanpa terlalu memperhatikan fashion yang sedang berkembang. Begitu juga dari segi barang yang biasanya dipakai contohnya asesoris yang menghiasi tubuhnya tidak begitu nampak terlihat berlebihan, hanya sebatas pada ornament yang sederhana seperti gelang yang terbuat dari fiber atau manik-manik kerajinan tangan dan tentunya dengan harga yang terjangkau. Dari segi makanan yang dikonsumsi biasanya pada saat sebelum menjadi SPG, jenis makanan yang mereka konsumsi seperti yang lazim dikonsumsi oleh mahasiswi-mahasiswi biasa pada umumnya. Begitu juga dengan tempat tinggal yang mereka singgahi pada saat mereka menjadi mahasiswi urban terlihat nampak sederhana sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya. Dan dalam segi mengenai tempat hiburan yang digunakan untuk bersantai, mereka lebih senang dengan tempat-tempat yang banyak digemari oleh masyarakat khususnya kelas bawah seperti taman kota atau tempat bersantainya keluarga yang tidak menghabiskan biaya banyak dan cenderung gratis.

Hiperrealitas

Hiperrealitas adalah sebuah gejala dimana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. (Baudrillard dalam Kushendrawati, 2011:121). Dunia hiperrealitas adalah dunia yang penuh dengan kebohongan yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam dunia seperti itu.

Mahasiswi yang bekerja sampingan menjadi SPG sering kali mengkonsumsi barang bukan karena kebutuhan dan hasrat namun justru lebih pada nilai tanda dan symbol yang melekat pada barang yang dikonsumsi. Berperilaku konsumtif merupakan

(5)

5 keterbiasaan dan bahkan menjadikannya untuk selalu mengkonsumsi tanpa memertimbangkan nilai guna barang tersebut. Seperti konsumtif yang dipengaruhi oleh brand image (citra merek) yang melekat di beberapa produk sudah menjadi trend anak muda sekarang karena tidak ingin dianggap kampungan. Dengan bantuan media, citra dari sebuah merek berhasil dipercaya masyarakat untuk dikonsumsi secara terus-menerus dan bahkan berhasil membuat kontruksi bahwa produk tersebut mempunyai tanda dan kode yang memang dipercaya mempunyai prestise. Sehingga tak salah jika tanda dan kode serta gagasan yang ditanamkan dalam sebuah produk bisa menjadi memori publik dalam mengendalikan hasrat konsumer.

Pemilihan produk dengan brand tertentu sudah berhasil mempengaruhi seluruh pikiran masyarakat untuk mengkonsumsinya bahkan dalam keadaan tidak sedang dibutuhkan. Semua ini diharapkan untuk menaikkan status dan prestise dengan memakai dan menggunakan barang bermerek mewah. Barang bermerek yang dipilih untuk mendapatkan prestise rata-rata yang bisa dikenali dan diidentifikasi oleh umum seperti pakaian, aksesoris, jam tangan, dan tas. Dalam hal ini pertimbangan rasional akan kebutuhan kalah dengan pertimbangan irasional yang hanya untuk eksistensi diri. Baudrillard mengatakan bahwa kita tidak lagi mengontrol produk namun kita yang dikontrol oleh sebuah produk. Diri yang dikontrol oleh produk membuat individu menjadi konsumtif.

Oleh karena itu, hiperealitas yang dihasilkan dari proses simulasi, dapat dikategorikan dalam tiga bentuk yakni glamour, stylistik dan minimalis. Penampilan diri dapat dijadikan rujukan untuk mengidentifikasi kelas sosial individu. Namun terdapat perbedaan citra yang ditampilkan dalam pemberian tanda dan symbol tersebut tidaklah sama dikarenakan kebudayaan, sosial dan ekonomi yang berbeda.

Gaya Hidup Glamour

Gaya hidup glamour biasanya dilakukan pada mahasiswi yang bekerja sampingan menjadi SPG dengan berpenghasilan rata-rata lebih dari 8 juta per bulan. Dilakukan oleh SPG yang tidak professional seperti yang mempunyai pekerjaan lain selain mempromosikan barangnya. Ini dilakukan oleh beberapa mahasiswi yang menjadi SPG barang mahal dan mewah seperti SPG motor, mobil, rokok dan juga minuman keras. Simulasi yang dilakukan dari ujung rambut hingga ujung kaki menunjukkan bahwa hiperrealitas yang dihasilkan memiliki tujuan untuk memberikan kesan kelas sosial atas. Dengan

menunjukkan kemewahan dan cenderung hedonis sehingga terlihat glamour dengan tambahan symbol dan tanda yang ditampilkan. Apalagi harga dari barang-barang yang dikonsumsi juga relatif mahal yang hanya dapat dibeli di tempat-tempat tertentu. Dan tujuan dari penggunaan barang-barang elit ini dimaksudkan sebagai symbol identitas golongan elit dan kesan yang sensual dari penampilan yang ditampilkan.

Penampilan glamour mencitrakan individu seperti wanita modern yang hidup penuh kemewahan. Singkat kata mereka adalah figure manusia sempurna. Padahal sesungguhnya mereka berasal dari kelas menengah ke bawah. Dengan pemberian simulasi secara mendetail, gaya hidup glamour ditampilkan secara sempurna pada ruang simulacra yang dikehendaki seperti dalam pemakaian make up yang berlebihan, perhiasan emas yang terlihat mencolok dan konsumsi barang-barang bermerek. Makna yang yang dimasukkan dalam sosok wanita modern ini merupakan hasil dari silang sengkarut tanda, citra, dan kode-kode yang sengaja diciptakan untuk menjaga eksistensinya sebagai symbol SPG yang berhasil dengan masih menyandang status mahasiswi.

Disini terlihat bahwa hiperrealitas glamour sebagai hasil rekayasa identitas mahasiswi yang bekerja menjadi SPG ini adalah semu. Namun anehnya dengan kesemuan inilah yang dianggap real, dan yang real adalah yang semu seperti mahasiswi SPG yang bergaya glamour. latar belakang ekonomi keluarga mereka sudah tak nampak lagi karena duplikasi tanda yang dilakukan secara terus menerus yang akhirnya mampu menutupi identitas asli mereka.

Gaya Stylistik

Stylistik adalah gaya penampilan anak jaman sekarang. Stylish identik dengan kata gaul atau mengikuti jaman, tetapi bukan berarti glamour. Gaul untuk menunjukkan sikap, tindakan, fashion, pengerat emosi suatu kelompok dan komunitas yang sedang mengikuti trend yang sedang terjadi. Pengikut gaya ini mayoritas adalah anak muda seperti mahasiswa. Mereka yang menunjukkan gaya stylish ini akan lebih bisa berkreasi dan berekspresi, contohnya dalam pemakaian accesoris. Jika glamour lebih pada perhiasan yang warnanya monoton, hal tersebut berbeda dengan stylish yang bisa bermacam-macam warna dalam pemakaian aksesoris yang dikenakan. Memang stylish sebagian besar meniru gaya yang diterapkan dari glamour, namun stylistik tidak mempunyai kekayaan yang berlebih. Oleh karena itulah mereka akan mengkonsumsi barang dengan kualitas yang lebih rendah dan untuk membedakannya

(6)

mereka akan menunjukkan dengan warna-warna yang lebih variatif.

Bentuk simulasi yang ditampilkan pada stylistik lebih dipengaruhi oleh adanya citra yang ditampilkan oleh media yang membuat mahasiswi menjadi konsumtif akan gaya hidup. Hal ini dikarenakan harga barang yang ditampilkan di media seolah adalah milik kelas atas namun harga dapat dijangkau oleh kelas menengah ke bawah. Sehingga kelas menengah ke bawah masih dapat dengan muda mengikuti perkembangan mode. Dan hiperealitas yang ditampilkan dari stylistic akhirnya mampu memberikan makna modis dan gaul yang identik dengan gaya anak muda yang identik dengan budaya modern.

Penampilan Minimalis

Faktor ekonomi memang mempengaruhi gaya hidup minimalis ini. Biasanya dilakukan oleh mahasiswi dengan ekonomi rendah sehingga untuk memenuhi gaya hidupnya mereka harus berusaha mengatur keuangan seminimal mungkin. Deskripsi seperti ini biasanya ditampilkan pada SPG kelas rendah seperti susu balita yang targetnya adalah ibu-ibu yang tidak melihat fisik SPG sebagai cerminan dari hasil produk yang ditawarkan. Sehingga penghasilan yang didapat dari pekerjaan ini terbilang rendah yang mengakibatkan mereka tidak dapat melakukan gaya hidup yang berlebihan.

Gaya hidup minimalis cenderung terlihat sederhana dan natural. Individu memberikan simulasi yang seminimal mungkin untuk dirinya seperti dalam pemakaian make up, merk pakaian dan pemberian assesoris yang sangat minim dan bahkan tidak ada. Pada gaya hidup minimalis tersebut tampak realitas yang sesungguhnya yang belum terdapat simulasi karena tidak terdapat kebohongan yang ditampilkan. Mereka masih dalam keadaan murni dan alami dan tidak ada tanda di segala asek sehingga pengakuan kelas tidak tampak di dalam dirinya.(lechte. 1994: 144)

PENUTUP

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang berprofesi sebagai SPG menunjukkan penampilan diri berupa hiperrealitas yang bersumber dari simulacra dan simulasi. Hal ini dapat ditelusuri melalui simulacra yang berkaitan dengan tempat terjadinya simulasi-simulasi. Simulacra berupa tubuh perempuan, dibuktikan dengan pemberian simulasi dalam bentuk polesan make up dan gaya berbusana. Hiperrealitas yang ditampilkan dapat dikategorisasikan dalam 3 bentuk yakni glamour,

stylistic dan minimalis. Glamour ditunjukkan dengan kepemilikan barang yang serba mewah, make up yang berlebihan, dan kepemilikan assesoris yang glamor karena rata-rata menggunakan perhiasan emas asli. Sedangkan stylistic lebih memiliki kreatifitas dan ekspresif dalam mengkonsumsi barang yang digunakan, sehingga dapat terlihat gaul dan modis. Berbeda dengan glamour dan stylistic, minimalis cenderung lebih sederhana dengan tampilan seminimal mungkin sesuai kebutuhan sehingga terkesan lebih natural.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat

Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran

Postmdernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra.

Idrus, Muhammad. 2008. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif Dan Kuantitatif. Yogjakarta: UII Press.

Kushendrawati, Selu Margaretha. 2011. Hiperrealitas dan Ruang Publik. Jakarta: Penaku.

Lechte, john. (1994). Fifty Key Contemporary Thinkers, From Structuralism To Postmodernism. London: Routledge.

Lury, Celia. 1998. Budaya konsumen. Jakarta: Yayasan Obor.

Piliang, Yasraf Amir. (1998). Sebuah Dunia Yang

Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang

Millennium Ketiga Dan Matinya Postmodernisme. Bandung : Mizan.

Quart, Alissa. 2008. Belanja Sampai Mati. Yogyakarta : Resist book

Ting-Toomey, Stella. 1999. Communicating Across Culture. New York : the guilfordpress

Sumber Online :

(http://id.wikipedia.org/wiki/Seleksi_Nasional_Masuk _Perguruan_Tinggi_Negeri). Diakses tanggal 5 maret 2014 pukul 18.00

Listy, Kurnia, 2008. 308.000 Orang Gagal SNMPTN. (http://nasional.kompas.com/read/2008/08/01/111127 6/308.000.Orang.Gagal.SNMPTN. diakses : 20 februari 2014 pukul 09.00)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengajarkan pengenalan pola ABCD-ABCD pada anak pembelajaran yang diberikan guru kurang bervariasi, pengenalan pola hanya dilakukan dengan meniru pola dan memperkirakan

Jumlah keseluruhan kas yang dibayarkan atau diterima untuk memperoleh atau atas kehilangan pengendalian entitas anak atau bisnis lainnya dilaporkan dalam laporan arus kas,

Pada kerangka penelitian ini akan menjelasakan bahwa variabel bebas lokasi (X1), kelengkapan produk (X2), dan harga (X3) sebagai indikator mempunyai pengaruh

Pada prinsipnya tujuan dari kendali visual pada Humanoid Soccer Robot ini diterapkan agar robot memiliki kecerdasan dalam mengenali objek berupa bola, pemrosesan gambar yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai p lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian anemia pada ibu

[r]

[r]

Alhamdulillahirabbil’alamin ,Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya Penulis masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas akhir yang