• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. DAMPAK LINGKUNGAN PEMANFAATAN ENERGI TERBARUKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII. DAMPAK LINGKUNGAN PEMANFAATAN ENERGI TERBARUKAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

7.1. Indikator Beban Lingkungan

Pemanfaatan sumberdaya alam sebagai sumber energi selain bertujuan untuk mengurangi ketergantungan daerah di pulau-pulau kecil terhadap bahan bakar minyak yang ketersediaannya semakin terbatas dan harganya terus meningkat, yang tidak kalah penting adalah untuk mengurangi beban lingkungan yang diakibatkan oleh limbah dalam proses pengelolaan energi. Dalam kasus pengelolaan energi di Nusa Penida, analisis beban lingkungan difokuskan kepada pengurangan beban lingkungan sebagai akibat pengurangan penggunaan bahan bakar fosil karena adanya kontribusi produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga angin, tenaga matahari, dan penggunaan bahan bakar nabati sebagai substitusi solar untuk bahan bakar PLTD. Limbah yang dijadikan indikator pengurangan beban lingkungan dalam proses pengelolaan energi listrik adalah kandungan gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu dalam emisi gas buang dari pembangkit listrik dan konsentrasinya di udara ambien.

Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2 terhadap hemoglobin. Dengan demikian apabila CO masuk kedalam paru-paru akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Hill (1984) menyatakan bahwa gas CO sebagai gas mematikan, dampaknya tidak dapat berbalik (irreversible). Dengan demikian kemampuan darah untuk membawa oksigen sangat terhambat.

Sulfur dioksida (SO2) adalah gas asam yang bergabung dengan uap air di atmosfir menghasilkan hujan asam. Endapan SO2 baik dalam bentuk basah maupun kering dapat berdampak pada kerusakan vegetasi dan degradasi tanah, bahan bangunan dan badan-badan air. SO2 di udara sekitar dapat juga mempengaruhi kesehatan manusia, khususnya bagi yang menderita asma dan penyakit paru-paru kronis. Bahkan konsentrasi menengah dapat mengakibatkan kegagalan fungsi paru-paru bagi penderita asma. Pada konsentrasi SO2 yang tinggi, dapat terjadi dada sesak dan batuk, dan penderita asma dapat mengalami gangguan fungsi paru-paru memerlukan pertolongan medis. Pencemaran SO2 akan lebih berbahaya ketika partikulat dan pencemaran lain berada pada konsentrasi tinggi. Emisi sulfur dioksida (SO2) terutama timbul dari pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang

(2)

digunakan untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga. Gas yang berbau tajam tapi tak bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma karena gas ini menetap di udara, bereaksi dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam (BPLH, 2007). Masalah pencemaran SO2 saat ini tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga sudah menjadi masalah di pedesaan. Hal ini disebabkan karena pembangunan industri-industri cenderung berada di daerah luar perkotaan, sehingga emisi SO2 dapat mempengaruhi kualitas udara baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.

Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas berbau tajam berwarna merah-coklat. Emisi NO2 dapat secara langsung berasal dari proses pembakaran bersuhu tinggi dan sebagai akibat dari konversi gas NO di atmosfir. Nitrogen oksida dilepaskan ke atmosfir terutama dalam bentuk NO, yang kemudian teroksidasi menjadi NO2 oleh reaksi dengan ozon. Zat nitrogen oksida ini menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah bereaksi di atmosfir, zat ini membentuk partikel-partikel nitrat amat halus yang menembus bagian terdalam paru-paru. Partikel-partikel nitrat ini pula, jika bergabung dengan air baik air di paru-paru atau uap air di awan akan membentuk asam. Selain itu, nitrogen oksida memiliki paruh waktu sekitar 1 hari untuk berubah menjadi asam nitrat. Asam nitrat ini kemudian terlepas dari atmosfir dan mengendap di tanah, atau berpindah menjadi tetes air (misalnya awan atau air hujan), yang pada akhirnya berkontribusi terhadap pengendapan asam (BMDC, 2008).

Partikel debu yang terdapat di udara dapat menyebabkan penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan.

7.2. Dampak Lingkungan PLTD

Pengoperasian PLTD yang menggunakan bahan bakar fosil (HSD) dapat menimbulkan beberapa dampak terhadap lingkungan, yaitu dampak terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat.

7.2.1. Kualitas Udara

Atmosfer merupakan tempat penampungan dari semua jenis zat pencemar baik berupa gas, cair maupun padat dan oleh atmosfer zat-zat pencemar tersebut dihamburkan karena adanya sirkulasi udara. Pencemaran udara diindikasikan oleh adanya kandungan kontaminan atau kombinasinya di dalam atmosfer. Dampak terhadap kualitas udara diukur antara lain melalui udara ambien dan emisi gas yang berasal dari

(3)

cerobong asap (stack) dengan parameter pengukuran antara lain : kandungan CO, SO2, NO2, dan debu. Hasil pengukuran konsentrasi gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu di udara ambien yang dilakukan PPLH-UNUD tanggal 16 Juni 2007 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO, SO2, dan NO2 masih di bawah ambang batas baku mutu udara ambien yang ditentukan berdasarkan Keputusan Gubernur Bali No. 8 tahun 2007, namun konsentrasi partikel debu telah melampaui baku mutu (PLN Distribusi Bali, 2007). Tingginya konsentrasi debu diduga berasal dari proses pembangkitan energi listrik yang menggunakan bahan bakar solar. Hasil pengukuran kualitas udara ambien disajikan pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Kualitas udara ambien di Lokasi PLTD Kutampi, tahun 2007

Parameter Satuan Hasil Pengukuran Baku

Mutu

Metode

Debu total µg/m3 265,879 230 Gravimetri

CO µg/m3 483,019 30.000 Iodium Pentoksida SO2 µg/m 3 37,231 900 West Gaeka NO2 µg/m 3 22,326 400 Griess Saltzman 7.2.2. Kebisingan

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan baik di dalam maupun di luar ruangan pembangkit dengan alat Sound Level Meter. Hasil pengukuran tingkat kebisingan di sekitar lokasi PLTD Nusa Penida yang dilakukan oleh PPLH-UNUD menunjukkan bahwa baik di ruang mesin, di ruang kantor, maupun di luar ruangan telah melampaui nilai ambang batas (NAB). Data hasil pengukuran tingkat kebisingan disajikan pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Tingkat kebisingan di sekitar lokasi PLTD

Lokasi Pengukuran Hasil Pengukuran (dBA) NAB (dBA) Keterangan Ruang mesin 93,1 85 Melebihi NAB Ruang kantor 77,3 65 Melebihi NAB Depan kantor PLTD 84,0 55 Melebihi NAB

300 m dari depan kantor PLTD 72,9 55 Melebihi NAB Sebelah kiri kantor PLTD 79,4 55 Melebihi NAB 300 m sebelah kiri kantor PLTD 70,3 55 Melebihi NAB Sebelah kanan kantor PLTD 77,8 55 Melebihi NAB

(4)

7.3. Dampak Lingkungan PLTB

Berdasarkan neraca energi di unit jaringan listrik Nusa Penida tahun 2007, dengan beroperasinya 2 unit PLTB, rata-rata pengurangan penggunaan bahan bakar solar dalam proses produksi listrik mencapai 4.095 l/bulan (1,63%). Pengurangan penggunaan solar tidak sama setiap bulannya karena kontribusi produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga angin berfluktuasi sesuai dengan kecepatan angin pada bulan yang bersangkutan. Kontribusi produksi listrik PLTB dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD perbulan disajikan pada Tabel 7.3.

Tabel 7.3 Kontribusi produksi listrik PLTB dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD unit jaringan Nusa Penida, tahun 2007

Produksi listrik (kWh) Penggunaan Solar (l) Pengurangan

Bulan Total PLTD PLTB Tanpa

PLTB Ada PLTB (l) (%) Januari 592.363 584.101 8.262 236.945 233.640 3.305 1.39 Pebruari 561.949 559.847 2.102 224.780 223.939 841 0.37 Maret 602.750 598.850 3.900 241.100 239.540 1.560 0.65 April 616.860 611.398 5.462 246.744 244.559 2.185 0.89 Mei 622.454 611.686 10.768 248.982 244.674 4.307 1.73 Juni 608.560 587.187 21.373 243.424 234.875 8.549 3.51 Juli 636.038 618.239 17.799 254.415 247.296 7.120 2.80 Agustus 649.546 623.297 26.249 259.818 249.319 10.500 4.04 September 638.049 627.254 10.795 255.220 250.902 4.318 1.69 Oktober 648.269 640.373 7.896 259.308 256.149 3.158 1.22 Nopember 658.815 652.944 5.871 263.526 261.177 2.348 0.89 Desember 687.332 684.969 2.363 274.933 273.988 945 0.34 Rata-rata 554.946 544.710 10.237 250.766 246.671 4095 1.63

Dengan pengurangan penggunaan bahan bakar solar sebesar 1,63%, maka jumlah gas dan partikel yang diemisikan melalui cerobong PLTD juga berkurang sebanyak 1,63%.

Meskipun pembangkit listrik tenaga angin memanfaatkan sumberdaya energi angin yang merupakan energi terbarukan, tetapi tidak berarti tidak menimbulkan dampak lingkungan. Beberapa dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dalam pemanfaatan tenaga angin sebagai sumber energi adalah kebisingan, strobo, dan kematian fauna.

7.3.1. Kebisingan

Konstruksi kincir angin yang terdiri atas komponen mekanik mengakibatkan terjadinya gesekan antar komponennya, sehingga menimbulkan suara (kebisingan) yang dapat mengganggu pendengaran manusia pada jarak tertentu. Komponen utama yang memiliki kontribusi besar memunculkan kebisingan adalah (Rostyono, 1998) :

(5)

• Gearbox dan Generator : frekuensi kebisingan yang ditimbulkan kedua komponen tersebut sesuai dengan frekuensi putarannya yang umumnya berkisar 1000-1500 Hz. • Blade : diameter blade yang lebar serta jumlah blade yang sedikit menyebabkan

gesekan dengan udara yang semakin besar dan kencang. Dengan frekuensi putaran 30-35 putaran/menit, maka putaran di ujung blade yang berdiameter 50 m dapat mencapai kecepatan 250 km/jam.

Untuk kasus pengembangan PLTB Puncak Mundi di Nusa Penida, kebisingan yang ditimbulkan oleh beroperasinya 2 unit PLTB belum dirasakan oleh masyarakat di sekitar lokasi PLTB, karena jarak atara PLTB dengan pemukiman penduduk relatif jauh (>500 m). Namun demikian dalam proses penambahan unit PLTB yang sampai dengan bulan April 2008 telah mencapai 9 unit, ada 1 unit diantaranya berlokasi di dekat pemukiman penduduk. Resiko dampak kebisingan yang dapat ditimbulkan oleh unit PLTB tersebut belum disadari oleh masyarakat setempat, karena belum dioperasikan. 7.3.2. Strobo

Strobo merupakan efek gelap terang yang diterima oleh panca indera (mata) akibat terhalangnya sinar matahari oleh blade yang berputar, maupun pantulan sinar matahari oleh permukaan blade . Lamanya efek tersebut tergantung pada letak geografis, ketinggian rotor, dan jarak antara lokasi kincir dengan pengamat (Rostyono, 1998). Seperti halnya dampak kebisingan, dampak strobo yang ditimbulkan oleh beroperasinya 2 unit PLTB juga belum dirasakan oleh masyarakat di sekitar lokasi PLTB.

7.3.3. Kematian Fauna

Putaran blade mempunyai pengaruh terhadap keberadaan mahluk hidup terutama fauna yang ada di sekitarnya. Sambaran blade dapat menyebabkan kematian burung dan serangga yang terbang di sekitar lokasi kincir. Sebagaimana diketahui bahwa Nusa Penida merupakan daerah yang dijadikan tempat penangkaran dan naturalisasi satwa terutama burung Jalak Bali yang dilindungi karena sudah langka. Di daerah ini masyarakat juga dilarang berburu berbagai jenis burung, sehingga populasi unggas tersebut sudah mulai meningkat.

(6)

7.4. Dampak Lingkungan PLTS

Mulai beroperasinya PLTS pada tahun 2009 juga akan menimbulkan pengurangan penggunaan solar sebagai akibat adanya kontribusi produksi listrik dari pembangkit tersebut. Seperti halnya kontribusi produksi listrik dari PLTB, kontribusi PLTS juga berfluktuasi sesuai dengan lama penyinaran setiap bulan. Berdasarkan rata-rata lama penyinaran pada masing-masing bulan dan kapasitas modul surya 32,4 kW, dapat diprediksi produksi listrik dari PLTS setiap bulannya sebagaimana disajikan pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4 Prediksi produksi listrik dari PLTS No. Bulan Jumlah Jam

per hari Lama penyinaran (%) Jumlah Hari Produksi listrik PLTS (kWh) 1. Januari 12 24 31 2.893 2. Pebruari 12 26 28 2.830 3. Maret 12 41 31 4.942 4. April 12 51 30 5.949 5. Mei 12 74 31 8.919 6. Juni 12 74 30 8.631 7. Juli 12 74 31 8.919 8. Agustus 12 82 31 9.883 9. September 12 82 30 9.564 10. Oktober 12 79 31 9.522 11. Nopember 12 46 30 5.365 12 Desember 12 34 31 4.098 Rata-rata 58,1 6.793

Tabel 7.5 Prediksi kontribusi produksi listrik PLTS dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD Unit Jaringan Nusa Penida

Produksi listrik (kWh) Penggunaan Solar (l) Pengurangan

Bulan Total PLTD PLTS Tanpa

PLTS Ada PLTS (l) (%) Januari 758.835 755.942 2.893 303.534 302.377 1.157 0.38 Pebruari 743.187 740.357 2.830 297.275 296.143 1.132 0.38 Maret 766.350 761.408 4.942 306.540 304.563 1.977 0.64 April 809.255 803.306 5.949 323.702 321.323 2.379 0.74 Mei 773.258 764.339 8.919 309.303 305.736 3.568 1.15 Juni 788.613 779.982 8.631 315.445 311.993 3.453 1.09 Juli 796.039 787.120 8.919 318.416 314.848 3.568 1.12 Agustus 788.274 778.391 9.883 315.310 311.356 3.953 1.25 September 772.118 762.554 9.564 308.847 305.021 3.826 1.24 Oktober 863.720 854.198 9.522 345.488 341.679 3.809 1.10 Nopember 849.623 844.258 5.365 339.849 337.703 2.146 0.63 Desember 872.499 868.401 4.098 349.000 347.360 1.639 0.47 Rata-rata 798.481 791.688 6.793 319.392 316.675 2.717 0.85

(7)

Dari data produksi listrik pada Tabel 7.4. diperoleh kontribusi produksi listrik PLTS dan pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD unit jaringan Nusa Penida (Tabel 7.5) yang menunjukkan bahwa pengurangan penggunaan solar untuk bahan bakar PLTD unit jaringan Nusa Penida sebagai akibat pengoperasian PLTS mencapai 0,85%. Dengan demikian pemanfaatan radiasi matahari sebagai sumber energi dengan PLTS berkapasitas 32,4 kW dapat mengurangi beban lingkungan sebesar 0,85%.

7.5. Dampak Lingkungan Pemanfaatan BBN

Pemanfaatan BBN yang dihasilkan dari pengembangan tanaman jarak pagar di Nusa Penida sebagai substitusi solar untuk bahan bakar PLTD, juga dapat menurunkan beban lingkungan dari emisi yang ditimbulkan dalam proses pembangkitan energi listrik. Hasil pengukuran emisi gas buang penggunaan minyak jarak menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO, SO2, NO2, dan partikel debu dalam emisi gas buang lebih rendah dibandingkan konsentrasi kontaminan tersebut pada penggunaan solar (Tabel 7.6.). Penurunan konsentrasi tertinggi terjadi pada gas NO2 (70,65%) dan terendah pada gas CO (25%). Hasil pengukuran emisi gas buang selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 7.6 Hasil pengukuran emisi gas buang penggunaan bahan bakar solar dan minyak jarak

Emisi Bahan Bakar Parameter Solar BBN Selisih (%) Nitrogen dioksida, NO2 (mg/m3) 34,72 10,19 70,65 Sulfur dioksida, SO2 (mg/m3) 0,02 0,01 50,00 Karbon monoksida, CO (ppm) 800 600 25,00 Partikel debu (mg/m3) 7,50 4,82 35,73 Sumber : Data primer, 2008

Pengembangan tanaman jarak pagar seluas 1000 ha dengan potensi produksi minyak jarak 600.000 l/th akan mampu mensubstitusi penggunaan solar 28,16%. Jadi sebagai akibat pemanfaatan bahan bakar nabati secara aktual berdampak kepada penurunan emisi gas NO2, SO2, CO, dan partikel debu masing-masing sebesar 19,90%, 14,08%, 7,04%, dan 10,06%. Namun demikian emisi akibat penggunaan bahan bakar nabati dapat diabaikan, karena bahan bakar nabati dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesa yang didalamnya terjadi penyerapan unsur-unsur nitrogen (N), sulfur (S),

(8)

dan karbon (C). Tanaman juga berperan dalam siklus ketiga unsur tersebut yang berjalan secara seimbang di alam. Berdasarkan 2006 IPCC Guidelines maka penggunaan BBN tidak dihitung emisi CO2 tetapi dicantumkan dalam bagian sendiri karena biomasa yang digunakan untuk BBN ini sudah dihitung emisinya dalam sektor Agriculture, Forestry and Other Land Use (AFOLU). Emisi gas rumah kaca (GRK) dari penggunaan BBN dianggap nol bila berasal dari perkebunan yang dikelola secara berkesinambungan.

Menurut Hanafiah (2007), siklus N dimulai dari fiksasi N2-atmosfir secara fisik/kimiawi yang menyuplai tanah bersama presipitasi (hujan), dan oleh mikrobia baik secara simbiotik maupun nonsimbiotik yang menyuplai tanah baik lewat tanaman inangnya maupun setelah mati. Fiksasi N terjadi secara fisik melalui pelepasan energi listrik pada saat terjadinya kilat dan secara kimia melalui proses ionisasi di atmosfir paling atas, kemudian turun ke tanah lewat presipitasi. Fiksasi N juga terjaddi secara biologis lewat simbiosis mutualistik tanaman legum dan nonsimbiotik oleh mikrobia tanah. Sumber N dalam proses fiksasi N secara biologis meliputi N2, NH4, NO3, NO2, dan Urea serta N-organik. Di dalam tanah, 99% N terdapat dalam bentuk organik, hanya 2-4% yang dimineralisasikan menjadi N-anorganik (NH3) oleh berbagai mikrobia heterotrof, kemudian sebagian mengalami nitrifikasi. Sebagian besar NH3 tersebut di dalam tanah segera berubah menjadi NH4+ (ion amonium) akibat adanya proses ikatan elektron yang kuat dengan ion-ion H+. Ion NH4+ tersedia bagi tanaman dan dapat terikat pada permukaan koloidal tanah yang bermuatan negatif atau bertukar kedudukan dengan ion K+. Ion amonium dan amoniak (NH3) dihasilkan dalam sel tanaman melalui proses fotorespirasi dalam siklus oksidasi karbon atau proses degradasi metabolik terhadap cadangan protein selama perkecambahan biji. Asimilasi amonia ini terjadi dengan cepat dan hasilnya segera digunakan untuk proses metabolisme lain. Setelah proses fiksasi, siklus N dilanjutkan dengan proses denitrifikasi yang merupakan reaksi reduksi nitrat menjadi gas N yang kemudian mengalami volatilisasi (penguapan) ke atmosfer. Proses ini pada ekosistem alami berlangsung secara berkesinambungan dan selaras dengan proses fiksasi N, sehingga jumlah N dalam tanah tetap stabil.

Hanafiah (2007) juga menyatakan bahwa sulfur merupakan unsur hara makro esensial yang diserap tanaman dalam jumlah yang hampir sama dengan unsur P (0,1-0,3%) dalam bentuk SO42- dan gas belerang (SO2) melalui daun dari atmosfir. Di dalam

(9)

tanah sulfur berasal dari pelapukan mineral tanah dan dekomposisi bahan organik. Sulfur berperan penting sebagai komponen asam-asam amino esensial penyusun protein tanaman dan dalam pembentukan polipeptida.

Dengan asumsi bahwa siklus unsur-unsur tersebut berjalan secara seimbang, maka jumlah unsur yang diemisikan dalam penggunaan BBN sebagai bahan bakar PLTD sama dengan jumlah yang diserap oleh tanaman dari alam melalui proses metabolisme tanaman. Jadi pengurangan beban lingkungan sebagai akibat penggunaan BBN didekati berdasarkan substitusi BBN terhadap solar sebagai bahan bakar PLTD, dalam kasus ini mencapai 28,16%.

Selain memberi manfaat dalam penurunan beban lingkungan dari pengurangan emisi, pengusahaan tanaman jarak pagar juga memberikan manfaat dari hasil samping pengolahan minyaknya. Kulit buah jarak pagar dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan ampas pengolahan minyak jarak dapat dibuat biogas dan briket. Proporsi bagian tanaman jarak pagar yang dapat dimanfaatkan disajikan pada Gambar 7.1 (Pranowo, 2008: komunikasi pribadi).

Buah Jarak Biji Basah 30 % Kulit Buah 70 % Biji Kering 55 % Ampas 68-70 % Briket Crude Oil 30-32 % Biodiesel 80-90 % Biogas Pupuk Organik

Pupuk Cair Pupuk Padat Gas Metan Gambar 7.1 Pohon industri buah jarak pagar.

Gambar

Tabel 7.1  Kualitas udara ambien di Lokasi PLTD Kutampi, tahun 2007  Parameter Satuan  Hasil  Pengukuran  Baku
Tabel 7.3  Kontribusi produksi listrik PLTB dan pengurangan penggunaan solar untuk  bahan bakar PLTD unit jaringan Nusa Penida, tahun 2007
Tabel 7.5  Prediksi kontribusi produksi listrik PLTS dan pengurangan penggunaan solar  untuk bahan bakar PLTD Unit Jaringan Nusa Penida

Referensi

Dokumen terkait

Sistem layanan kesehatan yang diaktifkan Internet of Things (IoT) berguna untuk pemantauan pasien Covid-19 yang tepat, dengan menggunakan jaringan yang saling terhubung

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ketercapaian kecerdasan budaya mahasiswa diatas rata-rata, sehingga dapat dimaknai bahwa daya upaya psikofisk yang utuh di dalam

Perkiraan Masa Penawaran 03 - 05 Januari 2011 Perkiraan Tanggal Penjatahan 07 Januari 2011 PerkiraanTanggal Distribusi Saham Secara Elektronik 11 Januari 2011 Perkiraan

Hal ini menunjukan bahwa hipotesis kedua ditolak, dan mengindikasikan bahwa independensi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap pembentukan komite manajemen risiko

Skripsi berjudul Perbedaan Tingkat Konsumsi dan Status Gizi Antara Balita Gakin dan Non Gakin (Studi di Desa Lampeji Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember) diuji dan

Penelitian ini dilakukan untuk membentuk portofolio LQ45 dengan merekomendasikan saham LQ45 emiten perusahaan mana saja yang lebih baik dimasukkan pada portofolio sekaligus bobot

Hasil wawancara pada informan di dapatkan informasi bahwa pengetahuan perawat tentang delirium ini masih kurang, sehingga perawat belum pernah melakukan

Hasil penelitian tentang pengaruh literasi keuangan terhadap perilaku konsumtif merupakan bukti ilmiah akan pentingnya pengelolaan keuangan terhadap siswa SMK. Hal